• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Pembahasan

Dalam penelitian ini, membahas tentang pelaksanaan program penanggulangan TB paru dengan strategi DOTS dan penyuluhan kesehatan di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara, yang dapat dilihat dari beberapa aspek seperti komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana, penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis, pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO), jaminan tersedianya OAT secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin, sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru, dan penyuluhan TB Paru. Selain itu di dalam penelitian ini juga digambarkan beberapa karakteristik responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini.

2.1. Karakteristik Responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa setengah dari responden berusia 18 – 40 tahun (50%) dan usia 41 – 55 tahun (30%), menurut WHO (2008) bahwa TB Paru merupakan penyebab kematian pada usia produktif sehingga menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan terjadi karena pada usia produktif tersebut penderita TB Paru tidak mampu lagi bekerja secara optimal untuk menghasilkan barang atau jasa atau bahkan sama sekali tidak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga, sehingga dengan keterbatasan tersebut menyebab kemiskinan bagi keluarga. Kemudian lebih dari setengah responden berjenis

kelamin laki-laki (66,7%), ini terjadi karena perbedaan gaya hidup antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki punya kebiasaan hidup yang buruk seperti merokok, minum alkohol dan begadang yang mengakibatkan daya tahan tubuh menjadi lemah (Aditama, 2002). Kurang dari setengah responden berpendidikan SMU (43,3%) dan SLTP (33,3%), dengan relatif tingginya pendidikan responden kesadaran untuk menjalani pengobatan TB Paru secara teratur dan lengkap juga relatif tinggi sesuai dengan penelitian (Gitawati, et all, 2002).

Kurang dari setengah responden bekerja sebagai buruh/tani (43,3%) dan lebih dari setengah responden berpenghasilan kurang dari Rp.850.000,- per bulan (56,7%). Pada umumnya TB paru menyerang kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi rendah, penyakit ini menular dengan cepat pada orang yang rentan dan daya tahan tubuh lemah (Aditama, 2002). Mayoritas responden telah menjalani pengobatan selama 1 – 2 bulan atau pasien baru (83,3%), namun ada dua orang responden (6,7%) yang sudah menjalani pengobatan lebih dari 6 bulan karena setelah makan obat selama 6 bulan dan diperiksa dahaknya kembali, hasilnya masih positif TB Paru atau belum sembuh sehingga harus makan obat lanjutan.

2.2. Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru dengan Strategi DOTS dan Penyuluhan Tentang TB Paru

Pelaksanaan program penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS dan penyuluhan kesehatan tentang TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara hasilnya optimal (Skor 78,57%), pelaksanaan program penanggulangan TB Paru tersebut hasilnya optimal karena menggunakan strategi Directly Observed

Treatment Shortcourse (DOTS) yang merupakan strategi pengobatan dalam penanggulangan TB Paru nasional yang direkomendasikan oleh WHO sejak tahun 1995 dan terbukti cukup efektif dalam menyembuhkan penderita TB Paru. DOTS merupakan strategi pengobatan TB Paru jangka pendek dengan pengawasan ketat oleh petugas kesehatan dan PMO. Dengan menggunakan strategi DOTS maka proses penyembuhan TB Paru dapat secara cepat, DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB Paru agar menelan obatnya secara teratur sesuai kebutuhan sampai dinyatakan sembuh (Depkes RI, 2002). Penyuluhan kesehatan tentang TB Paru juga mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan program penanggulangan TB Paru dan sebagai pendukung pelaksanaan strategi DOTS. Penyuluhan TB Paru memberikan informasi yang penting kepada penderita tentang penyakit TB Paru. Penyuluhan dapat merubah perilaku khususnya penderita dan keluarga dalam membina dan memelihara perilaku hidup sehat serta berperan aktif dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal (Effendy, 1998).

2.2.1. Komitmen Politik dari Para Pengambil Keputusan Termasuk Dukungan Dana

Hasil penelitian tentang komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana menunjukkan hasil yang kurang optimal. Hal ini karena kurangnya pengetahuan khususnya penderita sendiri dan masyarakat akan program yang dilaksanakan oleh pemerintah di puskesmas untuk memberantas TB Paru. Adanya faktor-faktor penghambat yang

menyebabkan pelaksanaan program penanggulangan TB Paru tidak berjalan dengan baik mencakup pendidikan yang rendah atau tidak adanya pengetahuan yang cukup terhadap penyakit dan penyebab penyakit TB Paru tersebut, sikap acuh penderita terhadap penyakit yang dideritanya, masalah sosial budaya yang meliputi lingkungan tinggal yang layak dan sehat, masalah kemiskinan atau faktor ekonomi dan masalah yang bersumber dari petugas kesehatan sendiri (Yunus dkk, 1992). Faktor-faktor penghambat yang tersebut diatas yang menjadikan penderita TB Paru enggan untuk datang ke puskesmas, sehingga penderita kurang mengetahui informasi tentang adanya program penanggulangan TB Paru melalui strategi DOTS khususnya komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana berupa pengobatan TB Paru secara gratis di puskesmas yang terdiri dari pemberian OAT dan pemeriksaan dahak secara gratis di puskesmas. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yaitu masih kurang optimalnya persentase responden menjawab setuju bahwa petugas puskesmas memberitahu mereka di puskesmas ini ada program penanggulangan TB Paru (53,3%), responden setuju memeriksakan dahaknya secara gratis di puskesmas ini (60%), responden setuju mendapatkan obat TB Paru secara gratis di puskesmas (66,6%) (Depkes RI, 2002).

2.2.2. Penemuan Penderita dengan Pemeriksaan Dahak secara Mikroskopis

Pada penelitian ini terlihat bahwa penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis menunjukkan hasil yang optimal. Dalam program penanggulangan TB Paru diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Diagnosis pasti TB Paru dapat dilakukan dengan pemeriksaan tiga spesimen (SPS) dahak, pemeriksaan dahak secara mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah dan murah, dan hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakan. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis bersifat spesifik dan cukup sensitif. Oleh karena itu mayoritas responden setuju dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis yang dilakukan petugas kesehatan yang ada di puskesmas untuk menjaring penderita TB Paru. Berdasarkan penelitian, penderita TB Paru kooperatif saat petugas puskesmas meminta mereka untuk menampung dahaknya sebanyak tiga kali (SPS) dalam waktu dua hari berturut-turut dan membawa dahaknya untuk diperiksa di puskesmas. Dengan demikian mereka dapat mengetahui apakah terinfeksi TB Paru atau tidak. Hasil tersebut dapat dilihat dari persentase responden setuju memeriksakan dahaknya ke puskesmas (80%), responden setuju bahwa dahaknya diambil sebanyak tiga kali untuk diperiksa (90%), responden setuju bahwa dahaknya diperiksa oleh petugas kesehatan di puskesmas (73,3%) (Depkes RI, 2002).

2.2.3. Pengobatan dengan Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Jangka Pendek dengan Pengawasan Langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)

Dari seluruh komponen pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) menunjukkan hasil yang optimal. Hasil yang didapat tersebut sesuai jawaban responden bahwa PMO yaitu orang yang mengawasi dan mengendalikan pengobatan mereka dengan pendekatan DOTS, mereka juga setuju dengan persyaratan seorang PMO sebaiknya yaitu seseorang yang mereka kenal, mereka percaya dan segani dan disetujui oleh petugas kesehatan. Menurut penderita TB Paru dengan adanya PMO dapat membantu mereka agar tidak lupa makan obat setiap hari, PMO memotivasi penderita TB Paru agar tidak putus untuk makan obat setiap hari, dan harus makan obat sesuai dengan dasar pengobatan TB Paru terdiri dari 2 fase, yaitu fase intensif dan fase lanjutan dimana obat harus di minum setiap hari selama 6 bulan sampai dinyatakan sembuh. PMO dapat membantu mereka untuk mengambil obat ke puskesmas jika mereka tidak dapat mengambilnya sendiri. (Depkes RI, 2002; Aditama, 2002). Hasil yang optimal tersebut dapat dilihat dari persentase responden setuju bahwa orang yang menjadi PMO bisa saja adalah keluarga, tetangga, petugas puskesmas, dan pemuka masyarakat yang sudah ditunjuk (80%), responden setuju bahwa harus makan obat TB Paru selama enam bulan dengan pengawasan PMO (73,3%), responden setuju bahwa selalu diingatkan oleh PMO agar teratur makan obat setiap hari (73,3%), responden setuju bahwa jika responden tidak dapat mengambil obatnya sendiri ke puskesmas, maka PMO akan membantu mengambilkan obatnya ke puskesmas (83,3%). Namun dari keseluruhan komponen tersebut

19 orang responden (63,3%) masih menyatakan kurang optimal untuk pernyataan PMO langsung mengawasi mereka ketika makan obat dan dua orang responden menyatakan tidak setuju pada pernyataan tersebut, karena menurut mereka PMO tidak selalu berada di dekat mereka ketika makan obat namun PMO tetap mengingatkan agar selalu makan obat secara teratur setiap hari. Hal yang tersebut di atas didukung juga oleh penelitian Novita bahwa 84,9% pasien memiliki persepsi positif terhadap kinerja PMO dalam mendukung pengobatan penderita.

2.2.4. Jaminan Tersedianya OAT secara Teratur, Menyeluruh dan Tepat Waktu dengan Mutu Terjamin

Pada penelitian ini dari komponen DOTS yaitu jaminan tersedianya OAT secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin menunjukkan hasil yang optimal. Sesuai dengan program penanggulangan TB Paru maka pemerintah menyediakan OAT di puskesmas-puskesmas dalam bentuk paket (Kombipak) dengan kemasan yang baik dan tidak mudah rusak. Paket kombipak ini harus di minum oleh penderita dalam 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan dimana obat harus di minum setiap hari selama 6 bulan sampai dinyatakan sembuh. Menurut penderita yang datang ke puskesmas mereka selalu mendapat paket kombipak dengan lengkap dan tidak rusak, dan mereka selalu datang ke puskesmas untuk mengambil obat pada jadwal pengambilan obat yang telah ditentukan dan memeriksakan kondisinya. Penderita TB Paru menyatakan ingin sembuh dengan mengikuti

setuju diwajibkan oleh petugas puskesmas untuk mengambil obat secara teratur setiap 10 hari sekali (93,3%), responden setuju bahwa di puskesmas Aek Kanopan selalu tersedia obat TB Paru jika responden datang untuk mengambil obat lanjutan (70%), responden sangat setuju bahwa petugas kesehatan memberikan obat TB Paru dengan lengkap dan tidak rusak (83,3%) (Depkes RI, 2002).

2.2.5. Sistem Pencatatan dan Pelaporan secara Baku untuk Memudahkan Pemantauan dan Evaluasi Program Penanggulangan TB Paru

Pada sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru menunjukkan hasil yang optimal. Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sistem informasi penanggulangan TB Paru. Untuk itu pencatatan dan pelaporan perlu dilakukan berdasarkan klasifikasi dan tipe penderita. Semua unit pelaksana program penanggulangan TB Paru harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Responden setuju bahwa setiap penderita yang sudah terdiagnosis menderita TB Paru, petugas puskesmas langsung mencatat dan membuat kartu berobatnya. Kartu berobat diberikan kepada penderita atau biasanya dapat disimpan di puskesmas agar tidak hilang. Pencatatan yang dilakukan oleh petugas berguna agar pengobatan lengkap, tidak tertinggal, dan untuk mengevaluasi kondisi penderita dan kemajuan pengobatannya (Depkes RI, 2002). Hal ini dapat

terlihat dari persentase bahwa responden setuju petugas kesehatan memberikan kartu tanda berobat TB Paru yang berwarna kuning kepada pasien untuk mencatat pengobatan (90%), responden setuju bahwa petugas kesehatan selalu mengingatkan penderita agar selalu membawa kartu berobat ketika datang untuk mengambil obat lanjutan agar pencatatan sesuai dengan jadwal (86,6%), responden setuju bahwa petugas puskesmas selalu memantau kondisi penderita dan selalu membuat catatan tentang perkembangan kondisi penderita (73,3%). Namun pada pernyataan pasien harus selalu membawa kartu berobat jika pergi agar dapat mengambil obat di puskesmas lain jika obat habis, responden menjawab tidak setuju pada pernyataan tersebut dengan persentase 53,3%, karena jika pasien akan pergi biasanya puskesmas memberikan persediaan obat yang cukup sesuai kebutuhan pasien. Kemudian pada pernyataan petugas puskesmas selalu memantau kondisi responden dan selalu membuat catatan tentang perkembangan kondisi responden, satu responden menjawab tidak setuju pada pernyataan tersebut karena responden tersebut merasa bahwa dirinya tidak sembuh-sembuh setelah makan obat selama 8 bulan. Hal tersebut terjadi karena setelah 6 bulan pengobatan dan diperiksa kembali dahaknya ternyata hasilnya masih positif, sehingga pasien harus makan obat lanjutan.

2.2.6. Penyuluhan TB Paru

Pada pernyataan tentang penyuluhan TB Paru mayoritas responden menyatakan kurang optimal. Responden menyatakan, biasanya

penyuluhan yang dilakukan oleh petugas puskesmas berupa penyuluhan secara langsung kepada penderita TB Paru berupa pendidikan kesehatan tentang TB Paru. Selain itu di puskesmas juga memasang beberapa poster tentang TB Paru yang bertujuan agar setiap pasien yang datang dapat melihat dan membaca informasi tentang TB Paru. Namun penyuluhan yang disampaikan secara langsung dan dalam bentuk media poster tersebut menurut mereka belum efektif. Adanya keterbatasan sarana dan prasarana di puskesmas membuat penyuluhan dalam bentuk yang besar kepada semua masyarakat tidak dapat dilaksanakan. Namun petugas puskesmas tetap memberikan penyuluhan kepada penderita untuk mendukung strategi DOTS yang dilaksanakan. Secara tidak langsung walaupun hasilnya kurang optimal, penyuluhan telah merubah perilaku khususnya penderita dan keluarga dalam membina dan memelihara perilaku hidup sehat serta berperan aktif dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal (Depkes RI, 2002; Effendy, 1998). Kurang optimalnya hasil penelitian tentang penyuluhan TB Paru dapat dilihat dari persentase responden setuju di puskesmas Aek Kanopan dilaksanakan penyuluhan TB Paru (63,3%), responden setuju bahwa petugas kesehatan di puskesmas biasanya memberikan penyuluhan secara langsung pada penderita TB Paru (66,6%), responden setuju bahwa penyuluhan juga dilaksanakan secara tidak langsung, dalam bentuk bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk (60%), responden setuju bahwa petugas kesehatan di puskesmas memberi responden penyuluhan yang lengkap tentang TB Paru (63,3%), responden setuju bahwa setelah mendapatkan penyuluhan tentang

TB Paru, penderita menjadi lebih mengerti dan paham tentang penyakit TB Paru (66,6%), responden setuju bahwa penyuluhan tentang TB Paru dari petugas kesehatan, membuat penderita ingin cepat sembuh dengan makan Obat Anti Tuberkulosis secara teratur dan selalu memeriksakan kondisi penderita sesuai jadwal berobat ke puskesmas (66,6%). Namun dari keseluruhan responden yang menjawab ada lima orang responden yang menjawab tidak setuju bahwa di puskesmas ini dilaksanakan penyuluhan TB Paru, karena menurut mereka penyuluhan itu seharusnya dilakukan secara besar/ masal dan bukan hanya pada satu orang saja atau beberapa orang. Kemudian tiga orang responden menjawab tidak setuju untuk pernyataan bahwa petugas kesehatan di puskesmas biasanya memberikan penyuluhan secara langsung pada penderita TB Paru, karena menurut mereka informasi yang diberikan hanya dalam bentuk poster atau gambar yang ada. Kemudian untuk pernyataan penyuluhan juga dilaksanakan secara tidak langsung dalam bentuk bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk, ada dua orang responden yang menjawab tidak setuju karena menurut mereka penyuluhan seharusnya menyampaikan informasi dengan jelas tanpa menggunakan media perantara seperti leaflet, poster atau spanduk.

Dokumen terkait