• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Stres Kerja Guru Wanita Berkeluarga

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.2. Gambaran Stres Kerja Guru Wanita Berkeluarga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengalami stres kerja berdampak positif (eustress) sebanyak 7 responden ( 38.9%) dan responden yang mengalami stres kerja berdampak negatif (distress) sebanyak 11 responden (61.1%). Gambaran ini dapat dilihat pada tabel 5.1.2. berikut.

Tabel 5.1.2.

Distribusi Frekuensi Dan Persentase Kategori Penilaian Gambaran Stres Kerja Guru Wanita Berkeluarga di SD Yayasan Perguruan Al-Azhar Medan Tahun 2012 (n=18)

Stres Kerja Guru Wanita Berkeluarga Frekuensi (f)

Persentase (%)

Stres Kerja Berdampak Positif (eustress)

7 38,9

Stres Kerja Berdampak Negatif (distress)

11 61,1

5.2. Pembahasan

Pada pembahasan ini peneliti akan membahas mengenai gambaran stres kerja guru wanita berkeluarga dengan jumlah sampel sebanyak 18 orang. Hasil penelitian berdasarkan data demografi menunjukkan bahwa mayoritas responden berumur 20-30 tahun (33,3%) dan berumur 41-50 tahun (33,3%). Menurut Sekartini (2003) semakin dewasa seseorang maka cara berpikir lebih matang, hal tersebut terkait dengan semakin tingginya pengetahuan seseorang ketika usianya makin dewasa, baik yang diperoleh dari pengalaman langsung maupun melalui pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2007), juga sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Nursalam (2001) bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Namun jika ditinjau dari hasil penelitian terlihat bahwa terdapat jumlah yang sebanding yang mengalami stres kerja berdampak negatif (distress) antara umur 20-30 tahun atau dewasa dini dengan umur 41-50 tahun atau dewasa madya. Peneliti berasumsi bahwa walaupun kedua tingkat umur ini memiliki frekuensi stres yang sebanding namun kapasitas stres kerja yang dihadapi berbeda, hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Fitzgibbon (2006) tentang stres pekerja wanita bahwa stres fisik yang dirasakan oleh pekerja meningkat seiring dengan peningkatan usia, sedangkan stres psikologis seperti perasaan tertekan, frustasi dan lainnya lebih banyak dirasakan oleh pekerja berusia muda.

Berdasarkan jumlah anak yang dimiliki responden yang mengalami stres kerja berdampak negatif (distress) mayoritas berjumlah 1 anak (50,0%). Menurut Cinamon (2002) bahwa jumlah anak dan jumlah waktu yang dihabiskan untuk mengurus rumah tangga dan pekerjaan serta tidak adanya dukungan dari pasangan dan keluarga merupakan pemicu terjadinya konflik antara pekerjaan dan keluarga yang berdampak negatif (distress) dalam pekerjaan, hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan Yang, dkk (2000) bahwa tuntutan keluarga berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menangani tugas-tugas rumah tangga. Tuntutan keluarga ini ditentukan oleh besarnya keluarga, komposisi keluarga dan jumlah anggota keluarga yang memiliki ketergantungan terhadap anggota yang lain. Peneliti berasumsi bahwa dampak negatif stres kerja (distress) yang dialami oleh responden bukan dikarenakan oleh jumlah anak namun lebih kepada usia anak, sebab sebagian besar responden adalah ibu muda dan ibu yang masih memiliki anak yang masih kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Hurlock (2006) bahwa wanita yang memiliki usia dewasa awal sekitar 21-35 tahun diharapkan memainkan peran ganda baru yaitu sebagai istri, ibu dan pekerja. Wanita pada masa ini dihadapkan pada kesulitan untuk menyeimbangkan antara tuntutan peran tugas kodrat dan tugas pekerjaan. Ibu pada masa dewasa awal mempunyai anak pada masa bayi, anak-anak, dan prasekolah yang menyita waktu dan energi ibu untuk mengasuh dan merawatnya, juga sependapat dengan Barnett & Baruch dalam Hewlett

(2003) bahwa keterlibatan ibu dalam pengasuhan anak usia bayi dan prasekolah cenderung tinggi dibandingkan dengan anak usia sekolah.

Adapun data berdasarkan latar belakang pendidikan terakhir responden yang mengalami dampak negatif stres kerja (distress) mayoritas berpendidikan sarjana (77,7%). Hal ini bertolak belakang dengan Notoatmodjo (2007) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempertinggi intelegensi seseorang dan pernyataan yang diungkapkan oleh Takasihaeng (2000) bahwa wanita yang berpendidikan cenderung mampu untuk mengatur koping. Peneliti berasumsi bahwa tingkat pendidikan yang tinggi saja tidak cukup menjamin bahwa seseorang bisa selalu keluar dari berbagai beban dan tuntutan yang sedang di hadapinya, terlebih lagi bagi guru wanita yang telah menikah yang harus menghadapi berbagai tuntutan tidak hanya harus berperan sebagai istri dan ibu dalam rumah tangga namun juga berperan sebagai staf dan pendidik di sekolah. Selain itu, memiliki pendidikan yang tinggi belum tentu memiliki kemampuan koping yang kuat pula. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Wilson & Skodol (1998) bahwa lingkungan nyata menimbulkan stres pada sejumlah besar orang, namun individu atau masyarakat berbeda sensitivitas dan kerentanannya terhadap peristiwa dan bergantung pada adekuatnya gaya koping seseorang, juga sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Berger & Williams (1992) bahwa perilaku atau pola koping seseorang bersifat unik dan berbeda satu sama lain, karakter bawaan seseorang,

pengalaman dimasa lalu dan tujuan hidup seseorang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam beradaptasi dengan stres termasuk stres kerja.

Menurut Nugroho (2000) pendapatan yang sangat minimal atau kurang memadai kurang mungkin untuk memenuhi kebutuhan, lebih lanjut Handoko (dikutip dari Wirakristama, 2011) juga mengungkapkan bahwa kekuatan finansial merupakan faktor off the job yang menimbulkan stres kerja pada pekerja dan sependapat dengan Hendrix, Spencer & Gibson (dikutip dari Indriyani, 2009) bahwa masalah keuangan menjadi salah satu sumber stres bagi wanita pekerja. Pendapat mereka tersebut kurang sesuai dengan data yang diperoleh berdasarkan penghasilan perbulan responden yang mengalami dampak negatif stres kerja (distres) mayoritas berpenghasilan > Rp.1.000.000,- (83,3%). Peneliti berasumsi bahwa banyak hal yang melatarbelakangi terjadinya dampak negatif stres kerja (distress) yang dialami oleh responden dan dalam hal ini lebih cenderung dilatarbelakangi oleh faktor organisasional daripada individual, beberapa hal penyebab stres kerja dalam lingkup organisasional yaitu tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan antarpribadi, kondisi kerja, kebijakan administrasi dan lainnya (Robbins, 2003).

Berdasarkan data yang diperoleh dari kuesioner gambaran stres kerja guru wanita berkeluarga diperoleh beberapa item pernyataan dengan frekuensi tertinggi yang menjadi pemicu terjadinya stres kerja berdampak negatif (distress) pada 18 guru wanita berkeluarga di Sekolah Dasar Yayasan Perguruan Al-Azhar Medan. Adapun pemicu terjadinya dampak negatif stres

kerja (distress) yang dialami responden sering bersumber dari beban kerja yang berlebihan (50,0%), hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Robbins (2003) bahwa tuntutan tugas menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat stres kerja karyawan, juga sejalan dengan pernyataan yang ada dalam penelitian Wirakristama (2011) bahwa segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan yang dapat menimbulkan stres pada karyawan berasal dari beban pekerjaan. Hal ini wajar terjadi terutama pada guru wanita terkait beban kerjanya yang tidak hanya harus memenuhi kewajiban dalam mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik namun juga senantiasa dituntut untuk menyelesaikan berbagai tugas-tugas dari atasan. Sesuai dengan pernyataan Murtiningrum (2005) bahwa berbagai tekanan yang dialami oleh guru, misalkan ada tugas-tugas dari sekolah yang belum selesai atau tugas dari kepala sekolah yang harus segera dikumpulkan perlu dikerjakan dirumah dan lembur, hal itu akan menimbulkan keadaan stres pada guru, selain itu guru juga dihadapkan pada pengalaman negatif dengan siswa terutama guru yang mendidik anak pada rentang usia sekolah (masa kanak-kanak akhir). Tuntutan pekerjaan berhubungan dengan tekanan yang berasal dari beban kerja yang berlebihan dan waktu seperti pekerjaan yang harus diselesaikan terburu-buru dan deadline. Sedangkan tuntutan keluarga berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menangani tugas-tugas rumah tangga.

Kesulitan untuk menyeimbangkan antara kepentingan keluarga dan pekerjaan (50,0%) sering menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik peran ganda yang berpengaruh pada terjadinya dampak negatif stres kerja (distress) pada responden. Indriyani (2009) mengemukakan bahwa konflik peran ganda muncul apabila wanita merasakan ketegangan antara peran pekerjaan dan peran keluarga, juga sesuai dengan pernyataan Greenhouse dan Beutell (dikutip dari Murtiningrum, 2005) yang mendefenisikan bahwa konflik peran ganda adalah sebuah konflik yang timbul akibat tekanan-tekanan yang berasal dari pekerjaan dan keluarga dan sejalan dengan pendapat Munandar (2001) bahwa konflik peran muncul jika seorang pekerja mengalami pertentangan antara tanggung jawab yang dia miliki dengan tugas-tugas yang harus dilakukannya. Tuntutan untuk menyeimbangkan antara tugas pekerjaan sebagai guru dan tuntutan sebagai anggota keluarga berpotensi menimbulkan konflik antara pekerjaan dan keluarga (Triaryati, 2002).

Tekanan yang ditimbulkan oleh pekerjaan dan keluarga selalu menjadi penyebab responden marah-marah kepada anak dan suami (50,0%). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan Tarwoto & Wartonah (2003) bahwa respon psikologis terhadap stres kerja dapat berupa ansietas, depresi dan marah atau emosi tidak stabil. Anoraga (1998) juga menyatakan bahwa jika ibu yang bekerja tersebut tidak dapat menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga maka akan menimbulkan suatu tekanan sehingga mengakibatkan ibu tersebut sering marah-marah kepada anak dan suami,

kurang memperhatikan anak-anak dan suami, cepat lelah, dan lain-lain. Hal tersebut sering disebut dengan istilah stres kerja, yaitu respon yang adaptif terhadap situasi eksternal yang menyebabkan penyimpangan secara fisik, psikologis dan perilaku.

Selanjutnya stres kerja yang dialami responden dalam pekerjaan juga sering mempengaruhi emosi dan pikiran mereka (66,7%). Keliat (1997) membagi sumber stres stresor menjadi tiga yaitu lingkungan, diri sendiri dan pikiran. Lingkungan terdiri dari aspek fisik, psikososial dan spiritual. Sumber stresor dari diri sendiri yaitu perubahan fisiologis yang tampak melalui tanda dan gejala, proses pemeriksaan, proses perawatan dan tindakan yang berhubungan dengan tubuh. Sumber stresor yang berasal dari pikiran berkaitan dengan penilaian klien terhadap lingkungan dan cara penyesuaiannya. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh indriyani (2009) bahwa tertekan karena terbatasnya waktu dan beban pekerjaan terlalu banyak serta situasi kerja yang kurang menyenangkan, keadaan ini akan mengganggu pikiran dan mental karyawan wanita ketika bekerja.

Kemudian stres kerja yang responden hadapi sering menjadi penyebab mereka mengalami masalah kesehatan seperti nafas memburu, otot tegang, merasa panas, sembelit, sakit kepala, salah urat dan letih yang tidak beralasan (55,6%). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikutip dari skripsi Wirakristama (2011) bahwa berbagai tekanan-tekanan yang dialami dalam pekerjaan dan keluarga akan menimbulkan suatu peristiwa-peristiwa yang

merupakan luapan dari emosi yaitu stres kerja yang ditunjukkan sebagai bentuk kondisi yang mempengaruhi emosi, pikiran, dan kondisi fisik seseorang, serta sama halnya seperti yang dikemukakan oleh Cox dan Gibson (2003) bahwa ada 5 macam konsekuensi dari stres kerja diantaranya ada yang pengaruhnya bersifat subjektif, perilaku, kognitif, organisasi bahkan fisiologis yakni stres yang dapat menciptakan perubahan dalam metabolisme tubuh, kandungan glukosa darah meningkat, denyut jantung dan tekanan darah meningkat, tubuh panas dingin dan gejala-gejala lainnya. Penelitian Selye telah mengidentifikasi dua respon fisiologis terhadap stres yaitu Local Adaptation Syndrome (LAS) yakni respon jaringan, organ dan bagian tubuh terhadap stres dan trauma, penyakit dan perubahan fisiologis lainnya serta General Adaptation Syndrome (GAS) yang merupakan pertahanan tubuh terhadap stres (Potter & Perry, 1992).

Berbagai tekanan yang dialami guru tidak hanya berasal dari urusan keluarga dan pekerjaan saja, menurut Murtiningrum (2005) guru juga terka-dang dihadapkan pada pengalaman negatif dengan siswa terutama guru yang mendidik anak pada rentang usia sekolah (masa kanak-kanak akhir). Hal ini turut menjadi pemicu terjadinya stres kerja berdampak negatif (distress) yang dialami responden yang terlihat dari 44,4% responden yang menyatakan sering dihadapkan pada pengalaman negatif ketika mendidik anak didik mereka.

Siswa sekolah dasar adalah kelompok usia yang masih mempunyai keinginan untuk selalu bergerak karena pada masa itu anak mempunyai

kelebihan energi sehingga disalurkan melalui bergerak. Sering didapatkan ketika bermain terjadi suatu kecelakaan besar maupun kecil sehingga kadang-kadang menyebabkan kepanikan bagi pihak sekolah. Untuk itu guru sebagai orang pertama yang bertagungjawab mempunyai peranan yang penting (Setyoadi, 2012).

Anak usia sekolah dasar juga merupakan kelompok usia yang kritis karena pada usia tersebut seorang anak rentan terhadap masalah kesehatan. Laporan Riset Kesehatan Dasar (RIKESDAS) Nasional tahun 2007, dapat disimpulkan bahwa perilaku yang menyangkut kebersihan dapat mempengaruhi kesehatan. Banyak penyakit yang dapat disebabkan karena perilaku hidup bersih dan sehat yang masih kurang seperti diare, kecacingan, masalah periodontal, filariasis, demam berdarah dan muntaber. Masalah kebersihan diri yang cukup banyak dialami oleh murid sekolah dasar yaitu: 86% murid yang bermasalah pada gigi, 53% tidak biasa potong kuku, 42% murid yang tidak biasa menggosok gigi, dan 8% murid yang tidak mencuci tangan sebelum makan. Selain itu data penyakit yang diderita oleh anak sekolah dasar terkait perilaku seperti cacingan adalah sebesar 60–80%, dan caries gigi sebesar 74,4%. Kompleksnya masalah kesehatan anak sekolah dasar ini perlu ditanggulangi secara komprehensif dan multisektor (Depkes RI, 2008).

Orangtua sering mengaitkan usia ini sebagai usia yang menyulitkan, usia tidak rapi dan usia dimana anak sering sekali bertengkar terutama anak laki-laki. Seperti halnya pernyataan yang dikemukakan oleh Hurlock (2006)

bahwa rentang usia sekolah dasar merupakan masa sulit diatur, karena anak lebih banyak mengikuti aturan dari teman sebaya atau kelompok sosial sehingga anak tak mau menuruti perintah orang tua atau aturan di sekolah. Dan masa bertengkar, karena anak selalu bertengkar dengan anggota keluarga lainnya, tetangga atau teman sebayanya, apalagi ketika anak merasakan suasana di rumah dan sekolah yang tidak menyenangkan, inkonsisten disiplin, lemah atau otoriter.

Beberapa sikap dan perilaku yang dominan terhadap fase tumbuh kembang anak usia sekolah dasar menurut Ahira (2012) diantaranya seperti sikap ego, emosi tak stabil, mudah tersinggung, kadang-kadang manja, suka mengikuti trend, ingin mencoba, ingin mendapatkan perhatian yang lebih dan sebagainya. Berbagai sikap negatif tersebut perlu mendapat penyikapan dari kalangan orangtua maupun tenaga pendidik di lingkungan pendidikan formal, sebab sikap ketidakpedulian nantinya akan memberi dampak buruk terhadap proses perkembangan anak. Hal ini terkait perubahan perkembangan karakter awal membantu membentuk perilaku dan karakteristik selanjutnya (Potter, 2005).

Lebih lanjut menurut Pieter dan Lubis (2010) ada banyak bahaya-bahaya yang rentan dialami oleh anak pada rentang usia sekolah dasar ini. Menurut penuturan responden bahaya-bahaya yang mereka amati dari anak didik mereka lebih cenderung kepada bahaya-bahaya fisik dan psikologis, seperti rentan mengalami penyakit dan kecelakaan. Hal ini terkait dengan masa anak yang memasuki masa tahap bermain dan senang mencoba hal-hal

baru, jika tidak diawasi dengan baik kemungkinan resiko terjadinya bahaya-bahaya tersebut akan semakin besar. Hal tersebut misalnya bisa dilakukan dengan senantiasa mengarahkan dan mengawasi mereka ketika bermain dan juga ketika mereka mengonsumsi jajanan.

Menurut Hidayat (2004) olahraga dan latihan teratur adalah salah satu cara untuk meningkatkan daya tahan dan kekebalan fisik maupun mental. Hal ini selaras dengan Yusuf (2005) yang mengungkap beberapa kiat dalam mengantisipasi stres kerja salah satunya adalah dengan melakukan olah raga dan olah nafas secara teratur. Olahraga dan senantiasa menjaga kebugaran tubuh merupakan salah satu cara yang dapat diterapkan sebagai rutinitas untuk menangkal stres terutama stres yang berkaitan dalam hal pekerjaan. Kebenaran pernyataan mereka tersebut telah terbukti pada 77,8% responden yang jarang melakukan rutinitas olah raga adalah responden yang mengalami stres kerja berdampak negatif (distress). Ketiadaan waktu luang, malas dan terlalu capek merupakan beberapa alasan yang dikemukakan oleh responden terkait hal tersebut.

BAB VI

Dokumen terkait