• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2. Pembahasan

Tidak Kelainan Refraksi Persentase (%) Jumlah SD 5 26,3 14 73,7 19 SMP 8 72,7 3 27,3 11 13 17 30 2. Pembahasan

Pada penelitian ini diketahui bahwa dari 52 orang siswa/i SD terdapat 19 orang

(36,5%) dan dari 27 orang siswa/i SMP terdapat 11 orang (40,7%) mengalami penurunan visus. Visus atau tajam penglihatan pada orang normal adalah 6/6, yang artinya bisa membaca bagian Snellen Chart 20/20 diletakkan di depan anak dengan jarak enam meter. Gangguan penglihatan yang salah satunya adalah penurunan visus. Saat penurunan visus sangat jauh lebih kecil dari 3/60 (bisa menghitung jari dari jarak 3 meter sedangkan orang normal bisa menghitung dari jarak 60 meter) maka timbullah yang disebut dengan kebutaan (Raditia, 2011)

Hasil penelitian di Chile mengenai penurunan visus pada usia sekolah 5-15 tahun dengan jumlah sampel sebanyak 5.303 orang terdapat penurunan visus sebanyak 1.285 orang dan yang mengalami kelainan refraksi sebesar 56,3% (Maul, Barroso, Munoz, Sperduto & Ellwein, 2000) sedangkan di China pada usia yang sama yaitu 5-15 tahun dilakukan studi kasus dengan jumlah sampel 5.884 orang dan

terdapat 1.236 orang yang mengalami penurunan visus dan yang mengalami kelainan refraksi sebanyak 89,5% (Zhao, Pan, Sui, Munoz, Sperduto & Ellwein, 2000).

Sekitar 3070 orang penduduk di Yongchuan yang usia sekolah 6-15 tahun yang dilakukan pemeriksaan mata. Angka kejadian rabun jauh meningkat sesuai dengan pertambahan usia atau meningkat secara signifikan. Jumlah penderita rabun jauh di Yongchuan 13,75% antara usia 9-12 tahun, jumlah rabun dekat menurun sesuai dengan bertambahnya usia atau semakin meningkatnya usia anak. Jumlah penderita rabun dekat 3,26% antara usia 6-8 tahun dan jumlah yang mengalami astigmatisme sebanyak 3,75% antara usia 13-15 tahun (Hongpi at al., 2010).

Menurut Goh (2003) dalam studi kasus di Malaysia pada anak usia sekolah didapatkan prevalensi miopia lebih tinggi pada anak lebih tua, sedangkan hipermetropia lebih banyak ditemukan pada anak lebih usia lebih muda (Goh, 2003). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian di RSU Cut Nyak Dhien, Meulaboh Aceh yang menunjukkan bahwa kelainan mata terbanyak menyebabkan gangguan visus adalah kelainan lensa yaitu 176 orang (9,70%). Semakin bertambah umur, kelainan lensa semakin tinggi dan yang paling tinggi pada kelompok umur > 60 tahun (52,27%). Dari penelitian tersebut diketahui bahwa Miopia paling tinggi terdapat pada kelompok umur 11-20 tahun yaitu 45 orang (10,84%), astigmatisma pada kelompok umur yaitu 31-40 tahun yaitu 38 orang (9,12%) dan hipermetropia pada kelompok umur 41-50 tahun yaitu 57 orang (13,37%) (Yunita & Bahri, 1997).

Menurut Wardayati (2011) penurunan tajam penglihatan dapat diakibatkan karena kekurangan vitamin A, kelainan refraksi. Namun kelainan refraksi sebenarnya

dapat diatasi sejak dini, maka hendaknya kita memeriksa mata dan penglihatan anak sejak masuk sekolah. Pemeriksaan mata pada usia sekolah mungkin akan mengungkapkan adanya kelainan refraksi, buta warna, mata juling atau kekurangan vitamin A. Sama halnya dengan

Wardani (2008)

yang mengatakana penurunan tajam penglihatan disebabkan oleh Strabismus (Juling), mata strabismus terjadi untuk menghindari penglihatan ganda oleh anak dan kelainan refraksi yang tidak seimbang antar kedua mata serta kekeruhan pada jaringan mata (kekeruhan pada lensa mata) dapat menimbulkan penurunan tajam penglitahan.

Pada penelitian ini diketahui bahwa dari 19 siswa/i SD yang mengalami

penurunan visus terdapat 5 orang (26,3%) yang mengalami kelainan refraksi dan selebihnya yaitu 14 orang (73,7%) tidak mengalami kelainan refraksi. Sedangka pada 11 siswa/i SMP yang mengalami penurunan visus terdapat 8 orang (72,7%) yang mengalami kelainan refraksi dan selebihnya yaitu 3 orang (27,7%) tidak mengalami kelainan refraksi. Jadi dapat disimpulkan bahwa kelainan refraksi dari penurunan visus lebih tinggi pada siswa/i SMP (72,7%, n=8) dibandingkan dengan siswa/i SD (26,3%, n=5).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di RSU Cut Nyak Dhien, Meulaboh Aceh dari jumlah pasien selama 1 tahun yaitu sebesar 2541 terdapat 1815 (71,43%) kasus baru dan 726 (28,57%) kasus lama dan 40 (2,20%) rawat inap. Dari kasus tersebut, kasus terbanyak adalah konjungtiva yaitu sebesar 470 (25,90%) diikuti dengan kelainan refraksi yaitu sebesar 415 (22,87%). Sementara

kunjungan sakit mata tertinggi didapatkan pada kelompok umur 31-40 tahun yaitu 439 orang (24,19%), sedangkan kunjungan terendah pada kelompok umur < 1 tahun yaitu 13 orang (0,72%) (Yunita, & Bahri, 1997).

Sekitar 148 juta atau 51 penduduk di Amerika Serikat memakai alat pengkoreksi refraksi. Angka kejadian rabun jauh meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Jumlah penderita rabun jauh di Amerika Serikat berkisar 3% antara usia 5-7 tahun, 8% antara usia 8-10 tahun, 14% antara usia 11-12 tahuan dan 25% antara usia 12-17 tahun. Cina memiliki insiden rabun jauh lebih tinggi pada seluruh usia. Taiwan menemukan prevalensi sebanyak 12% pada usia 6 tahun dan 84% pada usia 16-18 tahun (Patu, 2010).

Kebanyakan anak secara fisiologis adalah hipermetropia pada waktu lahir, tetapi pada sejumlah kasus terutama bayi baru lahir prematur adalah miopia dan sering ada sedikit astigmatisma. Dengan pertumbuhan keadaan refraksi cenderung untuk berubah dan harus dievaluasi secara periodik. Insidensi miopia selama tahun-tahun sekolah, terutama sebelum dan usia sepuluhan. Tingkat miopia semakin tua juga cenderung meningkat selama tahun-tahun pertumbuhan (Nelson, 2000).

Kelainan refraksi berdasarkan provinsi dan usia penderita pada survei mata nasional pada tahun 1993-1995 di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan total sample 2.490 orang diketahui kelainan refraksi pada usia 5-6 tahun adalah 15 orang (0,60%), usia 7-18 tahun adalah 222 orang (8,92%), usia 19-29 tahun adalah 880 orang (35,34%) dan usia 30-49 tahun adalah 1.373 orang (55,14%). Dari hasil prevalensi kelainan refraksi

tersebut diketahui bahwa pada usia produktif, ketika usia meningkat kelainan refraksi juga ikut meningkat (Surjadi, Sjamsoe, Sirlan, & Dawi, 2005).

Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian di Indonesia yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan RI bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia pada tahun 1982, menunjukkan bahwa kelainan refraksi menduduki urutan paling atas dari 10 penyakit mata utama. Data dari beberapa penelitian tahun 1997-2003 menunjukkan prevalensi dari kelainan refraksi berkisar antara 1-7 % pada umur 5-15 tahun dan hasil penelitian yang dilaksanakan di RSUP H. Adam Malik Medan selama periode 7 Juli 2008 sampai dengan 7 Juli 2010 yang menunjukkan prevalensi penderita kelainan refraksi 6,19% yaitu 283 pasien, dengan persentase terbanyak terdapat pada miopia 70.31% yaitu 199 orang (Bastanta, 2010).

Hasil penelitian di Chile yaitu sebesar 5.303 yang diperiksa terdapat 56,3% yang mengalami kelainan refraksi, ambliopia sebanyak 6,5%, penyebab lain sebanyak 4,3% dan penyebab yang belun di ketahui sebanyak 32,9% (Maul, Barroso, Munoz, Sperduto & Ellwein, 2000) sedangkan dalam studi kasus di China, 2000 pada anak usia sekolah 5-15 tahun sebanyak 5.884 terdapat prevalensi kelainan refraksi sebanyak 89,5%, ambliopia 5%, penyebab lain 1,5%, dan penyebab yang belum jelas sebanyak 4% (Zhao, Pan, Sui, Munoz, Sperduto & Ellwein, 2000). Sedangkan China bagian Barat yaitu di Yongchuan dilakukan studi kasus pada anak usia sekolah 6-15 tahun dengan total sampel 3070 orang diketahui hipermetropia sebanyak 3,26%, miopia sebanyak 13,75% dan astigmatisme sebanyak 3,75%. Semakin meningkat usia

anak, prevalensi hipermetropia semakin menurun dan miopia meningkat secara signifikan (Hongpi at al., 2010).

Menurut Ilyas (2006) kelainan refraksi disebabkan oleh sumbu optik bola mata lebih panjang atau lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di depan atau di belakang retina. Fokus akan terletak di depan retina karena bola mata lebih panjang dan fokus bayangan terletak di belakang retina. Dapat juga disebabkan karena kelainan indeks refraksi media penglihatan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Wardani (2008) kelainan refraksi dapat disebabkan oleh dimensi bola mata yang terlalu panajang atau indeks bias kornea yang terlalu tinggi dan pupil yang membuka terlalu lebar untuk memasukkan lebih banyak cahaya, sehingga menimbulkan aberasi dan dapat juga diakibatkan oleh rangsangan yang berlebihan terhadap mekanisme akomodasi sehingga terjadi kekejangan pada otot-otot siliar yang memegang lensa kristalin.

Memanjangnya sumbu bola mata tersebut disebabkan oleh adanya kelainan anatomis (Plempius, 1632), dan memanjangnya sumbu bolamata tersebut karena bola mata sering mendapatkan tekanan otot pada saat konvergensi (Donders, 1864), serta memanjangnya sumbu bola mata diakibatkan oleh seringnya melihat ke bawah pada saat bekerja di ruang tertutup, sehingga terjadi regangan pada bolamata (Levinsohn,1925) dan kelainan refraksi dapat disebabkan oleh keturunan dimana orang tua yang mempunyai sumbu bola mata yang lebih panjang dari normal akan melahirkan keturunan yang memiliki sumbu bola mata yang lebih panjang dari normal pula, ras/etnis diman terdapat perbedaan jumlah miopia pada orang Asia

memiliki yang lebih besar (70% - 90%) dari pada orang Eropa dan Amerika (30% - 40%) dan paling kecil adalah Afrika (10% - 20%) serta perilaku seperti kebiasaan melihat jarak dekat secara terus menerus dapat memperbesar resiko miopia. Demikian juga kebiasaan membaca dengan penerangan yang kurang memadai atau membaca sambil tiduran dengan cahaya yang redup, terlalu lama didepan komputer (Wardani (2008)

Dokumen terkait