• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Pembahasan

Berdasarkan penghitungan LD50 bakteri A. hydrophila dengan menggunakan metode Reed and Muench (1939), didapatkan hasil bahwa bakteri yang digunakan merupakan bakteri dengan virulensi yang tinggi yaitu sebesar 105 cfu/ml (Lampiran 6). Lallier et al. (1981) dalam Haliman (1993) mengklasifikasikan tingkat virulensi bakteri A. hydrophila berdasarkan nilai LD50 bakteri tersebut, yaitu bakteri yang memiliki nilai LD50 antara 104.5– 105.5 cfu/ml tergolong dalam kelompok bakteri yang virulen, nilai LD50 antara 105.5– 107cfu/ml tergolong dalam kelompok bakteri yang memiliki virulensi lemah dan bakteri yang memiliki nilai LD50 lebih dari 107 cfu/ml merupakan bakteri yang avirulen.

Jeruk nipis telah lama dikenal mengandung khasiat obat. Adanya zona hambat pada uji in vitro membuktikan bahwa jeruk nipis memiliki potensi sebagai antibakteri. Oboh et al. (1992) dalam Taiwo (2007) telah membuktikan efek antimikroba dari tanaman ini pada beberapa bakteri seperti Bacillus sp., Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella sp. Dosis jeruk nipis 5% memiliki diameter zona hambat rata-rata sebesar 7.83 mm, sedangkan dosis 10% adalah 8.33 mm. Dari hasil zona hambat tersebut menunjukkan bahwa jeruk nipis dosis 5% dan 10% memiliki kekuatan antibakteri sedang karena diameternya berada diantara 5-10 mm. Merujuk pada pernyataan Stout dalam Hasim (2008) bahwa zona hambat 20 mm atau lebih berarti kekuatan antibakteri sangat kuat,

27

zona hambat 10-20 mm berarti kekuatan antibakteri kuat, zona hambat 5-10 mm berarti kekuatan antibakteri sedang dan zona hambat 5 mm atau kurang berarti kekuatan antibakteri kurang atau lemah.

Terbentuknya zona hambat diduga karena pengaruh pH asam dalam sari jeruk nipis. pH pada perlakuan dosis dalam uji in vitro berkisar antara 2.2-2.4 (Lampiran 7). Nilai pH ini jauh lebih rendah dari kisaran toleransi A. hydrophila

yang berkisar antara 5.5-9 (Kordi, 2004), sehingga bakteri tidak dapat bertahan dan mati. Selain itu, zona hambat yang terbentuk juga dapat disebabkan karena kandungan yang terdapat dalam jeruk nipis antara lain minyak atsiri dan flavonoid (Chang dalam Adina, 2008). Hasim (2008) menyebutkan bahwa daya antibakteri dalam minyak atsiri disebabkan oleh adanya senyawa fenol dan turunannya yang dapat mendenaturasi protein. Kehadiran fenol yang merupakan senyawa toksik mengakibatkan struktur tiga dimensi protein terganggu dan terbuka menjadi struktur acak tanpa adanya kerusakan pada struktur kerangka kovalen. Hal ini menyebabkan protein terdenaturasi. Deret asam amino protein tersebut tetap utuh setelah terdenaturasi, namun aktivitas biologisnya menjadi rusak sehingga protein tidak dapat melakukan fungsinya. Sedangkan aktivitas flavonoid kemungkinan disebabkan oleh kemampuannya untuk membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut, dan dengan dinding sel. Flavonoid yang bersifat lipofilik mungkin juga akan merusak membran mikroba (Naim, 2004).

Dari hasil uji in vivo, respon makan ikan baik dari awal perlakuan (H-7) sampai hari ke-0 ketika dilakukan injeksi bakteri A. hydrophila, kecuali pada perlakuan pencegahan pada H-7 ikan terlihat sedikit makannya diduga karena stress akibat adanya penyuntikan sari jeruk nipis. Tetapi pada hari selanjutnya nafsu makan ikan mulai terlihat normal. Setelah dilakukan injeksi A. hydrophila, ikan-ikan pada perlakuan pencegahan, pengobatan dan kontrol positif terlihat sedikit atau tidak mau makan. Menurut Cipriano et al. (1984) dalam Husein (1993) hati merupakan salah satu organ target bakteri A. hydrophila selain ginjal. Terganggunya organ hati dapat menimbulkan pengaruh terhadap kegiatan metabolisme dalam tubuh ikan sehingga salah satu akibatnya ikan menjadi tidak nafsu makan. Kabata (1985) menyatakan bahwa ikan lele yang terinfeksi A. hydrophila memperlihatkan tingkah laku yang tidak normal, berenang lambat,

28

tidak mau makan dan megap-megap di permukaan atau diam lesu di dasar kolam. Pernyataan tersebut dapat menjelaskan pasifnya ikan kontrol positif ketika dilakukan uji refleks. Sedangkan pada kontrol negatif, ikan terlihat normal nafsu makannya sampai akhir perlakuan, kecuali pada hari ke-0 ketika dinjeksikan PBS ikan terlihat menurun sedikit nafsu makannya yang diduga karena stress akibat masuknya benda asing (PBS) ke dalam tubuhnya dan luka yang diakibatkan oleh spuid. Ikan juga terlihat sangat responsif menjauhi sumber tepukan pada uji refleks.

Pada perlakuan pencegahan, hilangnya nafsu makan ikan terjadi sampai kira-kira hari ke-2, setelah itu ikan mulai meningkat kembali nafsu makannya sampai akhir perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa injeksi sari jeruk nipis dapat mengembalikan nafsu makan ikan, karena bila dibandingkan dengan kontrol positif, ikan perlakuan pencegahan nafsu makannya lebih cepat kembali normal. Sedangkan pada perlakuan pengobatan, respon makan ikan tidak jauh berbeda dengan kontrol positif. Nafsu makan ikan baru membaik kira-kira pada hari ke-6. hal ini dapat disebabkan oleh adanya penyuntikan jeruk nipis 2 hari setelah dilakukan penyuntikan bakteri, sehingga ikan mengalami stress berlipat ganda.

Tingginya nafsu makan ikan pada kontrol negatif menyebabkan pertambahan bobot ikan juga besar, yaitu 87.27%. Menurut Abdullah (2008), semakin besar konsumsi pakan maka semakin besar kesempatan ikan tersebut untuk memperoleh nutrien (karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral). Ditambah lagi hasil uji refleks yang baik menunjukkan ikan sehat sehingga ikan dapat tumbuh secara optimal.

Pada kontrol positif pertambahan bobot sebesar 51.21%. Menurut Kabata (1985), infeksi A. hydrophila dapat menyebabkan pembengkakan pada hati dan ginjal. Adanya ke-abnormalan pada organ dalam dapat mengganggu proses pencernaan tubuh, karena hati merupakan pusat metabolisme tubuh, dimana glikogen dan lemak disimpan, cairan empedu dihasilkan sebagai emulsifikator lemak yang berperan penting dalam proses pencernaan makanan sehingga lemak dapat diserap oleh dinding usus (Cipriano et al., dalam Abdullah, 2008). Ketika organ dalam rusak, maka akan terjadi stress, proses metabolisme terganggu dan akhirnya akan menghambat pertumbuhan ikan. Begitu pula yang terjadi pada

29

perlakuan pencegahan dan pengobatan, pertambahan bobotnya sebesar 40.16% dan 37.66%. Nilai ini lebih kecil dibandingkan kontrol positif, diduga karena pengaruh pH asam dari sari jeruk nipis. Talbot (1985) dalam Hasan (2000) mengatakan bahwa di dalam saluran pencernaan ikan, makanan dicerna dan kemudian diserap melalui dinding usus dan masuk ke dalam sistem peredaran darah. Usus ikan menghasilkan enzim proteolitik yang bekerja pada pH antara 8 – 8.5 (Huisman, 1987 dalam Hasan, 2000). Nilai pH rendah dari sari jeruk nipis diduga menghambat proses penyerapan makanan pada usus, sehingga pertambahan bobot ikan ikut terhambat. Walaupun demikian, nilai pertambahan bobot perlakuan pencegahan dan pengobatan tidak berbeda nyata dengan kontrol positif (Lampiran 10).

Gejala klinis yang terlihat pada ikan yang terinfeksi A. hydrophila umumnya dimulai dengan peradangan, hiperemia pada sirip dan daerah bekas suntikan, lalu berkembang menjadi nekrosis atau kerusakan jaringan dan akhirnya menjadi tukak. Kematian ikan juga terjadi ketika ikan masih berada dalam tahap peradangan. Menurut Angka et al., (2004), hal ini terjadi karena adanya toksin A. hydrophila yang menyebabkan hemolisis darah, kemungkinan hemolisis ini yang menyebabkan kematian walaupun kelainan klinis yang tampak dari luar karena peradangan. Reaksi radang merupakan reaksi untuk mencegah masuknya mikroorganisme di sekitar tempat infeksi. Selain itu, pada proses peradangan juga terjadi reaksi antara fibrinogen dan faktor-faktor penggumpal lainnya dalam darah dan membentuk jaringan fibrin untuk mencegah keluarnya cairan tubuh dan mencegah masuknya benda asing ke dalam tubuh (Anderson, 1974 dalam Snieszko dan Axelrod, 1971). Dengan pemberian uji tantang melalui injeksi, maka antigen (A. hydrophila) akan langsung menembus lapisan mukus dan sistem pertahanan non spesifik, langsung masuk ke pembuluh darah dan jaringan. Hal ini berakibat terjadinya reaksi kekebalan yang hebat, terutama pada daerah bekas injeksi (Darmanto, 2003).

Ikan memiliki sistem kekebalan untuk mengantisipasi infeksi mikroorganisme. Sistem pertahanan pertama adalah pertahanan non spesifik dan peradangan, pertahanan kedua yaitu darah dan pertahanan selanjutnya adalah pertahanan spesifik atau respon imun spesifik. Jaringan yang terlibat dalam sistem

30

pertahanan non spesifik antara lain adalah mukus, epidermis, dermis dan sisik. Menurut Darmanto (2003), sistem pertahanan ini bersifat permanen (selalu ada) dan tidak perlu dirangsang terlebih dahulu, sehingga sering menentukan suatu jenis ikan lebih tahan terhadap patogen dibanding jenis ikan lainnya. Pada pertahanan spesifik organ-organ yang berperan antara lain ginjal, limpa dan timus (Anderson, 1974 dalam Hanafi, 2006). Sistem pertahanan spesifik disebut juga sebagai sistem pertahanan humoral, dimana pada pertahanan ini yang berperan adalah antibodi. Terbentuknya antibodi spesifik dimulai dari masuknya suatu antigen ke dalam tubuh ikan, kemudian antigen tersebut difagosit oleh makrofag. Selanjutnya makrofag mengirim pesan ke limfosit sehingga memberikan respon melalui poliferasi dan memproduksi antibodi yang spesifik sesuai dengan antigen yang memberikan rangsangan (Anderson, 1974 dalam Darmanto, 2003). Sistem pertahanan tersebut disamping menghancurkan patogen juga akan mengaktifkan sistem memori, sehingga apabila ada serangan kembali oleh patogen yang sama akan segera direspon lebih cepat dari serangan pertama (Darmanto, 2003).

Pada kontrol positif hari ke-1 pasca infeksi A. hydrophila ikan mengalami radang dengan diameter yang cukup besar (Lampiran 11), kemudian berkembang menjadi tukak rata-rata pada hari ke-3. Empat ekor ikan mengalami kematian pada kontrol positif. Munro (1982) dalam Hanafi (2006) mengatakan bahwa endotoksin atau lipopolisakarida (LPS) dari bakteri Gram negatif adalah toksis karena dapat menginduksi berbagai kondisi patologi termasuk shock, hemoragi, fever dan kematian.

Pada perlakuan pengobatan, hari pertama pasca infeksi A. hydrophila terjadi peradangan dengan diameter yang cukup besar, tidak jauh berbeda dengan kontrol positif (Lampiran 11). Hari selanjutnya berkembang menjadi hemoragi, terjadi pula perkembangan diameter gejala klinis pada 4 ekor ikan. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya penyuntikan yang kedua dengan sari jeruk nipis, sehingga ikan makin stress dan menyebabkan luka tambah parah. Setelah dilakukan penyuntikan sari jeruk nipis, 2 ekor ikan mati dan 2 ekor ikan mengalami penyembuhan. Ikan-ikan yang mengalami tukak mampu bertahan hidup, karena memiliki daya regenerasi yang tinggi apabila dibandingkan dengan hewan-hewan dari kelas vertebrata yang lainnya (Haliman, 1993).

31

Pada perlakuan pencegahan, hari pertama pasca infeksi A. hydrophila ikan mengalami radang dengan diameter yang lebih kecil dibandingkan kontrol positif (Lampiran 11). Kemudian hanya 5 ekor ikan yang berkembang menjadi tukak, 3 ekor ikan mengalami peradangan sampai akhir penelitian, 4 ekor ikan mengalami penyembuhan, bahkan 3 ekor ikan terlihat normal atau tidak mengalami gejala klinis pasca infeksi A. hydrophila. Menurut Abdullah (2008), infeksi A. hydrophila berkembang cepat dalam waktu 24 jam setelah infeksi, sehingga pertahanan awal yang baik sangat penting untuk mencegah serangan infeksi penyakit. Daya tahan alami memungkinkan suatu hewan menjadi terbebas dari serangan patogen karena tidak adanya jaringan spesifik atau reseptor seluler bagi kolonisasi patogen, atau tidak mampu mendukung syarat-syarat optimum baik dari sisi kecukupan nutrisi maupun lingkungan bagi pertumbuhan patogen (Normalina, 2007). Adanya flavonoid pada sari jeruk nipis diduga berperan penting dalam pencegahan penyakit MAS pada ikan lele. Flavonoid bersifat antiinflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan serta membantu mengurangi rasa sakit bila terjadi pendarahan atau pembengkakan pada luka. Flavonoid juga mampu meningkatkan kerja sistem imun karena leukosit sebagai pemakan benda asing lebih cepat dihasilkan dan sistem limfe lebih cepat dihasilkan (Angka et al., 2004). Trisbiantara (2008) mengemukakan bahwa kandungan vitamin C yang tinggi dari jeruk nipis sangat berguna sebagai antioksidan dan meningkatkan daya tahan tubuh sehingga kuman-kuman patogen (kuman yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit) dapat dimatikan oleh tubuh. Vitamin A di dalamnya dapat meningkatkan daya tahan kulit terhadap infeksi dan protein yang berguna untuk memperbaiki jaringan tubuh yang mengalami kerusakan ataupun memperbaharui jaringan yang sudah tua.

Kematian paling tinggi terjadi pada kontrol positif sebesar 26.67% dan yang terendah pada perlakuan pencegahan dan kontrol negatif sebesar 0%. Produk ekstraseluler berupa hemolisis dan enterotoksin dari bakteri A. hydrophila dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan kematian ikan (Haliman, 1993). Kematian juga terjadi pada perlakuan pengobatan sebesar 13.33%, kematian ini terjadi pada hari ke 3 dan ke 4, yaitu hari pertama dan kedua setelah penyuntikan sari jeruk nipis. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ikan yang tidak mampu menahan

32

adanya stressor berupa penyuntikan 2 kali (penyuntikan bakteri dan sari jeruk nipis) dalam waktu yang relatif singkat, sehingga ikan mengalami kematian. Walupun begitu, terdapat pula 2 ekor ikan yang mengalami penyembuhan total setelah disuntikan sari jeruk nipis.

Pengamatan organ dalam menunjukkan bahwa pada kontrol positif hati terlihat berwarna merah kekuningan dan membengkak, ginjal merah tua kehitaman dan membengkak, empedu berwarna kuning dan limpa merah kecoklatan dan membengkak. Menurut Oliver et al., (1981) dalam Taufik (2001) patogen A. hydrophila disamping memakan dan merusak jaringan organ tubuh juga mengeluarkan toksin yang disebarkan ke seluruh tubuh melalui aliran darah sehingga menyebabkan hemolisis dan pecahnya pembuluh darah yang mengakibatkan warna kemerahan pada tubuh ikan. Penampakan pada organ dalam perlakuan pengobatan mirip dengan kontrol positif, ginjal terlihat berwarna merah tua, hati merah sedikit pucat, empedu hijau kekuningan dan limpa berwarna merah kecoklatan. Sedangkan pada kontrol negatif organ dalam terlihat normal, ginjal dan hati berwarna merah kecoklatan, limpa berwarna merah tua dan empedu terlihat hijau kebiruan. Organ dalam pada pencegahan terlihat mendekati kontrol negatif, ginjal terlihat berwarna merah tua kecoklatan, hati terlihat merah gelap, limpa terlihat berwarna merah gelap dan empedu berwarna hijau kebiruan. Hal ini dapat menggambarkan jeruk nipis yang diinjeksikan pada ikan dapat mencegah rusaknya organ dalam akibat infeksi A. hydrophila. Vitamin A yang terkandung di dalam jeruk nipis dapat meningkatkan daya tahan kulit terhadap infeksi dan protein yang berguna untuk memperbaiki jaringan tubuh yang mengalami kerusakan ataupun memperbaharui jaringan yang sudah tua (Trisbiantara, 2008).

Kualitas air pemeliharaan lele selama uji in vivo telah memenuhi syarat kualitas air yang dianggap baik untuk kehidupan lele menurut Khairuman dan Amri (2002), yaitu suhu diantara 20-30°C, oksigen terlarut (DO) minimum 3 mg/l, pH atau derajat keasaman 6.5-8, sedangkan untuk ammonia total kisaran yang baik untuk budidaya lele menurut Mahyuddin (2007) adalah maksimum 1 mg/l total ammonia. Parameter kualitas air yang terukur selama perlakuan adalah suhu diantara 25-27°C, pH antara 6.5-6.8, DO antara 4.21-6.89 dan TAN antara 0.07-0.114.

Dokumen terkait