• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT PSYCHOLOGICAL WELL-BEING REMAJA DI PANTI SOSIAL BINA REMAJA YOGYAKARTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINGKAT PSYCHOLOGICAL WELL-BEING REMAJA DI PANTI SOSIAL BINA REMAJA YOGYAKARTA."

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

i

TINGKAT PSYCHOLOGICAL WELL-BEING REMAJA DI PANTI SOSIAL BINA REMAJA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Rr. Rahmawati Brilianita Sari NIM 11104241039

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v MOTTO

“Happiness is when what you think, what you say, and what you do are in harmony.”

(6)

vi

PERSEMBAHAN Karya ini saya persembahkan kepada:

Ibu dan Bapak, atas segala dukungan, doa, motivasi, dan kasih sayang

yang tak henti mengalir,

Keluarga tercinta yang selalu memberikan doa dan semangat,

Teman-teman yang selalu membantu, mengingatkan, dan memberi

semangat,

Almamater FIP UNY,

(7)

vii

TINGKAT PSYCHOLOGICAL WELL-BEING REMAJA DI PANTI SOSIAL BINA REMAJA YOGYAKARTA

Oleh

Rr Rahmawati Brilianita Sari NIM 11104241039

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat psychological well-being pada remaja yang tinggal di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan survei. Penelitian ini merupakan penelitian populasi dengan subyek seluruh remaja yang tinggal di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta yang berjumlah 30 orang. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah skala psychological well-being. Uji coba instrumen digunakan adalah uji coba terpakai.

Uji validitas untuk skala psychological well-being dilakukan dengan expert judgement dan uji statistik dengan membandingkan nilai corrected item-total

correlation yang diperoleh dengan nilai korelasi minimal 0,30. Uji reliabilitas

dilakukan dengan teknik alpha cronbach dihasilkan koefisien alpha sebesar 0,893. Analisis data yang digunakan yaitu teknik statistik deskriptif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 70% remaja yang tinggal di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta, secara umum memiliki tingkat psychological well-being dengan kategori tinggi. Pada indikator kemandirian (autonomy), 53,3%

remaja berada pada kategori sedang, 70% remaja berada pada ketgori tinggi untuk indikator penguasaan lingkungan (environmental mastery), 80% remaja berada pada kategori tinggi untuk indikator pengembangan pribadi (personal growth), 73,3% remaja berada pada kategori tinggi untuk indikator hubungan positif dengan orang lain (positive relations with other), 83,3% remaja berada pada ketegori tinggi untuk indikator tujuan hidup (purpose in life), dan 76,6% remaja berada pada ketgori tinggi untuk indikator penerimaan diri (self-acceptance). Dengan demikian, sebagian besar remaja Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta memiliki tingkat psychological well-being tinggi.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan limpahan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi berjudul “Tingkat Psychological Well-Being Remaja di Panti Sosial Bina

Remaja Yogyakarta”.

Sebagai ungkapan syukur, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak atas dukungan dan kerja sama yang baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang telah memberikan kesempatan untuk menjalankan dan menyelesaikan studi.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNY yang telah memfasilitasi kebutuhan akademik selama penulis menjalani masa studi.

3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah membantu kelancaran penyusunan skripsi.

4. Ibu Dr. Budi Astuti, M.Si selaku Dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan serta masukan kepada penulis selama penyusunan skripsi.

5. Bapak Fathur Rahman, M.Si selaku Pembimbing akademik atas bimbingannya, serta motivasinya kepada penulis dalam bangku kuliah. 6. Seluruh dosen jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan UNY atas

ilmu yang bermanfaat selama penulis menyelesaikan studi.

(9)

ix

8. Remaja di Panti Sosial Bina remaja Yogyakarta atas kerjasamanya.

9. Ibu dan Bapak tercinta, yang tiada henti selalu memberikan dukungan moril maupun materil. Semoga Allah SWT senantiasa selalu melindungi, memberikan kesehatan, dan kebahagiaan dunia dan akhirat.

10.Kakakku Dhila dan Prima yang selalu memberi semangat dan selalu menanyakan perkembangan skripsi ini.

11.Teman terdekatku (Nurul, Elok, Andin, Nilam, Istifarani) yang telah memberikan motivasi dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

12.Teman-teman BK A 2011 yang saling memberi semangat dan berjuang bersama-sama dalam penyelesaian skripsi ini.

13.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang juga ikut berperan dalam kelancaran penyusunan skripsi ini.

Terima kasih atas bantuan yang diberikan, semoga amal dan kebaikan yang telah diberikan menjadi amal baik dan imbalan pahala dari Allah SWT. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi peneliti selanjutnya dan menjadikan inspirasi bagi pembaca. Aamiin.

Yogyakarta, 28 September 2015

(10)

x 1. Definisi Psychological Well-Being………...……… 12

2. Dimensi Psychological Well-Being………...……… 14

3. Kriteria Psychological Well-Being ………...……… 17

4. Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being……...…… 19

5. Manfaat Psychological Well-Being pada Remaja………...……….. 24

(11)

xi B. Remaja

1. Definisi Remaja……….……… 27

2. Karakteristik Remaja………. 28

3. Tugas Perkembangan Remaja……… 31

4. Perkembangan Remaja……….….. 32

C. Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta 1. Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta……… 37

2. Tujuan Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta……… 39

3. Fungsi dan Tugas Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta………... 39

4. Kegiatan Remaja di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta…………... 41

5. Kriteria Remaja Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta………. 42

D. Kerangka Berpikir……….……….. 43

E. Pertanyaan Penelitian……….………... 46

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian……….………….... 48

B. Variabel Penelitian……….…………... 49

C. Populasi dan Sampel……….………… 49

D. Tempat dan Waktu Penelitian………. 51

E. Teknik Pengumpulan Data……….…. 51

F. Definisi Operasional... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian... 62

1. Deskripsi Lokasi dan Subyek Penelitian... 62

(12)

xii

a. Deskrpisi Tingkat Psychological Well-Being Remaja di Panti

Sosial Bina Remaja Yogyakarta... ... 64

b. Deskripsi Tingkat Kemandirian... ... 66

c. Deskripsi Tingkat Penguasaan Lingkungan... ... 69

d. Dsekripsi Tingkat Pengembangan Pribadi... ... 73

e. Deskripsi Tingkat Hubungan Positif dengan Orang Lain.... ... 76

f. Dsekripsi Tingkat Tujuan Hidup... ... 79

g. Deskripsi Tingkat Penerimaan Diri... ... 82

B. Pembahasan... ... 86

C. Keterbatasan... ... 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... ... ... 101

B. Saran... ... 102

Daftar Pustaka……….………. 104

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karakteristik Sampel Penelitian... 51

Tabel 2. Kisi-Kisi Skala Psychological Well-Being... 53

Tabel 3. Skala Psychological Well-Being Valid... 56

Tabel 4. Data Subyek Penelitian... 63

Tabel 5. Deskripsi Data Tingkat Psychological Well-Being... 64

Tabel 6. Kriteria Kategorisasi Tingkat Psychological Well-Being ... 65

Tabel 7. Kategorisasi Tingkat Psychological Well-Being... 65

Tabel 8. Sebaran Jawaban Indikator Kemandirian (Autonomy)... ... 67

Tabel 9. Deskripsi Data Indikator Kemandirian (Autonomy)... 67

Tabel 10. Kriteria Kategorisasi Kemandirian (Autonomy) ... 68

Tabel 11. Kategorisasi Kemandirian (Autonomy)... ... 68

Tabel 12. Sebaran Jawaban Indikator Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) ... 70

Tabel 13. Deskripsi Data Indikator Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)... ... ... 70

Tabel 14. Kriteria Kategorisasi Indikator Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)... ... ... ... ... 71

Tabel 15. Kategorisasi Indikator Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)... ... 71

Tabel 16. Sebaran Jawaban Indikator Pengembangan Pribadi (Personal Growth)... ... 73

Tabel 17. Deskripsi Data Indikator Pengembangan Pribadi (personal growth)... ... 74

Tabel 18. Kriteria Kategorisasi Indikator Pengembangan Pribadi (personal growth)... ... 75

Tabel 19. Kategorisasi Indikator Pengembangan Pribadi (personal growth) ... 75

Tabel 20. Sebaran Jawaban Indikator Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relation with thers)... ... 76

Tabel 21. Deskripsi Data Indikator Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positif Relation with Others)... ... ... 77

Tabel 22. Kriteria Kategorisasi Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positif Relation with Others)... ... ... 78

Tabel 23. Kategorisasi Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positif Relation with Others)... ... ... ... 78

Tabel 24. Sebaran Jawaban Indikator Tujuan Hidup (Purpose of Life)... ... 80

Tabel 25. Deskripsi Data Indikator Tujuan Hidup (Purpose of Life)... ... 80

(14)

xiv

Tabel 27. Kategorisasi Indikator Tujuan Hidup (Purpose of Life)... ... 81

Tabel 28. Sebaran Jawaban Indikator Penerimaan Diri (Self-Acceptance).... ... 83

Tabel 29. Deskripsi Data Indikator Penerimaan Diri (Self-Acceptance)... ... 83

Tabel 30. Kriteria Kategorisasi Indikator Penerimaan Diri (SelfAcceptance) ... 84

Tabel 31. Kategorisasi Indikator Penerimaan Diri (Self-Acceptance)... ... 84

Tabel 32. Rangkuman Persentase Psychological Well-Being... ... 85

(15)

xv

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Tingkat Psychological Well-Being... 66

Grafik 2. Tingkat Kemandirian (Autonomy)... 69

Grafik 3. Tingkat Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)... 72

Grafik 4. Tingkat Pengembangan pribadi (Personal Growth)... 75

Grafik 5. Tingkat Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positif Relation with Others)... 78

Grafik 6. Tingkat Tujuan Hidup (Purpose of Life)... 81

Grafik 7. Tingkat Penerimaan Diri (Self-Acceptance)... 84 Grafik 8. Persentase Tingkat Psychological Well-Being Berdasarkan Setiap

Indikator...

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Expert Judgement... 102

Lampiran 2. Skala Psychological Well-Being... 103

Lampiran 3. Validasi Skala Psychological Well-Being... 108

Lampiran 4. Realibilitas Skala Psychological Well-Being... 111

Lampiran 5. Tabulasi Skala Psychological Well-Being... 115

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Remaja merupakan masa kritis karena individu menghadapi ragam perubahan biologis dan psikologis dalam proses mencari identitas baru dan menghadapi tantangan untuk memecahkan persoalan hidup. Menurut WHO (Ferry Effendi & Makhfudli, 2009:221) remaja memiliki rentang usia antara 12-24 tahun.

Para remaja adalah harapan orang tua, bahkan dalam lingkup yang lebih luas, remaja adalah harapan negara. Hal ini dapat dipahami karena sebagai generasi penerus, di dalam tangan remaja terletak masa depan dunia. Remaja merupakan sumber daya manusia yang kedepannya memegang peranan penting dalam perkembangan nasional. Secara berproses remaja belajar dan berkembang untuk mencapai hal tersebut. Selain itu, remaja juga memiliki banyak tugas perkembangan.

(18)

2

keterampilan interpersonal dan belajar bergaul; (4) menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya; (5) menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan diri; (6) memperkuat self-control atas dasar nilai, prinsip, dan falsafah hidup; (7) mampu meninggalkan masa kekanak-kanakan.

Tugas perkembangan remaja di atas dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran yang diperoleh salah satunya di bangku pendidikan. Remaja diajarkan mengembangkan segala potensi dan cara hidup bersama orang lain. Selain itu, remaja juga belajar menghadapi masalah dan menyelesaikannya.

Namun, dewasa ini terdapat sebagian remaja yang kurang beruntung karena tidak dapat mengenyam bangku sekolah. Meski demikian pemerintah telah melakukan berbagai cara agar dapat menurunkan tingkat remaja putus sekolah. Hal tersebut dapat terlihat dari angka putus sekolah pada jenjang SMA/MA mengalami penurunan dari 0,57 persen pada tahun ajaran 2011/2012 menjadi 0,51 pada tahun ajaran 2012/2013 (yogyakarta.bps.go.id).

(19)

3

minat anak untuk bersekolah, mengidap suatu penyakit, keterbatasan ekonomi orang tua, faktor sosial budaya dan faktor geografis (Mutiara Farah, 2014:11).

Remaja yang mengalami kegagalan dalam sekolahnya rentan terkena stress. Remaja tersebut kurang memahami hal yang harus dilakukan di kemudian hari, sehingga sebagian dari remaja putus sekolah akan beralih ke arah yang kurang tepat. Sebagai contoh, seperti mencari rejeki di jalanan dengan cara yang kurang baik dan bahkan dapat terjerumus ke dalam dunia obat-obatan terlarang. Namun, ada juga yang memilih untuk membantu orang tua dengan mencari nafkah untuk keluarganya dan ada juga yang memilih untuk menikah muda. Bagi remaja putus sekolah yang memilih untuk bekerja pun hanya memiliki sedikit pilihan lapangan pekerjaan. Hal tersebut karena minimnya keterampilan yang dimiliki oleh remaja putus sekolah.

(20)

4

Ryff (dalam Ryan & Deccy, 2001:153) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Berarti dapat disimpulkan, seseorang dengan tingkat pendapatan tinggi memiliki psychological well-being yang tinggi pula, sedangkan seseorang dengan pendapatan rendah akan memiliki psychological well-being yang rendah. Pendapat tersebut diperkuat oleh penelitian yang

(21)

5

Melihat hal tersebut Dinas Sosial memiliki peranan yang cukup untuk membantu mengembangkan keterampilan remaja putus sekolah guna memperbaiki kehidupan serta mengembangkan segala potensi yang dimiliki. Salah satu program yang dilakukan Dinas Sosial adalah melalui pemberian program pelayanan sosial yang dapat membantu remaja putus sekolah di Panti Sosial. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 1988, Panti Sosial adalah lembaga/kesatuan kerja yang merupakan sarana dan prasarana yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan profesi pekerjaan sosial.

Lembaga pelayanan sosial seperti Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) membimbing dan melatih kemandirian remaja putus sekolah dan anak terlantar agar terhindar dari berbagai kemungkinan timbulnya masalah sosial. Selain itu pembekalan yang diberikan dapat berguna untuk memperbaiki kualitas hidup maupun ekonominya nanti.

PSBR di seluruh Indonesia sebanyak 37 buah, dan 3 diantaranya milik pemerintah pusat ( Rizka, 2012:4). Terdapat satu PSBR yang dikelola oleh Pemerintah Daerah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di Beran, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman. Sejumlah 49 anak usia 16-24 tahun tinggal di PSBR tersebut untuk mendapat bimbingan. Bimbingan yang didapat berupa bimbingan fisik, mental, sosial dan beberapa keterampilan yang dapat membantu mengembangkan potensi yang dimiliki.

Sesuai dengan misi yang dicanangkan oleh PSBR Yogyakarta sebagai berikut,

(22)

6

menumbuhkembangkan kesadaran tanggung jawab kesetiakawanan sosial dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial remaja terlantar; dan meningkatkan profesionalisme pegawai di bidang pelayanan sosial khususnya penanganan masalah kesejahteraan remaja terlantar (Leaflet Panti Sosial Bina Remaja, 2009)

Anak asuh PSBR mendapatkan beberapa fasilitas diantaranya, perawatan kesehatan, pakaian seragam, makanan, sarana pendidikan, pelatihan keterampilan, tutorial, bimbingan mental keagamaan dan etika budi pekerti serta bantuan sarana asrama. Remaja yang tinggal PSBR juga diberikan keterampilan tata rias, menjahit, montir, pertukangan las, dan pertukangan kayu. Berbagai kegiatan tersebut diharapkan remaja panti dapat memiliki bekal keterampilan untuk memperbaiki kehidupannya dimasa mendatang.

Pelayanan dan bimbingan yang diberikan oleh PSBR bertujuan agar remaja dapat memiliki pengalaman-pengalaman baru dan kemampuan dalam menyadari potensi diri, memiliki tujuan dan arah hidup yang lebih jelas, mampu memanfaatkan segala kesempatan yang ada di lingkungan; memiliki kemandirian dalam bertingkah laku, membina hubungan yang baik dengan orang lain, serta mampu menerima segala kondisi dalam hidupnya baik kelebihan maupun kekurangan (leaflet PSBR, 2009).

(23)

7

(environmental mastery), tujuan hidup (purpose of life),dan pertumbuhan pribadi (personal growth).

Namun, berdasarkan observasi awal pada tanggal 19 Maret 2015 yang dilakukan di PSBR Yogyakarta didapat beberapa informasi mengenai kondisi remaja di PSBR Yogyakarta. Sebagian remaja di panti yang masih merasa labil atau belum menggunakan standar pribadi dalam mengambil keputusan selama di panti. Remaja tersebut memutuskan untuk pergi dan meninggalkan panti tanpa memberitahukan kepada pihak panti. Selain itu, masalah lain yang terdapat di panti adalah kurangnya pandangan tentang potensi yang sebenarnya dimiliki remaja hingga perlu dikembangkan. Lebih lanjut, melalui wawancara dengan pengasuh panti diketahui bahwa terdapat alumni panti yang telah selesai menempuh pelatihan dan bekerja, namun muncul kebosanan dalam diri. Alumni tersebut memilih untuk kembali ke kehidupan masa lalunya menganggur dan hidup di jalanan seperti sebelum masuk ke panti.

Masalah lain yang muncul di dalam panti adalah tentang kedisiplinan dan tanggung jawab remaja penghuni panti. Masih banyak remaja di panti yang bermalas-malasan dalam mengikuti pelatihan dan bimbingan. Banyak pelanggaran yang dilakukan oleh remaja di panti, seperti membawa handphone, membolos saat kegiatan pelatihan, merokok, dan pergi dari panti tanpa ijin. Di dalam panti juga terdapat sebuah asrama yang khusus diberikan kepada remaja-remaja di panti yang bermasalah.

(24)

8

dimiliki remaja dan berusaha mewujudkan cita-citanya. Remaja ingin memperoleh kesempatan untuk mengembangkan diri untuk mewujudkan jati diri.

Perilaku beberapa remaja panti yang melakukan pelanggaran seperti bermalas-malasan, pergi keluar panti tanpa ijin, membolos dari kegiatan, dan pelanggaran lainnya, mengindikasikan bahwa remaja tersebut memiliki motivasi dan kesadaran diri yang rendah. Bimbingan dan konseling (BK) memiliki peran untuk membantu remaja menyelesaikan permasalahannya melalui layanan yang tepat. BK sosial-pribadi adalah bimbingan yang diberikan untuk membantu menyelesaikan masalah sosial dan pribadi, seperti penyesuaian sosial-pribadi, menghadapi konflik dan pergaulan. Bimbingan yang baik dan terarah dapat membantu remaja mengembangkan diri dan mencapai tugas perkembangan dengan baik.

Penelitian terdahulu yang berkaitan dan penelitian ini adalah penelitian komparasi yang berjudul Psychological well-being pada Remaja yang Orang Tua Bercerai dan yang Tidak Bercerai (Puri Werdyaningrum, 2013). Penelitian tersebut menunjukan bahwa remaja dari orang tua bercerai memiliki psychological well-being lebih rendah dari remaja dengan orang tua tidak bercerai. Penelitian lain berjudul Studi Deskriptif Mengenai Psychological well-being pada Remaja SOS Desa Taruna Kinderdorf Bandung (Jane Savitri, dkk,

(25)

9

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah jenis penelitian yang dipilih dan latar belakang masalah yang ada. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui tingkat psychological well-being pada remaja putus sekolah yang diberi kesempatan untuk berkembang di dalam panti sosial melalui layanan bimbingan dan pelatihan. Namun, sebagian remaja tersebut memiliki motivasi dan kesadaran diri yang rendah berdasarkan perilaku dan pelanggaran yang dilakukan.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai tingkat psychological well-being pada remaja yang tinggal Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diungkapkan diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah yang diantaranya:

1. Banyak remaja putus sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta dikarenakan beberapa faktor.

2. Remaja putus sekolah belum memiliki tujuan yang jelas mengenai masa depannya sehingga menyebabkan psychological well-being menjadi rendah.

3. Terdapat remaja PSBR Yogyakarta belum memiliki dan menggunakan standar pribadi dalam pengambilan keputusan selama berada di Panti. 4. Terdapat remaja di PSBR Yogyakarta melakukan pelanggaran aturan yang

ada di PSBR Yogyakarta.

(26)

10 C. Batasan Masalah

Pembatasan masalah dilakukan agar penelitian lebih terarah, terfokus, dan tidak menyimpang dari sasaran pokok penelitian. Oleh karena itu, peneliti memfokuskan kepada tingkat psychological well-being pada remaja di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan langkah yang paling penting dalam penelitian ilmiah. Perumusan masalah berguna untuk mengatasi kerancuan dalam pelaksanaan penelitian. Berdasarkan batasan masalah yang dijadikan fokus penelitian, masalah pokok penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana tingkat psychological well-being remaja di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta? E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan judul dan rumusan masalah yang dikemukakakan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat psychological well-being pada remaja yang tinggal di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitain ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat teoritik

(27)

11 2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, sebagai berikut.

a. Bagi remaja panti, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk dapat memperbaiki perilakunya sehingga tercapai tingkat psychological well-being yang tinggi.

b. Bagi pengurus panti, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam pengembangan program kegiatan panti yang mendukung peningkatan psychological well-being remaja.

c. Bagi profesi Bimbingan dan Konseling, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pembuatan program satuan layanan khusunya dalam bidang BK Sosial-Pribadi terkait psychological well-being bagi remaja panti.

(28)

12 BAB II KAJIAN TEORI A. Psychological Well-Being

1. Definisi Psychological Well-Being

Menurut Carol D. Ryff (dalam Sukma Adi Galuh Amawidyati & Muhana Sofiati Utami, 2007:166), penggagas teori psychological well-being, mengatakan bahwa psychological wellbeing merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (positive psychological functioning). Psychological well-being dikaitkan dengan bagaimana kondisi mental yang dianggap sehat dan berfungsi optimal.

Ryff (2008:19) menjelaskan psychological Well-Being merupakan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan di mana individu dapat menerima kelebihan dan kekurangan dirinya yang didasarkan pada enam aspek kebutuhan biologis yang mewakili kriteria fungsi psikologi positif yaitu kemandirian (autonomy), pengembangan pribadi (personal growth), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), hubungan positif dengan orang

(29)

13

yang mencakup subjektivitas, sosial, dan dimensi psikologis, serta perilaku yang berhubungan dengan kesehatan. Individu dengan psychological well-being yang tinggi dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki

perasaan puas dan bahagia terhadap hidupnya.

Menurut Campbell (dalam Singh dan Mansi, 2009:233), psychological well-being adalah reaksi evaluasi dari seseorang terhadap kondisi

hidupnya baik dalam hal kepuasan hidup (evaluasi kognitif), keseimbangan afektif berupa emosi, dan sejauh mana pengalaman positif dan negatif dapat mempengaruhi kehidupan orang tersebut. Psychological well-being merupakan hasil dari evaluasi pengalaman hidup yang dapat

memberikan efek kebahagiaan.

Okun dan Stock (1984;95) menjelaskan bahwa psychological well-being adalah perasaan bahagia dan kepuasaan diri yang dialami oleh individu yang terlihat dari cara individu tersebut memiliki tingkat kemandirian yang tinggi, mampu menguasai lingkungan, memiliki pertumbuhan diri yang baik, memiliki hubungan positif dengan orang lain, serta memiliki tujuan hidup dan penerimaan diri yang tinggi.

(30)

14

memanfaatkan lingkungan tempat individu berada, memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai, mampu menjalin hubungan yang posiif dengan orang lain, serta dapat memiliki penerimaan diri yang baik.

2. Dimensi Psychological Well-Being

Ryff (2008 : 8) membagi psychological well-being menjadi enam dimensi, diantaranya.

a. Penerimaan diri ( self-acceptance)

Individu yang memiliki penerimaan diri yang tinggi mampu menerima dan menghormati keadaan diri sendiri serta mampu menyadari sisi negatif dalam dirinya dan mengetahui cara untuk hidup bahagia dengan sisi negatif yang dimilikinya (Putri dkk, 2013:13). Penerimaan diri dapat membuat individu memiliki kepribadian yang sehat dan kuat, sebaliknya individu yang kurang memiliki penerimaan diri akan merasa kurang puas dengan karakter individu tersebut dan merasa diri individu tidak berguna dan tidak percaya diri.

(31)

15

b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others) Menurut Ryff, dimensi ini berhubungan dengan kemampuan menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. Kemampuan ini dicirikan dengan sikap hangat, persahabatan yang mendalam, empati, dan kasih sayang. Selain itu, dimensi ini berkaitan keterampilan interpersonal.

Menurut Galuh (2013:2) keterampilan interpersonal adalah keterampilan individu untuk membangun dan menjaga hubungan baik dengan individu lain dan cara membangun hubungan yang harmonis dengan memahami dan meresponnya. Keterampilan interpersonal mempengaruhi individu untuk mempersepsikan diri sendiri terhadap orang lain, dan cara orang lain mempersepsikan diri terhadap individu tersebut. Jika individu memiliki keterampilan interpersonal yang tinggi, hal yang akan dirasakan adalah rasa percaya diri, dan kemudian akan timbul perasaan dihargai oleh orang lain. Pada akhirnya individu akan meberikan kepercayaan dan bersikap hangat, empati dan afeksi.

Bearti dimensi hubungan positif dengan orang lain ini dapat diartikan sebagai kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain secara positif yang menghasilkan kepercayaan, empati, kasih sayang dan pershabatan.

c. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

(32)

16

kebutuhannya. Individu mampu mengontrol dan mengendalikan lingkungan yang kompleks, serta bertindak dan mengubah dunia sekitarnya melalui kegiatan mental dan fisik. Individu yang memiliki psychological well-being mampu dan berkompetensi mengatur lingkungan, menyusun kontrol yang kompleks terhadap aktivitas eksternal, dan menggunakan secara maksimal kesempatan yang ada disekitar individu (Sukma Adi Galuh Amawidyati & Muhana Sofiati Utami, 2007:166). Pada intinya dimensi penguasaan lingkungan adalah kemampuan individu untuk memanfaatkan dan mengendalikan lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan individu.

d. Tujuan hidup (purpose in life)

Dimensi ini berhubungan dengan tinggi dan rendahnya pemahaman individu mengenai arah dan tujuan hidup. Cara memaknai hidup dan menentukan arah dalam hidup merupakan tantangan mendasar dari dimensi ini. Individu yang memiliki psychological well-being memiliki pemahaman yang jelas tentang arah dan tujuan hidup beserta perencanaan dalam mencapai tujuan tersebut. Berarti, dimensi tujuan hidup adalah kemampuan individu untuk menentukan arah dan tujuan hidup serta perencanaan untuk mencapai tujuan tersebut sehingga individu mampu memaknai hidupnya.

e. Pengembangan pribadi (personal growth)

(33)

17

mengembangkan segala potensi yang dimiliki. Individu tersebut mampu melalui tahap-tahap perkembangan, terbuka pada pengalaman baru dan mampu melakukan perbaikan dalam hidupnya setiap waktu.

f. Kemandirian (autonomy)

Menurut Ryff, dimensi ini berkaitan dengan kemampuan untuk mengarahkan diri sendiri, dan kemandirian untuk mengatur tingkah laku. Seorang individu mampu melakukan evaluasi diri dan menentukan pilihan dalam hidup serta tidak melihat orang lain dalam pengambilan keputusan dalam pemilihan tersebut. Individu tersebut menggunnakan standar pribadi dan memiliki keyakinan atas pilihannya.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa psychological well-being memiliki enam dimensi yang saling berkaitan,

yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, pengembangan diri, penguasaan lingkungan dan kemandirian.

3. Kriteria Psychological Well-Being

Berdasarkan dimensi yang dikemukakan oleh Ryff dalam psychological well-being tersebut, maka seorang individu dikatakan memiliki psychological well-being yang tinggi adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif (positive psychological functioning). Kriteria individu yang memilki psychological well-being

(34)

18

a. Penerimaan diri ( self-acceptance)

1) Memiliki sikap psoitif dan terhadap diri sendiri

2) Menerima dan menyadari sisi negatif dan positif dalam diri 3) Bersikap positif terhadap pengalaman masa lalu

b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others) 1) Memiliki kedekatan dengan orang lain

2) Sikap hangat, empati, dan kasih sayang terhadap orang lain 3) Memiliki kepercayaan positif terhadap orang lain

c. Penguasaan lingkungan (environmental mastery) 1) Menciptakan lingkungan sesuai dengan kebutuhan 2) Mengontrol lingkungan dengan kegiatan fisik dan mental 3) Memanfaat lingkungan secara maksimal

d. Tujuan hidup (purpose in life)

1) Mampu memaknai dan menentukan arah hidup 2) Memiliki arah dan tujuan hidup

3) Merencanakan strategi untuk mencapai arah dan tujuan hidup e. Pengembangan pribadi (personal growth)

1) Mengembangkan potensi yang dimiliki

2) Terbuka dan menerima tantangan pengalaman baru 3) Memperbaiki diri setiap waktu

f. Kemandirian (autonomy)

(35)

19

3) Memiliki dan menggunakan standar pribadi

Kriteria-kriteria yang dijelaskan oleh Ryff tersebut digunakan untuk menyusun indikator psychological well-being yang akan digunakan untuk mengukur psychological well-being pada remaja dalam penelitian ini.

4. Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Boghel dan Prakarsh (dalam Azeez dan Adenuga, 2009:3) mengemukakan bahwa psychological well-being terdiri dari dua belas faktor yang didalamnya meliputi komponen positif dan negatif, seperti meaninglessness (ketidakbermaknaan), self-esteem (harga diri), positive affect (perasaan positif), life satisfaction (kepuasan hidup), suicidal ideas (pikiran untuk bunuh diri), personal control (control diri), tension (tekanan), dll.

Menurut Ryff dan Keyes (dalam Susanti, 2013:3), terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being, yaitu faktor demografis, seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan budaya. Faktor lainnya seperti dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup, kepribadian dan religiusitas juga dapat mempengaruhi psychological well-being. Lebih lanjut dalam penelitiannya, Ryff (dalam

(36)

20

Faktor yang mempengaruhi psychological well-being menurut Ryff dan Keyes (dalam Susanti, 2013:3), sebagai berikut.

1) Faktor Usia dan Jenis Kelamin

Faktor ini meliputi usia dan jenis kelamin. Psychological well-being antara wanita dan laki-laki memiliki perbedaan. Shah

(2014:3) menyebutkan bahwa wanita memiliki psychological well-being lebih tinggi dibanding laki-laki. Wanita selalu berusaha

sangat keras untuk menyesesuaikan diri dengan lingkungan, hubungan sosial dan bahkan prestasi akademik, wanita lebih tepat waktu dalam pekerjaan. Namun, laki-laki tidak selalu rendah. Hal itu dapat dipengaruhi oleh banyak faktor.

2) Keluarga

Keluarga pada umumnya ialah terdiri atas seorang ayah dan ibu. Namun, sekarang ini banyak terdapat keluarga yang hanya terdiri dari seorang ayah saja atau seorang ibu saja (single parents) dikarenakan permasalahan keluarga yang mengakibatkan suami istri berpisah. Berpisahnya pasangan suami istri menjadi penyebab tidak seimbangnya kehidupan sebuah keluarga. Kualitas hubungan ayah dan ibu memiliki pengaruh terhadap orang tua dengan anak-anaknya.

(37)

21

menyebabkan anak-anak memiliki kecemasan dan perasaan depresi yang tinggi juga perilaku kenakalan remaja (Yusof dalam Firra, 2013:232). Adanya disfungsional dalam hubungan ayah-ibu, kurangnya fungsi keluarga dan tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga dapat menjadi penyebab lain dalam perilaku tidak sehat remaja (Firra, 2013:233). Keberfungsian keluarga berpengaruh terhadap tinggi dan rendahnya psychological well-being pada seorang individu terutama remaja.

3) Status sosial ekonomi

(38)

22 4) Pendidikan

Kelompok yang berpendidikan tinggi memiliki dimensi tujuan hidup dan dimensi pertumbuhan pribadi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang berpendidikan rendah. Pendidikan, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka psychological well-being semakin baik terutama pada dimensi tujuan hidup dan pengembangan pribadi. Pendidikan merupakan salah satu sumber psychological well-being karena dapat membentuk kemandirian dan kompetensi bagi individu (Puri Werdyaningrum, 2013:483).

5) Budaya

(39)

23

kemudian menjelaskan peristiwa tersebut berdasarkan pandangannya (Schwartz dalam Muslihati. 2014:121).

6) Kepribadian

Personality berasal dari kata Latin “persona” yaitu mengacu

pada sebuah topeng yang digunakan oleh aktor dalam sebuah permainan. Kepribadian mengacu pada karakteristik individu yang eksternal dan terlihat serta aspek dari individu yang dapat dilihat oleh orang lain. Selain itu, kepribadian merupakan suatu sistim yang terdiri dari trait-trait kepribadian dan merupakan suatu proses dinamis dimana trait-trait tersebut yang mempengaruhi fungsi psikologis individu. Kepribadian setiap individu dapat dipahami dalam bentuk kepribadian lima besar (The Big Five Personality Theory). Kepribadaian tersebut adalah neuroticism, extraversion,

openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness (McCrae dan Costa dalam Bianca, 2012 : 18-19). Pada sisi lain Keyes, Shmotkin, dan Ryff (2002: 1007-1022) menyatakan bahwa kepribadian merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi psychological well-being. Schmutte dan Ryff (1997:552) menemukan bahwa extraversion, conscientiousness, dan neuroticism yang rendah berhubungan dengan dimensi self-acceptance, enviromental mastery, dan purpose in life; dimensi

(40)

24

relation with others; dan neuroticsm berhubungan dengan autonomy.

7) Dukungan sosial

Menurut Smet (dalam Ratna Widyastutik, dkk, 2011:3), dukungan sosial yang diterima oleh individu sangat beragam dan tergantung pada keadaannya. Dukungan emosional lebih terasa dan dibutuhkan jika diberikan pada orang yang sedang mengalami musibah atau kesulitan. Dukungan penghargaan dapat dijadikan semangat bagi remaja untuk tetap maju dan mengembangkan diri agar tidak selalu menyesali keadaannya. Dukungan instrumental bagi remaja dapat berupa penyediaan sarana dan pelayanan yang dapat memperlancar dan memudahkan perilaku remaja dalam segala aktivitasnya. Dukungan informasi membuat remaja merasa mendapat nasihat, petunjuk atau umpan balik agar dapat membatasi masalahnya dan mencoba mencari jalan keluar untuk memecahkan masalahnya

8) Evaluasi pengalaman hidup

(41)

25

pengaruh interpretasi dan evaluasi individu pada pengalaman hidupnya terhadap kesehatan mental. Interpretasi dan evaluasi pengalaman hidup diukur dengan mekanisme evaluasi diri oleh Rosenberg dan dimensi-dimensi psychological wel-lbeing digunakan sebagai indikator kesehatan mental individu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme evaluasi diri ini berpengaruh pada psychological well-being individu, terutama dalam dimensi penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan hubungan yang positif dengan orang lain.

9) Religiusitas

(42)

26

personal, serta secara potensial menanamkan peristiwa asing yang berarti.

Berdasarkan beberapa faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa psychological well-being dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, kepribadian, keluarga, status sosial ekonomi, pendidikan, budaya, dukungan sosial, kepribadian, religiusitas

Individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi tidak hanya memiliki tingkat yang lebih tinggi pada kepuasan hidup, harga diri, perasaan positif dan sikap positif lainnya, tetapi juga mampu mengelola tekanan hidup, pikiran negatif, ide-ide dan perasaan dari faktor eksternal yang ada di sekitar individu.

5. Manfaat dari Psychological Well-Being bagi Remaja

Menurut Jessica dan Savuge (dalam Shah, 2014:2) psychological well-being pada remaja dapat diartikan sebagai rasa puas dengan kehidupan dan

memiliki emosi yang positif, serta memiliki fungsi yang maksimal dalam bidang akademik, kompetensi dan dukungan sosial, dan kesehatan fisik menjadi dasar yang kuat untuk perkembangan remaja di masa mendatang dan dalam mengahadapi masalah yang mungkin muncul. Psychological well-being pada remaja dapat membantu remaja membangun tujuan hidup,

nilai-nilai, arah hidup.

(43)

27

potensinya secara maksimal dan dapat memaknai hidup secara lebih baik. Psychological well-being dalam diri seseorang remaja dapat membuat remaja mampu menjalankan fungsi psikologisnya dengan lebih baik, termasuk dalam hal belajar dan pencapaian prestasi.

Sebaliknya, jika remaja tidak mampu memaknai hidupnya dan merasa gagal dalam tahap perkembangan remajanya, maka remaja tersebut memiliki psychological well-being yang rendah. Kegagalan dalam masa remaja dapat membuat remaja menjadi kurang bahagia. Remaja akan mengahadapi berbagai masalah dalam masa perkembanganya dan rentan terkena stres. Kegagalan dalam masa perkembangan remaja yang berpengaruh terhadap psychological well-being dilatarbelakangi oleh berbagai faktor.

Namun, tidak semua remaja yang mengalami kegagalan dalam masa perkembangan remajanya memiliki psychological well-being yang rendah. Hal tersebut dapat terjadi karena faktor dukungan lingkungan yang memberikan pendampingan kepada remaja untuk tetap berkembang dan belajar menghadapi masalah dan menerima setiap kelemahanya, agar remaja dapat lebih berpikir terbuka dan dapat melakukan evaluasi terhadap kehidupanya.

(44)

28

akan dilakukan dalam mengembangkan potensinya yang dapat berguna di masa depan. Apabila psychological well-being remaja tinggi, maka remaja akan selalu merasa bahagia dan bersemangat dalam menjalani setiap kegiatan sehari-harinya. Sebaliknya remaja yang memiliki psychological well-being rendah akan mudah stress.

6. Cara mengukur Psychological Well-Being

Ryff pencetus dari teori psychological well-being mengembangkan skala untuk mengukur psychological well-being melalui enam dimensi psychological well-being. Ryff membedakan enam dimensi dan

dikembangkan menjadi instrumen yang kini banyak digunakan oleh para peneliti untuk psychological well-being (Dierendonck,dkk, 2008:474). Dimensi teoritis berasal dari psychological well-being yang diantaranya penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Keenam dimensi tersebut dijadikan sebagai indikator untuk mengukur tingkat psychologial well-being.

B. Remaja

1. Definisi Remaja

(45)

29

masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

Hurlock (dalam Siti Munawaroh, dkk, 2004:54) juga mengatakan bahwa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan dari beberapa aspek dan fungsi untuk memasuki masa dewasa. Hurlock menggunakan istilah puber sebagai proses terjadinya perubahan tertentu yang tidak terjadi diperiode lainya. Sedangkan Anna Freud (dalam Ratna Maharani, 2013:5) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita remaja, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.

World Health Organization (WHO) mendefinisikan remaja sebagai suatu masa yang dialami individu ketika (Sarlito W. Sarwono., 2006: 7):

a. Individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat mencapai kematangan seksual.

b. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

(46)

30

perkembangan biologis, kognitif, sosial, dan emosional. Masa transisi tersebut selama 13-21 tahun.

2. Karakteristik remaja

Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Hurlock yang menyebutkan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan atau perubahan yang mempunyai ciri sebagai berikut (dalam Sugiyanto, 2009:1).

a. Masa remaja sebagai periode penting, karena setiap perkembangan yang terjadi akan berdampak langsung terhadap sikap, perilaku, psikis, fisik dan dampak jangka panjang. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat menimbulkan pernyesuaian mental dan membentuk sikap, nilai dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan, peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, sehingga harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan serta memperlajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan.

(47)

31

tubuh, minat dan peran yang diharapkan; berubahnya minat dan pola perilaku serta adanya sikap ambivalen terhadap setiap perubahan.

d. Masa remaja sebagai masa mencari identitas, karena remaja mulai mencari identitas diri yang sesuai dengan kepribadiannya dan merasa tidak nyaman apabila sama dengan orang lain. Remaja mulai mencari-cari sosok yang dapat menjadi isnpirasi bagi dirinya untuk berkembang dan mencapai indentitas diri. Pada masa ini remaja akan mengalami krisis identitas karena masih dalam pencarian sosok indentitas diri yang sesaui dengan dirinya.

e. Masa remaja merupakan usia bermasalah, karena pada masa remaja pemecahan masalah sudah tidak seperti pada masa sebelumnya yang dibantu oleh orangtua dan gurunya. Pada masa ini remaja belajar mengangani dan mencari jalan keluar atas masalah yang diahadapinya.

(48)

32

g. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa, merasa gelisah untuk meninggalkan meninggalkan masa belasan tahunnya, belum cukup untuk berperilaku sebagai orang dewasa.

Berdasarkan karakteristik remaja diatas, disimpulkan bahwa masa remaja memiliki karakteristik yang berbeda dengan masa yang lainya. Terdapat karakteristik khusus seperti masa periode penting, periode peralihan, periode perubahan, periode pencarian indentitas diri, periode bermasalah, periode kurang realistik, dan merupakan periode ambang masa dewasa. Setiap karateristik menunjukan bahwa pada masa remaja merupakan masa persiapan dan peralihan ke masa dewasa.

Setiap perubahan yang terjadi pada masa remaja seperti perubahan fisik maupun psikis pada diri remaja, memiliki kecenderungan remaja akan mengalami masalah dalam penyesuaian diri dengan lingkungan. Hal ini diharapkan agar remaja dapat menjalani tugas perkembangan dengan baik-baik dan penuh tanggung jawab melalui berbagai pengalaman dan pembelajaran serta pendampingan dari liungkungan.

3. Tugas perkembangan remaja

(49)

33

Pada periode remaja tugas perkembangan tersebut adalah sebagai berikut.

a. Memperoleh sejumlah norma-norma dan nilai-nilai.

b. Belajar memiliki peran sosial dengan jenis kelamin masing-masing/

c. Menerima kenyataan jasmaniah serta dapat menggunakannya secara efektif dan merasa puas terhadap keadaan tersebut.

d. Mencapai kebebasan dari kebergantungan terhadap orang tua dan orang dewasa lainya.

e. Mencapai kebebasan ekonomi.

f. Mempersiapkan diri untuk menentukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan kesanggupannya.

g. Memperoleh informasi tentang perkawinan dan mempersiapkanya. h. Mengembangkan kecakapan intelektual dan konsep-konsep tentang

kehidupan bermasyarakat.

i. Memiliki konsep-konsep tentang tingkah laku sosial yang perlu untuk kehidupan bermasyarakat.

William Key (Samsyu Yusuf, 2006:72) juga memaparkan beberapa tugas perkembangan pada masa remaja. Tugas perkembangan remaja tersebut sebagai berikut,

a. Menerima fisiknya sendiri beriku keragaman kualitasnya. b. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur –

figur yang menjadiotoritas.

c. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain baik secara individual maupun kelompok.

d. Menemukan manusia model untuk dijadikan identitasnya. e. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap

kemampuannya sendiri.

f. Memperkuat kemampuan mengendalikan diri atas dasar prinsip atau falsafah hidup.

g. Mampu meninggalkan masa kanak – kanaknya.

(50)

34

dewasa, tetapi jika gagal akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada individu yang bersangkutan dan kesulitan – kesulitan dalam menuntaskan tugas berikutnya. Pendampingan dan proses pembelajaran dapat membantu remaja menyelesaikan tugas perkembangan secara lebih baik.

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa remaja memiliki tugas perkembangan yang harus dituntaskan agar memudahkan tugas perkembangan selanjutnya di masa dewasa. Tugas pekembangan remaja tersebut seperti memperoleh berbagai informasi mengenai nilai, norma, dan peran sosial serta berbagai informasi tentang masa depannya dan mempersiapkanya; mampu menerima dan mengembangkan kondisi diri; serta mencapai kemandirian diri.

4. Aspek Perkembangan Remaja a. Perkembangan kognitif remaja

Menurut Jean Piaget (dalam Ustad MJ, 2012:46) dalam teori kognitifnya mendefinisikan perkembangan kognitif merupakan suatu proses yang terbentuk melalui interaksi yang konstan antara konstan individu dengan lingkungannya. Piaget menyimpulkan bahwa perkembangan kognitif merupakan hasil perkembangan yang saling melengkapi antara asimilasi dan akomodasi dalam proses menyusun kembali dan berubah apa yang telah diketahui.

Pada masa remaja secara penuh telah mencapai “formal thinking

atau yang menurut Piaget (dalam Sry Ayu, 2007:6) “formal operation

(51)

35

menalarkan secara objektif pemikiran-pemikirannya sehingga remaja dapat menerapkan prinsip-prinsip umum pada situasi tertentu yang dihadapinya. Periode ini merupakan operasi mental tingkat tinggi. Remaja sudah mampu berhubungan dengan peristiwa hipotesis atau abstrak, tidak hanya dengan objek-objek konkret. Remaja sudah dapat berpikir abstrak dan memecahkan masalah melalui pengujian semua alternative yang ada (Samsyu Yusuf, 2006:6)

Perkembangan kognitif pada masa remaja terlihat pada konsep berpikir remaja yang mulai berpikir sistematis dan berpikir secara abstrak setelah melalui proses asimilasi dan akomodasi dari hasil belajar di masa lalu serta memiliki prinsip dalam menghadapi sebuah situasi.

b. Perkembangan sosial remaja

(52)

36

Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa remaja belajar menyesuaikan diri dengan norma dan nilai kelompok sosial melalui pengalaman yang remaja lalui saat berinteraksi dengan lingkungan tempat remaja berada.

c. Perkembangan emosi remaja

Pada masa remaja terjadi perkembangan emosi yang bersifat khas yang disebut sebagai masa badai dan topan (storm and stress), yaitu masa yang menggambarkan keadaan emosi remaja yang tidak menentu, tidak stabil, dan meledak-ledak. Meningginya emosi pada remaja dikarenakan oleh kondisi baru yang dialami dan perubahan tekanan sosial dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Perkembangan emosi remaja juga terlihat dari munculnya emosi cinta. Seiring dengan kematangan kelenjar kelamin pada perkembangan remaja, mulai timbul perhartian terhadap lawan jenis atau diistilahkan dengan mulai jatuh cinta (Rita Eka Izzati, dkk, 2008:135).

(53)

37 d. Perkembangan moral remaja

Perkembangan moral merupakan suatu hal yang penting bagi perkembangan sosial dan kepribadian seseorang. Wahab dan Solehuddin (1999:180) menyatakan bahwa perngertian moral mengacu pada baik dan buruk serta salah dan benar yang berlaku dilingkungan masyarakat secara luas yang harus dipatuhi. Perkembangan moral pada usia remaja merupakan problem pokok dalam masa remaja. Furter (dalam Rita Eka Izzati , dkk, 2008:144) mengemukakan bahwa tingkah laku moral yang sesungguhnya baru terjadi pada masa remaja. Masa remaja sebagai periode masa muda harus dihayati agar dapat mencapai tingkah laku moral yang otonom. Eksistensi moral sebagai keseluruhan merupakan masalah moral dan harus dilihat sebagai hal yang bersangkutan dengan nilai atau penilaian. Sunarto dan Hartono (1994:145) menyatakan bahwa remaja mengadakan penginternalisasi moral, yaitu remaja melakukan tingkah laku moral yang kemudian dirasakan sendiri dan dipertanggung jawabkan sendiri.

(54)

38

e. Perkembangan kemandirian remaja

Mönks (dalam Musdalifah, 2007:47) mengemukakan bahwa kemandirian meliputi perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Kemandirian adalah hasrat untuk melakukan segala sesuatu bagi diri sendiri. Remaja dapat mandiri dengan dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan disekitarnya sehingga remaja dapat mencapai otonomi atas diri sendiri. Robert Havinghurst (dalam Santrock, 1995:41) mengungkapkan bahwa kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana seseorang relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat, dan kenyakinan orang lain. Sikap otonomi tersebut diharapkan membuat remaja lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.

Havinghurst (dalam Musdalifah 2007, 47-48) menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu :

1) Aspek emosi, aspek ini ditujukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya emosi pada orangtua. 2) Aspek ekonomi, aspek ini ditujukan dengan kemampuan mengatur ekanomi dan tidaktergantungnya kebutuhan ekonomi pada orangtua.

(55)

39

4) Aspek sosial, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung dari orang lain.

Perkembangan kemandirian pada masa remaja bergantung dari dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan disekitarnya. Perkembangan kemandirian remaja dapat terlihat dari sikap otonom yang dimiliki remaja dengan mulai memilih dan menentukan sikap dan pendapatnya snediri serta lebih bertanggung jawab pada setiap aspeknya.

C. Panti Sosial Bina Remaja

1. Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta

(56)

40

melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Terdapat beberapa jenis panti sosial di Indonesia, salah satunya Panti Sosial Bina Remaja.

PSBR di seluruh Indonesia sebanyak 37 buah, dan 3 diantaranya milik pemerintah pusat ( Rizka, 2012:4). Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan Peraturan Gubernur No. 44 tahun 2008 adalah merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas yang berada di lingkungan Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Terdapat satu PSBR yang dikelola oleh Pemerintah Daerah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di Beran, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman. Sejumlah 30 anak usia 15-20 tahun tinggal di PSBR tersebut untuk mendapat bimbingan. Bimbingan yang didapat berupa bimbingan fisik, mental, sosial dan beberapa keterampilan yang dapat membantu mengembangkan potensi yang dimiliki.

Sesuai dengan misi yang dicanangkan oleh PSBR Yogyakarta sebagai berikut,

Meningkatkan kualitas pelayanan dan penyantunan sosial remaja terlantar meliputi bimbingan fisik, mental sosial, keterampilan dan bimbingan kerja; menumbuhkembangkan kesadaran tanggung jawab kesetiakawanan sosial dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial remaja terlantar; dan meningkatkan profesionalisme pegawai di bidang pelayanan sosial khususnya penanganan masalah kesejahteraan remaja terlantar (Leaflet Panti Sosial Bina Remaja, 2009)

(57)

41

memberikan bimbingan dan keterampilan untuk meningkatkan kualitas hidup remaja menjadi lebih baik.

2. Tujuan Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta

Adapun tujuan dari Panti Sosial Bina Remaja Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta antara lain (Leaflet PSBR, 2009) :

a. Mewujudkan keanekaragaman pelayanan sosial dan meningkatkan pengetahuan serta keterampilan / keahlian bagi anak yang mengalami masalah sosial sehingga dapat memiliki kemampuan di tengah-tengah perkembangan tuntutan dan kebutuhan nyata setiap saat.

b. Menjadikan panti sebagai pusat informasi dan pelayanan kegiatan kesejahteraan sosial.

Tujuan panti Panti Sosial Bina Remaja adalah membantu remaja kurang beruntung dengan meningkatkan kualitas sumber daya melalui pemberian pelatihan dan keterampilan yang kemudian dapat berguna bagi remaja tersebut di lingkungan masyarakat maupun bagi remaja sendiri. 3. Tugas dan Fungsi Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta

Panti sosial mempunyai tugas memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi bagi anak terlantar putus sekolah agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat (Kepmensos No.50/HUK/2004). Sejalan Kepmensos tersbeut, Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta memiliki tugas sebagai berikut (psbr-diy.blogspot.com):

a. Menyelenggarakan penyantunan dan pelayanan sosial terhadap remaja terlantar

b. Menyelenggarakan kegiatan penerimaan dan penyaluran terhadap remaja terlantar

c. Menyelenggarakan pengawasan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kegiatan panti terhadap remaja terlantar

(58)

42

e. Melaksanakan pengawasan, evaluasi, dan melaporkan pelaksanaan kegiatan panti

f. Melaksanakan kegiatan ketatausahaan

Sesuai dengan tugas Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta yang disebutkan diatas, maka Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta memiliki fungsi antara lain (Leaflet PSBR, 2009):

a. Penyusun program panti,

b. Penyelenggaraan perlindungan pelayanan dan rehabilitasi sosial terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial remaja terlantar.

c. Penyelenggaraan koordinasi dengan Dinas /Instansi/Lembaga Sosial yang bergerak dalam penanganan remaja terlantar

d. Memfasilitasi penelitian dan pengembangan bagi PT/Lembaga Kemasyarakatan /Tenaga Sosial Untuk Perlindungan, pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi remaja terlantar

e. Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kegiatan panti

f. Melaksanakan kegiatan ketatausahaan

(59)

43

4. Kegiatan di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta

Usaha yang dilakukan oleh Panti sosial kepada remaja sesuai dengan ketentuan Nomor 2 tahun 1988 tentang “Usaha Kesejahteraan Anak Bagi

Anak yang Mempunyai Masalah” adalah dengan memberikan pemeliharaan, perlindungan, asuhan, perawatan dan pemulihan kepada anak yang mempunyai masalah agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Pembinaan, pengembangan, pencegahan dan rehabilitasi dilaksanakan dalam bentuk asuhan, bantuan, dan pelayanan khusus.

Ada beberapa jenis kegiatan yang diselenggarakan di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta yang dilakukan dan dibimbing oleh tenaga ahli yang mengajar di panti (Sri Kuntari, 2009:327), yaitu :

a. Bimbingan

1) Bimbingan fisik berupa olah raga dan pemeriksaan kesehatan. Bimbingan ini dapat membantu remaja panti agar dapat menjaga kesehatan dan tetap bersemangat dalam melakukan kegiatan.

(60)

44

3) Bimbingan sosial berupa hubungan antar manusia, etika budi pekerti, pembinaan generasi muda, out bond dan relaksasi. Bimbingan membantu remaja agar lebih terampil dalam berinteraksi sosial baik di dalam panti maupun setelah keluar dari panti.

b. Keterampilan

1) Keterampilan tata rias / salon 2) Keterampilan menjahit dan bordir 3) Keterampilan montir sepeda motor 4) Keterampilan pertukangan las 5) Keterampilan pertukangan kayu

Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta memberikan beragam kegiatan kepada remaja yang tinggal di panti seperti, bimbingan fisik, bimbingan mental, bimbingan sosial, dan beberapa kegiatan pelatihan keterampilan. Setiap kegiatan yang dilakukan dibimbing dan dilakukan oleh tenaga ahli yang berada di panti.

5. Kriteria Remaja Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta

Kriteria remaja yang tinggal di PSBR Yogyakarta sesuai dengan sasaran remaja yang ditentukan oleh peraturan panti adalah (psbr-diy.blogspot.com):

(61)

45

b. Putus sekolah SMP dan SMU, berasal dari keluarga yang tidak mampu

c. Berasal dari keluarga yang tidak mampu

d. Anak dari keluarga broken home, korban bencana, kerusuhan sosial dan pengungsi

e. Anak yang rentan mengalami keterlantaran f. Anak terlantar korban kekerasan keluarga g. Anak yang mendapat perlindungan khusus 2. Belum menikah

3. Tidak mempunyai ikatan kerja/menganggur

Pada penelitian ini remaja yang akan dijadikan sebagai subyek penelitian adalah kategori remaja yang mengalami putus sekolah yang dilatarbelakangi oleh faktor keluarga tidak mampu dan remaja yang mengalami masalah sosial.

D. Kerangka Berpikir

(62)

46

individu yang bersangkutan dan kesulitan – kesulitan dalam menuntaskan tugas berikutnya. Tugas perkembangan remaja tersebut dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran yang diperoleh salah satunya di bangku pendidikan.

Namun, dewasa ini terdapat sebagian remaja yang kurang beruntung karena tidak dapat mengenyam bangku sekolah. Banyak alasan yang melatarbelakangi hal tersebut, seperti kemiskinan, rendahnya dukungan orang tua, rendahnya minat dan motivasi siswa belajar di sekolah, dan dapat juga disebabkan oleh minimnya fasilitas sekolah. Hal tersebut membuat remaja mengalami kegagalan dalam sekolahnya. Remaja yang mengalami kegagalan dalam sekolahnya rentan terkena stress. Remaja tersebut kurang memahami hal yang harus dilakukan dikemudian hari, sehingga sebagian dari remaja putus sekolah akan beralih ke arah yang kurang tepat. Kegagalan dalam masa remaja dapat membuat remaja menjadi kurang bahagia. Hal itu menunjukan bahwa remaja putus sekolah memiliki psychological well-being yang rendah.

Psychological well-being adalah evaluasi dari seorang individu terhadap kehidupannya serta dapat menerima sisi positif maupun negatif dalam hidupnya sehingga memiliki kepuasan hidup dan kebahagiaan. Psychological well-being dipengaruhi oleh beberpa faktor yang diantaranya, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan keluarga. Beberapa penelitian menunjukan bahwa remaja dengan status ekonomi sosial rendah memiliki tingkat psychological well-being lebih rendah dibanding remaja yang memiliki status

(63)

47

pendidikan. Dukungan keluarga juga berpengaruh, karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja dari keluarga broken home memiliki psychological well-being lebih rendah dibanding remaja dari keluarga utuh (Puri Werdyaningrum, 2013). Berdasarkan beberapa faktor tersebut mengindikasikan bahwa remaja yang mengalami kegagalan sekolah juga memiliki psychological well-being yang rendah juga.

Terdapat enam indikator psychological well-being, diantaranya penerimaan diri, tujuan hidup, hubungan positif dengan orang lain, perkembangan diri, penguasaan lingkungan, dan otonomi. Remaja yang mengalami kegagalan tersebut dimungkinkan memiliki tingkat psychological well-being pada indikator penerimaan diri, tujuan hidup, perkembangan diri,

dan hubungan positif dengan orang lain.

Pemerintah melalui Dinas sosial membentuk panti sosial untuk membantu memberikan pelayanan dan penyantunan kepada remaja yang mengalami masalah sosial dengan memberikan pelatihan dan bimbingan kepada remaja tersebut agar dapat meningkatkan kualitas sumber daya dan kemandirian. Diharapkan remaja dapat memanfaatkan fasilitas pelayanan dan bimbingan tersebut untuk memperbaiki masa depannya.

(64)

48

menunjukkan beberapa penyimpangan. Penyimpangan yang terjadi berupa pelanggaran aturan yang ada. Beberapa remaja panti melakukan pelanggaran seperti pergi keluar panti tanpa ijin, membolos dari kegiatan, bermalas-malasan, melarikan diri dari panti dan pelanggaran lainnya. Selain itu, beberapa remaja yang belum paham mengenai potensi yang harus dikembangkan remaja dan hal yang harus dilakukan setelah keluar dari panti. Hal itu mengindikasikan bahwa remaja tersebut memiliki psychological well-being yang rendah.

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat psychological well-being remaja di Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta pada setiap indikator psychological well-being.

E. Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat sesuai tujuan dan terarah pada proses pengumpulan data dan informasi tentang dimensi yang akan diteliti secara akurat, maka peneliti akan menguraikan dan mempertajam dengan lebih detail rumusan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya ke dalam bentuk pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana tingkat psychological well-being pada remaja Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta ditinjau dari indikator penerimaan diri?

(65)

49

3. Bagaimana tingkat psychological well-being pada remaja Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta ditinjau dari indikator hubungan positif dengan orang lain?

4. Bagaimana tingkat psychological well-being pada remaja Panti Sosial Bina Remaja Yogyakarta ditinjau dari indikator perkembangan pribadi? 5. Bagaimana tingkat psychological well-being pada remaja Panti Sosial

Bina Remaja Yogyakarta ditinjau dari indikator penguasaan lingkungan?

(66)

50 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu, yang didasarkan pada ciri-ciri keilmuan rasional, empiris, dan sistematis (Sugiyono, 2007:3). Sejalan dengan Deni Darmawan (2014:127), menyebutkan bahwa metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan data dan informasi mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa metode penelitian adalah cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan informasi dan data dengan prosedur ilmiah.

Metode penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif. Menurut Geoffery Marczyk ( dalam Uhar Suharsaputra, 2012:49), penelitian kuantitatif adalah kajian penelitian yang menggunakan analisis statistik untuk mendapatkan temuannya dan ciri utamanya mencakup pengukuran formal dan sistematis menggunakan statistik.

(67)

51 B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulanya (Sugiyono, 2007:60). Menurut Hatch dan Farhady (dalam Deni Darmawan, 2014:108), variabel secara teoritis dalam didefinisikan sebagai atribut atau obyek, yang mempunyai variasi antara satu obyek dengan obyek lainya. Sejalan dengan Suharsimi Arikunto (2006:96) mengemukakan bahwa variabel adalah obyek penelitian atau hal yang menjadi titik perhatian dalam penelitian. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel penelitian adalah segala atribut atau obyek yang bervariasi, yang telah ditetapkan menjadi obyek dalam penelitian yang kemudian dipelajari dan diperoleh informasi. Variabel penelitian dalam penelitian ini hanya terdapat satu variabel yaitu psychological well-being.

C. Populasi dan Sampel

Gambar

Tabel 2. Kisi-Kisi Skala Psychological Well-Being
Tabel 3 Skala Psychological Well-Being setelah diujicobakan
Tabel 4. Data Subyek Penelitian
Tabel 5. Deskripsi Data Tingkat Psychological Well-Being
+7

Referensi

Dokumen terkait

Saran bagi guru honorer sekolah dasar negeri di kota Bandung untuk dapat mengintropeksi dan mengevaluasi pengalaman hidupnya serta mengembangkan kompetensi yang dimiliki

Menurut Ryff, hasil evaluasi individu terhadap setiap pengalaman dalam hidupnya bahwa dirinya mampu untuk menerima segala kelebihan dan kelemahan diri apa adanya

Pada penelitian ini penulis mengambil keenam dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff yaitu: kemandirian, menguasai lingkungan, menjadi pribadi yang

Dukungan emosional seperti adanya rasa empati dan kepedulian dapat membuat remaja yang tinggal dipanti asuhan merasa tentram dan nyaman karena dia merasa memiliki kualitas

individu dapat menjalin hubungan yang positif pula dengan orang lain. Mampu memaafkan diri sendiri, orang lain serta keadaan dapat mengubah berbagai kondisi psikologis yang

Kemandirian yang dilakukan oleh Didi dan Endang selaras dengan pendapat dari Rizky (2015) bahwa individu dewasa yang mengalami disabilitas fisik diharapkan

Partisipan dalam penelitian ini adalah enam orang remaja yang tinggal di panti asuhan “X” (usia 12-18 tahun), mempunyai PWB yang tidak optimal, dan bersedia mengikuti

Individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi adalah individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang positif, mampu melalui