KELAINAN REFRAKSI PADA ANAK USIA SEKOLAH
DI SD DAN SMP ERA IBANG MEDAN
ROSIANTI TARIGAN
SKRIPSI
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul : Kelainan Refraksi pada Anak Usia Sekolah di SD dan SMP
Era Ibang Medan
Nama Mahasiswa : Rosianti Tarigan
Nim : 101121043
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Tahun : 2012
Abstrak
Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga pembiasan sinar tidak difokuskan pada retina sehingga dapat menimbulkan penglihatan menjadi kabur. Di sekolah SD dan SMP Era Ibang Medan tahun ajaran 2011-2012 terdapat siswa/i dengan jumlah 315 orang. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD dan SMP Era Ibang Medan 2011. Jenis penelitian ini deskriptif, pendekatan Cross Sectional.
Populasi adalah semua siswa/i di sekolah SD dan SMP Era Ibang Medan tahun ajaran 2011-2012, yaitu sebanyak 315 orang dan sample diambil secara probability sampling dengan metode proportionate stratified random sampling yaitu sebanyak 79 orang. Dari hasil penelitian diperoleh distribusi frekuensi ketajaman penglihatan siswa/i SD dan SMP yaitu siswa/i SD 19 orang (36,5%), dan SMP 11 orang (40,7%) diantaranya mengalami penurunan visus. Kelainan refraksi pada anak usia sekolah SD dan SMP Era Ibang Medan yaitu SD 5 orang (26,3%), dan SMP 8 orang ( 72,7%). Disarankan pada pihak Sekolah agar melaksanakan pemeriksaan dini (skrining) pada anak usia sekolah khususnya kelainan refraksi dan apabila menemukan tanda dan gejala kelainan refraksi agar segera berobat ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mencegah komplikasi. Bagi peneliti selanjutnya agar waktu penelitian lebih lama dan sampel yang lebih banyak dalam aspek lebih luas dengan metode yang lebih sempurna guna kemajuan penyempurnaan penelitian dan mengkaji latar belakang dari responden karena faktor genetik dapat mempengaruhi kelainan refraksi serta mengobsevasi atau memeriksa organ mata yang lain.
PRAKATA
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan Kesehatan, Hikmat dan Pengetahuan kepada peneliti sehingga dapat
menyelesaikan Karya Tulis ilmiah dengan judul “Kelainan Refraksi Pada Anak Usia
Sekolah di SD dan SMP Era Ibang Medan 2011”. Peneliti menyadari bahwa karya
tulis ilmiah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan
hati peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan karya tulis ini di kemudian hari.
Pada kesempatan ini Peneliti mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan
dukungan dalam proses penyelesaian karya tulis ilmiah ini, sebagai berikut:
1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes. selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara Medan.
2. Mula Tarigan, S.Kp.,M.Kes. selaku dosen pembimbing proposal dan skripsi
ini.
3. Cholina Trisa Siregar S.Kep.,M.Kep.,Sp.KMB. selaku dosen penguji I
Proposal.
4. Rosina Tarigan, S.Kp.,M.Kep.,Sp.KMB.,CWCC. selaku dosen penguji II
Proposal.
5. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
6. Teristimewa dan tercinta kepada Ayahanda B.Tarigan dan Ibunda D. br Sitepu
serta buat abang (Benni Tarigan), kakak (Royani Tarigan) dan adek (Nuriangi
Tarigan dan Kasih Tarigan) tersayang yang telah menjadi motivator dan
penyemangat bagi peneliti dalam menyelesaikan karya tulis ini.
7. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada semua teman – teman
stambuk 2010 jalur B atas kebersamaan, dukungan, dan semangat yang selalu
kalian berikan.
Ahkir kata penulis mengucapkan terima kasih banyak. Semoga karya tulis ini
dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi keperawatan. Tuhan Yesus
Memberkati.
Medan, Februari 2012
Penulis
DAFTAR ISI
2. Populasi ,Sampe dan Tehnik Sampling ……….…... 31
3. Lokasi Dan Waktu Penelitian ………...…….…... 34
4. Pertimbangan Etik ……….. 34
6. Pengumpulan Data………...……… 36
7. Analisa Data ………,...………...….. 38
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 39
1. Hasil Penelitian... 39
2. Pembahasan... 40
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 47
1. Kesimpulan... 47
2. Saran... 48
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 VAS (Visual Acuity Score)... 25 Tabel 3.1 Tabel definisi operasional... 30 Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase penurunan visus akibat kelainan
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Mekanisme patofisiologi kelainan refraksi... 9 Skema 3.1 Kerangka konsep kelainan refraksi pada anak usia sekolah SD dan
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian
Lampiran 2. Lembar Hasil Observasi Pemeriksaan Visus Dan Pengujian Pinhol Pada Anak Usia Sekolah Di SD Dan SMP Era Ibang Medan
Lampiran 3. Lembar Hasil Observasi Jumlah Frekuensi Anak Yang Menderita Kelainan Refraksi Dan Tidak Mengalami Kelainan Refraksi Pada Anak Usia Sekolah Di SD Dan SMP Era Ibang Medan
Lampiran 4. Taksasi Dana Lampiran 5. Jadwal penelitian
Lampiran 6. Langkah-langkah Prosedur Pengumpulan Data Lampiran 7 Data Hasil Penurunan Visus
Lampiran 8. Surat Izin Survey Awal
Lampiran 9. Surat Izin Pengambilan Data Sementara SD Era Ibang Lampiran 10. Surat Izin Pengambilan Data Sementara SMP Era Ibang Lampiran 11. Surat Izin Pengambilan Data
Judul : Kelainan Refraksi pada Anak Usia Sekolah di SD dan SMP
Era Ibang Medan
Nama Mahasiswa : Rosianti Tarigan
Nim : 101121043
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Tahun : 2012
Abstrak
Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga pembiasan sinar tidak difokuskan pada retina sehingga dapat menimbulkan penglihatan menjadi kabur. Di sekolah SD dan SMP Era Ibang Medan tahun ajaran 2011-2012 terdapat siswa/i dengan jumlah 315 orang. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD dan SMP Era Ibang Medan 2011. Jenis penelitian ini deskriptif, pendekatan Cross Sectional.
Populasi adalah semua siswa/i di sekolah SD dan SMP Era Ibang Medan tahun ajaran 2011-2012, yaitu sebanyak 315 orang dan sample diambil secara probability sampling dengan metode proportionate stratified random sampling yaitu sebanyak 79 orang. Dari hasil penelitian diperoleh distribusi frekuensi ketajaman penglihatan siswa/i SD dan SMP yaitu siswa/i SD 19 orang (36,5%), dan SMP 11 orang (40,7%) diantaranya mengalami penurunan visus. Kelainan refraksi pada anak usia sekolah SD dan SMP Era Ibang Medan yaitu SD 5 orang (26,3%), dan SMP 8 orang ( 72,7%). Disarankan pada pihak Sekolah agar melaksanakan pemeriksaan dini (skrining) pada anak usia sekolah khususnya kelainan refraksi dan apabila menemukan tanda dan gejala kelainan refraksi agar segera berobat ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mencegah komplikasi. Bagi peneliti selanjutnya agar waktu penelitian lebih lama dan sampel yang lebih banyak dalam aspek lebih luas dengan metode yang lebih sempurna guna kemajuan penyempurnaan penelitian dan mengkaji latar belakang dari responden karena faktor genetik dapat mempengaruhi kelainan refraksi serta mengobsevasi atau memeriksa organ mata yang lain.
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada
retina tetapi di bagian depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu
titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia dan
astigmatisma (Ilyas, 2006).
Perkembangan ukuran bola mata sama seperti perkembangan tubuh manusia.
Ukuran bola mata bayi akan lebih kecil ketimbang ukuran bola mata orang dewasa.
Hal ini berarti dari masa bayi hingga masa dewasa sebetulnya terjadi perkembangan
pada ukuran atau dimensi bola mata. Pada 2 (dua) tahun pertama yang sangat
berkembang adalah sistem optik di depan mata (segmen depan), yaitu sebesar 60 %.
Seteh usia 2 (dua) tahun segmen depan masih berkembang tapi sudah tidak begitu
pesat. Namun segmen belakang akan tumbuh pesat saat usia anak berkisar 5-15 tahun
yang kemudian menjadi lambat perkembangannya dan berhenti sekitar usia 18 tahun.
Oleh karena itu pemeriksaan mata setelah 5 tahun telah perlu dilakukan secara teratur.
Namun angka kebutaan terus meningkat, dimana 10% dari 66 juta anak usia
sekolah menderita kelainan refraksi. Supartoto, 2006 menuturkan bahwa kelainan
refraksi tidak hanya mengganggu secara fisik tetapi juga dari segi sosial ekonomi,
dimana penderita harus bergantung terhadap kaca mata atau lensa kontak sepanjang
hidupnya. Jika tidak ditangani sungguh-sungguh akan berdampak negatif pada
mempengaruhi mutu, kreativitas, bahkan aspek psikologis dan produktivitas angkatan
kerja. Pada gilirannya akan mengganggu laju pembangunan ekonomi nasional.
Kendala penanganan kesehatan mata, antara lain belum memadainya jumlah tenaga
kesehatan terkait dibanding jumlah penduduk (Nyimasy, 2002).
Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan sedikitnya ada 45 juta
penduduk dunia yang menderita kebutaan dan 135 juta penduduk lainnya menderita
penglihatan kurang (low vision), sekitar 90% di antaranya berada di kawasan Asia
Selatan dan Tenggara. Prevalensi dunia untuk kelainan refraksi WHO tahun 2007
diperkirakan mencapai 800 juta sampai 2,3 milyar orang, yang didominasi dewasa
usia 16-49 tahun sebanyak 450 juta. Indonesia menempati urutan pertama dengan
prevalensi sebesar 1,5 % dari jumlah penduduk. Departemen Kesehatan RI tahun
1998 nenunjukkan bahwa masalah kebutaan di Indonesia sebesar 1,5% (Depkes,
1998).
Prevalensi kelainan refraksi diberbagai negara yakni di Amerika Serikat,
sekitar 25% dari penduduk dewasa menderita miopia, di Jepang, Singapur, dan
Taiwan, persentasenya jauh lebih besar, yakni mencapai sekitar 44%. Di Australia,
secara keseluruhan prevalensi miopia telah diperkirakan 17%, di Brazil pada tahun
2005 diperkirakan sebanyak 6,4% antara usia 12- 59 tahun (Nurrobbi, 2010).
Sekitar 148 juta atau 51 penduduk di Amerika Serikat memakai alat
pengkoreksi refraksi. Angka kejadian rabun jauh meningkat sesuai dengan
pertambahan usia. Jumlah penderita rabun jaun di Amerika Serikat berkisar 3%
25% antara usia 12-17 tahun. Cina memiliki insiden rabun jauh lebih tinggi pada
seluruh usia. Taiwan menemukan prevalensi sebanyak 12% pada usia 6 tahun dan
84% pada usia 16-18 tahun (Patu, 2010).
Berdasarkan survei kesehatan indra ada sekitar 1,5% penduduk Indonesia
mengalami kebutaan yang salah satunya disebabkan oleh kelainan refraksi (0,14%).
Sementara pada tahun 1998 Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa
gangguan penglihatan akibat kelainan refraksia dengan prevalensi 22,1% juga
menjadi masalah serius jika tidak cepat di tangani. Katarak penyebab kebutaan yang
paling tinggi di Indonesia terutama katarak yang diderita pada orang tua atau katarak
senile. Kelainan refraksi yang menempati urutan ketiga penyebab kebutaan
(Kusumadjaya, 2009).
Menurut perhitungan WHO, tanpa ada tindakan diperkirakan pada 2020
jumlah penduduk dunia penderita kebutaan menjadi dua kali lipat, 80 juta hingga 90
juta orang. Hari Penglihatan Sedunia (World Sight Day/WSD) ini bertujuan untuk
menyukseskan global vision 2020 : The Right to Sight, yang merupakan inisiatif
global untuk menanggulangi masalah gangguan penglihatan dan kebutaan yang dapat
dicegah atau direhabilitasi dengan dasar keterpaduan upaya dan untuk menurunkan
jumlah kebutaan pada tahun 2020. Dalam program Vision 2020, The Right to Sight,
diharapkan semua orang mempunyai hak untuk mendapatkan penglihatan yang
optimal, yaitu tajam penglihatan 20/20 atau 6/6 penglihatan normal (Kusumadjaya,
Kebutaan yang nantinya akibat kelainan refraksi bukan hanya mengganggu
produktivitas dan mobilitas penderitanya, tetapi juga menimbulkan dampak sosial
ekonomi bagi lingkungan, keluarga, masyarakat, dan negara. Sehingga dibutuhkan
adanay skrining mata dapat mendeteksi kelainan refraksi sedini mungkin agar tidak
mempengaruni faktor ekonomi dalam mencari pekerjaan, hubungan sosial dan
lain-lain (Nyimasy, 2002).
Kebanyakan anak secara fisiologis adalah hipermetropia pada waktu lahir,
tetapi sejumlah kasus, terutama bayi baru lahir prematur adalah miopia dan sering ada
sedikit astigmatisma. Dengan pertumbuhan keadaan refraksi cenderung untuk
berubah dan harus dievaluasi secara periodik. Insidensi miopia selama tahun-tahun
sekolah, terutama sebelum dan usia sepuluhan. Tingkat miopia semakin tua juga
cenderung meningkat selama tahun-tahun pertumbuhan dan segmen belakang akan
tumbuh pesat saat usia anak berkisar 5-15 tahun yang kemudian menjadi lambat
perkembangannya dan berhenti sekitar usia 18 tahun. Oleh karena itu pemeriksaan
mata setelah 5 tahun telah perlu dilakukan secara teratur (Nelson, 2000).
Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan oleh peneliti pada tanggal 30
Maret 2011 disalah satu sekolah yaitu SD dan SMP Era Ibang Medan dengan
jumlah siswa/i sebanyak 315 orang, dimana jumlah siswa/i SD sebanyak 206 orang
serta jumlah siswa/i SMP sebanyak 109 orang, dan terdapat 5 siswa/i yang telah
menggunakan alat bantu seperti kaca mata untuk melihat yang masih aktif sekolah
sekolah belum ada suatu tindakan skrining atau pemeriksaan dini dari pelayanan
kesehatan setempat untuk pemeriksaan mata, khususnya pada siswa/i usia sekolah.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis merasa perlu
melakukan penelitian tentang kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD dan
SMP Era Ibang Medan 2011.
2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka yang menjadi pertanyaan
penelitian adalah “Bagaimanakah kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD dan
SMP Era Ibang Medan 2011”?
3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD dan SMP
Era Ibang Medan 2011
4. Manfaat Penelitian
4.1. Bagi Pendidikan Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan menambah
informasi yang dapat dijadikan sebagai masukan bagi pengembangan ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan kelainan refraksi.
4.2. Bagi Masyarakat Atau Siswa/i
Diharapkan dapat menambah pengetahuan siswa/i SD dan SMP Era Ibang
4.3. Bagi Peneliti
Penelitian ini sebagai dasar untuk menerapkan ilmu yang telah didapatkan
dan untuk lebih mengetahui kelainan refraksi pada usia sekolah SD dan
SMP.
4.4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi atau sebagai
tambahan ilmu pengetahuan dan hasil penelitian diharapkan dapat menjadi
inspirasi bagi peneliti-peneliti selanjutnya dalam lingkup penelitian yang
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Mata
Kornea merupakan jendela paling depan dari mata dimana sinar masuk dan
difokuskan ke dalam pupil. Bentuk kornea yang cembung dengan sifatnya yang
transparan merupakan hal yang sangat menguntungkan karena sinar yang masuk 80%
atau kekuatan 40 dioptri dilakukan atau dibiaskan oleh kornea ini. Kornea memiliki
indek bias 1,38. Kelengkungan kornea mempunyai kekuatan yang sebagai lensa
hingga 40,0 dioptri.
Lensa yang jernih mengambil peranan membiaskan sinar 20% atau 10 dioptri.
Peranan lensa yang terbesar adalah pada saat melihat dekat atau berakomodasi. Lensa
ini menjadi kaku dengan bertambahnya umur sehingga akan terlihat sebagai
presbiopia. Lensa mata memiliki sifat seperti : indeks bias 1,44, dapat berubah
bentuk, mengatur difokuskannya sinar dan apabila badan siliar melakukan kontraksi
atau relaksasi maka lensa akan cembung ataupun pipih seperti yang terjadi pada
akomodasi (Ilyas, 2006).
Mata anak-anak adalah mata yang sedang bertumbuh. Sistem imunitas anak
yang sedang berkembang dan sistem saraf pusat yang juga berada pembentukan
mengakibatkan rentanya mata anak terhadap gangguan yang bisa mengakibatkan
pertumbuhan dan perkembangan abnormal. Pertumbuhan dan perkembangan mata
berlangsung cepat dalam dua tahun pertama kehidupan. Kemudian berkembang
2. Kelainan Refraksi
2.1. Definisi
Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk
pada retina tetapi di bagian depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak
pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia,
hipermetropia dan astigmatisma (Ilyas, 2006).
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran
depan dan kelengkungan kornea serta panjangnya bola mata. Kornea mempunyai
daya pembiasan sinar terkuat dibanding media penglihatan mata lainnya. Lensa
memegang peranan terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat
benda yang dekat. Panjang bola mata seseorang berbeda-beda. Bila terdapat
kelainan pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya
perubahan panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata, maka sinar normal
tidak dapat terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia (Ilyas,
2.2. Patofisiologi Kelainan Refraksi
Skema 2.1. Mekanisme Patofisiologi Kelainan Refraksi
(Istiqmah, 2005).
2.3. Etiologi
Ametropia aksial adalah ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola
mata lebih panjang atau lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di
retina karena bola mata lebih panjang. Sedangkan pada hipermetropia aksial,
fokus bayangan terletak di belakang retina. Ametropia indeks refraktif adalah
ametropia akibat kelainan indeks refraksi media penglihatan. Sehingga walaupun
panjang sumbu mata normal, sinar terfokus di depan (miopia) atau di belakang
retina (hipermetropia). Kelainan indeks refraksi ini dapat terletak pada kornea
atau pada lensa (cembung, diabetik). Ametropia kurvatur disebabkan
kelengkungan kornea atau lensa yang tidak normal sehingga terjadi perubahan
pembiasan sinar. Kecembungan kornea yang lebih berat akan mengakibatkan
pembiasan lebih kuat sehingga bayangan dalam mata difokuskan di depan bintik
kuning sehingga mata ini akan menjadi mata miopia atau rabun jauh. Sedangkan
kecembungan kornea yang lebih kurang atau merata (flat) akan mengakibatkan pembiasan menjadi lemah sehingga bayangan dalam mata difokuskan dibelakang
bintik kuning dan mata ini menjadi hipermetropia atau rabun dekat (Ilyas, 2006).
2.4 Tanda Dan Gejala Klinis
Sakit kepala terutama didaerah tengkuk atau dahi, mata berair, cepat
mengantuk, pegal pada bola mata, penglihatan kabur (Ilyas, 2006), mengerutkan
dahi secara berlebihan, sering menyipitkan mata, sering menggosok (mengucek)
mata, mengantuk, mudah teriritasi pada penggunaan mata yang lama, dan
2.5. Klasifikasi Refraksi
2.5.1. Miopia
a. Definisi Miopia
Miopia adalah suatu kelainan refraksi karena kemampuan refraktif
mata terlalu kuat untuk panjang anteroposterior mata sehingga sinar datang
sejajar sumbu mata tanpa akomodasi difokuskan di depan retina (Istiqomah,
2005). Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan
pembiasan sinar yang berlebihan sehingga sinar yang datang dibiaskan di
depan retina atau bintik kuning (Nasrulbintang, 2008).
Miopiai disebut sebaga rabun jauh akibat berkurangnya kemampuan
untuk melihat jauh akan tetapi dapat melihat dekat dengan lebih baik. Secara
fisiologis sinar yang difokuskan pada retina terlalu kuat sehingga
membentuk bayangan kabur atau tidak jelas pada makula lutea (Ilyas, 2006).
Miopia tidak sering pada bayi dan anak prasekolah. Lebih lazim lagi pada
bayi prematur dan pada bayi dengan retinopati prematuritas. Juga, ada
kecenderungan herediter terhadap miopia, dan anak dengan orangtua miopia
harus diperiksakan pada usia awal. Insiden miopia meningkat selama
tahun-tahun sekolah, terutama sebelum pada usia sepuluhan. Tingkat miopia
semakin tua juga cenderung meningkat selama tahun-tahun pertumbuhan
b. Klasifikasi Miopia
Miopia ditentukan dengan ukuran lensa negatif didalam dioptri,
dimana 1.00 dioptri merupakan kekuatan lensa yang memfokuskan sinar
sejajar pada jarak satu meter. Berdasarkan beratnya miopia: Miopia ringan -
3.00 dioptri, miopia sedang - 3.00 - 6.00 dioptri, miopia berat - 6.00 - 9.00
dioptri dan miopia sangat berat - >9.00 dioptri (Ilyas, 2006).
Menurut perjalanan miopia dikenal bentuk: Miopia stasioner, miopia
yang menetap setelah dewasa, miopia progresif, miopia yang bertambah
terus pada usia dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata, dan
miopia maligna yaitu miopia yang berjalan progresif yang dapat
mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia
pernisiosa = miopia degeneratif (Ilyas, 2004) sedangakan berdasarkan
bentuknya miopi di bagi menjadi : Miopia refraktif, bertambahnya indeks
bias media penglihatan seperti terjadi pada katarak intumesen dimana lensa
menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat. Sama dengan
miopia bias atau miopia indeks, miopia yang terjadi akibat pembiasan
media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu kuat, miopia aksial, miopia
yang akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan kelengkungan kornea dan
lensa yang normal (Ilyas 2004). Pembagian berdasarkan pembagian
kelainan jaringan mata: Miopia simpleks, dimulai pada usia 7-9 tahun dan
akan bertambah sampai anak berhenti tumbuh kurang lebih 20 tahun dan
miopia bertambah secara cepat (-4D/tahun), sering terjadi perubahan pada
retina dan biasanya terjadi bila miopia lebih dari -6D (Nurrobbi, 2010).
c. Etiologi Miopia
Kekurangan zat kimia (kekurangan kalsium, kekurangan vitamin),
alergi, penyakit mata tertentu (bentuk kornea kerucut, bisul di kelopak mata,
pasca operasi atau pasca trauma atau kecelakaan), herediter atau faktor
genetik (perkembangan yang menyimpang dari normal yang di dapat secara
kongenital pada waktu awal kelahiran), kerja dekat yang berlebihan seperti
membaca terlalu dekat atau aktifitas jarak dekat (Israr, 2010), kurangnya
faktor atau aktifitas jarak jauh terutama sport atau aktifitas di luar rumah,
pencahayaan yang ekstra kuat dan lama (computer, TV, game), sumbuatau
bola mata yang terlalu panjang karena adanya tekanan dari otot ekstra
okuler selama konvergensi yang berlebihan, radang, pelunakan lapisan bola
mata bersama-sama dengan peningkatan tekanan yang di hasilkan oleh
pembuluh darah dan bentuk dari lingkaran wajah yang lebar yang
menyebabkan konvergensi yang berlebihan (Nasrulbintang, 2008).
d. Patofisiologi
Akibat dari bola mata yang terlalu panjang, menyebabkan bayangan
jatuh di depan retina (Wong, 2008)
e. Gejala Klinik Miopia
Penglihatan kabur untuk melihat jauh dan hanya jelas pada jarak
pada mata, kadang-kadang terlihat bakat untuk menjadi juling bila ia
melihat jauh, mengecilkan kelopak untuk mendapatkan efek ”pinhole”
sehingga dapat melihat jelas, penderita miopia biasanya menyenangi
membaca (Ilyas, 2006), cepat lelah, pusing dan mengantuk, melihat benda
kecil harus dari jarak dekat, pupil medriasis, dan bilik mata depan lebih
dalam, retina tipis (Istiqomah, 2005). Banyak menggosok mata, mempunyai
kesulitan dalam membaca, memegang buku dekat ke mata, pusing, sakit
kepala dan mual (Wong, 2008).
f. Komplikasi
Ablatio retina terutama pada miopia tinggi, strabismus (mata juling),
ambliopia (Nurrobbi, 2010).
g. Pengobatan
Koreksi mata dengan miopia dengan memakai lensa minus/negatif
yang sesuai untuk mengurangi kekuatan daya pembiasan di dalam mata.
Biasanya pengobatan dengan kaca mata dan lensa kontak. Miopia juga dapat
diatasi dengan pembedahan pada kornea antara lain keratotomi radial,
2.5.2. Hipermetropia
a. Definisi Hipermetropia
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hiperopia atau rabun dekat.
Hipermetropia merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata
dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya
terletak di belakang makula lutea (Ilyas, 2004). Hipermetropia adalah suatu
kondisi ketika kemampuan refraktif mata terlalu lemah yang menyebabkan
sinar yang sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi difokuskan di
belakang retina (Istiqomah, 2005). Hipermetropia adalah keadaan mata yang
tidak berakomodasi memfokuskan bayangan di belakang retina.
Hipermetropia terjadi jika kekuatan yang tidak sesuai antara bola mata dan
kekuatan pembiasan kornea dan lensa lemah sehingga titik fokus sinar
terletak di belakang retina (Patu, 2010).
b. Klasifikasi Hipermetropia
Terdapat berbagai gambaran klinik hipermetropia seperti:
Hipermetropia manifes ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan
kacamata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal.
Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut ditambah dengan
hipermetropia fakultatif. Hipermetropia manifes didapatkan tanpa
siklopegik dan hipermetropia yang dapat dilihat dengan koreksi kacamata
maksimal. Hipermetropia fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat
hanya mempunyai hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa
kacamata. Bila diberikan kacamata positif yang memberikan penglihatan
normal, maka otot akomodasinya akan mendapatkan istirahat.
Hipermetropia manifes yang masih memakai tenaga akomodasi disebut
sebagai hipermetropia fakultatif. Hipermetropia absolut, dimana kelainan
refraksi tidak diimbangi dengan akomodasi dan memerlukan kacamata
positif untuk melihat jauh. Biasanya hipermetropia laten yang ada berakhir
dengan hipermetropia absolut ini. Hipermetropia manifes yang tidak
memakai tenaga akomodasi sama sekali disebut sebagai hipermetropi
absolut. Hipermetropia laten, dimana kelainan hipermetropia tanpa
siklopegia (otot yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya
dengan akomodasi. Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan
siklopegia. Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten
seseorang. Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten
seseorang. Hipermetropia total, hipermetropia yang ukurannya didapatkan
sesudah diberikan siklopegia (Ilyas, 2004).
c. Etiologi Hipermetropia
Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya bola mata yang
lebih pendek. Akibat bola mata yang lebih pendek, bayangan benda akan
difokuskan di belakang retina. Berdasarkan penyebabnya, hipermetropia
Hipermetropia sumbu atau aksial, merupakan kelainan refraksi akibat bola
mata pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek. Hipermetropia
kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang sehingga
bayangan difokuskan di belakang retina. Hipermetropia indeks refraktif,
dimana terdapat indeks bias yang kurang pada sistem optik mata (Ilyas,
2006).
d. Patofisiologi
Akibat dari bola mata yang terlalu pendek, yang menyebabkan
bayangan terfokus di belakang retina (Wong, 2008).
e. Gejala Klinik Hipermetropia
Sakit kepala terutama daerah dahi atau frontal, silau, kadang rasa
juling atau melihat ganda, mata leleh, penglihatan kabur melihat dekat
(Ilyas, 2006). Sering mengantuk, mata berair, pupil agak miosis, dan bilik
mata depan lebih dangkal (Istiqomah, 2005).
f. Pengobatan
Mata dengan hipermetropia akan memerlukan lensa cembung untuk
mematahkan sinar lebih kaut kedalam mata. Koreksi hipermetropia adalah
di berikan koreksi lensa positif maksimal yang memberikan tajam
penglihatan normal. Hipermetropia sebaiknya diberikan kaca mata lensa
positif terbesar yang masih memberi tajam penglihatan maksimal (Ilyas,
2.5.3. Astigmatisme
a. Definisi Astigmatisme
Astigmatisme adalah tajam penglihatan dimana didapatkan
bermacam-macam derajat refraksi pada bermacam-macam meredian
sehingga sinar sejajar yang datang pada mata akan difokuskan pada tempat
yang berbeda (Istiqomah, 2005). Astigmatisme adalah keadaan dimana sinar
yang masuk ke dalam mata tidak dipusatkan pada satu titik akan tetapi
tersebar atau menjadi sebuah garis (Ilyas, 1989). Astigmatisme adalah suatu
keadaan dimana sinar yang sejajar tidak dibiaskan dengan kekuatan yang
sama pada seluruh bidang pembiasan sehingga fokus pada retina tidak pada
satu titik (Ilyas, 2006). Astigmatisme juga dapat terjadi akibat jaringan parut
pada kornea atau setelah pembedahan mata. Jahitan yang terlalu kuat pada
bedah mata dapat mengakibatkan perubahan pada permukaan kornea. Bila
dilakukan pengencangan dan pengenduran jahitan pada kornea maka dapat
terjadi astigmatisme akibat terjadi perubahan kelengkungan kornea (Ilyas,
2006).
b. Klasifikasi Astigmatisme
Dikenal beberapa bentuk astigmatisme seperti: Astigmatisme regular
adalah suatu keadaan refraksi dimana terdapat dua kekuatan pembiasan
yang saling tegak lurus pada sistem pembiasan mata. Hal ini diakibatkan
kornea yang mempunyai daya bias berbeda-beda pada berbagai meridian
bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu meridian
ke meridian berikutnya. Bayangan yang terjadi pada astigmatisme regular
dengan bentuk teratur dapat berbentuk garis, lonjong, atau lingkaran.
Astigmatisme iregular yaitu astigmatisme yang terjadi tidak mempunyai 2
meridian saling tegak lurus. Astigmatisme ireguler dapat terjadi akibat
kelengkungan kornea pada meridian yang sama berbeda sehingga bayangan
menjadi iregular. Astigmatisme iregular terjadi akibat infeksi kornea, trauma
dan distrofi, atau akibat kelainan pembiasan. Astigmatisme lazim (astigmat with the rule) adalah suatu keadaan kelainan refraksi astigmatisme regular dimana koreksi dengan silinder negatif dengan sumbu horizontal (45-90
derajat).
Keadaan ini lazim didapatkan pada anak atau orang muda akibat
perkembangan normal dari serabut-serabut kornea. Astigmatisme tidak
lazim (astigmat against the rule) adalah suatu keadaan kelainan refraksi astigmatisme regular dimanana koreksi dengan silinder negatif dilakukan
dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat) atau dengan silinder positif
sumbu horizontal (30-150 derajat). Keadaan ini terjadi akibat kelengkungan
kornea pada meridian horizontal lebih kuat dibandingkan kelengkungan
c. Etiologi Astigmatisme
Bentuk kornea yang oval seperti telur, dapat juga diturunkan atau
terjadi sejak lahir, jaringan parut pada kornea seteh pembedahan (Ilyas,
2006), ketidakteraturan lengkung kornea, dan perubahan pada lensa
(Nelson, 2000).
d. Patofisiologi
Akibat dari kurvatura yang tidak sama pada kornea atau lensa yang
menyebabkan sinar melengkung dalam arah yang berbeda (Wong, 2008).
e. Gejala Klinis Astigmatisme
Melihat jauh kabur sedang melihat dekat lebih baik, melihat ganda
dengan satu atau kedua mata, melihat benda yang bulat menjadi lonjong,
penglihatan akan kabur untuk jauh ataupun dekat, bentuk benda yang dilihat
berubah, mengecilkan celah kelopak mata, sakit kepala, mata tegang dan
pegal, mata dan fisik lelah , astigmatisme tinggi (4–8 D) yang selalu melihat
kabur sering mengakibatkan ambliopia (Ilyas, 2006), gambar di kornea
terlihat tidak teratur (Istiqomah, 2005).
f. Pengobatan
Pengobatan denagn lensa kontak keras bila epitel tidak rapuh atau
lensa kontak lembek bila disebabkan infeksi, trauma untuk memberikan
3. Pencegahan Kelainan Refraksi
Koreksi penglihatan dengan bantuan kacamata, pemberian tetes mata atropine,
menurunkan tekanan dalam bola mata, dan latihan penglihatan : kegiatan merubah
fokus jauh – dekat.
4. Cara Pemeriksaan Kelainan Refraksi
4.1. Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan (Visus)
Subjektif: Pemeriksaan ini dilakukan satu mata bergantian dan biasanya
pemeriksaan refraksi dimulai dengan mata kanan kemudian mata kiri, kartu
Snellen di letakkan di depan pasien, pasien duduk menghadap kartu Snellen
dengan jarak 6 meter, dan satu mata ditutup biasanya mulai dengan menutup mata
kiri untuk menguji mata kanan, dengan mata yang terbuka pasien diminta
membaca baris terkecil yang masih dapat dibaca, kemudian diletakkan lensa
positif + 0,50 untuk menghilangkan akomodasi saat pemeriksaan di depan mata
yang dibuka, bila penglihatan tidak tambah baik, berarti pasien tidak
hipermetropia, bila bertambah jelas dan dengan kekuatan lensa yang ditambah
berlahan-lahan bertambah baik, berarti pasien menderia hipermetropia. Lensa
positif yang terkuat yang masih memberikan ketajaman terbaik merupakan ukuran
lensa koreksi untuk mata tersebut, bila penglihatan tidak bertambah baik, maka
diletakkan lensa negatif. Bila menjadi jelas, berarti pasien menderita miopia.
Ukuran lensa koreksi adalah lensa negatif teringan yang memberikan ketajaman
untuk hipermetropia dan miopia dimana penglihatan tidak mencapai 6/6 atau
20/20 maka lakukan uji pinhole (Ilyas, 2006).
4.2. Pemeriksaan Kelainan Refraksi
Subjektif: Letakkan pinhole di depan mata yang sedang diuji kemudian
diminta membaca huruf terakhir yang masih dapat dibaca sebelumnya, bila tidak
terjadi perbaikan penglihatan maka mata tidak dapat dikoreksi lebih lanjut karena
media penglihatan keruh atau terdapat kelainan pada retina atau saraf optik, bila
terjadi perbaikan penglihatan maka ini berarti terdapat astigmatisme atau silinder
pada mata tersebut yang belum dapat koreksi mata.
Objektif: Pemeriksaan objektif dapat dilakukan dengan:
Refraksionometer merupakan alat pengukur anomali refraksi mata atau refraktor
automatik yang dikenal pada masyarakat alat komputer pemeriksaan kelainan
refraksi. Alat yang diharapkan dapat mengukur dengan tepat kelainan refraksi
mata, retinoskopi adalah pemeriksaan yang sangat diperlukan pada pasien yang
tidak kooperatif untuk pemeriksaan refraksi biasa. Retinoskopi merupakan alat
untuk melakukan retinoskopi, guna menentukan kelainan refraksi seseorang
secara objektif. Retinoskopi dimasukkan ke dalam mata atau pupil pasien. Pada
keadaan ini terlihat pantulan sinar dari dalam mata, dan dikenal 2 cara retinoskopi
yaituSpot retinoscopy dengan memakai berkas sinar yang dapat difokuskan dan
5. Pengobatan
Berbagai cara dan alat untuk memperbaiki tajam penglihatan untuk
membiaskan sinar sehingga sehingga terfokus pada bintik kuning yaitu:
5.1. Kaca Mata
Kaca mata merupakan alat koreksi yang paling banyak dipergunakan
kerena mudah merawatnya dan murah. Kerja kaca mata pada mata adalah minus
kuat di perlukan pada mata miopia tinggi akan memberikan kesan pada lensa
benda yang dilihat menjadi lebih kecil dari ukuran yang sesungguhnya.
Sebaliknya memakai lensa konveks atau plus pada mata hipermetropia akan
memberikan kesan lebih besar. Penderita astigmatisme akan mendapatkan
perasaan tidak enak bila memakai kaca mata.
Keluhan memakai kaca mata yaitu kaca mata tidak selalu bersih,
mengurangi kecerahan warna yang dilihat, mengganggu gaya hidup, mudah turun
dari pangkal hidung, dan sakit pada telinga. Keuntungan dan kerugian kaca mata
kaca dibanding plastik yakni kaca mata kaca mudah berembun dibandingkan
kaca mata plastik, kaca mata kaca lebih mudah pecah dibandingkan dengan kaca
mata plastik, kaca mata kaca lebih berat dibandingkan kaca mata plastik, dan kaca
mata kaca lebih tipis dibandingkan kaca mata plastik.
Kerugian memakai kaca mata yaitu menghalangi penglihatan perifer,
pemakaian dengan waktu tertentu, membatasi kegiatan tertentu, spt olah raga, dan
5.2. Lensa Kontak
Lensa kontak merupakan lensa tipis yang diletakkan didataran depan
koernea untuk memperbaiki kelainan refraksi dan pengobatan. Keuntungan pakai
lensa kontak yaitu pembesaran yang terjadi tidak banyak berbeda dengan
bayangan normal, lapang pandang menjadi lebih luas, tidak membatasi
kegiatandan lain-lain, keluhan memakai lensa kontak yaitu sukar dibersihkan,
sukar merawat, mata dapat merah dan infeksi, sukar dipakai di lapangan berdebu,
dan terbatasnya waktu pemakaiannya, serta kerugian memakai lensa kontak
adalah harus bersih, tidak dapat dipergunakan pada silinder berat, alergi, mudah
hilang,dan tidak dapat dipakai di daerah berdebu.
5.3. Bedah refraksi.
Bedah dengan sinar laser, radial keratotomy, karatektomi dan
6. Tabel VAS (Visual Acuity Score)
Tabel 2.1. VAS (Visual Acuity Score)
7. Konsep Anak Usia Sekolah
7.1. Usia Sekolah Dasar
Periode ini dimulai sejak usia 6 tahun sampai 11 tahun atau 12 tahun
dengan pertumbuhan anak laki-laki lebih meningkat dari pada perempuan, dan
perkembangna motorik lebih sempurna.periode ini dikenal sebagai fase (periode)
usia sekolah, yaitu mempunyai lingkungan lain, selain keluarga, terutama
sekolah.
Perkembangan yang dicapai melalui lingkungan sekolah, anak lebih
mandiri dan tidak terlalu tergantung pada keluarga serta punya kemandirian
dalam merawat diri sendiri. Masa usia sekolah juga merupakan fase penting
dalam pencampaian perkembangan konsep diri, dan keterampilan dasar membaca,
menulis, serta berhitung lebih dikuasai. Anak usia sekolah mempunyai linkungan
sosial yang lebih luas selain lingkungan keluarganya, yaitu lingkungan sekolah
tempat anak belajar mengembangkan kemampuan kognitif, interaksi sosial, nilai
moral dan budaya dari lingkuagan kelompok teman sekolah dan guru (Supartini,
2004).
Pada saat lahir mata bayi normal cukup bulan kira-kira 2/3 ukuran
dewasa. Pertumbuhan sangat cepat tetapi dengan laju menurun sampai umur 3
tahun dan seterusnya dengan laju lebih lambat sesudahnya dan sampai pubertas,
setelah itu terjadi sedikit penurunan. Kornea yang normal adalah bening
sempurna dan semakin tua lengkungan kornea cenderung menjadi lebih datar,
membaik dengan cepat dan dapat mencapai 20/30 – 20/20 di usia 2-3 tahun
namun ketajaman penglihatan sebesar 20/40 biasanya diterima sebagai normal
untuk anak umur 3 tahun. Pada umur 4 tahun sebesar 20/30 adalah biasa dan pada
umur 5 atau 6 tahun kebanyakan anak mencapai visus 20/20 (Nelson, 2000).
Perkembangan utama penglihatan pada anak usia 5 tahun potensial
maksimal untuk ambliopia dan mampu menyalin kotak dan usia 6 tahun sedikit
potensial terhadap ambliopia, mengenali banyak warna, dan persepsi dalam
berkembang penuh (Wong, 2008).
7.2. Usia Sekolah Menengah
Periode ini merupakan fase transisi, yaitu anak mulai memasuki usia
remaja, pada usia 11 atau 12 sampai 15 tahun . Anak perempuan mulai memasuki
fase prapubertas pada usia 11 tahun sedangkan anak laki-laki 12 tahun.
Perkembangn yang mencolok pada periode ini adalah kematangan identitas
seksual dengan perkembangan reproduksi dan pencapaian identitas diri anak
sebagai remaja yang akan meninggalkan masa kanak-kanak dan memasuki
perkembangan sebagai orang dewasa (Supartini, 2004).
Usia 12 sampai 15 tahun merupakan masa pahlawan, yaitu anak suka
membaca buku-buku perjuangan karya orang kenamaan yang pernah terjadi. Pada
usia sekolah ini sikap yang egosentris diganti dengan sikap empiris berdasarkan
pengalaman. Dan kelak pada usia 13 sampai 14 tahun, sikap tersebut berkembang
Pada umur 13-15 merupakan masa anak usia sekolah memasuki masa
pubertas, anak-anak dapat tumbuh denag cepat atau lamabat selama ledakan
pertumbuhan dan dapat berakhir lebih cepat atau lambat dari anak-anak yang lain
(Wong, 2008).
Anak-anak sering tidak menyadari visusnya menurun dan mungkin tidak
mengeluh bahkan ketika mereka menderita mata lelah atau kebutaan. Tingkah
laku anak yang dapat memberikan petunjuk bahwa telah terjadi kesalahan refraksi
yang tidak dikoreksi meliputi mengedip berlebihan, mengerutkan dahi berlebihan,
sering menyipitkan mata, dan sering menggosok mata. Untuk mencegah hal
tersebut agar menjadi lebih baik, sebaiknya dilakukan uji visus secara rutin 2-3
tahun selama anak bersekolah dan lebih sering lagi jika ada riwayat keluarga
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN
1. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan kerangka yang menggambarkan dan
mengarahkan atau menghubungkan mengenai elemen-elemen yang ingin diamati
atau diukur melalui penelitian (Setiadi, 2007). Berdasarkan pertanyaan penelitian
yang telah dipaparkan dalam latar belakang, tinjauan pustaka yang ada, maka
kerangka konsep di gambarkan sebagai berikut:
Skema 3.1. Kerangka konsep kelainan refraksi pada anak usia sekolah SD dan SMP Era Ibang Medan.
Kelainan
Refraksi
• Ya
2. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Kelainan
Refraksi
Kelainan dimana
pembiasan sinar tidak
tepat di retina
dibiaskan.
Kartu
Snellen
Pinhole
• Kelainan
Refraksi
• Tidak
Kelainan
Refraksi
BAB 4
METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah suatu hal yang penting dalam menentukan jenis
uji statistik yang digunakan dalam penelitian (Nursalam, 2008). Penelitian ini bersifat
Deskriptif serta pendekatan penelitiannya adalah Cross Sectional yang bertujuan untuk mengetahui Kelainan Refraksi pada usia sekolah SD dan SMP Era Ibang
Medan.
2. Populasi, Sampel Penelitian dan Tehnik Sampling
Populasi adalah keseluruhan subjek yang memenuhi kriteria yang sudah
ditetapkan peneliti (Nursalam, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah semua
siswa/i SD dan SMP Era Ibang Medan dengan jumlah 315 siswa/i, dimana pada
tingkat Sekolah Dasar berjumlah 206 siswa/i serta pada tingkat Sekolah Pertama
berjumlah 109 siswa/i yang tercatat aktif sekolah pada tahun ajaran 2011/2012.
Sample adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sesuai dengan
pendapat Arikunto (2006), apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik di ambil
semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Tetapi, jika jumlah
subjeknya besar, dapat di ambil antara 10 – 15% atau 20 – 25% atau lebih tergantung
situasinya, maka sample diambil 25%, sehubungan dengan populasi penelitian
n = N x 25 %
= 315 x 25 %
= 78,75
=79 orang
Dimana :
n = Jumlah sample minimal yang diambil dalam penelitian ini.
N = Jumlah populasi
Jadi sample yang diambil sebanyak 79 orang yaitu SD 52 siswa/i dan SMP 27
siswa/i dan memenuhi kriteria sebagai berikut: Siswa/i yang bersedia menjadi
responden, siswa/i yang sudah mengenal huruf atau angka, dan siswa/i yang
bersekolah di SD dan SMP Era Ibang Medan periode 2011/2012 dimana cara
baginya sebagai berikut:
nSD = Jumlah populasi SD / Jumlah populasi keseluruhan x Sampel
keseluruhan
= 206 / 315 x 79 = 52 siswa/i
nSMP = Jumlah populasi SMP / Jumlah populasi keseluruhan x Sampel
keseluruhan
= 109 / 315 x 79 = 27 siswa/i
Tehnik pengambilan sample dalam penelitian ini adalah dengan penarikan
dimana proses kesempatan dipilih untuk menjadi sample sama untuk setiap
individu. Sedangkan metod stratified random sampling menggambarkan suatu metode dimana peneliti secara acak mengambil sejumlah peserta dari setiap
tingkatan yang menggambarkan karakteristik dari populasi tersebut (Brockopp,
1999).
Dalam penelitian ini, jumlah sample yang diambil dari setiap tingkatan
dapat ditentukan dengan cara perhitungan sesuai dengan jumlah populasi dari
setiap tingkatan atau kelas (Sugiyono, 2004) yaitu:
Tingkat SD Kelas I : 32/206 x 52 = 8 orang
Kelas II : 49/206 x 52 = 12 orang
Kelas III : 36/206 x 52 = 9 orang
Kelas IV : 28/206 x 52 = 7 orang
Kelas V : 31/206 x 52 = 8 orang
Kelas VI : 30/206 x 52 = 8 orang
Tingkat SMP Kelas I : 49/109 x 27 = 12 orang
Kelas I : 27/109 x 27 = 7 orang
Kelas I : 33/109 x 27 = 8 orang
3 Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di sekolah SD dan SMP Era Ibang Medan Jln.
sekolah SD dan SMP Era Ibang karena merupakan salah satu sekolah yang belum
pernah dilakukan suatu penelitian dan pemeriksaan kesehatan kususnya kesehatan
mata oleh petugas kesehatan setempat. Sekolah Era Ibang merupakan salah satu
sekolah yang tidak jauh dari perkotaan dan mudah dijangkau oleh peneliti dan
terdapat populasi yang cukup banyak untuk diteliti. Penyusunan proposal dan waktu
penelitian dilakukan mulai bulan Februari 2011 sampai dengan Januari 2012.
4. Pertimbangan Etik
Setiap penelitian yang menggunakan subjek manusia harus mengikuti aturan
etik dalam hal ini adalah adanya persetujuan. Etika yang perlu dituliskan pada
penelitian antara lain: Lembar persetujuan (Informed Consent) yang merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan
lembar persetujuan. Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian
dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden ataupun
dari guru atau kepala sekolah sebagai wakil dari orang tua. Tujuannya adalah agar
subjek mengerti maksud, tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya.
Peneliti tidak akan mencantumkan nama responden pada alat ukur dan hanya
menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian baik informasi
atau masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan
5. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah pengumpulan data dengan cara apapun,
pengumpulan data ini tergantung pada macam dan tujuan penelitian serta data yang
akan diambil atau dikumpulkan (Notoatmodjo, 2005). Alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebuah alat yang telah dilakukan pemeriksaa visus yaitu Kartu
Snellen yang terdiri dari deretan huruf kapital atau angka-angka dengan ukuran yang
semakin mengecil yang penilaiannya berupa angka berdasarkan angka dari Kartu
Snellen dan pemeriksaan yang menentukan apakah gangguan tersebut disebabkan
karena kelainan refraksi digunakan Pinhole.
5.1. Uji Validitas Dan Reliabilitas
Uji Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar–
benar mengukur apa yang diukur atau akurat. Ujia Reliabilitas adalah indeks yang
menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat
diandalkan. Hal ini menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten
bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan
menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2005).
Dalam penelitian ini instrument yang digunakan adalah Kartu Snellen dan
Pinhole yang sudah valid dan reliable untuk mengukur ketajaman penglihatan siswa/i
serta mengetahui secara langsung apakah siswa/i mengalami kelainan refraksi atau
6. Pengumpulan Data
Menjelaskan tujuan, manfaat, prosedur pemeriksaan dan memberikan lembar
persetujuan (Informed Consent) kepada responden. Menjelaskan jadwal waktu pemeriksaan visus dan pengujian pinhole. Melakukan pemeriksaan visus pertama
sekali dengan meminta anak untuk duduk di kursi dan anak duduk dengan posisi
tegak dan Kartu Snellen diletakkan di depan anak dengan jarak 5- 6 meter untuk uji
tajam penglihatan. Ajarkan anak untuk menggunakan penghalang untuk menutup satu
mata. Instruksikan anak untuk tetap membuka kedua mata selama pemeriksaan.
Berikan kartu penutup mata yang bersih untuk masing-masing anak dan buang
setelah pakai. Jika anak memakai kacamata periksa, periksa dengan kaca mata
terpasang. Biasanya mulai dengan menutup mata kiri untuk menguji mata kanan dan
dengan mata yang terbuka pasien diminta membaca baris terkecil yang masih dapat
dibaca. Penglihatan normal mempunyai tajam penglihatan 6/6.
Dengan Kartu Snellen ini dapat ditentukan kemampuan melihat seseorang,
seperti: Bila tajam penglihatan 6/6 berarti ia dapat melihat huruf dengan jarak 6
meter, dan apabila ia hanya dapat melihat huruf pada baris yang menunjukkan angka
30, berarti tajam penglihatannya adalah 6/30.
Bila anak tidak dapat mengenal huruf terbesar pada Kartu Snellen maka
dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada jarak 60
meter. Bila anak hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang diperhatikan
pada jarak 3 meter, maka dinyatakan 3/60. Dengan pengujian ini hanya dapat dinilai
lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan anak yang lebih buruk
daripada 1/60. Orang normal dapat melihat lambaian tangan pada jarak 300 meter.
Bila mata hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak 1 meter berarti tajam
penglihatannya 1/300. Terkadang mata hanya dapat melihat adnya sinar saja dan
tidak dapat melihat lambaian tangan, keadaan ini disebut sebagai tajam penglihatan
1/tak terhingga dan bila sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka dikatakan
penglihatannya adalah 0 atau buta total.
Bila penglihatan tidak maksimal pada kedua pemeriksaan untuk hipermetropia
dan miopia dimana penglihatan tidak mencapai 6/6 atau 20/20 maka lakukan uji
pinhole dengan uji pinhole diletakkan pinhole di depan mata yang sedang diuji
kemudian diminta membaca huruf terakhir yang masih dapat dibaca sebelumnya. Bila
tidak terjadi perbaikan penglihatan maka mata tidak dapat dikoreksi lebih lanjut
karena hal ini akibat media penglihatan keruh atau terdapat kelainan pada retina atau
saraf optik dan apabila terjadi perbaikan penglihatan maka ini berarti terdapat
astigmatisme atau silinder pada mata tersebut ataupun kelainan refraksi yang lain
(miopia, hipermetropia) yang belum dikoreksi (Ilyas, 2006).
7. Analisa Data
Setelah dilakukan pengumpulan data, maka peneliti melakukan analisa data
penurunan visus dan data kelainan refraksi dan tidak kelainan refraksi yang
merupakan hasil pemeriksaan kartu Snellen dan Pinhole. Pertama adalah dengan
melakukan pengecekan kelengkapan data dan penjumlahan pada seluruh data dari
tiap responden, kemudian memberi kode untuk memudahkan melakukan tabulasi.
Data yang diperoleh dari pengecekan kelainan refraksi pada usia sekolah SD dan
SMP Era Ibang Medan disajikan dalam bentuk table distribusi frekuensi dan
persentase.
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1
. Hasil PenelitianPenelitian ini telah dilaksanakan mulai bulan Februari 2011 sampai dengan
Januari 2012. Penelitian yang berjudul “Kelainan Refraksi Pada Anak Usia Sekolah
Di SD Dan SMP Era Ibang Tahun 2011” yang melibatkan sebanyak 79 responden
dan didapat hasil distribusi responden berdasarkan ketajaman penglihatan dan
penurunan visus akibat kelainan refraksi dan tidak kelainan refraksi yang diuraikan
sebagai berikut:
1.1. Distribusi Frekuensi Dan Persentase Siswa/i Yang Kelainan Refraksi Dan Tidak Kelainan Refraksi
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 52 orang siswa/i SD
terdapat 19 orang (36,5%) dan dari 27 orang siswa/i SMP terdapat 11 orang (40,7%)
mengalami penurunan visus dan pada table 5.1. diketahui bahwa dari 19 siswa/i SD
yang mengalami penurunan visus terdapat 5 orang (26,3%) yang mengalami kelainan
refraksi dan selebihnya yaitu 14 orang (73,7%) tidak mengalami kelainan refraksi.
Sedangka pada 11 siswa/i SMP yang mengalami penurunan visus terdapat 8 orang
(72,7%) yang mengalami kelainan refraksi dan selebihnya yaitu 3 orang (27,7%)
tidak mengalami kelainan refraksi. Jadi dapat disimpulkan bahwa kelainan refraksi
dari penurunan visus lebih tinggi atau yang mendominasi pada siswa/i SMP (72,7%,
Tabel 5.1. Distribusi frekuensi dan persentase penurunan visus akibat kelainan refraksi dan tidak kelainan refraksi siswa/i SD dan SMP Era Ibang Medan
Pada penelitian ini diketahui bahwa dari 52 orang siswa/i SD terdapat 19 orang
(36,5%) dan dari 27 orang siswa/i SMP terdapat 11 orang (40,7%) mengalami
penurunan visus. Visus atau tajam penglihatan pada orang normal adalah 6/6, yang
artinya bisa membaca bagian Snellen Chart 20/20 diletakkan di depan anak dengan
jarak enam meter. Gangguan penglihatan yang salah satunya adalah penurunan visus.
Saat penurunan visus sangat jauh lebih kecil dari 3/60 (bisa menghitung jari dari jarak
3 meter sedangkan orang normal bisa menghitung dari jarak 60 meter) maka
timbullah yang disebut dengan kebutaan (Raditia, 2011)
Hasil penelitian di Chile mengenai penurunan visus pada usia sekolah 5-15
tahun dengan jumlah sampel sebanyak 5.303 orang terdapat penurunan visus
sebanyak 1.285 orang dan yang mengalami kelainan refraksi sebesar 56,3% (Maul,
Barroso, Munoz, Sperduto & Ellwein, 2000) sedangkan di China pada usia yang
terdapat 1.236 orang yang mengalami penurunan visus dan yang mengalami kelainan
refraksi sebanyak 89,5% (Zhao, Pan, Sui, Munoz, Sperduto & Ellwein, 2000).
Sekitar 3070 orang penduduk di Yongchuan yang usia sekolah 6-15 tahun
yang dilakukan pemeriksaan mata. Angka kejadian rabun jauh meningkat sesuai
dengan pertambahan usia atau meningkat secara signifikan. Jumlah penderita rabun
jauh di Yongchuan 13,75% antara usia 9-12 tahun, jumlah rabun dekat menurun
sesuai dengan bertambahnya usia atau semakin meningkatnya usia anak. Jumlah
penderita rabun dekat 3,26% antara usia 6-8 tahun dan jumlah yang mengalami
astigmatisme sebanyak 3,75% antara usia 13-15 tahun (Hongpi at al., 2010).
Menurut Goh (2003) dalam studi kasus di Malaysia pada anak usia sekolah
didapatkan prevalensi miopia lebih tinggi pada anak lebih tua, sedangkan
hipermetropia lebih banyak ditemukan pada anak lebih usia lebih muda (Goh, 2003).
Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian di RSU Cut Nyak Dhien, Meulaboh Aceh
yang menunjukkan bahwa kelainan mata terbanyak menyebabkan gangguan visus
adalah kelainan lensa yaitu 176 orang (9,70%). Semakin bertambah umur, kelainan
lensa semakin tinggi dan yang paling tinggi pada kelompok umur > 60 tahun
(52,27%). Dari penelitian tersebut diketahui bahwa Miopia paling tinggi terdapat
pada kelompok umur 11-20 tahun yaitu 45 orang (10,84%), astigmatisma pada
kelompok umur yaitu 31-40 tahun yaitu 38 orang (9,12%) dan hipermetropia pada
kelompok umur 41-50 tahun yaitu 57 orang (13,37%) (Yunita & Bahri, 1997).
Menurut Wardayati (2011) penurunan tajam penglihatan dapat diakibatkan
dapat diatasi sejak dini, maka hendaknya kita memeriksa mata dan penglihatan anak
sejak masuk sekolah. Pemeriksaan mata pada usia sekolah mungkin akan
mengungkapkan adanya kelainan refraksi, buta warna, mata juling atau kekurangan
vitamin A. Sama halnya dengan
Wardani (2008)
yang mengatakana penurunantajam penglihatan disebabkan oleh Strabismus (Juling), mata strabismus terjadi
untuk menghindari penglihatan ganda oleh anak dan kelainan refraksi yang tidak
seimbang antar kedua mata serta kekeruhan pada jaringan mata (kekeruhan pada
lensa mata) dapat menimbulkan penurunan tajam penglitahan.
Pada penelitian ini diketahui bahwa dari 19 siswa/i SD yang mengalami
penurunan visus terdapat 5 orang (26,3%) yang mengalami kelainan refraksi dan
selebihnya yaitu 14 orang (73,7%) tidak mengalami kelainan refraksi. Sedangka pada
11 siswa/i SMP yang mengalami penurunan visus terdapat 8 orang (72,7%) yang
mengalami kelainan refraksi dan selebihnya yaitu 3 orang (27,7%) tidak mengalami
kelainan refraksi. Jadi dapat disimpulkan bahwa kelainan refraksi dari penurunan
visus lebih tinggi pada siswa/i SMP (72,7%, n=8) dibandingkan dengan siswa/i SD
(26,3%, n=5).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di RSU Cut Nyak
Dhien, Meulaboh Aceh dari jumlah pasien selama 1 tahun yaitu sebesar 2541
terdapat 1815 (71,43%) kasus baru dan 726 (28,57%) kasus lama dan 40 (2,20%)
rawat inap. Dari kasus tersebut, kasus terbanyak adalah konjungtiva yaitu sebesar 470
kunjungan sakit mata tertinggi didapatkan pada kelompok umur 31-40 tahun yaitu
439 orang (24,19%), sedangkan kunjungan terendah pada kelompok umur < 1 tahun
yaitu 13 orang (0,72%) (Yunita, & Bahri, 1997).
Sekitar 148 juta atau 51 penduduk di Amerika Serikat memakai alat
pengkoreksi refraksi. Angka kejadian rabun jauh meningkat sesuai dengan
pertambahan usia. Jumlah penderita rabun jauh di Amerika Serikat berkisar 3%
antara usia 5-7 tahun, 8% antara usia 8-10 tahun, 14% antara usia 11-12 tahuan dan
25% antara usia 12-17 tahun. Cina memiliki insiden rabun jauh lebih tinggi pada
seluruh usia. Taiwan menemukan prevalensi sebanyak 12% pada usia 6 tahun dan
84% pada usia 16-18 tahun (Patu, 2010).
Kebanyakan anak secara fisiologis adalah hipermetropia pada waktu lahir,
tetapi pada sejumlah kasus terutama bayi baru lahir prematur adalah miopia dan
sering ada sedikit astigmatisma. Dengan pertumbuhan keadaan refraksi cenderung
untuk berubah dan harus dievaluasi secara periodik. Insidensi miopia selama
tahun-tahun sekolah, terutama sebelum dan usia sepuluhan. Tingkat miopia semakin tua
juga cenderung meningkat selama tahun-tahun pertumbuhan (Nelson, 2000).
Kelainan refraksi berdasarkan provinsi dan usia penderita pada survei mata
nasional pada tahun 1993-1995 di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan total sample 2.490 orang
diketahui kelainan refraksi pada usia 5-6 tahun adalah 15 orang (0,60%), usia 7-18
tahun adalah 222 orang (8,92%), usia 19-29 tahun adalah 880 orang (35,34%) dan
tersebut diketahui bahwa pada usia produktif, ketika usia meningkat kelainan refraksi
juga ikut meningkat (Surjadi, Sjamsoe, Sirlan, & Dawi, 2005).
Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian di Indonesia yang dilaksanakan
oleh Departemen Kesehatan RI bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Ahli Mata
Indonesia pada tahun 1982, menunjukkan bahwa kelainan refraksi menduduki urutan
paling atas dari 10 penyakit mata utama. Data dari beberapa penelitian tahun
1997-2003 menunjukkan prevalensi dari kelainan refraksi berkisar antara 1-7 % pada umur
5-15 tahun dan hasil penelitian yang dilaksanakan di RSUP H. Adam Malik Medan
selama periode 7 Juli 2008 sampai dengan 7 Juli 2010 yang menunjukkan prevalensi
penderita kelainan refraksi 6,19% yaitu 283 pasien, dengan persentase terbanyak
terdapat pada miopia 70.31% yaitu 199 orang (Bastanta, 2010).
Hasil penelitian di Chile yaitu sebesar 5.303 yang diperiksa terdapat 56,3%
yang mengalami kelainan refraksi, ambliopia sebanyak 6,5%, penyebab lain sebanyak
4,3% dan penyebab yang belun di ketahui sebanyak 32,9% (Maul, Barroso, Munoz,
Sperduto & Ellwein, 2000) sedangkan dalam studi kasus di China, 2000 pada anak
usia sekolah 5-15 tahun sebanyak 5.884 terdapat prevalensi kelainan refraksi
sebanyak 89,5%, ambliopia 5%, penyebab lain 1,5%, dan penyebab yang belum jelas
sebanyak 4% (Zhao, Pan, Sui, Munoz, Sperduto & Ellwein, 2000). Sedangkan China
bagian Barat yaitu di Yongchuan dilakukan studi kasus pada anak usia sekolah 6-15
tahun dengan total sampel 3070 orang diketahui hipermetropia sebanyak 3,26%,
anak, prevalensi hipermetropia semakin menurun dan miopia meningkat secara
signifikan (Hongpi at al., 2010).
Menurut Ilyas (2006) kelainan refraksi disebabkan oleh sumbu optik bola
mata lebih panjang atau lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di depan
atau di belakang retina. Fokus akan terletak di depan retina karena bola mata lebih
panjang dan fokus bayangan terletak di belakang retina. Dapat juga disebabkan
karena kelainan indeks refraksi media penglihatan. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan Wardani (2008) kelainan refraksi dapat disebabkan oleh dimensi bola
mata yang terlalu panajang atau indeks bias kornea yang terlalu tinggi dan pupil yang
membuka terlalu lebar untuk memasukkan lebih banyak cahaya, sehingga
menimbulkan aberasi dan dapat juga diakibatkan oleh rangsangan yang berlebihan
terhadap mekanisme akomodasi sehingga terjadi kekejangan pada otot-otot siliar
yang memegang lensa kristalin.
Memanjangnya sumbu bola mata tersebut disebabkan oleh adanya kelainan
anatomis (Plempius, 1632), dan memanjangnya sumbu bolamata tersebut karena bola
mata sering mendapatkan tekanan otot pada saat konvergensi (Donders, 1864), serta
memanjangnya sumbu bola mata diakibatkan oleh seringnya melihat ke bawah pada
saat bekerja di ruang tertutup, sehingga terjadi regangan pada bolamata
(Levinsohn,1925) dan kelainan refraksi dapat disebabkan oleh keturunan dimana
orang tua yang mempunyai sumbu bola mata yang lebih panjang dari normal akan
melahirkan keturunan yang memiliki sumbu bola mata yang lebih panjang dari
memiliki yang lebih besar (70% - 90%) dari pada orang Eropa dan Amerika (30% -
40%) dan paling kecil adalah Afrika (10% - 20%) serta perilaku seperti kebiasaan
melihat jarak dekat secara terus menerus dapat memperbesar resiko miopia. Demikian
juga kebiasaan membaca dengan penerangan yang kurang memadai atau membaca
sambil tiduran dengan cahaya yang redup, terlalu lama didepan komputer (Wardani
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Kelainan Refraksi Pada Anak
Usia Sekolah di SD dan SMP Era Ibang Medan”maka diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 52 orang siswa/i SD terdapat
19 orang (36,5%) dan dari 27 orang siswa/i SMP terdapat 11 orang (40,7%)
mengalami penurunan visus dan dari 19 siswa/i SD yang mengalami penurunan visus
terdapat 5 orang (26,3%) yang mengalami kelainan refraksi dan selebihnya yaitu 14
orang (73,7%) tidak mengalami kelainan refraksi. Sedangka pada 11 siswa/i SMP
yang mengalami penurunan visus terdapat 8 orang (72,7%) yang mengalami kelainan
refraksi dan selebihnya yaitu 3 orang (27,7%) tidak mengalami kelainan refraksi. Jadi
dapat disimpulkan bahwa kelainan refraksi dari penurunan visus lebih tinggi pada
siswa/i SMP (72,7%, n=8) dibandingkan dengan siswa/i SD (26,3%, n=5%). Dari
hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa penurunan visus tidak selamanya
2. Saran
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat pada pelayanan
kesehatan, pendidikan SD dan SMP dan penelitian keperawatan. Adapun saran yang
dapat peneliti sampaikan adalah sebagai berikut:
1. Bagi pelayanan kesehatan
• Diharapkan kepada tim kesehatan untuk lebih meningkatkan ilmu
pengetahuan dan keterampilan dalam penanganan kelainan refraksi dan
melakukan penyuluhan kepada masyarakat khususnya anak usia sekolah
tentang kelainan refraksi dan pencegahannya.
• Diharapkan kepada tim kesehatan untuk melakukan deteksi dini (skrining)
terhadap anak usia sekolah agar bagi mereka yang mengalami kelainan
refraksi dapat diberi penanganan lebih cepat.
2. Bagi pendidikan SD dan SMP
Diharapkan kepada SD dan SMP Era Ibang Medan untuk melakukan pelatihan
kepada guru-guru dalam melakukan pemeriksaan penurunan visus sehingga
pemeriksaan dini dapat dilakukan terhadap siswa/i kapan saja sehingga siswa/i
yang mengalami penurunan visus dapat segera dirujuk dan dapat ditangani lebih
cepat.
3. Bagi Penelitian Keperawatan
Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki keterbatasan, sehingga
• Agar waktu penelitian lebih lama dan sampel yang lebih banyak agar hasil
penelitian lebih representatif.
• Agar mengkaji latar belakang dari responden karena faktor genetik dapat
mempengaruhi kelainan refraksi.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta. Ahmadi, A. (2005). Psikologi Perkembangan, Jakarta: Rineka Cipta. Brockopp, D.Y. (1999). Dasar-Dasar Riset Keperawatan. Jakarta : EGC Bastanta, T. (2010). Prevalensi Kelainan Refraksi Di Poliklinik Mata. 13-15
Departemen Kesehatan RI. (1998). Berikan 21 Ribu Kacamata, Pertamina Catat Rekor. Diambil tanggal 05 Maret 2011 dari
Goh, P.P. (2005) Refractive Error And Visual Impairment In School-Age Children In Gambok District Malaysia. Diambil tanggal 5 Maret 2011, dari
Hongpi at al., (2010). Refractive Status and Prevalence of Refractive Errors in Suburban School-age Children, 7(6):342-353
Israr, Y.A. (2010). Kelainan Refraksi Mata – Miopia (Rabun Jauh), diambil tanggal
18 Maret 2011 dari
Ilyas, S. (2006). Kelainan Refraksi Dan Kacamata, Edisi kedua, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ilyas, S. (1989). Masalah Kesehatam Mata Anda Dalam Pertanyaan- Pertanyaan,
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ilyas, S. (2004). Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Istiqomah, I. (2005). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Mata, Jakarta: