• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistematika, Asal-Usul, dan Sifat Botani Pamelo

Pamelo (Citrus maxima (Burm.) Merr.) memiliki sinonim C. grandis (L.) Osbeck, C. decumana L., C. aurantium var. grandis L. dan C. aurantium var.

decumana L. (Manner et al. 2006). Tanaman ini termasuk genus Citrus, sub suku

(sub-tribe) Citrinae, tribe Citriae, sub famili Aurantioideae, famili Rutaceae (Direktorat Tanaman Buah 2003). Citrinae dicirikan dengan buah hesperidium dengan adanya kulit keras dan kaku yang mengelilingi bagian dalam buah dan kantong jus (Hamilton et al. 2008). Adanya kulit yang keras dan kaku ini melindungi buah dari kerusakan selama penanganan pascapanen dan pengeringan selama penyimpanan (Albrigo dan Carter 1977).

Pamelo berasal dari Malesia, kemudian menyebar ke Indo-Cina, Cina Selatan, Jepang Selatan, India Barat, Mediterania dan Amerika Tropik (Niyomdham 1992). Walaupun tempat asal pamelo yang tepat tidak diketahui, tetapi kemungkinan besar dari Malaysia, Thailand dan Indonesia, karena di daerah ini banyak dijumpai kerabat liarnya (Thulaja 2003). Kini pamelo telah diproduksi secara komersial di 74 negara baik untuk memenuhi kebutuhan lokal maupun ekspor (Talon dan Gmitter Jr. 2008).

Pusat produksi pamelo dunia terdapat di Cina bagian Selatan, Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Taiwan dan Jepang (Hodgson 1967). Di Indonesia, sentra produksi pamelo utama terdapat di Kabupaten Magetan, sedangkan sentra produksi potensial antara lain di Kabupaten Sumedang, Pati, Kudus, Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) dan Bireun (Aceh).

Tinggi tanaman pamelo sekitar 5-15 m dengan batang yang besar (10-30 cm), percabangan rendah dan tidak beraturan (Morton 1987). Cabang muda bersudut, seringkali berambut halus, pendek dan biasanya berduri (Orwa et al. 2009). Tajuk pohon berbentuk bulat (Christman 2008).

Daun pamelo berbentuk bulat telur sampai jorong dengan ukuran 5-20 cm x 2-12 cm. Pangkal daun membundar sampai menjantung, tepi rata sampai beringgit dangkal, dan ujung daun lancip sampai tumpul. Pada permukaan daun terdapat bintik-bintik kelenjar minyak. Tangkai daun pamelo bersayap lebar

mencapai 7 mm, berwarna hijau kuning, helai daun bagian bawah berbulu, berwarna agak suram (Niyomdham 1992).

Bunga pamelo berbau harum, tunggal atau terdiri atas 2-10 kuntum bunga di ketiak daun atau kadang-kadang berjumlah 10-15 kuntum di ujung cabang. Mahkota bunga pamelo berjumlah 4-5 helai, berwarna putih-kekuningan, panjang 1.5-3.5 cm, berbulu halus pada bagian luar. Benang sari berwarna putih, sedangkan serbuk sari jingga (Morton 1987). Kotak sari bunga pamelo terletak berhadapan dengan permukaan kepala putik dan dapat melepaskan serbuk sarinya sebelum kuncup bunga mekar. Meskipun demikian, sebagian besar aksesi pamelo bersifat self-incompatible (Niyomdham 1992). Sifat self-incompatible pada pamelo memberi peluang untuk dihasilkannya buah tidak berbiji (Yamamoto dan Tominaga 2002). Bunga jeruk mekar pada pagi hingga sore dan mencapai puncaknya pada tengah hari. Kepala putik sudah reseptif sebelum bunga mekar (Ashari 2004).

Bunga jeruk bersifat pentamerous (berbilangan lima) dan hermaprodit. Tangkai bunga memiliki dua daerah absisi, yaitu pada axil dan yang lain dekat dengan kelopak bunga (Ortiz 2002). Bunga jeruk dibedakan atas bunga tanpa daun (leafless bloom) dan bunga berdaun (leafy bloom). Bunga berdaun cenderung mampu membentuk buah (fruit set) lebih tinggi dibanding bunga tanpa daun.

Pamelo biasanya menghasilkan banyak bunga pada musim utama, yang jumlahnya bergantung pada aksesi, umur pohon dan kondisi lingkungan. Walaupun demikian persentase fruit set relatif rendah, berkisar 0.8-1.1% pada bunga tidak berdaun dan 4.8 – 6.0% pada bunga berdaun (Nakajima et al. 1993). Buah pamelo berukuran besar, dengan diameter rata-rata 15-22 cm, bahkan ada yang lebih dari 30 cm, dengan warna kulit kuning. Daging buah berwarna putih, kekuningan atau merah muda. Bobot buah rata-rata sekitar 1-2 kg, kadang-kadang dapat mencapai 9 kg (Christman 2008). Biji pamelo tidak banyak, berukuran besar dengan permukaan keriput, warnanya kekuningan dan memiliki embrio tunggal (Niyomdham 1992).

Kultivar Pamelo

Di Indonesia terdapat banyak kultivar pamelo, antara lain Nambangan, Besar Nambangan, Magetan, Srinyonya, Cikoneng ST, Pangkajene Merah, Buton, Bulat Hijau, Lonjong Hijau, Duku, Papermus Obesi I, Papermus Obesi II, Besar Merah, Besar Putih, Putih tanpa biji (Agismanto dan Supriyanto 2007). Selain itu dikenal pula pamelo Raja, Ratu dan Pangkep (Direktorat Tanaman Buah 2007), dan berbagai aksesi yang belum dilepas sebagai kultivar.

Di negara lain dikenal kultivar Banpeiyu (asal Malaya, diintroduksi ke Taiwan dan Jepang), Chandler (berkembang di India dan California), Hirado (Jepang), Dang Ai Chaa, Hoem Bai Toey, Kao Lang Sat, Kao Pan, Kao Phuang, Kao Ruan Tia, Kao Yai, Khun Nok, Thong Dee (Thailand), Siamese Sweet (diintroduksi oleh USDA dan ditanam di California), Tahitian (diduga berasal dari Kalimantan dibawa ke Tahiti kemudian Hawaii) dan Tresca (dari Bahama, ditanam secara komersial di California) (Morton 1987).

Karakterisasi Morfologi

Menurut Idris dan Saad (2001), karakterisasi plasma nutfah memiliki beberapa manfaat. Data karakterisasi memiliki nilai diagnostik, yaitu sebagai alat untuk mengidentifikasi bahan yang dikoleksi atau menguji keaslian plasma nutfah, untuk membedakan homonim atau nama yang hampir sama dan mengidentifikasi atau menyeleksi spesies, klon, kultivar atau varietas. Di samping itu hasil karakterisasi juga bermanfaat untuk mengklasifikasikan spesies, klon, kultivar atau varietas dan mendeteksi karakteristik yang berkaitan yang kemungkinan dapat memiliki nilai praktis.

Tahap awal identifikasi tanaman, biasanya dilakukan secara morfologi. Sifat morfologi ini dapat berupa sifat kualitatif maupun kuantitatif, yang memiliki tipe dan aksi gen yang berbeda (Fitmawati 2008). Sifat kualitatif antara lain bentuk tajuk, daun, dan buah; warna daun, bunga, kulit buah, dan daging buah, sedangkan sifat kuantitatif, diantaranya panjang dan lebar daun, panjang mahkota dan kelopak bunga serta bobot bagian-bagian buah. Penanda morfologi masih banyak digunakan oleh para peneliti untuk mendapatkan karakteristik pohon, daun

dan buah aksesi pamelo terbaik (Rahman et al. 2003), dan mendeteksi poliploidi pada jeruk (Bilquess 2004).

Malik et al. (2006) mendapatkan adanya keragaman ukuran daun, buah

dan biji pada koleksi aksesi C. indica Tanaka dan C. macroptera Montr. yang dikaraktersisasi secara morfologi. Hasil penelitian Hardiyanto et al. (2007) menunjukkan karakter morfologi dapat membedakan jeruk varietas lokal (keprok Cinakonde, manis Punten dan besar Nambangan) dari kelompok lain dalam populasi spesies yang sama, sehingga varietas lokal ini dapat dipisahkan pada tingkatan takson di bawah spesies. Lebih jauh Hamilton et al. (2008) menyatakan bahwa morfologi biji, khususnya topografi permukaan biji bermanfaat sebagai alat identifikasi taksonomi pada jeruk liar Australia.

Meskipun karakterisasi secara morfologi kurang akurat, karena dipengaruhi oleh stadia pertumbuhan tanaman dan faktor lingkungan, tetapi tetap diperlukan sebagai tahap awal untuk mengetahui keragaman genetik tanaman dan untuk melengkapi data hasil analisis biokimia dan molekuler. Karakterisasi morfologi juga penting dilakukan, karena keragaman morfologi pada jeruk, terutama mandarin tidak bergantung pada keragaman genetiknya, yang tampak dari korelasi kofenetik yang rendah antara dendrogram morfologi dan molekuler (Koehler-Santos et al. 2003; Campos et al. 2005). Beberapa karakter hortikultura penting juga dikendalikan oleh banyak gen (Campos et al. 2005), dan heritabilitasnya rendah. Dalam melakukan karakterisasi perlu diperhatikan karakter-karakter yang dapat diturunkan, dapat mudah diamati dengan mata telanjang, dan diekspresikan pada semua kondisi atau lingkungan (Perry dan Battencourt 1997). Biasanya karakter ini bersifat kualitatif dan stabil pada berbagai kondisi lingkungan, contohnya warna bunga dan bentuk buah.

Menurut Suharsi (2000) perbedaan antar aksesi pamelo dapat diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri buahnya, antara lain ukuran dan bentuk buah, bentuk ujung dan pangkal buah, warna dan tekstur flavedo (epicarp), ketebalan dan warna albedo (mesocarp), warna endokarpium, warna dan rasa vesicula atau daging buah, aroma minyak atsiri, jumlah buah pada setiap pohon dan jumlah biji pada setiap buah. Jumlah biji mempengaruhi bobot buah. Pamelo ’Banpeiyu’ yang

tidak berbiji (hasil penyerbukan sendiri) mempunyai bobot buah lebih ringan dibandingkan buah berbiji (hasil penyerbukan terbuka) (Yahata et al. 2005).

Kelemahan penanda morfologi adalah dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman dan lingkungan. Kadang-kadang sulit membedakan genotipe yang diamati, karena secara morfologi tampak sama, walaupun sebenarnya genotipe tersebut berbeda. Hal ini terjadi akibat sifat resesif tertutup oleh sifat dominan (Bakhtiar 2002).

Karakterisasi Biokimia dengan Isoenzim

Isoenzim merupakan enzim yang terdiri atas molekul-molekul yang mempunyai struktur kimia yang berbeda akan tetapi mengkatalisis reaksi kimia yang sama. Sejumlah isoenzim diketahui berasosiasi atau terkait dengan karakter agronomi, namun jumlah isoenzim yang terbatas membuat penggunaan isoenzim menjadi terbatas pula.

Dibandingkan dengan ciri-ciri morfologi, isoenzim dan sifat-sifat biokimia lain dapat lebih menunjukkan genotipe suatu organisme. Pita-pita isoenzim dapat dievaluasi dari segi genetik (yaitu frekuensi alela pada setiap lokus) dan dari segi fenotipe (yaitu dengan menganggap setiap pita tunggal sebagai suatu karakter kodominan, yang keberadaannya dinyatakan dengan skor) (Gonzalez-Andrez et

al. 1996).

Fungsi utama isoenzim adalah mengendalikan aktivitas metabolik suatu organisme. Isoenzim-isoenzim dikode oleh gen-gen yang berbeda, dan setiap gen dapat memiliki alela berbeda pada lokus yang sama. Perbedaan ukuran, konfigurasi dan muatan ion di antara isoenzim membuatnya dapat dideteksi dan ditampilkan dengan berbagai cara pemisahan melalui elektroforesis.

Kebanyakan isoenzim menunjukkan lokus kodominan yang terdistribusi mengikuti hukum Mendel dan banyak lokus diekspresikan pada seluruh stadia siklus hidup tanaman (Hamrick 1989). Walaupun demikian, isoenzim juga dapat menghasilkan pola pita yang kompleks terutama ketika enzim multimerik terlibat, yang membuat interpretasi menjadi sulit. Sistem isoenzim juga bergantung pada pewarnaan histokimia, sehingga memerlukan jumlah enzim yang optimal dari jaringan sampel (Shukor 2001). Penggunaan isoenzim memiliki beberapa

keuntungan antara lain peralatan dan bahan yang digunakan relatif murah, dapat menganalisis jumlah sampel yang banyak dalam waktu singkat, dan dapat dilakukan pada fase bibit, sehingga menghemat waktu, tempat dan biaya (Hadiati dan Sukmadjaja 2002).

Karakterisasi Molekuler dengan ISSR

Penanda molekuler merupakan alat yang bermanfaat untuk menunjukkan keragaman genetik, menentukan tetua dan mengetahui hubungan filogenetik di antara berbagai spesies jeruk (Uzun et al. 2010). Salah satu metode analisis molekuler yang dapat mengatasi kekurangan pada metode lainnya, adalah

Inter-Simple Sequence Repeat (ISSR). Teknik ISSR merupakan metode berbasis PCR

yang melibatkan amplifikasi segmen DNA yang ada pada jarak yang dapat diamplifikasi di antara dua wilayah mikrosatelit berulang yang menuju arah berlawanan (Reddy et al. 2002).

Metode ISSR dapat mengatasi daya ulang (reproduceability) yang rendah pada RAPD, biaya tinggi pada AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) dan perlunya pengetahuan tentang sekuens DNA tanaman yang akan dianalisis pada SSR (Reddy et al. 2002). Pada analisis keragaman jeruk siam, primer ISSR mendeteksi lebih banyak pita DNA dibandingkan dengan primer RAPD, dan mampu membangun dendrogram yang memperlihatkan keragaman besar (Agisimanto et al. 2007). Teknik ISSR juga cepat, dapat dipercaya, hanya memerlukan sejumlah kecil DNA, dan tidak bersifat radioaktif (Jabbarzadeh et al. 2010), karena selain menggunakan poliakrilamida yang dikombinasikan dengan radioaktif, hasil PCR-ISSR juga dapat dideteksi menggunakan agarose-etidium bromida (Reddy et al. 2002). Walaupun demikian pada tanaman tertentu, seperti tanaman obat Scutellaria baicalensis, tetap diperlukan pemilihan primer, karena primer yang sama dapat menunjukkan hasil amplifikasi berbeda pada spesies yang berbeda (Guo et al. 2009).

Lebih lanjut Behera et al. (2008) melaporkan bahwa pada berbagai aksesi paria (Momordica charantia L.) terdapat korelasi tinggi antara hasil analisis dengan penanda ISSR dan RAPD. Kemungkinan karena sistem penanda ini keduanya bersifat dominan, menempel (anneal) dengan mantap dan

fragmen-fragmen yang dideteksi hampir semuanya berukuran sama. Menurut Kumar et al. (2009) untuk identifikasi dan sertifikasi plasma nutfah jeruk penanda ISSR lebih baik dibandingkan RAPD.

Shahnavar et al. (2007) berhasil menggunakan penanda ISSR untuk membedakan aksesi-aksesi jeruk berkerabat dekat dan menjelaskan hubungan kekerabatan antara genotipe jeruk yang belum teridentifikasi dengan kultivar yang telah diketahui. Penanda ISSR juga dapat membedakan bibit jeruk nuselar dan zigotik (Krueger 2003). Sementara Emel (2010) memanfaatkan ISSR untuk mengidentifikasi DNA unik yang dapat menjadi penanda untuk menentukan kultivar gandum.

Tingkat Ploidi

Jumlah kromosom setiap sel pada semua individu dari setiap spesies adalah konstan. Spesies-spesies yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat lebih kurang mempunyai jumlah kromosom sama, sedangkan spesies yang tidak mempunyai hubungan, memiliki jumlah kromosom berbeda (Sudarnadi 1989).

Hasil penelitian Frost (1925a) menunjukkan kultivar jeruk berbiji bersifat diploid, dengan jumlah kromosom 2n = 18. Selain itu terdapat pula kultivar jeruk yang tetraploid (Frost 1925b) dan triploid. Tanaman triploid dapat diperoleh dari hasil persilangan antara tanaman diploid dengan tetraploid (Fatima et al. 2002), hibridisasi somatik antara kultivar diploid dan haploid (Kobayashi et al. 1997), kultur endosperma (Raza et al. 2003), iradiasi (Zhang et al. 1988) atau terbentuk secara spontan (Jaskani et al. 2007). Pada jeruk, triploid spontan juga terdapat pada bibit zigotik seksual (Raza et al. 2003).

Jeruk tidak berbiji di Indonesia kemungkinan terbentuk secara spontan, sebagai hasil persilangan alami antara kultivar diploid dan tetraploid atau mutasi alami, karena mutasi alami dan sport sering terjadi pada jeruk (Raza et al. 2003). Secara morfologi, terdapat perbedaan antara tanaman jeruk yang tetraploid, triploid dan diploid. Tanaman jeruk tetraploid tumbuh lebih cepat, memiliki daun lebih lebar, lebih tebal, dan berwarna lebih gelap dibanding tanaman triploid dan diploid (Usman et al. 2006). Embrio triploid dari spesies monoembrionik mudah

diidentifikasi karena ukuran bijinya yang 1/3 sampai 1/6 kali lebih kecil dari biji diploid (Esen dan Soost 1971).

Viabilitas Tepung Sari

Penentuan viabilitas tepung sari berperan besar dalam proses reproduksi tanaman, karena dapat menunjukkan kemampuan butir tepung sari untuk menghantarkan sel sperma ke kantong embrio pada proses penyerbukan. Pengujian viabilitas ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan metode pewarnaan tepung sari dan perkecambahan tabung sari secara in vitro. Selain itu viabilitas tepung sari juga dapat diduga dari ukuran diameternya. Pada

Collinsia verna (Scrophulariaceae; 2n = 14), tepung sari yang hidup (viable)

memiliki diameter lebih besar dibanding yang non-viable (Kelly et al. 2002). Metode pewarnaan banyak digunakan untuk menduga viabilitas tepung sari, karena mudah dilakukan, walaupun cara ini memiliki derajat ketepatan yang lebih rendah dibandingkan metode perkecambahan. Di antara berbagai metode pewarnaan (acetic-orcein, acetic-carmin, IKI, acridine orange, tetrazolium klorida), penggunaan tetrazolium klorida pada tepung sari Helleborus niger berkorelasi lebih baik dengan kemampuan tepung sari berkecambah (Heslop-Harrison et al. 1984).

Pembentukan Biji dan Buah pada Pamelo

Peran penyerbukan dalam proses pembentukan buah jeruk bervariasi. Aksesi dengan derajat partenokarpi tinggi (jeruk nipis ‘Tahiti’, jeruk keprok ‘Satsuma’) tidak memerlukan penyerbukan untuk membentuk buah. Sementara itu, pada aksesi dengan derajat partenokarpi rendah (grapefruit ‘Star-ruby’) penyerbukan diperlukan untuk membentuk buah (fruit set) (Varoquaux et al. 2000). Aksesi dengan derajat partenokarpi tinggi biasanya menghasilkan buah tidak berbiji (Iglesias et al. 2007), karena bakal buah mampu berkembang tanpa pembuahan pada bakal biji (Varoquaux et al. 2000).

Pada jeruk yang berbiji penyerbukan amat mempengaruhi keberhasilan

fruit set dan perkembangan buah selanjutnya. Pada aksesi berbiji, bila sel telur

maka tidak akan terjadi perkembangan biji, dan kantong induk megaspora akan gugur ketika bunga mengalami senesen. Hal ini menunjukkan peranan biji yang amat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan buah, karena biji merupakan sumber fitohormon (Ben-Cheikh et al. 1997).

Sifat tidak berbiji pada jeruk disebabkan oleh sterilitas jantan (Yamamoto

et al. 1995) dan self-incompatibility (Yamamoto et al. 2006). Self-incompatibility

pada jeruk dapat disebabkan oleh pertumbuhan tabung tepung sari yang lambat, diduga akibat adanya inhibitor pada tangkai putik. Hal ini menyebabkan tangkai putik gugur sebelum tabung tepung sari dapat mencapai kantung embrio dan melepas inti sperma ke kantung induk megaspora (Krezdorn tanpa tahun). Aksesi yang self-incompatible menunjukkan derajat partenokarpi rendah, sehingga dianggap memiliki ’facultative parthenorcapy’. Dalam hal ini buah tidak berbiji hanya terbentuk ketika tidak terjadi pembuahan (Iglesias et al. 2007). Sementara itu jantan steril dapat disebabkan oleh perkembangan benang sari (stamen) yang tidak sempurna atau perkembangan tepung sari yang terganggu. Sterilitas tepung sari ditemukan pada berbagai tingkat pada banyak aksesi jeruk (Jackson dan Gmitter tanpa tahun). Pada beberapa spesies, buah tidak berbiji terbentuk sebagai hasil partenokarpi atau stenospermokarpi, yaitu pembuahan yang diikuti dengan aborsi pasca-zigotik (Gomez-Alverado et al. 2004).

Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perkembangan Biji dan Buah

Perkembangan biji dan buah merupakan proses yang saling berhubungan erat dan dipengaruhi oleh fitohormon (Gillaspy et al. 1993). Fitohormon yang terlibat antara lain auksin, sitokinin dan giberelin (GA), yang berperan pada tahap awal perkembangan buah, terutama pada fase perkembangan bakal buah dan periode pembelahan sel secara cepat (Srivastava 2002). Hal ini sejalan dengan ditemukannya peningkatan kandungan auksin, giberelin dan sitokinin pada organ-organ bunga setelah bakal buah mengalami fertilisasi, sehingga ketiga fitohormon ini efektif untuk menginduksi perkembangan buah tanpa fertilisasi (partenokarpik), seperti pada tomat dan terong (Gillaspy 1993). Walaupun demikian banyak hasil penelitian menunjukkan giberelin yang paling berpengaruh terhadap bakal buah yang sedang berkembang (Ben-Cheikh et al. 1997).

Menurut Talon et al. (1992) GA endogen pada bakal buah yang sedang

berkembang berperan mengendalikan perkembangan buah partenokarpik (jeruk mandarin ’Satsuma’ dan ’Clementine’). Disamping itu konsentrasi GA pada buah partenokarpik (mandarin ’Satsuma’) lebih tinggi dibandingkan buah non-partenokarpik, seperti ’Hyuganatsu’ (Citrus unshiu) (Kojima 1997). Lebih lanjut, Altaf dan Khan (2007) menunjukkan bahwa jeruk mandarin ’Kinnow’ berbiji sedikit (0-10 biji/buah) memiliki derajat partenokarpi rendah, karena kandungan GA endogennya rendah. Pada aksesi demikian pembentukan buah tidak berbiji dapat dilakukan dengan penyemprotan GA untuk menginduksi partenokarpi.

Evaluasi Kualitas Buah

Evaluasi agronomi aksesi ditujukan untuk mempermudah pemanfaatan plasma nutfah berdasarkan sifat agronomi, antara lain berupa kualitas buah. Menurut IPGRI (1999), kualitas buah yang diamati dapat berupa kandungan minyak esensial pada kulit buah, kandungan asam tertitrasi total (ATT), gula, pH, nisbah padatan terlarut total (PTT)/ATT dan kandungan asam askorbat buah. Disamping itu evaluasi kegetiran (bitterness) merupakan hal penting pada pamelo, karena rasa getir mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap pamelo dan prospek pemanfaatannya dalam industri jus.

Hasil penelitian Mahardika dan Susanto (2003) pada pamelo ‘Sri Nyonya’, ‘Nambangan’ dan ‘Bali Merah’ menunjukkan ‘Sri Nyonya’ memiliki kandungan PTT relatif lebih tinggi dibanding ‘Nambangan’ dan ‘Bali Merah’. Nisbah PTT/ATT ‘Nambangan’ dan ‘Bali Merah’ lebih tinggi dibanding ‘Sri Nyonya’. Disamping itu, Ketsa (1989) menunjukkan ketebalan kulit buah pada tangerine (Citrus reticulata Blanco) tidak berpengaruh terhadap kandungan PTT dan asam askorbat, tetapi tangerine berkulit tipis memiliki ATT lebih rendah dan nisbah PTT/ATT lebih tinggi dibanding yang berkulit tebal. Hal ini membuat rasa

tangerine berkulit tipis lebih enak dibanding tangerine yang berkulit tebal. Selain

dipengaruhi oleh faktor genetik, kandungan PTT pada buah juga dipengaruhi oleh nisbah jumlah daun/buah. Pada tomat peningkatan rasio daun/buah akan meningkatkan kandungan PTT (Jan dan Kawabata 2011).

Kualitas buah juga berhubungan dengan warna jus dan rasa getir. Pamelo dengan warna jus merah memiliki kandungan fenolik total dan karotenoid lebih tinggi dibandingkan yang warna jusnya putih, sehingga merupakan sumber antioksidan yang baik dan lebih efisien dalam menangkap berbagai bentuk radikal bebas (Tsai et al. 2007). Rasa getir pada buah dan jus jeruk terutama disebabkan oleh senyawa dari kelompok flavonoid dan limonoid. Flavonoid pada buah jeruk terdiri atas flavanon (naringin), flavon (nobiletin) dan flavonol (quercetin). Naringin merupakan flavanon paling tinggi kandungannya pada jus pamelo (Pichaiyongvongdee dan Haruenkit 2009b). Pada grapefruit naringin disintesis di daun muda yang sedang tumbuh, dan ditranslokasikan ke bagian tanaman lain (Moriguchi et al 2003).

Limonoid pada jeruk berada dalam bentuk aglikon limonoid dan glukosida limonoid. Dari 16 kultivar pamelo matang rata-rata mengandung 18 ppm limonin dan 29 ppm limonoid glukosida total. Dibandingkan dengan jus lain, pamelo mengandung limonin dengan konsentrasi amat tinggi dan konsentrasi limonoid glukosida amat rendah (Ohta dan Hasegawa 2006).

Konsentrasi senyawa pembuat rasa getir tertinggi umumnya ditemukan pada buah mentah. Konsentrasi senyawa penyebab rasa getir semakin menurun dengan makin masaknya buah (Hasegawa et al. 1996). Hasil penelitian Pichaiyongvongdee dan Haruenkit (2009a) menunjukkan bahwa naringin dan limonin pada pamelo tersebar pada flavedo, albedo, selaput pembungkus, jus dan biji dalam jumlah berbeda.

3. KARAKTERISASI MORFOLOGI, BIOKIMIA, MOLEKULER DAN