• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

Psychological wellbeing merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (positive psychological functioning). Psychological well-being adalah evaluasi dari seorang individu terhadap kehidupannya serta dapat menerima sisi positif maupun negatif dalam hidupnya sehingga memiliki kepuasan hidup dan kebahagiaan. Individu

43,3% 70% 80% 73,3% 83,3% 76,7% 53,3% 26,7% 16,7 23,3% 16,7% 23,3% 3,3% 3,3% 3,3% 3,3% 0 0 0 5 10 15 20 25 30

Kemandirian Pengembangan pribadi Tujuan hidup

Grafik Persentase Tingkat

Psychological Well-Being

Berdasarkan Setiap Indikator

90

tersebut memiliki kemandirian dalam hidupnya, mampu mengembangkan potensi yang dimiliki, mampu mengontrol dan memanfaatkan lingkungan tempat individu berada, memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai, mampu menjalin hubungan yang positif dengan orang lain, serta dapat memiliki penerimaan diri yang baik.

Apabila psychological well-being remaja tinggi, maka remaja akan selalu merasa bahagia dan bersemangat dalam menjalani setiap kegiatan sehari-harinya. Sebaliknya remaja yang memiliki psychological well-being rendah akan mudah stress. Pada penelitian ini secara umum, remaja panti memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi.

Sebanyak 70% atau 21 remaja panti memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa remaja tersebut memiliki penilaian yang positif terhadap pengalaman dan kualitas hidupnya yang dilihat dari keenam indikatornya. Remaja telah diajarkan untuk dapat menentukan hidupnya sendiri dan hidup mandiri. Remaja-remaja tersebut diberikan tugas-tugas harian serta pelatihan dan keterampilan. Remaja mampu mengevaluasi pengalaman hidup secara positif dengan bantuan bimbingan mental yang diberikan oleh panti. Panti memberikan bimbingan mental dengan menunjuk ahli untuk memberikan bimbingan kepada remaja panti. Beberapa konselor sekolah diundang untuk membantu memberikan bimbingan mental kepada remaja. Tujuannya, agar remaja dapat memiliki pola pikir yang baru dan positif.

91

Sebanyak 26,7% atau sebanyak 8 orang memiliki tingkat psychological well-being dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa remaja dengan nilai kategori sedang memiliki kemampuan evaluasi terhadap pengalaman hidup dengan cukup baik.

Sebanyak 3,3% atau 1 orang memiliki tingkat psychological well-being dalam kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa hasil evaluasi yang negatif atas pengalaman hidup remaja ini dapat menyebabkan pscychological well-being remaja rendah. Pengalaman masa lalu yang sulit dan ketidakmampuan menerima perubahan lingkungan dapat membuat remaja kesulitan dalam mengatur dan menentukan masa depannya. Kepribadian, status ekonomi, tingkat pendidikan, serta kurang atau tidaknya dukungan sosial yang diterima remaja merupakan pengalaman hidup yang akan mempengaruhi hasil evaluasi penilaian remaja terhadap dirinya.

Terdapat perbedaan tingkat psychological well-being remaja di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta pada saat observasi dengan hasil penelitian. Pada saat observasi, diketahui bahwa jumlah remaja yang tinggal di panti sejumlah 49 orang. Pada saat proses pengambilan data, jumlah remaja yang tinggal di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta hanya berjumlah 30 orang. Selain itu, terdapat perbedaan antara jumlah remaja yang ada di panti dengan jumlah remaja yang terdapat dalam data administrasi yang ada di panti. Beberapa remaja yang memiliki tingkat psychological well-being rendah telah meninggalkan panti tanpa seijin pengurus panti. Hal tersebut dapat terjadi karena ketidakmampuan remaja tersebut untuk beradaptasi dengan lingkungan

92

dan aturan panti. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan pengurus panti, memang terdapat beberapa remaja panti yang meninggalkan panti tanpa seijin pengurus panti. Peristiwa tersebut dapat dilihat dari menurunya jumlah remaja yang tinngal di panti.

Hasil dalam penelitian ini tidak sejalan dengan beberapa penelitian Sharma (2014) dan Ryff (dalam Ryan & Deccy, 2001:153), yang keduanya memiliki hasil penelitian bahwa individu dengan status sosial, tingkat pendapatan, dan tingkat pendidikan yang rendah mempengaruhi tingkat psychological well-being menjadi lebih rendah. Namun pada kasus ini, remaja mendapatkan beragam bimbingan dan keterampilan yang dapat membantu remaja memperbaiki kualitas hidupnya. Bimbingan mental juga memiliki peran yang cukup banyak dalam mengubah pola pikir remaja panti. Melalui beragam kegiatan tersebut, remaja lebih memiliki pandangan dan evaluasi yang positif terhadap masa lalunya.

Hal tersebut dapat terjadi karena faktor dukungan lingkungan yang baru yang memberikan pendampingan kepada remaja untuk tetap berkembang dan belajar menghadapi masalah dan menerima setiap kelemahanya, agar remaja dapat lebih berpikir terbuka dan dapat melakukan evaluasi terhadap kehidupannya.

Selain secara keseluruhan, tingkat psychological well-being remaja panti juga dapat dilihat dari kecenderungan kategorisasi pada setiap indikatornya. Psychological well-being memiliki enam indikator yaitu, kemandirian (autonomy), pengembangan pribadi (personal growth), penguasaan

93

lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with other), dan penerimaan diri (self-acceptance).

Berdasarkan analisis data pada setiap indikator, diketahui bahwa pada indikator kemandirian (autonomy) sebanyak 13 (43,3%) remaja berada pada kategori tinggi, 15 (53,3%) remaja berada pada kategori sedang, dan 1 (3,3%) remaja masuk dalam kategori rendah. Pada indikator penguasaan lingkungan (environmental mastery) sebanyak 21 (70%) remaja pada kategori tinggi, 8 (26,7%) remaja pada ketgori sedang dan 1 (3,3%) remaja masuk dalam kategori rendah. Pada indikator pengembangan pribadi (personal growth) sebanyak 24 (80%) remaja pada kategori tinggi, 5 (16,7%) remaja pada kategori sedang dan 1 (3,3%) remaja masuk dalam kategori rendah. Pada indikator hubungan positif dengan orang lain (positive relations with other) sebanyak 22 (73,3%) remaja pada kategori tinggi, 7 (23,3%) remaja pada kategori sedang dan 1 (3,3%) remaja masuk dalam kategori rendah. Pada indikator tujuan hidup (purpose in life) sebanyak 25 (83,3%) remaja pada kategori tinggi, 5 (16,7%) remaja pada kategori sedang dan tidak ada (0%) remaja yang berada pada kategori rendah. Pada indikator penerimaan diri (self-acceptance) sebanyak 23 (76,7%) remaja pada kategori tinggi, 7 (23,3%) remaja pada kategori sedang dan tidak ada (0%) remaja yang berada pada kategori rendah.

Pada keenam indikator tersebut, indikator kemandirian (autonomy) secara umum berada pada kategori sedang (53,3%). Indikator kemandirian

94

(autonomy) ini berkaitan dengan kemampuan untuk mengarahkan diri sendiri, dan kemandirian untuk mengatur tingkah laku. Hal ini menunjukkan bahwa remaja panti memiliki kemampuan cukup baik dalam melakukan evaluasi diri dan cukup baik dalam menentukan pilihan dalam hidup sendiri tanpa melihat orang lain dalam pengambilan keputusan dalam pemilihan tersebut.

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi tingkat kemandirian remaja anatara lain pola asuh orang tua, pendidikan sekolah, pendidikan masyarakat, serta genetis (Audy Ayu Arisha Dewi dan Tience Debora Valentina, 2013:2) . Berdasarkan hal tesebut, remaja yang memiliki kategori sedang pada indikator kemandirian masih dalam proses adaptasi dengan lingkungan baru di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta. Perbedaan pola asuh orang tua sebelum berada di dalam Panti, serta terputusnya pendidikan sekolah dapat mempengaruhi kemandirian remaja. Ada tiga jenis pola asuh (Siti Maryam Rahmah, 2008:2) yaitu pertama pola asuh otoriter yaitu orang tua membatasi dan menghukum, menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orangtua. Kedua, pola asuh otoritatif yaitu pola asuh yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Sedangkan yang terakhir adalah pola asuh permisif, yang artinya orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak dan membiarkan anak berkembang sendiri. Menurut Suhanadji dan Ainis (2013:7) Orang tua dikeluarga miskin sangat kurang memperhatikan kebutuhan anaknya karena pendapatan keluarga yang kurang mencukupi kebutuhan, atau dengan kata lain hidup serba kekurangan. Pendidikan orang tua yang rendah akan

95

memperngaruhi cara mereka dalam mendidik anak-anaknya. Hal tersebut menyebabkan keluarga miskin cenderung permisif. Lain halnya dengan pola asuh di Panti, pengasuh panti cenderung otoritatif ke arah otoriter.

Kelima indikator lain seperti pengembangan penguasaan lingkungan (environmental mastery), pengembangan pribadi (personal growth), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with other) tujuan hidup (purpose in life), dan penerimaan diri (self-acceptance), memiliki persentase yang tinggi.

Indikator penguasaan lingkungan (environmental mastery) memiliki persentase 70 %. Indikator penguasaan lingkungan adalah kemampuan untuk mengatur dan mengontrol serta memanfaatkan kondisi lingkungan sehari-hari agar sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai kegiatan. Remaja di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta masuk kedalam kategori tinggi dalam indikator penguasaan lingkungan (environmental mastery). Remaja di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta memiliki padangan baru tentang kebutuhannya dan memaksimalkan lingkungan yang ada di Panti dengan beragam kegiatannya agar membantu remaja panti menjadi lebih berkembang. Remaja mengikuti keterampilan sesuai jadwal yang sudah dibuat oleh Panti, dan mengikuti beragam kegiatan pembinaan lainnya. Sukma Adi Galuh Amawidyati & Muhana Sofiati Utami (2007:166) mengatakan bahwa individu yang memiliki psychological well-being mampu dan berkompetensi mengatur lingkungan, menyusun kontrol yang kompleks terhadap aktivitas

96

eksternal, dan menggunakan secara maksimal kesempatan yang ada disekitar individu.

Indikator pengembangan pribadi (personal growth) termasuk dalam kategori tinggi dengan prosesntase 80 %. Indikator pengembangan pribadi (personal growth) merupakan sikap individu secara terbuka menerima pengalaman dan tantangan baru dalam hidupnya agar dapat mengembangkan segala potensi yang dimiliki. Remaja panti mempunyai kesadaran bahwa setiap kegiatan pelatihan keterampilan dana pembinaan yang ada di Panti membuat remaja menjadi lebih terampil. Selain itu remaja juga mengetahui bahwa instruktur yang ada di Panti memberikan banyak pengalaman baru yang membuat remaja menjadi lebih bersemangat dalam mengikuti kegiatan.

Indikator hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others) masuk dalam kategori tinggi dengan persentase 73,3%. Indikator ini berhubungan dengan kemampuan menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. Kemampuan ini dicirikan dengan sikap hangat, persahabatan yang mendalam, empati, dan kasih sayang. Remaja panti mampu membuka diri terhadap orang-orang di lingkungan panti. Remaja panti tidak malu bergaul dengan teman dan lingkungan baru di Panti. Saat bertemu dengan orang baru yang datang ke Panti, remaja panti pun secara terbuka menerima dan bersikap ramah. Remaja panti tidak merasa kesepian berada di dalam panti karena menyadari bahwa teman-teman dan pengasuh panti adalah orang yang baik dan menyayangi para remaja yang tinggal di Panti.

97

Indikator tujuan hidup (purpose of life) masuk dalam kategori tinggi dengan persentase 83%. Indikator ini memiliki persentase lebih tinggi dibanding kelima indikator lainnya. Indikator tujuan hidup (purpose of life) Indikator ini berhubungan dengan tinggi dan rendahnya pemahaman individu mengenai arah dan tujuan hidup serta pemaknaannya tentang hidup. Remaja panti memiliki cita-cita yang ingin dicapai dengan bersungguh-sungguh melalui kegiatan yang ada di Panti. Para remaja optimis dapat memperbaiki hidupnya setelah keluar dari panti.

Indikator penerimaan diri (self acceptance) memiliki persentase 76,7% masuk kedalam kategori tinggi. Individu yang memiliki penerimaan diri yang tinggi mampu menerima dan menghormati keadaan diri sendiri serta mampu menyadari sisi negatif dan positif dalam dirinya dan mengetahui cara untuk hidup bahagia dengan sisi negatif yang dimilikinya (Putri dkk, 2013:13). Meski tidak dapat melanjutkan sekolah seperti remaja seusianya, para remaja panti tetap bersyukur dengan hal yang dimiliki remaja serta tidak merasa pesimis terhadap hidup remaja panti.

Indikator dengan persentase tertinggi adalah indikator tujuan hidup (purpose of life) (80%) dan indikator dengan persentase terendah adalah kemandirian (autonomy) (53,3%). Namun, secara umum tingkat psychological well-being remaja di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta tergolong tinggi. Sejalan dengan penelitian Devis (dalam Malika Alia Rahayu 2008:20), individu-individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat psychological well being yang tinggi. Dukungan sosial sendiri diartikan

98

sebagai rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh seorang individu yang didapat dari orang lain atau kelompok. Dukungan ini dapat berasal dari berbagai sumber, diantaranya pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, dokter, maupun organisasi sosial. Dukungan yang dimaksud bisa jadi diperoleh dari pengurus Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta maupun warga panti lainya.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Ryff (dalam Ryan & Deccy, 2001:153) yang mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan indikator penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Berarti dapat disimpulkan, seseorang dengan tingkat pendapatan tinggi memiliki psychological well-being yang tinggi pula, sedangkan seseorang dengan pendapatan rendah akan memiliki psychological well-being yang rendah. Berbeda dengan hasil penelitian ini, remaja putus sekolah yang tinggal di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta secara umum memiliki tingkat psyxhological well-being yang tinggi. Namun dalam hal ini remaja panti mendapat pembinaan dan bimbingan sehingga para remaja memiliki psychological well-being yang lebih baik.

Bimbingan yang diberikan berupa bimbingan fisik, mental, dan sosial. Bimbingan fisik berupa olah raga dan pemeriksaan kesehatan. Bimbingan ini dapat membantu remaja panti agar dapat menjaga kesehatan dan tetap bersemangat dalam melakukan kegiatan. Bimbingan mental berupa pendidikan agama. Adapun materi yang diberikan meliputi tauhid, fiqh, praktek ibadah, baca, Al-Qur'an, hafalan doa-doa, hafalan surat pendek,

99

praktek pidato dan sebagainya. Kemudian, bimbingan sosial berupa bimbingan hubungan antar manusia, etika budi pekerti, pembinaan generasi muda, out bond dan relaksasi. Bimbingan membantu remaja agar lebih terampil dalam berinteraksi sosial baik di dalam panti maupun setelah keluar dari panti. Kegiatan bimbingan tersebut dilakukan oleh ahli seorang ustad, konselor, dan ahli lainnya yang berkaitan dengan materi yang diberikan.

Berdasarkan hal tersebut terdapat faktor yang mempengaruhi tingkat pyshcological well-being remaja di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta. Faktor tersebut yang memotivasi remaja panti untuk bersikap positif dalam hidupnya. Faktor tersebut seperti dukungan dari lingkungan yang ada di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta. Melalui pembinaan dan bimbingan mental, remaja dapat bersikap lebih positif dalam memandang hidpunya di masa lalu dan masa mendatang, sehingga memiliki psychological well-being yang tinggi.

Terdapat faktor lain yang mempengaruhi tingkat psychological well-being remaja yang tinggal di Panti Sosial Bina Remaja. Faktor tersebut bisa jadi muncul dari dalam diri remaja. Faktor internal yang dimaksud adalah jenis kelamin dan kepribadian remaja yang berbeda-beda. Boghel dan Prakarsh (dalam Azeez dan Adenuga, 2009:3) mengemukakan bahwa psychological well-being terdiri dari dua belas faktor yang didalamnya meliputi komponen positif dan negatif, seperti meaninglessness (ketidakbermaknaan), self-esteem (harga diri), positive affect (perasaan positif), life satisfaction (kepuasan

100

hidup), suicidal ideas (pikiran untuk bunuh diri), personal control (control diri), tension (tekanan), dll.

Dokumen terkait