• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.3 Pembahasan

Hasil kajian yang dilakukan terhadap tuturan yang ada di dalam interaksi antara keluarga kesultanan dengan masyarakat di lingkungan keraton Yogyakarta ditemukan beberapa tuturan yang mengandung basa-basi. Tuturan yang termasuk ke dalam tuturan basa-basi terbagi menjadi jenis basa-basi berbahasa (a) meminta

maaf (b) belasungkawa (c) memberi salam (d) berterima kasih (e) meminta (f) menerima (g) menolak. Data tuturan yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat penanda basa-basi linguistik dan nonlinguistik yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan ke dalam jenis basa-basi tertentu. Adapun penanda basa-basi linguistik meliputi nada, tekanan, intonasi dan pilihan kata, sedangkan penanda nonlinguistik meliputi situasi, suasana, dan implikatur tambahan.

4.3.1 Meminta maaf

Berdasarkan data yang telah didapatkan oleh peneliti sebanyak 40 tuturan yang basa-basi, terdapat 7 tuturan yang termasuk ke dalam basa- basi yang meminta maaf. Tuturan-tuturan tersebut merupakan tuturan basa-basi yang dituturkan oleh para keluarga kesultanan keraton Yogyakarta. Tuturan yang berjumlah 7 itu memiliki penanda basa-basi linguistik dan juga penanda basa-basi nonlinguistik yang dapat dilihat dari konteks tuturan yang melingkupinya.

Perilaku basa-basi meminta maaf lebih mengarah pada sebuah tuturan yang disampaikan penutur untuk mengekspresikan penyesalan, tidak hanya menimbulkan rasa sungkan tetapi dapat merasa dihargainya mitra tutur. Dengan demikian, sebuah tuturan dapat dikatakan basa-basi meminta maaf jika tuturan tersebut telah membuat mitra tutur merasa sungkan dan merasa dihargai.

Contoh:

(A1)Maaf ya, yang pakai sandal sebaiknya ditaruh diluar

(konteks tuturan: tuturan terjadi Dwarapura ruang kerja keraton, penutur

memasuki ruang kerja keraton. Suasana ramah dan santai. Ketika melewetai penutur mitra tutur di tegur dengan halus oleh penutur dengan menunjukan arah tepat menggunakan jempol)

(A3)Maaf ya , saya ada rapat jadi tidak bisa lama

(konteks tuturan: tuturan terjadi di Parentahageng ruang kerja keraton

mitra tutur meminjam buku dari penutur. Suasana ramah dan santai, penutur mengutarakan keperluan yang akan dilakukan selanjutnya kepada mitra tutur)

(A5)maaf ya, saya agak batuk

(konteks tuturan: tuturan terjadi diParentahageng ruang kerja keraton

ketika penutur sedang bercakap dengan mitra tutur di ruang kerja. Suasana tenang dan ramah. Ketika sedang bercakap, penutur batuk-batuk dan penutur pun meminta maaf karena membuat tidak nyaman mitra tutur yang ada didepannya dengan memberitahukan bahwa penutur sedang sakit batuk)

(A7) bentar ya, saya nrima ini dulu. Ini ultah siapa saya tidak tahu, hehe

(konteks tuturan: tuturan terjadi di parentahageneg ruang kerja keraton

Suasana tenang dan santai. Penutur sedang bercakap dengan mitra tutur. Ketika sedang bercakap penutur mendapatkan sajian ulang tahun dari Abdi dalem Penutur pun menerimanya di depan mitra tutur)

Keempat tuturan tersebut merupakan wujud basa-basi linguistik berupa tuturan lisan yang telah ditranskrip. Dalam penelitian ini penanda basa-basi linguistik keempat tuturan di atas dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan pilihan kata. Dalam tuturan (A1), (A3), (A5), dan (A7), penutur menyampaikan tuturannya dengan nada rendah. Penggunaan nada tersebut menunjukkan ekspresi sungkan penutur terhadap mitra tutur. Nada tuturan yang rendah itu menunjukkan suasana hati penutur yang merasa sungkan dengan perilaku mitra tutur. Hal tersebut sejalan dengan

Pranowo (2009:77) nada bicara penutur selalu berkaitan dengan suasana hati penuturnya. Oleh karena itu tuturan basa-basi dapat di kategorikan meminta maaf bila tuturan tersebut mengandung maksud dan rasa sungkan dari nada tutur yang di utarakan.

Keempat tuturan itu dapat dipersepsi memiliki basa-basi karena pada nada tuturan (A1), (A3), (A5), dan (A7) dikatakan dengan nada rendah berupa rasa sungkan terhadap mitra tutur. Selain itu, dapat dipersepsi pula bahwa seorang penutur dapat menyenangkan hati mitra tuturnya apabila nada tutur yang dipakai adalah nada rendah Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa nada rendah merupakan salah satu penanda linguistik untuk tuturan yang meminta maaf.

Selanjutnya, mengenai tekanan dan intonasi dapat diuraikan sebagai berikut. Keempat tuturan itu dikatakan dengan tekanan sedang. Muslich (2008:113) mengatakan tidak semua kata dalam kalimat ditekankan sama, hanya kata-kata yang dianggap penting atau dipentingkan yang mendapatkan tekanan. Hal tersebut dapat dilihat pada masing-masing tuturan itu. Pada tuturan (A1), (A3) dan (A5) terdapat tekanan pada pengucapan tuturan maaf ya. Pada tuturan (A7) terdapat pengucapan tuturan bentar ya. Beberapa bagian tuturan yang ditekankan pada keempat tuturan tersebut merupakan bagian tuturan yang dipentingkan penutur ketika mengungkapkan rasa sungkannya.

Lebih lanjut pembahasan mengenai intonasi. Menurut Muslich (2008:115) pada tataran kalimat, variasi-variasi nada pembeda maksud

disebut intonasi. Intonasi pada sebuah tuturan terdiri dari tiga pola yaitu pola kalimat berita yang ditandai dengan pola intonasi datar turun, kalimat tanya yang berpola datar naik, dan kalimat perintah yang berpola datar tinggi. Pada tuturan (A1), (A3), (A5), dan (A7) memiliki intonasi berita yang berpola datar rendah yang menunjukkan ekspresi sungkan penutur mengenai tingkah mitra tutur dan menunjukkan pemberitahuan kepada mitra tuturnya. Keempat tuturan tersebut sama-sama dikatakan dengan suara sedang disertai nada sungkan di depan mitra tuturnya.

Dalam hal ini, keempat tuturan itu dapat dipersepsi sebagai tuturan yang memiliki katagori basa-basi. Hal tersebut dapat dikatakan demikian karena keempat tuturan itu dikatakan dengan nada sungkan, terlebih tuturan (A1), (A3), (A5), dan (A7) dikatakan dengan suara yang sedang, sementara apa yang dilontarkan penutur tidak sesuai dengan konteks pembicaraan yang terjadi dan mitra tutur dekat menyebabkan kadar basa- basi jelas terlihat. Tuturan yang disampaikan dengan tekanan sedang dan intonasi berita dapat pula berpotensi menyenangkan hati mitra tuturnya. Dengan demikian, penanda basa-basi linguistik berikutnya untuk tuturan basa-basi meminta maaf adalah tekanan sedang dan intonasi berita berupa rasa sungkan.

Pembahasan berikutnya mengenai pilihan kata, Keraf (1981:23) mendeskripsikan pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan

ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Pilihan kata dalam kelima tuturan itu meliputi kata nonstandar berupa kata tidak baku, kata fatis, kata seru dan interferensi ke dalam bahasa Jawa serta terdapat pula kata jargon berupa umpatan. Kata nonstandar yang berupa kata fatis terdapat pada tuturan (A1), (A3), (A5)) yaitu ya. Kata fatis itu digunakan untuk memberikan penegasan pada tuturan yang diujarkan. Ada pula penggunaan kata tidak baku pada tuturan (A7) yaitu nrima, kata tidak baku ini menandakan bahwa penutur sudah merasa dekat dengan mitra tutur. Dengan pilihan kata yang tepat ketika menyampaikan maksud dalam konteks tertentu dapat menggambarkan pemakaian bahasa penuturnya.

Pembahasan berikutnya terkait wujud basa-basi dan penanda basa- basi nonlinguistik. Pada keempat tuturan dapat dilihat dari konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Istilah konteks sering digunakan untuk menerangkan peristiwa bahasa sebagai salah satu petunjuk untuk lebih memahami masalah arti bahasa (Anwar, 1984: 44). Selanjutnya ditegaskan oleh Rahardi (2003:20) konteks tuturan dapat diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur, serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan oleh si penutur itu di dalam keseluruhan proses bertutur.

Adapun konteks tuturan dapat diuraikan mulai dari dimensi penutur dan mitra tutur. Keempat tuturan tersebut dituturkan oleh keluarga

Kesultanan kepada masyarakat. Hal yang membedakan adalah dimensi sosial penutur dan mitra tutur pada keempat tuturan itu yang berupa dimensi jenis kelamin. Tuturan (A1), (A3), (A5), dan (A7) penutur dan mitra tuturnya adalah laki-laki, Berkaitan dengan dimensi jenis kelamin, bahasa untuk laki-laki cenderung keras, sedangkan bahasa perempuan cenderung lebih lembut (Rahardi, 2011:161). Dalam tuturan (A1), (A3), (A5), dan (A7) dapat ditemukan tuturan yang lembut sekalipun yang menuturkan adalah laki-laki.

Selanjutnya, konteks tuturan meliputi pula waktu terjadi, tempat, suasana dan latar belakang pengetahuan penutur dan mitra tutur. Berikut akan dijelaskan lebih rinci masing-masing tuturan itu. Tuturan (A1) terjadi pada pagi hari pukul 09.40 WIB di dwanaura ruang kerja keraton. Suasana di ruangan tersebut ramah dan santai. Penutur laki-laki dan merupakan bangsawan keraton, mitra tutur juga seorang laki-laki dan merupakan mahasiswa yang sedang melakukan penelitian di lingkungan keraton. Penutur menegur mitra tutur karena mitra tutur telah melakukan kesalahan dengan memasuki ruangan menggunakan sandal akan tetapi penutur menepatkan dirinya ada posisi yang salah dengan meminta maaf terlebih dahulu sebelum menegur mitra tutur. Dalam tuturan (A1) terdapat bahasa tubuh penutur dengan menunjukan arah tempat menaruh sandal.

Tuturan (A3) terjadi pada pagi hari pukul 11.15 WIB di Parentahageng ruang kerja keraton. Suasana di ruang tersebut ramah dan santai. Saat itu penutur sedang bertemu dengan mitra tutur. Mitra tutur

bermaksud meminjam buku kepada penutur, namun karena penutur tidak bisa berlama-lama untuk berbincang penutur hanya meminjami buku kepada mitra tutur dan segera berpamitan. Penutur merupakan bangsawan keraton dan mitra tutur merupakan mahasiswa yang sedang melakukan penelitian di tempat tersebut. Peutur memberitahukan akan ada kegiatan lain yang akan dilakukan penutur sehingga penutur pun meminta izin untuk segera meninggalkan tempat tersebut. Penutur merasa sungkan kepada mitra tutur karena tidak bisa berlama-lama di tempat tersebut.

Berikutnya Tuturan (A5), tuturan terjadi pagi hari 09.15 WIB di Parentahageng ketika penutur sedang berbincang dengan mitra tutur. Suasana di ruang tersebut tenang dan santai. Saat itu sedang bercakap dengan mitra tiutur. Ketika sedang bercakap-cakap tiba-tiba penutur batuk-batuk dan penutur pun meminta maaf karena membuat tidak nyaman mitra tutur yang ada didepannya dengan memberitahukan bahwa penutur sedang sakit batuk. Penutur merupakan bangsawan keraton dan mitra tutur merupakan mahasiswa yang sedang melakukan penelitian di empat tersebut. Penutur memberitahu mitra tutur bahawa penutur sedang tidak enak badan. Penutur merasa sungkan kepada mitra tutur karena ketika sedang berbincang penutur sempat batuk beberapa kali

Beralih ketuturan (A7) seperti konteks yang telah dipaparkan di atas, tuturan (A5) terjadi siang hari pukul 10.30 WIB di Parentahageng ruang kerja keraton ketika penutur bertemu dengan mitra tutur untuk wawancara terkait dengan penelitian. Setelah penutur menjelaskan tentang

maksud kedatangannya penutur sejenak menghentikan komunikasi karena penutur menerima makanan. Penutur merupakan bangsawan keraton dan mitra tutur merupakan mahasiswa yang sedang melakukan penelitian di lingkup keraton. Penutur sejenak menghentikan pembicaraan dan beralih menerima sajian ulang tahun dari abdi dalem. Penutur merasa sungkan kepada mitra tutur karena menghentikan percakapan dengan mitra tutur dengan tuturan basa-basinya.

Berdasarkan uraian konteks yang telah dipaparkan di atas, keempat konteks tersebut dapat membantu memperjelas maksud yang terdapat pada setiap tuturan yang dituturkan oleh penutur itu. Hal ini sejalan dengan Mey (1993:38) yang mengatakan konteks sebagai the surrounding, in the widest

sense, that enable the participants in the communication process to

interact, and that make the linguistic expression of their interaction

intelliegible (lingkungan sekitar dalam arti luas sesuatu yang

memungkinkan peserta tuturan dapat berinteraksi, dan yang dapat membuat tuturan mereka dapat dipahami). Selain menunjukkan maksud dari sebuah tuturan, konteks juga dapat membantu apakah tuturan itu dapat dikatakan sebagai tuturan yang santun atau tidak. Seperti yang diungkapkan Pranowo (2009:97-98) bahwa konteks situasi tertentu dapat memengaruhi kesantunan pemakaian bahasa. Dalam konteks tuturan (A1), (A3), (A5), dan (A7) terlihat bahwa penutur seperti merasa sungkan dengan mitra tutur dalam memaparkan tuturannya, sehingga tuturan yang terlontar mengarah ke fase meminta maaf dari penutur. Walaupun tuturan

(A1), (A3), (A5), dan (A7) dikatakan dengan strata sosial yang berbeda, tetapi tuturan yang dideskripsikan oleh penutur memberikan kesan rasa dihomatinya mitra tutur dengan tuturan penutur.

Berbicara mengenai kesantunan berbahasa, dalam penelitian ini lebih menonjolkan tuturan basa-basi berbahasa. Dalam konteks tuturan (A1), (A3), (A5), dan (A7) yang telah dipaparkan di atas terdapat beberapa tuturan yang menggunakan bahasa tubuh mitra tutur yang dapat dipersepsikan sebagai tuturan basa-basi berbahasa. Seperti tuturan (A1) yang menggunakan ibu jari untuk menunjukan arah dan mempersilahkan. Jika dilihat dari sisi bahasa Indonesia bahasa tubuh yang digunakan penutur dalam tuturan (A1) dapat dikatagorikan sebagai basa-basi berbahasa. Jika dilihat dari sisi konteks kultural bahasa tubuh yang digunakan penutur lebih mengarah ke ciri khas gaya bahasa tubuh di keraton Yogyakarta yang sudah memiliki maksud tersendiri.

Berbicara mengenai maksud, keempat tuturan tersebut memiliki maksud yang cenderung sama yaitu memberikan rasa hormat terhadap mitra tuturnya. Tuturan (A1), (A3), (A5), dan (A7) memiliki maksud berupa ekspresi sungkan dari penutur kepada mitra tutur. Selain itu, adanya tuturan (A1), (A3), (A5), dan (A7) tersebut dapat pula digunakan mitra tutur sebagai imbal balik dari sikap yang dilakukan mitra tutur.

Ibrahim (1993:37) mempaparkan bahwa basa-basi sebagai pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak masuk dalam klasifikasi acknowledgements.

Acknowledgements merupakan tuturan yang digunakan untuk mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitra tutur atau dalam kasus- kasus di mana ujaran berfungsi secara formal, kehendak penutur bahwa ujarannya memenuhi kriteria harapan sosial untuk mengekspresikan perasaan dan kepercayaan tertentu. Sejalan dengan Ibrahim keempat tuturan basa-basi meminta maaf itu mengarah pada sebuah tuturan yang dapat menyenangkan hati mitra tuturnya. Semua mitra tutur pada keempat tuturan itu seperti dihargai oleh penutur yang tuturannya disampaikan secara langsung dan terus terang di depan mitra tutur yang menyebabkan timbulnya keuntungan bagi mitra tuturnya. Keuntungan tersebut seperti merasa dihargai dan dihormati oleh penutur. Hal tersebut dapat dikatakan demikian berdasarkan uraian dari penanda basa-basi linguistik dan nonlinguistik yang telah dideskripsikan sebelumnya. Seperti yang telah dipaparkan, penanda basa-basi linguistik dapat dilihat dari penggunaan nada yang rendah, tekanan yang cenderung sedang, intonasi berita berupa rasa sungkan, serta pilihan kata yang tidak sesuai seperti kata- kata nonstandar, sedangkan untuk penanda basa-basi nonlinguistik dapat dilihat dari konteks tuturan itu.

4.3.2 Simpati

Berdasarkan data yang telah didapatkan oleh peneliti sebanyak 40 tuturan yang basa-basi, terdapat 4 tuturan yang termasuk ke dalam basa- basi yang simpati. Tuturan-tuturan tersebut merupakan tuturan basa-basi yang dituturkan oleh para keluarga kesultanan keraton Yogyakarta.

Tuturan yang berjumlah 4 itu memiliki penanda basa-basi linguistik dan juga penanda basa-basi nonlinguistik yang dapat dilihat dari konteks tuturan yang melingkupinya.

Perilaku basa-basi simpati lebih mengarah pada sebuah tuturan yang disampaikan penutur untuk mengekspresikan rasa simpati karena musibah yang dialami oleh mitra tutur tetapi dapat merasa dipedulikannya mitra tutur. Dengan demikian, sebuah tuturan dapat dikatakan basa-basi simpati jika tuturan tersebut telah membuat mitra tutur merasa dipedulikan.

Contoh:

(B1) awas-awas nanti kepalanya kepentok

(konteks tuturan: tuturan terjadi di Parentahageng ruang kerja keraton

ketika penutur melihat mitra tutur ingin keluar dari ruangan. Susana tenang dan ramah. Setelah berpamitan dengan penutur, mitra tutur segera meninggalkan ruangan. Penutur melihat bahwa mitra tutur akan terbentur pintu yang ukuranya pendek sehingga penutur memperingatkan mitra tutur untuk merunduk agar tidak terbentur)

(B3) monggo-monggo, lho kenapa kakinya?

(konteks tuturan: tuturan terjadi di Dwarapura ruang kerja keraton ketika

penutur melihat mitra tutur berjalan pincang memasuki ruangan. Suasana ramah dan tenang. Penutur menayakan tentang keaadaan mitra tutur Mitra tutur pun menjelaskan tentang musibah yang dialamiya)

Kedua tuturan tersebut merupakan wujud basa-basi linguistik berupa tuturan lisan yang telah ditranskrip. Dalam penelitian ini penanda basa-basi linguistik kedua tuturan di atas dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan pilihan kata. Dalam tuturan (B1), dan (B3), penutur menyampaikan tuturannya dengan nada sedang. Penggunaan nada tersebut menunjukkan ekspresi sungkan penutur terhadap mitra tutur. Nada tuturan yang sedang itu menunjukkan suasana hati penutur yang merasa peduli dengan musibah yang akan menimpa atau sudah dialami mitra tutur. Hal tersebut sejalan dengan Pranowo (2009:77) bahwa nada bicara penutur selalu berkaitan dengan suasana hati penuturnya. Oleh karena itu tuturan basa-basi dapat di kategorikan simpati bila tuturan tersebut mengandung maksud dan rasa peduli dari nada tutur yang diutarakan.

Kedua tuturan itu dapat dipersepsi memiliki basa-basi karena pada nada tuturan (B1) dan (B3) dikatakan dengan nada sedang berupa rasa peduli terhadap mitra tutur. Selain itu, dapat dipersepsi pula bahwa seorang penutur dapat memperhatikan mitra tuturnya apabila nada tutur yang dipakai adalah nada sedang. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa nada sedang merupakan salah satu penanda linguistik untuk tuturan yang simpati.

Penanda lingistik selanjutnya adalah mengenai tekanan dan intonasi dapat diuraikan sebagai berikut. Kedua tuturan itu dikatakan dengan tekanan sedang. Muslich (2008:113) mendeskripsikan bahwa tidak semua kata dalam kalimat ditekankan sama, hanya kata-kata yang dianggap penting atau dipentingkan yang mendapatkan tekanan. Hal tersebut dapat dilihat pada masing-masing dari dua tuturan itu. Pada tuturan (B1) terdapat tekanan pada pengucapan tuturan awas-awas. Sedangkan pada tuturan (B3) terdapat pengucapan tuturan lho kenapa

kakinya?. Beberapa bagian tuturan yang ditekankan pada kedua tuturan

tersebut merupakan bagian tuturan yang dipentingkan penutur ketika mengungkapkan rasa pedulinya.

Beralih ke pembahasan mengenai intonasi. Menurut Muslich (2008:115) pada tataran kalimat, variasi-variasi nada pembeda maksud disebut intonasi. Intonasi pada sebuah tuturan terdiri dari tiga pola yaitu pola kalimat berita yang ditandai dengan pola intonasi datar turun, kalimat tanya yang berpola datar naik, dan kalimat perintah yang berpola datar

tinggi. Pada tuturan (B1) memiliki intonasi berita yang berpola datar sedang yang menunjukkan ekspresi peduli penutur mengenai apa yang akan terradi jika tuturannya tidak dilontarkan dan secara tidak langsung menunjukkan pemberitahuan kepada mitra tutur. Tuturan (B3) memiliki intonasi tanya yang berola datar sedang yang menunjukkan rasa peduli dan rasa keingintahuan penutur tentang apa yang dialami mitra tutur. Kedua tuturan tersebut sama-sama dikatakan dengan suara sedang disertai nada peduli di depan mitra tuturannya.

Kedua tuturan itu dapat dipersepsi sebagai tuturan yang memiliki katagori basa-basi. Hal tersebut dapat dikatakan demikian karena kedua tuturan itu dikatakan dengan nada sungkan, terlebih tuturan (B1) dan (B3) dikatakan dengan suara yang sedang, sementara apa yang dilontarkan penutur tidak sesuai dengan konteks pembicaraan yang terjadi dan mitra tutur dekat menyebabkan kadar basa-basi jelas terlihat. Tuturan yang disampaikan dengan tekanan sedang dan intonasi berita atau tanya dapat pula berpotensi seperti diperhatikannya mitra tutur dan mengalihkan tuturan utamanya. Dengan demikian, penanda basa-basi linguistik berikutnya untuk tuturan basa-basi simpati adalah tekanan sedang dan intonasi berita atau tanya dan berupa rasa peduli.

Keraf (1981:23) mendeskripsikan pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat dan gaya mana yang paling

baik digunakan dalam suatu situasi. Pilihan kata dalam kedua tuturan itu meliputi kata nonstandar berupa kata tidak baku dan kata fatis serta terdapat pula kata jargon berupa umpatan. Kata nonstandar yang berupa kata tidak baku terdapat pada tuturan (B1) yaitu kepentok. Kata tidak baku ini menandakan bahwa penutur sudah merasa dekat dengan mitra tutur. Kata fatis itu digunakan untuk memberikan penegasan pada tuturan yang diujarkan. Ada pula penggunaan kata fatis pada tuturan (B3) yaitu lho. Kata fatis itu digunakan untuk memberikan penegasan pada tuturan yang akan diujarkan dan sebagi awalan tuturan basa-basi. Dengan pilihan kata yang tepat ketika menyampaikan maksud dalam konteks tertentu dapat menggambarkan pemakaian bahasa penuturnya.

Beralih ke pembahasan terkait wujud basa-basi dan penanda basa- basi nonlinguistik. Pada kedua tuturan dapat dilihat dari konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Istilah konteks sering digunakan untuk menerangkan peristiwa bahasa sebagai salah satu petunjuk untuk lebih memahami masalah arti bahasa (Anwar, 1984: 44). Selanjutnya ditegaskan oleh Rahardi (2003:20) bahwa konteks tuturan dapat diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur, serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan oleh si penutur itu di dalam keseluruhan proses bertutur.

Konteks tuturan dapat diuraikan mulai dari dimensi penutur dan mitra tutur. Kedua tuturan tersebut dituturkan oleh keluarga kesultanan

kepada masyarakat. Hal yang membedakan adalah dimensi sosial penutur dan mitra tutur pada kedua tuturan itu yang berupa dimensi jenis kelamin. Tuturan (B1) dan (B3) penutur dan mitra tuturnya adalah laki-laki. Berkaitan dengan dimensi jenis kelamin bahasa untuk laki-laki cenderung keras, sedangkan bahasa perempuan cenderung lebih lembut (Rahardi, 2011:161). Namun, dalam tuturan (B1) dan (B3) dapat ditemukan tuturan

Dokumen terkait