• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

Berdasarkan jenis kelamin, responden laki-laki lebih banyak yang terinfeksi STH yaitu 46 orang (55,4 %) dibandingkan dengan jumlah responden perempuan sebanyak 37 orang (44,6 %). Hasil ini sesuai dengan penelitian Pertiwi, et al. (2008), yang memperoleh data bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak terinfeksi kecacingan yaitu sebanyak 93 orang (84,5 %). Menurut penelitian Salbiah (2008), tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan infeksi kecacingan (p=0,943).

Dalam penelitian ini diperoleh sebagian besar responden berada pada kelompok umur 6- 10 tahun yaitu sebanyak 42 orang (50,6 %). Menurut data WHO pada tahun 2004, infeksi STH sering terjadi pada anak usia sekolah. Dimana angka kejadian tertinggi infeksi STH ditemukan pada anak kelompok umur 5-15 tahun ( Tarigan, 2012). Penelitian Winita et al.(2011), yang dilakukan pada anak sekolah dasar di paseban Jakarta menyatakan bahwa kelompok umur 6- 8 tahun angka infeksi kecacingannya lebih tinggi dibanding umur 9-12 tahun. Faktor usia dengan infeksi kecacingan tidak memiliki hubungan bermakna. (Ginting, 2003).

Dari 83 responden yang positif kecacingan, presentase infeksi STH tertinggi berasal dari kelas 6 yaitu 26 responden (31,3 %). Sementara Pertiwi, et al. (2008), memperoleh data bahwa presentase tertinggi berasal dari kelas 4 yaitu 37 responden (86%).

5.2.1. Pengetahuan Siswa-siswi

Hasil penelitian terhadap 83 orang responden siswa-siswi SD Negeri 040470 di Desa Lingga Julu menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang tidak baik mengenai infeksi kecacingan yaitu sebanyak 69 orang (83,1 %). Hal ini dapat diketahui dari jawaban yang tidak tepat dari responden pada kuesioner bahwa kecacingan merupakan terdapatnya satu atau lebih cacing dalam tubuh manusia. Sebagian besar responden tidak mengetahui berapa kali dalam setahun perlu meminum obat cacing dan responden juga tidak

40

mengetahui bahwa seseorang dapat terinfeksi kecacingan melalui makanan/minuman kotor dan tidak memakai alas kaki. Hanya sedikit responden yang mengetahui cara mencegah kecacingan diantaranya mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar, memotong kuku saat kuku panjang dan mulai kotor, dan menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Chadijah, et al.(2013) dimana ditemukan dari 90 orang responden, 67 orang (33,67 %) memiliki tingkat pengetahuan tidak baik dan terinfeksi cacing.

5.2.2. Sikap Siswa-siswi

Tabel 5.5 menunjukkan bahwa sikap sebagian besar responden pada kategori baik sebanyak 49 orang (59 %) dan yang bersikap tidak baik sebanyak 34 orang (41,0 %). Hal ini dapat dilihat bahwa banyak responden setuju bahwa kecacingan dapat mengakibatkan badan kurus dan malas belajar, pengobatan kecacingan penting dilakukan untuk mencegah penularan, dan responden juga setuju bahwa pencegahan kecacingan adalah tanggung jawab semua anggota keluarga. Namun hanya sedikit responden yang setuju bahwa memelihara kebersihan dan lingkungan dapat mengurangi kecacingan pada anak. Hasil ini sejalan dengan penelitian Salbiah (2008), dimana sebagian besar responden bersikap baik yang terinfeksi cacing yaitu sebanyak 29 orang ( 53,7 %). Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Tumanggor (2008), dimana sebagian besar responden bersikap tidak baik yaitu 47 orang (63,5 %).

5.2.3. Tindakan Siswa- siswi

Berdasarkan tabel 5.7 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden berada pada kategori baik yaitu 51 orang ( 61,4 %). Responden telah melakukan tindakan mencuci tangan pakai sabun pada saat sebelum dan sesudah makan dan sesudah buang air besar, mencuci buah- buahan sebelum di makan, membersihkan kuku dan menggunting kuku secara teratur serta meminum obat cacing teratur 2x setahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Salbiah (2008), dimana sebagian besar responden memiliki tindakan baik yaitu 23 orang (62,2 %).

41

Namun berdasarkan jawaban responden pada variabel tindakan, masih sedikit responden yang menggunakan toilet/ WC apabila buang air besar. Hal ini mungkin disebabkan kurang mampunya masyarakat untuk menyediakan toilet/ WC yang sesuai standar.

5.2.4. Intensitas Infeksi Soil Transmitted Helminths

Dari 83 sampel yang diperiksa, seluruh sampel (100%) positif terinfeksi kecacingan. Prevalensi infeksi Ascaris lumbricoides yaitu sebesar 90,3 % , prevalensi infeksi Trichiuris trichiura sebesar 89,1 % dan infeksi campuran sebesar 79,5 %. Angka kecacingan ini memiliki nilai diatas angka prevalensi kecacingan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2012 yaitu sebanyak 32,3 %. Hal ini disebabkan karena anak usia sekolah dasar memiliki kontak yang sangat sering dengan tanah ( Salbiah, 2008). Kondisi sanitasi lingkungan sekolah dan rumah siswa- siswi yang tidak sesuai standar juga merupakan suatu faktor yang mendukung tingginya angka prevalensi ini. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Ginting (2003), dimana angka prevalensi kecacingan yang dilakukannya di Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo sebesar 70 %, dimana infeksi campuran 55,8 %, askariasis 6,75 %, dan trikuriasis sebanyak 7,5 %. Hasil penelitian juga tidak sejalan dengan penelitian Pasaribu (2004) yang mendapatkan prevalensi kecacingan di Kabupaten Karo sebesar 91,3 %.

5.2.5. Hubungan Perilaku Terhadap Intensitas Infeksi STH

Perilaku merupakan suatu kegiatan seseorang yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Seseorang yang berpengetahuan baik mengenai sesuatu hal, diharapkan akan memiliki sikap yang baik pula. Selanjutnya sikap yang baik diharapkan akan menghasilkan suatu tindakan yang baik pula (Salbiah, 2008). Namun dalam penelitian ini, hal tersebut tidak sesuai. Dimana responden sebagian besar berpengetahuan tidak baik, namun memilki sikap dan tindakan yang tidak baik.

42

5.2.5.1. Hubungan Pengetahuan Siswa-siswi Terhadap Intensitas Infeksi STH Dari hasil pengolahan data yang menggunakan Uji Chi-Square diperoleh nilai p > 0,05. Dimana hubungan pengetahuan dengan intensitas infeksi STH pada siswa-siswi memiliki nilai p=0,103. Hasil ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang yang bermakna antara pengetahuan siswa-siswi terhadap intensitas infeksi STH.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mustafa, et al .(2013). Dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang pencegahan penyakit kecacingan dengan infestasi cacing pada siswa SD di Kota Manado (p=1,000). Penelitian lain yang dilakukan oleh Tumanggor (2008) tentang hubungan perilaku dan higiene siswa dengan infeksi kecacingan di Kecamatan Siempat Nempu, menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan infeksi kecacingan p= 0,000 (<0,05).

5.2.5.2. Hubungan Sikap Siswa-siswi Terhadap Intensitas Infeksi STH

Berdasarkan hasil Uji Chi-Square diperoleh nilai p > 0,05. Dimana hubungan sikap dengan intensitas infeksi STH pada siswa-siswi memiliki nilai p=0, 163. Hasil ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang yang bermakna antara sikap siswa-siswi terhadap intensitas infeksi STH.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Salbiah (2008), tentang hubungan karakter siswa dan sanitasi lingkungan dengan infeksi kecacingan pada siswa SD di Kecamatan Medan Belawan. Dimana hasil analisis bivariate menyatakan nilai p = 0,960 (>0,05). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Dachi (2005) yang meneliti hubungan perlikau terhadap infeksi cacing perut di Kabupaten Samosir. Dimana hasil penelitiannya menunjukkan terdapat hubungan antara sikap dengan infeksi kecacingan dengan nilai p=0,001 (<0,05).

43

5.2.5.3. Hubungan Tindakan Siswa-siswi Terhadap Intensitas Infeksi STH

Berdasarkan hasil Uji Chi-Square diperoleh nilai p > 0,05. Dimana hubungan tindakan dengan intensitasinfeksi STH pada siswa-siswi memiliki nilai p=0, 334. Hasil ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang yang bermakna antara tindakan siswa-siswi terhadap intensitas infeksi STH.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mustafa, et al .(2013) pada siswa SD di Kecamatan Mapanget Kota Manado dengan hasil analisis bivariate menyatakan nilai p = 0,470 (>0,05). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Salbiah (2008), dimana terdapat hubungan antara tindakan dengan infeksi kecacingan p= 0,002 (<0,05).

Adanya perbedaan hasil penelitian ini disebabkan oleh perbedaan lokasi penelitian dengan kondisi sanitasi lingkungan dan hygiene siswa yang berbeda. Penelitian ini juga tidak hanya melihat sampel positif terinfeksi STH atau tidak, tetapi juga meneliti intensitas infeksi STH.

Menurut Rawina et al.( 2011), salah satu faktor penyebab masih tingginya infeksi cacing adalah rendahnya tingkat sanitasi pribadi (perilaku hidup bersih sehat) seperti kebiasaan cuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar (BAB), kebersihan kuku, perilaku jajan di sembarang tempat, perilaku BAB tidak di WC, serta ketersediaan sumber air bersih. Namun dalam penelitian ini ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara perilaku dengan intensitas infeksi STH.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Andaruni, et al.(2012), menyatakan bahwa faktor penyebab infeksi cacingan pada anak ialah personal hygiene dan sanitasi lingkungan. Sementara penelitian Bagus (2010) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kejadian kecacingan yang disebabkan oleh STH di Indonesia diantaranya antara lain, faktor iklim, tingkat pendidikan dan sosio ekonomi. Jadi dalam hal ini, bukan hanya faktor perilaku yang mempengaruhi infeksi kecacingan.

44

Dokumen terkait