• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Kelainan Refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prevalensi Kelainan Refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2014"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mata merupakan salah satu organ indera manusia yang mempunyai fungsi

sangat besar. Penyakit mata seperti kelainan-kelainan refraksi sangat membatasi

fungsi tersebut. Ada tiga kelainan refraksi, yaitu: miopia, hiperopia atau

hipermetropia, dan astigmatisme (Ilyas, 2010).

Kelainan refraksi merupakan salah satu masalah pada kesehatan mata yang

paling sering dijumpai. Kelainan refraksi terjadi ketika mata tidak dapat

memfokuskan bayangan dari sesuatu yang dilihat. Ketika seseorang menderita

kelainan refraksi, penglihatannya menjadi kabur dan kadang-kadang sangat berat

sehingga sangat mengganggu penglihatan. Masalah kelainan refraksi tidak hanya

mengganggu secara fisik tetapi juga dari segi ekonomi. Tidak hanya itu, kelainan

refraksi pada anak-anak yang tidak segera dikoreksi sangat berpengaruh terhadap

tingkat prestasi dalam belajar (WHO, 2013).

WHO mengungkapkan tentang masalah penglihatan pada tahun 2006,

sekaligus WHO menyatakan penemuannya tentang kelainan refraksi yang tidak

terkoreksi yang merupakan masalah penyebab 153 juta orang buta ataupun

terjadinya gangguan penglihatan (Holden, 2007).

Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada

penyakit mata. Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.

Jumlah pasien yang menderita kelainan refraksi di Indonesia hampir 25% dari

populasi atau sekitar 55 juta jiwa (Handayani, Supradnya, Dewayani, 2012).

Menurut Dirjen BUK (Bina Upaya Kesehatan), penyebab lain kebutaan dan

gangguan penglihatan setelah katarak adalah kelainan refraksi. Dengan prevalensi

22,1% dari total populasi Indonesia, dan sebanyak 15% diantaranya diderita oleh

anak usia sekolah. Kelainan refraksi dapat ditemukan pada semua kelompok umur,

tetapi kondisi ini sangat bermasalah dan perlu diperhatikan pada anak-anak usia

sekolah (Depkes, 2012).

(2)

2

Kebutaan masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Diperkirakan

1,5% penduduk Indonesia, sekitar 3,6 juta mengalami kebutaan dengan penyebab

utama: katarak, glaukoma, kelainan refraksi yang tidak dikoreksi, gangguan retina,

kelainan kornea, dan penyakit lain yang berhubungan dengan usia lanjut. Mengutip

data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) 2011 menunjukkan bahwa jumlah

pasien rawat jalan untuk penyakit mata adalah 672.168. Berdasarkan data tersebut,

dilaporkan pula jumlah gangguan refraksi (198.036), katarak (94.582), dan

glaukoma (25.176) (Depkes, 2013).

Menurut Menkes, saat ini 1,5% penduduk Indonesia mengalami kebutaan

(Survei Kesehatan Indera tahun 1993-1996) dengan prevalensi utama katarak

(0,78%), glaukoma (0,20%), kelainan refraksi yang tidak dikoreksi (0,14%),

gangguan retina (0,13%), kelainan kornea (0,10%), dan penyakit mata lain-lain

(0,15%) (Depkes, 2010).

Sedangkan menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian

Kesehatan tahun 2007, menunjukkan adanya penurunan angka kebutaan di

Indonesia yaitu rata-rata kebutaan nasional adalah 0,9% walaupun angka ini belum

bisa dibandingkan dengan hasil survei kesehatan indera penglihatan tahun

1993-1996 karena metode dan teknik yang dilakukan berbeda (Depkes, 2010).

Prevalensi kelainan refraksi di Amerika Serikat yang dilakukan pada tahun

1999-2004 pada 14.213 masyarakat sipil dengan usia ≥ 20 tahun ditemukan 12.010

orang (84,5 %) yang menderita kelainan refraksi (Vitale et al, 2008)

Penelitian tentang penyakit mata yang pernah dilakukan pada 2.256 murid

SMA yang berusia 15-19 tahun di Kota Lanzhou, Provinsi Gansu, China dengan

desain cross-sectional, menemukan 90,3% yang menderita kelainan refraksi dan

95,3% murid dengan kelainan refraksi memakai kacamata sebelum dilakukan

survei tersebut. Para peneliti juga menemukan di antara yang mengalami kelainan

refraksi tersebut, ditemukan penderita miopia (1.951/ 2.256, 86,5 %), astigmatisme

(921/2.256, 40,8 %), hiperopia (4/2.256, 0,2 %) (Sun, Cao, Yan, 2008).

Penelitian juga dilakukan di Kota Xi’an, China yang melaporkan bahwa

prevalensi murid SMA (usia 16-18 tahun) yang menderita miopia sebanyak 94 %

(Shi, Zhao, Cao, 2005).

(3)

3

Menurut penelitian yang dilakukan pada anak yang berusia pra sekolah di

Amerika Serikat yang dilakukan oleh National Institutes of Health, dari anak-anak

tersebut terdapat 4% menderita miopia, 21% menderita hiperopia, 10% menderita

astigmatisme, Penelitian tersebut juga menemukan adanya faktor resiko yang

mempengaruhi hasil penelitian tersebut, seperti usia, paparan rokok atau merokok,

dan etnis (Borchert et al., 2011).

Kelainan refraksi dapat ditentukan secara subyektif dengan menempatkan

lensa di depan masing-masing mata atau secara obyektif dapat ditentukan dengan

retinoskopi atau dengan refrakstometer. Untuk menentukan refraksi pada anak-anak

dianjurkan untuk melumpuhkan atau melemahkan daya akomodasi (sikloplegia)

dengan menggunakan obat tetes mata (atropin, siklogil) (Hollwich, 2005).

Data-data yang banyak dan valid memang diperlukan untuk mengetahui jumlah

penderita kelainan refraksi agar para ahli kesehatan dan masyarakat mendapatkan

informasi yang tepat. Informasi yang tepat tersebut dapat menjadi pedoman untuk

koreksi yang lebih baik pada waktu yang akan datang agar prevalensi penderita

penyakit mata tidak semakin meningkat.

1.2.Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, yang menjadi rumusan masalah yaitu: Berapa prevalensi

penderita kelainan refraksi di RSUP H. Adam Malik tahun 2011-2014?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kelainan refraksi di RSUP

H. Adam Malik tahun 2011-2014.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui jenis kelamin yang paling banyak menderita kelainan refraksi.

2. Mengetahui kelompok usia yang paling banyak menderita kelainan refraksi.

3. Mengetahui jenis kelainan refraksi yang paling banyak terjadi.

(4)

4

4. Mengetahui perkembangan kelainan refraksi dari tahun 2011-2014.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk para

pelaksana kebijakan pelayanan kesehatan dan para klinisi di Sumatera Utara, antara

lain:

1. Perbaikan pelayanan kesehatan mata terutama kelainan refraksi.

2. Peningkatan kewaspadaan terhadap kesehatan mata terutama kelainan refraksi.

3. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran terhadap kesehatan mata terutama

kelainan refraksi.

Hasil penelitian ini juga dapat memberikan manfaat untuk saya sebagai

peneliti, yaitu:

1. Sebagai upaya edukasi dan pencegahan dari terjadinya kelainan refraksi.

2. Menambah pengalaman dalam meneliti dan membuat karya tulis ilmiah.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa gambaran histopatologi yang paling sering dijumpai pada kanker lambung adalah tipe poorly differentiated (18,9%), diikuti oleh

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dubey tersebut, komplikasi intrakranial yang paling sering dijumpai pada penelitian ini adalah meningitis, lebih

Kanker payudara merupakan salah satu penyakit keganasan yang paling sering terjadi pada wanita di seluruh dunia dengan jumlah kasus baru yang didiagnosis setiap

Untuk mengetahui hubungan peningkatan Indeks Massa Tubuh dengan Axial Length dan Anterior Chamber Depth pada pasien dengan kelainan refraksi.. Penelitian ini berbentuk

Massa Tubuh memiliki hubungan dengan kelainan refraksi, dimana pasien. dengan Indeks Massa Tubuh tinggi memiliki

Keseluruhan penderita kelainan refraksi didominasi perempuan, suku terbanyak Karo dan Toba, tingkat pendidikan SMU dan Perguruan Tinggi, Miopia terbanyak pada pekerjaan

Keseluruhan penderita kelainan refraksi didominasi perempuan, suku terbanyak Karo dan Toba, tingkat pendidikan SMU dan Perguruan Tinggi, Miopia terbanyak pada pekerjaan

Ked(Oph), selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis mengikuti pendidikan dalam Program Megister Kedokteran Klinik dan