• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

6. PEMBAHASAN UMUM

Keragaman Pola Pengelompokan Aksesi Pamelo Berdasarkan Penanda Morfologi, Isoenzim, ISSR dan Kombinasinya

Hasil analisis terhadap penanda morfologi, isoenzim dan ISSR dan kombinasinya menunjukkan perbedaan rentang nilai koefisien kemiripan dan nilai korelasi kofenetik (Tabel 36), yang membuat dendrogram yang dihasilkan juga berbeda. Hasil yang sama dilaporkan oleh Campos et al. (2005) dan Koehler-Santos et al. (2003), yang mendapatkan perbedaan dendrogram berdasarkan karakter morfologi dan molekuler (AFLP dan SSR) pada jeruk mandarin. Mereka menduga bahwa perbedaan karakter morfologi dan molekuler tidak saling bergantung, disebabkan perbedaan seleksi dan faktor evolusi.

Rentang tingkat kemiripan terlebar diperoleh dari penanda isoenzim (72.5%), berbeda jauh dengan penanda morfologi (32.6%), ISSR (32.1%), kombinasi morfologi-isoenzim (31.9%), morfologi-ISSR (21.9%), isoenzim-ISSR (32.0%) dan morfologi-isoenzim-ISSR (22.0%). Dalam hal ini isoenzim dapat mengungkapkan keragaman yang lebih besar antar aksesi pamelo.

Tabel 36 Nilai koefisien kemiripan tertinggi dan terendah dan nilai korelasi koefenetik MxComp (r) dengan penanda morfologi, isoenzim, ISSR dan kombinasinya

Penanda Koefisien Kemiripan Korelasi

kofenetik Terendah Tertinggi Morfologi 0.485 0.811 0.696 Isoenzim 0.222 0.947 0.895 ISSR 0.583 0.904 0.731 Morfologi-Isoenzim 0.474 0.793 0.730 Morfologi-ISSR 0.594 0.813 0.718 Isoenzim-ISSR 0.543 0.863 0.680 Morfologi-Isoenzim-ISSR 0.564 0.784 0.714

Dendrogram hasil analisis isoenzim juga menghasilkan korelasi kofenetik yang paling tinggi, bahkan dibandingkan dengan hasil kombinasi antar penanda, sehingga paling sesuai menggambarkan hubungan kekerabatan antara aksesi

pamelo. Beberapa karakter isoenzim (MDH Rf 0.11 dan 0.14, ACP Rf 0.24 dan 0.33 dan EST Rf 0.30) dapat membedakan antara aksesi berbiji dan tidak berbiji, bahkan pita ACP dengan Rf 0.24 secara khusus hanya terdapat pada aksesi pamelo tidak berbiji, sehingga dapat dijadikan penanda untuk membedakan aksesi pamelo berbiji dan tidak berbiji. Elektroforesis isoenzim hanya dapat mengungkapkan sepertiga dari semua substitusi asam amino, sehingga dianggap metode pendugaan variabilitas genetik yang paling konservatif (Micales dan Bonde 1995), dan menunjukkan jumlah lokus yang rendah. Namun demukian penggunaan isoenzim yang tepat dapat membedakan aksesi pamelo berbiji dan tidak berbiji lebih baik dibandingkan dengan penanda morfologi. Hal yang sama juga telah juga didapatkan oleh Van et al. (2004), yang dapat membedakan aksesi grapefruit berbiji dan tidak berbiji menggunakan enzim GOT (AAT).

Kemampuan isoenzim dalam menganalisis keragaman genetik, disebabkan pola pita yang dihasilkan dalam analisis isoenzim menggambarkan fenotipe elektroforetik (Wendel dan Weeden1989). Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan aktivitas NADP-isositrat dehidrogenase selama pertumbuhan jeruk lemon yang berkorelasi baik dengan peningkatan ekspresi gen (Sadka et al. 2000).

Pengaruh umur tanaman dan lingkungan terhadap analisis isoenzim juga rendah (Elisiario et al. 1999). Hasil penelitian Asins et al. (1995) menunjukkan perbedaan lokasi, batang bawah, kondisi pertumbuhan, musim atau infeksi virus atau patogen seperti virus ternyata tidak berpengaruh terhadap hasil analisis 10 sistem enzim pada berbagai spesies jeruk. Selanjutnya zimogram isoenzim peroksidase mandarin ‘Satsuma’ pada tanaman muda maupun yang sedang berbunga, baik pada musim semi dan musim panas juga tidak berbeda (Monerri dan Guardiola 2001).

Penanda molekuler seperti ISSR sebenarnya memiliki peluang yang lebih besar untuk membedakan aksesi berbiji dan tidak berbiji dibandingkan isoenzim, karena dapat mendeteksi keragaman pada tingkat nukleotida, sedangkan isoenzim pada tingkat protein. Penanda ISSR dapat melakukan amplifikasi segmen DNA di antara dua daerah mikrosatelit berulang (Reddy et al. 2002). Walaupun demikian tidak ada jaminan bahwa pita-pita yang berada pada daerah yang dikode pada genom, terlibat dalam sifat morfologi dan agronomi. Selain itu untuk

mendapatkan penanda ISSR yang tepat diperlukan seleksi primer yang baik, yang melibatkan banyak primer. Walaupun Uzun et al. (2010) hanya menggunakan 12 primer untuk membedakan aksesi pamelo dan grapefruit, tetapi primer yang digunakan merupakan hasil penyaringan yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dalam penelitian ini primer yang digunakan juga biasa digunakan untuk berbagai tanaman buah, seperti manggis, nenas dan durian, tetapi baru pertama kali dicobakan pada pamelo. Oleh karena itu diperlukan seleksi primer yang lebih luas agar dapat diperoleh primer yang dapat membedakan aksesi pamelo berbiji dan tidak berbiji dengan lebih baik. Meskipun demikian hasil pemetaan dengan analisis komponen utama berdasarkan primer ISSR telah menempatkan aksesi tidak berbiji pada posisi yang berdekatan.

Adanya perbedaan hasil analisis berdasarkan karakter morfologi dengan isoenzim dan ISSR, kemungkinan karena sifat morfologi amat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Nartvaranant P dan Nartvaranant K 2011). Sebagaimana pendapat peneliti sebelumnya (Iqbal et al. 2001), perbedaan antara jeruk berbiji dan tidak berbiji baru diketahui pada buahnya, begitu pula dalam penelitian ini. Karakter morfologi yang secara relatif hanya terdapat pamelo tidak berbiji adalah bentuk buah pyriform, kondisi aksis buah berongga dan jumlah biji per buah < 4. Pada karakter pohon, daun dan bunga belum diperoleh karakter yang membedakan antara aksesi berbiji dan tidak berbiji. Sementara itu morfologi buah merupakan karakter yang kompleks dan dikendalikan oleh banyak gen, dan beberapa karakter dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Campos et al. 2005). Oleh karena itu penggunaan penanda biokimia dan molekuler dapat digunakan untuk mengurangi pengaruh faktor lingkungan pada ekspresi sifat, interaksi epistatik dan pengaruh pleitropik (Bhat 2001). Selain itu penanda biokimia dan molekuler diharapkan dapat mendeteksi aksesi berbiji/tidak berbiji pada stadia bibit. Meskipun demikian karakterisasi secara morfologi tetap diperlukan untuk melengkapi hasil analisis biokimia atau molekuler.

Dendrogram dan hasil analisis komponen utama hasil analisis kombinasi antara penanda morfologi, isoenzim dan ISSR dapat lebih menggambarkan pengelompokan aksesi pamelo. Berdasarkan karakter morfologi, aksesi berbiji terdiri atas ‘Jawa 1’, ‘Bageng Taji’ dan Muria Merah 1’, sedangkan dengan

isoenzim, ‘Jawa 1’, ‘Bageng Taji’, ‘Bali Merah 2’, ‘Muria Merah 1’ dan ‘Muria Merah 2’ berada dalam satu kelompok. Hasil kombinasi morfologi-isoenzim, morfologi-ISSR dan morfologi-isoenzim-ISSR, memberi pengelompokan yang sama dengan analisis morfologi. Di lain pihak, dendrogram kombinasi morfologi-isoenzim dapat mengurutkan antara aksesi pamelo berbiji, potensial tidak berbiji dan tidak berbiji (Gambar 15).

Berdasarkan karakter morfologi, ISSR, gabungan morfologi dan isoenzim, morfologi dan ISSR, isoenzim dan ISSR, dan gabungan morfologi, isoenzim dan ISSR, ’Muria Merah 1’ dan ’Bageng Taji’ memiliki tingkat kemiripan relatif tinggi. Diduga kedua aksesi ini berasal dari induk yang sama. Hal ini didukung oleh lokasi penanaman kedua aksesi ini yang saling berdekatan (di kaki Gunung Muria). Selain itu berdasarkan sejarah, ’Bageng Taji’ berasal dari bibit yang dibawa dari Kudus (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pati dan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Jawa Tengah 2009).

Dendrogram berdasarkan penanda morfologi, isoenzim, ISSR dan kombinasinya menempatkan aksesi Jawa 1, Jawa 2 dan Jawa 3 pada kelompok berbeda. Dengan demikian diduga ketiga aksesi tersebut berasal dari tetua berbeda, walaupun di tingkat petani ketiga aksesi tersebut memiliki nama yang sama (Jawa).

Hubungan antara Karakterisasi Morfologi, Isoenzim dan ISSR, Analisis Ploidi dan Pembentukan Buah Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji

Tidak seperti karakter morfologi dan isoenzim yang dapat membedakan antara aksesi pamelo berbiji dan tidak berbiji, analisis ploidi dengan penghitungan jumlah kromosom dan flow cytometry menunjukkan jumlah kromosom aksesi pamelo berbiji, potensial tidak berbiji dan tidak berbiji semuanya diploid (2n = 2x =18), kecuali pada ‘Nambangan’ yang mengindikasikan adanya aneuploidi (Gambar 23).

Perubahan jumlah kromosom pada jeruk kemungkinan dapat terjadi, sebagaimana dilaporkan pada jeruk {Clausena lansium (Lour.) Skeels} kultivar Yunan (Zhichang 2010), hasil persilangan diploid x diploid antara tangor ‘Kiyomi’ dan kumkuat ‘Meiwa’ (Yasuda et al. 2010), allotetraploid hibrida

somatik HR (Zhu et al. 2009). Selain itu kemungkinan jeruk juga mengalami perubahan komposisi kromosom yang dapat dilihat dari pola pita CMA (Kitajima

et al. 2001, Yamamoto et al. 2005).

Hasil pengelompokan dengan karakterisasi morfologi yang menempatkan ‘Bali Merah 1’ dan ‘Bali Merah 2’ pada tingkat kemiripan yang paling tinggi (81.1%), tidak diikuti dengan hasil analisis isoenzim dan ISSR, yang menempatkannya pada kelompok berbeda. Hasil percobaan penyerbukan ternyata menunjukkan perbedaan kedua aksesi ini, terutama dalam kemampuannya menghasilkan biji. Penyerbukan sendiri secara buatan, penyerbukan silang buatan dan penyerbukan terbuka pada ‘Bali Merah 1’ menghasilkan jumlah biji berkembang sempurna yang banyak (> 50 biji per buah), sedangkan pada ‘Bali Merah 2’ menghasilkan < 10 biji per buah, sehingga digolongkan tidak berbiji. Dengan demikian diduga ‘Bali Merah 2’ merupakan mutan dari ‘Bali Merah 1’, karena mutasi alami pada jeruk sering terjadi (Raza et al. 2003). Salah satu contoh mutasi alami yang menyebabkan perubahan dalam kemampuan menghasilkan biji, antara lain ‘Mukaku Kishu’ yang tidak berbiji merupakan bud

mutant dari ‘Kishu’ yang berbiji (Yamasaki et al. 2009). Sementara mutasi yang

menyebabkan perbedaan mekanisme kompatibilitas dilaporkan pada ‘Zigui Shatian’ merupakan mutan alami dari pamelo ‘Shatian’ (Chai et al. 2011a), dan ‘Nishiuchi Konatsu’ merupakan hasil bud mutation dari ‘Hyuganatsu’ (Citrus

tamurana hort ex. Tanaka) (Honsho et al. 2009). Di lapangan keberadaan ‘Bali

Merah 1’ dan ‘Bali Merah 2’ juga saling bercampur dengan aksesi pamelo atau spesies jeruk lain, tetapi tidak menghilangkan kecenderungan keduanya untuk menghasilkan buah berbiji dan tidak berbiji.

Penetapan adanya mutasi ini tentunya memerlukan analisis mendalam, baik secara morfologi, biokimia, molekuler, histologi dan sitogenetika. Sebagai contoh pembedaan antara pamelo ‘Shatian’ dan ‘Zigui Shatian’ selain berdasarkan sifat morfologi daun dan bunga, marka SSR (Simple Sequence Repeat) juga melalui analisis histologi, hingga diketahui bahwa sifat steril sendiri pada ‘Zigui Shatian’ bukan disebabkan oleh self-incompatibility, melainkan karena gugurnya embrio setelah terbentuk zigot (Chai et al. 2011a). Pengetahuan mengenai adanya

penyimpangan pembentukan gamet jantan dan betina pada pamelo haploid juga diperoleh melalui studi sitogenesis (Yahata et al. 2011).

Secara umum aksesi yang relatif konsisten menghasilkan buah tidak berbiji (< 10 biji/buah) pada semua perlakuan adalah Bali Merah 2. Hal ini menunjukkan sifat partenogenetik yang tinggi dan fertilitas ovul yang rendah pada aksesi tersebut, namun dugaan ini memerlukan konfirmasi lebih lanjut melalui percobaan persilangan ‘Bali Merah 2’ dengan aksesi lain. Dengan demikian penentuan sifat tidak berbiji suatu kultivar sebaiknya paling tidak melalui lima perlakuan penyerbukan seperti yang dilakukan dalam penelitian ini, agar sifat tidak berbiji yang diperoleh lebih stabil dan dapat dipertahankan pada berbagai kondisi. Pelepasan kultivar jeruk tidak berbiji di Indonesia tampaknya belum melalui tahapan ini, sehingga kultivar yang telah dilepas sebagai tidak berbiji seperti ‘Bageng Taji’ ternyata dapat menghasilkan banyak biji pada penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang secara buatan.

Hubungan antara Karakterisasi Morfologi dengan Karakter Kimia dan Fisik Buah Pamelo Selama Penyimpanan

Hasil pengelompokan aksesi pamelo berdasarkan sifat morfologi (jumlah biji per buah) berkaitan dengan karakter kimia (kandungan vitamin C, pH jus buah, PTT/ATT dan naringin) dan karakter fisik (persentase bobot aksis buah). Buah tidak berbiji memiliki kandungan vitamin C, PTT/ATT dan naringin lebih tinggi dan pH jus buah dan persentase bobot aksis buah lebih rendah dibandingkan aksesi berbiji. Hal yang sama dijumpai pada sifat fisik dan komposisi kimia buah strawberi yang dipengaruhi oleh genotipe dan lamanya penyimpanan (Gajewski et al. 2009).

Penyimpanan secara nyata menurunkan kandungan vitamin C dan ATT, tetapi meningkatkan nisbah PTT/ATT. Penurunan persentase bobot kulit selama penyimpanan, menyebabkan persentase bobot bagian dapat dimakan buah pamelo meningkat.

Lebih jauh, pengetahuan mengenai biosintesis suatu senyawa dapat membantu mengetahui enzim yang terlibat dan gen yang mengendalikannya. Frydman et al. (2004), mengemukakan bahwa enzim kunci yang mengkatalisis

penyebab rasa getir (neohesperidosida) adalah 1,2 rhamnosyltransferases (1,2RhaT), dan berhasil mengisolasi dan mengkarakterisasi gen Cm1,2RhaT dari pamelo yang mengkode 1,2RhaT. Persilangan antara pamelo (banyak mengandung flavonoid neohesperidosil) dengan mandarin dan sitrun (mengandung banyak flavonoid rutinosil) menghasilkan spesies atau kultivar hibrida dengan pola glikosilasi flavonoid kombinasi (USDA 1999). Selain itu berdasarkan komposisi senyawa karotenoid menunjukkan bahwa 25 genotipe jeruk yang diamati membentuk tiga kelompok, sesuai dengan hasil klasifikasi berdasarkan sifat genetik (Fanciullino 2006). Dengan demikian informasi mengenai kandungan biokimia seperti fenolik dan flavonoid dapat menjadi bahan pertimbangan untuk pengembangan kultivar pamelo berantioksidan tinggi.

Perbedaan sifat genetik, fisik dan kimia buah juga berhubungan dengan penerimaan konsumen terhadap suatu aksesi. Hasil analisis sensori menunjukkan selain berbiji sedikit, konsumen menyukai buah pamelo yang beraroma harum khas jeruk, enak rasanya, berwarna jus merah, juici, manis, agak masam, tidak getir, dengan tekstur kantong jus yang agak halus dan jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan sedikit. Sifat-sifat tersebut dimiliki oleh ‘Jawa 1’. Dengan demikian ‘Jawa 1’ potensial dikembangkan sebagai calon kultivar pamelo tidak berbiji, namun di lapangan terkendala dengan populasi tanaman yang amat rendah (hanya dimiliki seorang petani yang sudah lanjut usia). Di samping itu aksesi tidak berbiji lainnya yang potensial dikembangkan adalah ‘Bali Merah 2’, karena dugaan sifat partenogenetiknya yang tinggi dan fertilitas ovul yang rendah selain rasa buahnya yang relatif tidak getir dibandingkan ‘Bali Merah 1’. Keragaan ‘Jawa 1’ dan ‘Bali Merah 2’ disajikan pada Lampiran 21.

Upaya Pengembangan Aksesi Pamelo yang Potensial Dijadikan Varietas Unggul Hortikultura

Kabupaten Magetan sebagai sentra produksi pamelo terbesar di Indonesia, memiliki kekayaan plasma nutfah pamelo cukup beragam. Dari 10 aksesi pamelo asal Magetan yang diamati dalam penelitian ini, memiliki bentuk, warna kulit dan jus buah, rasa, aroma, kandungan vitamin C, naringin dan jumlah biji beragam. Selama ini dari Kabupaten Magetan telah dilepas tiga varietas unggul pamelo

nasional, yaitu ‘Nambangan’, ‘Sri Nyonya’ dan ‘Magetan’. Kultivar ‘Nambangan’ tergolong potensial tidak berbiji, sedangkan ‘Sri Nyonya’ dan ‘Magetan’ berbiji. ‘Nambangan’ merupakan kultivar yang paling banyak dibudidayakan di Magetan, karena masa simpannya yang relatif panjang, baik sebelum dipetik maupun setelah panen. ‘Sri Nyonya’ memiliki keunggulan rasa buah manis, asam segar dan persentase bobot bagian dapat dimakan tinggi, sedangkan ‘Magetan’ unggul dalam warna kulit dan jus buahnya yang menarik. Namun ‘Sri Nyonya’ dan ‘Magetan’ memiliki masa simpan yang pendek (sekitar satu bulan), penyimpanan lebih dari satu bulan membuat rasa dan aroma kedua kultivar tersebut menurun tajam dengan tingkat kegetiran meningkat.

Salah satu aksesi pamelo yang memiliki keunggulan dibandingkan aksesi pamelo yang telah dilepas tersebut adalah ‘Jawa 1’. Buah aksesi ini tetap berkualitas baik setelah disimpan selama 8 minggu, rasanya enak, manis, agak asam, aromanya harum, tingkat kegetiran rendah, warna jusnya merah dan tergolong tidak berbiji. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengembangkan aksesi ini menjadi kultivar unggul hortikultura. Selain itu dengan sifat unggulnya diharapkan ‘Jawa 1’ dapat meningkatkan minat masyarakat terhadap buah pamelo, sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani pamelo, khususnya di Kabupaten Magetan.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mengembangkan ‘Jawa 1’ menjadi kultivar unggul hortikultura adalah dengan menyediakan benih bermutu, yang benar (true to type), tersedia dalam jumlah cukup dan berkesinambungan. Benih bermutu dari varietas unggul merupakan salah satu sarana hortikultura (Undang-undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura Pasal 32 Ayat 1), dan ‘Jawa 1’ adalah aksesi asli Indonesia yang prospek penggunaannya lebih diutamakan dibanding aksesi introduksi (UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura Pasal 33 Ayat 1).

Penyediaan benih bermutu dalam jumlah besar dapat dilakukan dengan pembiakan vegetatif konvensional, seperti cangkok, sambung dan menempel (okulasi). Pada masa mendatang jika teknik kultur jaringan memungkinkan dapat digunakan untuk perbanyakan masal dan berkesinambungan, namun hal ini memerlukan sosialisasi pada petani. Selama ini petani pamelo di Magetan, Kudus

dan Pati lebih menyukai menggunakan bibit asal cangkok. Petani perlu diyakinkan bahwa bibit hasil perbanyakan klonal dengan penyambungan, okulasi dan kultur jaringan dapat berproduksi baik dan terjaga kebenaran varietasnya.

Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 38/Permentan/Ot.140/7/2011, disebutkan bahwa untuk pendataan varietas dalam rangka pengawasan peredaran benih, perlu dilakukan pendaftaran varietas (Pasal 8 Ayat 1). Selanjutnya dalam Pasal 9 dijelaskan, bahwa varietas hasil pemuliaan atau varietas lokal yang didaftarkan harus memenuhi persyaratan yang meliputi: a. memiliki deskripsi varietas sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Hortikultura, b. belum pernah didaftarkan untuk peredaran, c. memiliki keunggulan tertentu sebagaimana diakui oleh penyelenggara pemuliaan atau pemilik calon varietas/kuasanya seperti yang tercantum pada deskripsi, d. nama varietas dalam deskripsi pada huruf a mengikuti penamaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan varietas tanaman. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian tersebut, maka ‘Jawa 1’ memenuhi syarat untuk didaftarkan sebagai varietas unggul hortikultura. ‘Jawa 1’ telah dikarakterisasi dan dievaluasi, dan secara morfologi (Tabel 2, 3, 4 dan 5), biokimia (Gambar 9) dan molekuler (Gambar 12) dapat dibedakan dari varietas pamelo yang telah dilepas (‘Nambangan’, ‘Sri Nyonya’, ‘Magetan’, ‘Bageng Taji’ dan ‘Cikoneng ST’).

Pendaftaran varietas dapat dilakukan oleh penyelenggara pemuliaan atau pemilik calon verietas/kuasanya, baik perorangan, badan hukum, instansi pemerintah dan/atau pemerintah daerah (Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 38/Permentan/Ot.140/7/2011 Bab III Pasal 8 Ayat 3). Dalam hal ini pemulia tanaman berperan menyediakan informasi mengenai karakter calon varietas yang diajukan. Sementara instansi pemerintah (Dinas Pertanian atau pemerintah daerah) menyediakan dukungan berupa dana bagi keperluan penyediaan bibit yang memenuhi standar mutu minimal, dan dana untuk pengujian keunggulan dan kebenaran varietas.