BAB IV. HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN, DAN
B. PEMBAHASAN
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kesulitan dalam
berbahasa sehingga segala hal yang ingin disampaikannya menjadi sulit
dimengerti oleh orang lain dan anak tunarungu pun akan mengalami
kesulitan dalam memahami pembicaraan oleh orang yang mendengar.
Namun, masih banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan
kemampuan berbahasa pada anak tunarungu sehingga mereka dapat
melakukan komunikasi dengan orang – orang disekitarnya.
Menurut hasil analisis data mengenai perkembangan bahasa dan
komunikasi berdasarkan penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR)
pada murid tunarungu kelas VI SLB B Karnnamanohara Yogyakarta dapat
dibahas sebagai berikut:
Salah satu bentuk pengajaran yang diharapkan dapat
mengoptimalkan perkembangan bahasa dan kemampuan berkomunikasi
bagi anak tunarungu adalah menggunakan Metode Maternal Reflektif
(MMR).
SLB B Karnnamanohara Yogyakarta merupakan satu – satunya sekolah khusus untuk anak tunarungu di Yogyakarta yang menggunakan
Metode Maternal Reflektif (MMR) sebagai metode pengajarannya.
Metode Maternal Reflektif (MMR) adalah metode pengajaran dengan
menggunakan percakapan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa
anak tunarungu sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan orang lain,
(2000 : 71 - 72) bahwa prinsip utama Metode Maternal Reflektif (MMR)
adalah “Apa yang ingin kau katakan, katakanlah begini”. Hal tersebut
didukung oleh penjelasan Djatun (2007 : 34) bahwa Metode Maternal
Reflektif (MMR) adalah metode pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan berbahasa yang pada gilirannya akan meningkatkan
kemampuan berkomunikasi.
Metode Maternal Reflektif (MMR) di SLB B Karnnamanohara
diberikan sejak anak berusia 1,8 tahun agar mereka dapat segera
diperkenalkan dan diajarkan dengan aturan – aturan bahasa sehingga kemampuan berbahasa mereka dapat berkembang sejak dini dan mampu
berkomunikasi dengan lain. Meskipun demikian, SLB B Karnnamanohara
hanya menerima anak tunarungu yang tidak mengalami gangguan lain.
Pendidikan anak tunarungu dimulai pada kelas Latihan dan selanjutnya
kelas Taman yang masing – masing dibagi menjadi tiga kelas. Kemudian, dilanjutkan dengan kelas setingkat sekolah dasar yaitu, kelas I sampai VI
dan yang terakhir kelas setingkat sekolah menengah pertama yaitu, kelas
VII sampai IX.
Kelas VI merupakan kelas tertinggi pada pendidikan dasar yang
seharusnya telah dapat menguasai dan menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi. Oleh karena itu, pelaksanaan Metode Maternal Reflektif
(MMR) telah diterapkan agar dapat mengembangkan kemampuan
berbahasa murid – murid, khususnya murid kelas VI. Metode pengajaran Bahasa yang dilakukan di kelas telah sesuai dengan Metode Maternal
Reflektif (MMR) pada umumnya yang mencakup Perdati, Percami,
Percamsi,dan Perlatsi. Materi pengajaran yang dilakukan guru pada murid
– murid kelas VI merupakan materi khusus untuk anak tunarungu yang telah disesuaikan dengan kemampuan anak, tetapi tidak jauh berbeda
dengan materi yang diberikan pada murid – murid kelas VI di sekolah umum. Menurut Somad dan Hernawati (1996), anak – anak tunarungu sebenarnya memiliki intelegensi normal atau rata – rata.
Pelaksanaan Metode Maternal Reflektif (MMR) di kelas telah
cukup banyak berperan dalam perkembangan bahasa murid – murid meskipun belum menunjukkan hasil yang maksimal. Hal tersebut
dikarenakan besarnya tuntutan pelajaran atau materi yang diberikan oleh
guru yang harus sesuai dengan pelaksanaan Metode Maternal Reflektif
(MMR). Namun, kemampuan dari masing – masing murid tidak sama dalam mencapai tujuan pemberian materi. Yusuf (2010) menjelaskan
bahwa anak – anak dituntut untuk mengusai tugas – tugas pokok yang saling berkaitan dalam berbahasa, yaitu pemahaman, pengembangan
pembendaharaan kata, penyusunan kata – kata menjadi kalimat, dan ucapan. NA hampir sepenuhnya telah menguasai tahapan – tahapan dari tugas pekembangan bahasa. Hal ini disebabkan dari adanya rasa ingin tahu
dan sikap yang aktif dalam diri NA. NA selalu bertanya pada guru ketika
ada materi yang kurang dimengerti olehnya. NA juga selalu aktif
Sebaliknya LI, DA, dan SA belum sepenuhnya menguasai tahapan
pemahaman, yaitu penguasaan anak untuk memahami makna ucapan
orang lain. Hal tersebut membuat LI, DA, dan SA membutuhkan waktu
yang cukup lama dan penjelasan yang berulang dari guru maupun teman,
khususnya NA. Pada tahapan pengembangan pembendaharaan kata, LI,
DA, dan SA pun belum sepenuhnya menguasai. LI, DA, dan SA akan
mengalami kesulitan dalam menuliskan, mengulangi, atau mengeja suatu
kata tertentu. Selanjutnya, pada tahapan penyusunan kata – kata menjadi kalimat, SA lebih menguasai dibandingkan dengan LI dan DA. LI dan DA
masih membutuhkan bantuan dari guru maupun temannya ketika kesulitan
dalam membuat kalimat.
Perbedaan yang terjadi pada tahapan pengembangan
pembendaharaan kata dan tahapan penyusunan kata – kata menjadi kalimat antara LI, DA, dan SA dikarenakan kurangnya rasa ingin tahu dan sikap
aktif. LI, DA, dan SA jarang bertanya atau berpendapat di kelas apabila
tidak dimulai terlebih dahulu oleh guru atau temannya yang lain. Di sisi
lain, LI termasuk anak yang kurang bergaul. LI lebih sering menghabiskan
waktunya di kelas. Hal ini membuat LI jarang berkomunikasi dengan
teman – temannya yang lain sehingga kurang berkembangnya pembendaharaan kata dan kemampuan membuat kalimat.
Pada tahapan ucapan, DA dan SA telah dapat menguasainya
dibandingkan dengan LI. DA dan SA dapat menggunakan bahasa oral
tersebut dikarenakan adanya keharusan murid – murid untuk menggunakan bahasa oral ketika berkomunikasi dengan guru. Komunikasi
yang dilakukan selama proses belajar mengajar pun selalu menggunakan
bahasa oral. DA dan SA juga termasuk murid yang aktif berbicara,
meskipun bukan mengenai pelajaran sedangkan LI lebih sering diam dan
menggunakan bahasa oral sambil berisyarat. Terkadang, NA, SA, dan DA
juga akan menggunakan bahasa oral sambil berisyarat ketika
berkomunikasi dengan teman – temannya.
Selain itu, Yusuf (2010) juga menjelaskan mengenai tipe
perkembangan bahasa anak yang dibagi menjadi egocentric speech, yaitu
melakukan komunikasi dengan dirinya sendiri dan socialized speech, yaitu
adanya kontak antara anak dengan lingkungannya. NA, LI, DA, dan SA
telah dapat melakukan egocentric speech, yang ditunjukkan dari sikap NA,
LI, DA, dan SA yang akan marah atau tertawa sendiri ketika melakukan
kesalahan dalam menuliskan sesuatu di buku atau di papan tulis.
Terkadang, NA, LI, DA, dan SA akan berbicara sendiri ketika sedang
tidak melakukan apapun di kelas. Perkembangan pada tipe egocentric
speech sangat dipengaruhi dari
Pada tipe perkembangan socialized speech terdiri dari lima bentuk,
yaitu : (a) adapted information, NA, DA, dan SA dapat melakukan
percakapan pada guru dan teman – temannya untuk saling bertukar gagasan atau untuk menyampaikan maksud tertentu baik menggunakan
bantuan dari teman dalam menjelaskan maksudnya; (b) critism, NA dan
DA dapat mengutarakan pendapat atau penilaian terhadap ucapan
temannya sedangkan LI dan SA terkadang mengalami kesulitan dalam
memberikan pendapat atau penilaiannya terhadap ucapan temannya
sehingga harus diulangi berkali – kali bahkan LI dan SA terkadang kesulitan untuk menyusun kalimat untuk mengutarakan pendapatnya.
Perkembangan pada bentuk adapted information dan critism sangat
dipengaruhi dari adanya kebebasan murid – murid untuk mengutarakan pendapatnya dan saling bercakap – cakap antara guru maupun teman –
temannya;
Selanjutnya (c) command, request, dan threat, NA, LI, DA, dan SA
dapat menyuruh dan meminta sesuatu pada guru dan teman – temannya. Hal ini ditunjukkan selama proses belajar mengajar maupun ketika di luar
kelas; (d) question, NA termasuk sering dalam mengutarakan
pertanyaannya pada guru atau teman – temannya. Sementara itu, LI, DA, dan SA tampak jarang mengutarakan pertanyaan pada guru dan memilih
untuk diam serta lebih sering bertanya pada teman yang lain; (e) answer,
NA, DA, dan SA terkadang masih mengalami kesulitan dalam merespon
atau menjawab pertanyaan dari guru sehingga memerlukan penjelasaan
berulang agar NA, DA, dan SA dapat memahami pertanyaan guru.
Namun, LI masih sering mengalami kesulitan untuk menjawab setiap
pertanyaan guru sehingga memerlukan penjelasaan berulang dan
Perkembangan pada bentuk question dan answer sangat
dipengaruhi dari adanya kebebasan murid – murid untuk saling berkomunikasi baik dengan guru maupun teman – temannya. Selain itu, guru selalu meminta murid – muridnya untuk aktif bertanya, berpendapat, dan menjawab ketika kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung.
Perkembangan pada tipe socialized speech cukup memberikan peranan
dalam mengembangkan kontak sosial dan kepekaan antara murid – murid dengan lingkungannya, khususnya ketika di sekolah bersama guru dan
teman – temannya.
Peran guru dalam mengajarkan Metode Maternal Reflektif (MMR)
pada murid – murid juga telah cukup efektif. Hal ini ditunjukkan dari kebiasaan guru yang selalu menerapkan pelaksanaan Metode Maternal
Reflektif (MMR) di kelas. Namun, masih adanya perbedaan
perkembangan bahasa dari masing – murid sebenarnya dipengaruhi oleh perbedaan kemampuan berbahasa anak tunarungu dalam memahami
makna kata atau aturan bahasa. Hal tersebut membuat mereka mengalami
kesulitan dalam mengikuti proses belajar dan berbicara sehingga mereka
tidak belajar dari sesuatu yang didengarnya. Menurut Carrol (1986), ada
tiga faktor yang menentukan perkembangan bahasa pada anak tunarungu,
yaitu tingkat kerusakan pendengaran, status pendengaran orangtua, dan
usia diperkenalkan pada sistem komunikasi tertentu serta konsistensi
NA, DA, dan SA termasuk dalam kategori anak yang mengalami
kehilangan pendengaran marginal. Mangunsong (2009) menjelaskan
bahwa anak dengan gangguan pendengaran marginal (30 – 40 dB) masih dapat mendengar dan mengikuti pembicaraan hanya pada jarak beberapa
meter. Sebenarnya, LI juga termasuk dalam kategori anak yang mengalami
kehilangan pendengaran marginal, tetapi LI yang mengalami gangguan
pada matanya ketika kelas I sehingga semakin mempengaruhi gangguan
pada pendengarannya. LI pun dikategorikan menjadi anak yang yang
mengalami kehilangan pendengaran sedang, seperti yang dijelaskan oleh
Mangunsong (2009) bahwa anak dengan gangguan pendengaran sedang
(40 – 60 db) dapat belajar membaca dengan menggunakan bantuan mata dan alat pendengaran (hearing aid). Namun, LI memilih untuk tidak
menggunakan bantuan alat pendengaran (hearing aid) sehingga LI masih
sering mengalami kesulitan ketika mengikuti pembicaraan guru dan teman
– temannya tanpa menggunakan bahasa isyarat.
Kerusakan pendengaran pada anak tunarungu akan mempengaruhi
kurang berkembangnya kemampuan berbahasa mereka. Anak tunarungu
tidak belajar dari apa yang didengarnya sehingga mereka akan mengalami
kesulitan dan waktu yang lebih lama untuk mengenali aturan – aturan bahasa daripada anak yang mendengar. Hal tersebut membuat lebih
berkembangannya kemampuan bahasa NA, DA, dan SA dibandingkan
dengan LI. Perbedaan tingkat kerusakan pendengaran telah mempengaruhi
DA, dan SA termasuk dalam kategori kehilangan pendengaran yang sama,
tetapi NA merupakan murid memiliki kemampuan berbahasa yang lebih
bekembang. Hal tersebut dikarenakan NA aktif mengutarakan pertanyaan
dan pernyataannya di kelas sehingga semakin memperkaya
pembendaharaan kata dan melatih kemampuan berkomunikasinya. Selain
itu, NA sering membantu guru dalam memperjelas pertanyaan atau
pernyataan dari teman – temannya. NA juga membantu teman – temannya memahami penjelasan dari guru.
Orangtua NA, LI, DA, dan SA termasuk orangtua dengan
pendengaran normal, yaitu orangtua mereka tidak mengalami gangguan
pendengaran atau tunarungu sehingga status pendengaran orangtua tidak
berpengaruh terhadap gangguan pendengaran pada NA, LI, DA, dan SA.
Status pendengaran orangtua yang mendengar membuat perkembangan
bahasa NA, LI, DA, dan SA tidak terlalu mengalami ketertinggalan. Hal
tersebut karena NA, LI, DA, dan SA tetap dapat belajar mengenali
berbagai makna kata ketika sedang berkomunikasi dengan orangtua di
rumah.
Di sisi lain, NA, LI, DA, dan SA memiliki perbedaan usia ketika
diperkenalkan dengan sistem komunikasi melalui Metode Maternal
Reflektif (MMR). Hal ini dapat mempengaruhi proses penerimaan
pelajaran mengenai aturan - aturan bahasa. Sebaiknya, anak tunarungu
telah diperkenalkan pada suatu sistem komunikasi tertentu sejak dini
aturan – aturan bahasa. Hal tersebut tampak dari kemampuan berbahasa dan komunikasi NA yang lebih menonjol.
NA dan LI mulai masuk kelas Latihan atau kelas paling awal
sekolah pada usia dua tahun, sedangkan DA pada usia tiga tahun, dan SA
pada usia empat tahun sehingga membuat kemampuan berbahasa mereka
tidak sama. Meskipun telah masuk kelas Latihan lebih awal, tetapi LI
mengalami kemunduran dalam mengikuti pelajaran (WWC 2). LI harus
tertinggal pelajaran beberapa bulan selama proses penyembuhan operasi
mata yang dijalaninya. Padahal, LI termasuk murid yang cukup pintar
sejak duduk di kelas Latihan. Meskipun mengalami kemunduran, tetapi LI
tetap mengikuti kelas – kelas selanjutnya tanpa mengulangi kelas I. Hal tersebut karena LI sangat bergantung dengan NA sehingga LI tetap naik
kelas bersama NA. Sesuai dengan telah dijelaskan oleh Somad dan
Hernawati (1996) bahwa anak tunarungu memiliki sikap ketergantungan
dengan orang lain.
Meskipun demikian, kurang berkembangnya kemampuan
berbahasa yang dialami oleh NA, LI, DA, dan SA tidak sepenuhnya
dipengaruhi oleh tingkat kerusakan pendengaran, status pendengaran
orangtua, dan usia diperkenalkan pada sistem komunikasi saja. Hal ini
juga dapat dipengaruhi oleh kurangnya dukungan dan peran serta orangtua