• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI LITERATUR: PENGGUNAAN STRATEGI SCAFFOLDING DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN HIGHER ORDER THINKING SISWA

PEMBAHASAN Higher Order Thinking

Solso, (1995) menyatakan bahwa berpikir adalah proses dimana representasi mental baru dibentuk melalui transformasi informasi oleh interaksi yang kompleks dari sifat mental dari penilaian, abstraksi, penalaran, membayangkan dan pemecahan masalah.

Mayer (Solso, 1995) menyatakan bahwa terdapat tiga ide dasar tentang berpikir yaitu:

(1) Berpikir bersifat kognitif yaitu, menghasilkan “secara internal” dalam akal namun disimpulkan dari perilaku.

(2) Berpikir adalah suatu proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam sistem kognitif.

(3) Berpikirdiarahkan untukdanmenghasilkanperilaku"memecahkan" masalahataudiarahkan padasolusi.

Sedangkan menurut (Arends, 2008) definisi berpikir adalah:

(1) Sebuah proses yang melibatkan operasi – operasi mental, seperti induksi, deduksi, klarifikasi, dan penalaran.

(2) Sebuah proses representasi secara simbolis (melalui bahasa) berbagai objek dan kejadian riil dan menggunakan representasi simbolis itu untuk menemukan prinsip – prinsip esensial objek dan kejadian tersebut. Representasi simbolis (abstrak) itu biasanya diperbandingkan dengan operasi – operasi mental yang didasarkan pada fakta dan kasus – kasus tertentu di tingkat konkret.

(3) Kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasarkan inferensi atau judgement yang baik.

Sebaiknya sekolah lebih memberikan pembekalan pada siswa untuk berpikir. Siswa harus dilatih untuk mempertanyakan isi, misalnya membedakan antara fakta dan opini, kesimpulan sementara dan kesimpulan tetap, faktor yang relevan dan yang tidak relevan; generalisasi yang yang benar, mengadakan klasifikasi dan sebagainya (Harsanto, 2011).

Sesuai dengan kedalaman dan kompleksitas kegiatannya, pemikiran matematis diklasifikasikan menjadi dua tingkat, berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi. Melakukan operasi aritmetika sederhana, menerapkan aturan secara langsung, mengerjakan tugas, digolongkan dalam berpikir tingkat rendah. Di sisi lain, dugaan, pemahaman bermakna, kompilasi, analogi dan membuat koneksi diklasifikasikan sebagai berpikir tingkat tinggi matematis (Webb dan Coxford dalam Sumarmo dan Nishitami, 2010, 11).

Kemampuan berpikir tingkat tinggi belum bisa didefinisikan dengan baik, namun higher

tingkat tingkat itu muncul atau pada saat proses berpikir itu terjadi. Adapun fitur – fitur tersebut yang dikemukakan oleh (Lauren Resnick, 1987) yaitu:

(a) Higher order thinking bersifat non algorithmic, artinya, jalur tindakan tidak ditetapkan

sebelumnya.

(b) Higher order thinking cenderung bersifat komplex. Jalur totalnya tidak “visibel” (secara

mental) dilihat dari sudut manapun.

(c) Higher order thinking sering mendapatkan multiple solutions (banyak solusi), masing –

masing dengan kerugian dan keuntungannya masing – masing, dan bukan sebuah solusi tunggal.

(d) Higher order thinking melibatkan nuance judgment and interpretasi.

(e) Higher order thinking melibatkan penerapan multiple criteria (banyak kriteria), yang

kadang – kadang bertentangan satu sama lain..

(f) Higher order thinking sering melibatkan uncertainty (ketidakpastian). Tidak semua yang

berhubungan dengan tugas yang harus ditangani telah diketahui.

(g) Higher order thinking melibatkan self-regulation proses – proses berpikir. Kita tidak dapat

menengarai higher – order thinking dalam individu bila orang lainlah yang menentukan setiap langkahnya.

(h) Higher order thinking melibatkan imposing meaning (menentukan makna), menemukan

struktur dalam sesuatu yang tampak tidak beraturan.

(i) Higher order thinking bersifat effortful (membutuhkan banyak usaha). Ada banyak

pekerjaan mental yang terlibat dalam elaborasi dan judgement yang dituntut di dalamnya. Tahun 1956 Bloom menyampaikan gagasan dalam bentuk taksonomi yang dikenal dengan “Taksonomi bloom” yang disajikan dalam bentuk hirarki. Taksonominya bloom memberikan pemetaan ranah kognitif dalam kategori berpikir. Bloom membagi tingkat berpikir menjadi enam tingkatan yakni pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintetis, dan berpikir evaluative atau berpikir kreatif (evaluation).

Tahun 1990-an Lorin Anderson, murid dari Bloom membuat revisi dari taxonomy gurunya. Revisi yang dilakukan oleh Anderson ini menggunakan kata kerja dari setiap kategori dan penyusunan kembali tahapan-tahapan yang ada di dalam taxonomy sebelumnya.

Menurut (Thompson, 2008, 98) Kemampuan berpikir pada taksonomi Bloom mempertimabangkan LOT mencakup pengetahuan dan pemahaman, sementara kemampuan berpikir seperti analisis, sintesis, dan evaluasi dikategorikan sebagai HOT. Aplikasi berada dianatara baik HOT maupun LOT.

a. Menganalisis

Tujuandomain menganalisismencakup belajaruntuk menentukanbagianyang relevan ataupenting dari sebuahpesan (membedakan),cara-caradi manabagian - bagianpesaninidiatur(mengorganisir)dan tujuandasar daripesan(menghubungkan)

5 17 3 11 10 25 9 15 31

(a) Membedakan melibatkan membandingkan bagian-bagian dari seluruh struktur dalam hal relevansi atau pentingnya. Membedakan terjadi ketika seorang siswa mendiskriminasikan informasi relevan dari informasi yang tidak relevan, atau informasi penting dari informasi yang tidak penting, dan kemudian berada pada informasi yang relevan atau penting.

(b) Mengorganisirmelibatkan identifikasiunsur-unsurkomunikasiatau situasidan mengenalibagaimana mereka cocok bersamake dalam strukturyang jelas. Dalam

mengorganisir, mahasiswamembangun koneksisistematis dan

koherenantarabagianinformasi yang disajikan.Pengorganisasianbiasanya terjadiinconjuctiondengan membedakan. Istilahalternatif untukpengorganisasian adalahmenyusun, mengintegrasikan, menemukankoherensi,menguraikan, dan melakukan pengecekan.

(c) Menghubungkanterjadi ketikasiswamampumemastikansudut pandang, prasangka, nilai-nilai, atau tujuan komunikasidasar. Menghubungkanmelibatkanprosesdekonstruksi, di mana siswamenentukanmaksuddaripenulismateri yang disajikan. Sebuahistilahalternatif adalahmendekonstruksi. Menghubungkandapat dinilaidengan menyajikanbeberapa materitertulis atau lisandan kemudianmemintasiswa untukmembangun ataumemilihdeskripsi daripenulisatau titikpandangpembicara, niat, dan sejenisnya.

Dalam Taksonomi Bloom, tingkat analisis adalah di mana siswa menggunakan pertimbangan sendiri untuk mulai menganalisis pengetahuan yang telah mereka pelajari. Pada poin ini, mereka mulai memahami struktur yang mendasari untuk pengetahuan dan juga mampu membedakan antara fakta dan opini (Kelly, 2002).

Salah satu jalan untuk melihat kemampuan siswa dalam menganalisis masalah adalah guru mengajukan pertanyaan “bagaimana jika?” (what if …?). Harta, (2008) menyatakan bahwa pertanyaan ini membuat siswa memeriksa kembali soal dan melihat apakah pengaruh perubahan ini terhadap proses penyelesaian dan juga jawabannya. Dengan jalan ini siswa akan menganalisa apa yang terjadi sehingga akan meningkatkan berfikir kritisnya. Berikut contohnya.

Yani mengambil empat kartu bilangan bernilai 31, 5, 9 dan 10. Berapakah total nilai kartu-kartu bilangan

tersebut?

Dengan proses penjumlahan sederhana diperoleh jawaban 55. Sekarang ajukan pertanyaan: Bagaimana jika…?

Bagaimana jika Yani mengambil empat kartu dengan total nilai 55? Kartu bilangan manakah yang diambilnya?

Banyak jawaban terhadap pertanyaan ini. Artinya, terdapat banyak jawaban benar. Soal terakhir ini lebih memerlukan analisa, bukan sekedar latihan penjumlahan.

b. Mengevaluasi

Evaluasi didefinisikan sebagai membuat penilaian berdasarkan kriteria dan standar. Kriteria yang paling sering digunakan adalah kualitas, efektivitas, efisiensi, dan konsistensi. Itu dapat ditentukan oleh siswa atau diberikan kepada siswa oleh orang lain. Kategori mengevaluasitermasukproseskognitifpemeriksaan(penilaian tentang konsistensi internal) dan mengkritisi(penilaian berdasarkan kriteriaeksternal)

(a)

Memeriksamelibatkan pengujianuntukketidakkonsistenaninternal ataukesalahandalam operasiatau hasil.Sebagai contoh, memeriksaterjadi jikates siswaapakahkesimpulanmuncul daripremisnya,apakah datamendukung atautidak mendukunghipotesis.Alternatifistilahuntuk memeriksamenguji,mendeteksi,memonitor,dan mengkoordinasi.Dalam memeriksa,siswamelihatketidakkonsistenaninternal.

(b)

Mengkritisimelibatkanmenilaisuatu produkatau operasiberdasarkan kriteriaeksternalyang dikenakandan standar. Dalammengkritisi, siswamencatatfiturpositif dannegatif dariproduk danmembuatpenilaian berdasarkansetidaknya sebagianpada fiturtersebut. Istilahalternatifmenilai. Dalammengkritisi, seorang siswa dapatdiminta untukkritikhipotesisnyasendiri ataupenciptaan atauyang dihasilkan olehorang lain. Kritikdapat didasarkan padajenispositif, negatif, atau keduanyakriteriadan hasilbaikkonsekuensi positifdan negatif.

Dalam taksonomi Bloom, tingkat evaluasi adalah tingkat dimana siswa membuat penilaian tentang nilai gagasan, sesuatu, bahan, dan banyak lagi. Pada tingkat ini, siswa diharapkan membawa semua yang telah mereka pelajari untuk melakukan evaluasi materi yang diinformasikan dan diperdengarkan (Kelly, 2002).

Salah satu cara untuk melihat keterampilan siswa dalam menganalisis adalah menanyakan pertanyaan seperti (apakah yang akan kamu lakukan?). Harta (2008) menyatakan bahwa pertanyaan ini diajukan untuk merangsang keterampilan berfikir kritis. Setelah menjawab pertanyaan, siswa dihadapkan pada situasi untuk mengambil keputusan. Keputusan ini dapat didasarkan pada ide pribadi, pengalaman pribadi, atau apa saja sesuai keinginan siswa. Akan tetapi siswa harus menjelaskan konsep matematika yang mendasari keputusan tersebut. Penjelasan ini bisa dalam bentuk kalimat tertulis sehingga memberi siswa kesempatan untuk melatih keterampilan komunikasinya. Berikut contohnya, di suatu kota terdapat dua system tarif

taksi, tarif lama dan tarif baru. Biaya tarif lama adalah Rp 4000 + Rp250/km, sedangkan tarf baru Rp5000 + Rp200/km. Apabila anda memerlukan taksi, taksi manakah yang akan dipilih? mengapa?

c. Mencipta (C6)

Menciptakanmelibatkanpenempatan unsur-unsursecara

kembalielemenke dalampolabaruatau struktur. Ada tiga macam proses kognitif yang tergolong dalam kategori ini, yaitu: membuat, merencanakan, dan memproduksi.

(a) Membuat: menguraikan suatu masalah sehingga dapat dirumuskan berbagai kemungkinan hipotesis yang mengarah pada pemecahan masalah tersebut. Contoh: merumuskan hipotesis untuk memecahkan permasalahan yang terjadi berdasarkan pengamatan di lapangan. (b) Merencanakan: merancang suatu metode atau strategi untuk memecahkan masalah. Contoh:

merancang serangkaian percobaan untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan.

Memproduksi: membuat suatu rancangan atau menjalankan suatu rencana untuk memecahkan masalah. Contoh: mendesain (atau juga membuat) suatu alat yang akan digunakan untuk melakukan percobaan.

Srategi Scaffolding

Strategi khususnya dalam pembelajaran matematika merupakan suatu hal yang wajib dilakukan. Hal ini dilakukan agar pelaksanaan pembelajaran yang berlangsung di kelas berjalan dengan lancar, sesuai dengan apa yang diinginkan dan mencapai hasil yang memuaskan sebagaimana semua guru menginginkannya

Strategi dalam kaitannya pembelajaran (matematika) adalah siasat atau kiat yang sengaja direncanakan oleh guru, berkenaan dengan segala persiapan pembelajaran agar pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan lancar dan tujuannya yang berupa hasil belajar bisa tercapai secara optimal (Suherman dkk, 2003.) Tentunya semua guru berharap pembelajaran yang dilaksanakannya akan berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan.

Pembelajaran scaffolding merupakan praktik yang didasarkan pada konsep Vygotsky tentang assisted learning. Teknik ini dimulai dengan pemberian dukungan belajar secara lebih terstruktur berupa motivasi, bimbingan serta bantuan kemudian secara berjenjang menuntun siswa ke arah kemandirian belajar.

Menurut Hogan dan Pressley (dalam Lagne, 2002) terdapat lima teknik pembelajaran

scaffolding, yaitu :

(1) Pemberian model perilaku yang diharapkan

Modeling umumnya langkah pertama dalam pembelajaran scaffolding. Hal ini didefinisikan sebagai "perilaku mengajar yang menunjukkan bagaimana orang harus merasa, berpikir atau bertindak dalam situasi tertentu.

(2) Pemberian penjelasan

Selain model, sangat penting bagi guru untuk memberikan penjelasan, yang seharusnya "pernyataan eksplisit disesuaikan agar sesuai dengan pemahaman peserta didik 'muncul tentang apa yang sedang dipelajari (pengetahuan deklaratif atau preposisi), mengapa dan kapan digunakan (pengetahuan bersyarat atau situasional), dan bagaimana digunakan (pengetahuan prosedural) " (3) Mengundang siswa berpartisipasi

Terutama pada tahap awal scaffolding, seorang instruktur harus mengundang partisipasi siswa dalam bekerja. Praktek ini melibatkan siswa dalam belajar dan menyediakan dengan kepemilikan pengalaman belajar. Siswa mungkin diajak untuk berpartisipasi secara lisan atau dia mungkin akan diminta untuk datang ke depan kelas dan menyumbangkan ide atau strateginya secara tertulis. Ketika siswa menyumbangkan ide – ide mereka tentang suatu topik atau keterampilan, guru bisa menambahkan ide sendiri untuk memandu diskusi. Jika pemahaman siswa tidak benar atau hanya sebagian benar, guru dapat memperbaiki mereka dan memperbaiki penjelasannya.

(4) Menjelaskan dan mengklarifikasi pemahaman siswa

Sebagai hasil dari pengalaman siswa terhadap materi baru, penting bagi guru untuk terus menilai pemahaman mereka dan menawarkan umpan balik. "Memeriksa pemahaman siswa dan mengklarifikasi" pada dasarnya adalah menawarkan umpan balik afirmatif untuk pemahaman masuk akal, atauumpan balik perbaikan untuk pemahaman tidak masuk akal.

(5) Mengundang siswa untuk mengemukakan pendapat.

Sedangkang Vygotsky mengidentifikasi empat tahap pembelajaran scaffolding Byrnes (Lagne, 2002) yaitu:

(1) Tahap pertama adalah pemodelan, dengan penjelasan verbal.

(2) Tahap kedua adalah peniruan siswa dari keterampilan yang telah mereka lihat atau dimodelkan oleh guru mereka, termasuk penjelasan. Selama fase ini, guru harus terus-menerus menilai pemahaman siswa dan sering menawarkan bantuan dan umpan balik. (3) Tahap ketiga adalah periode ketika instruktur mulai menghapus bimbingannya atau

scaffolding-nya. Guru mengurangi untuk menawarkan bantuan dan umpan balik kepada murid-muridnya ketika murid – murid mereka mulai menguasai konten.

(4) Pada tahap empat, para siswa telah mencapai tingkat ahli penguasaan. Mereka dapat melakukan tugas baru tanpa bantuan dari guru mereka.

Secara operasional (Syamsiah, 2008), strategi pembelajaran scaffolding dapat ditempuh melalui tahapan-tahapan berikut:

(1) Mengecek hasil belajar sebelumnya

(a) Assesmen keterampilan atau pengetahuan sebelumnya yang dimiliki oleh siswa berkaitan dengan tugas belajar baru yang akan diberikan. Assesmen hendaknya dilakukan secara perseorangan melalui interaksi langsung dengan masing-masing siswa.

(b) Menentukan the Zone of Proximal Development (ZPD) untuk masing-masing siswa. Siswa kemudian dapat dikelompokkan menurut level perkembangan awal yang dimiliki dan atau yang membutuhkan ZPD yang relatif sama. Siswa dengan ZPD yang jauh berbeda dengan kemajuan rata-rata kelas dapat diberi perhatian khusus.

(a) Menjabarkan tugas pemecahan masalah ke dalam tahap-tahap yang rinci sehingga dapat membantu siswa melihat sasaran tugas yang diharapkan akan mereka lakukan.

(b) Menyajikan tugas belajar secara berjenjang sesuai taraf perkembangan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui penjelasan, peringatan, dorongan (motivasi), penguraian masalah ke dalam langkah pemecahan dan pemberian contoh. (3) Memantau dan memediasi aktifitas dalam belajar

(a) Mendorong siswa untuk bekerja dan belajar diikuti dengan pemberian dukungan seperlunya. Kemudian secara bertahap guru mengurangi dukungan langsungnya dan membiarkan siswa menyelesaikan tugas belajar secara mandiri.

(b) Memberikan dukungan kepada siswa dalam bentuk pemberian isyarat, kata kunci, dorongan, contoh, atau hal lain yang dapat memancing siswa bergerak ke arah kemandirian belajar dan pengarahan diri.

(4) Mengecek dan mengevaluasi belajar

(a) Hasil belajar yang dicapai, bagaimana kemajuan belajar setiap siswa.

(b) Proses belajar yang digunakan, apakah siswa bergerak ke arah kemandirian dan pengaturan diri dalam belajar.

(c) Tentang diri siswa, hambatan-hambatan internal apa yang dihadapi siswa dalam belajar dan mencapai kemandirian dalam belajar.

Kaitan Higher Order Thinking dengan Strategi Scaffolding

Interaksi sosial anak dengan orang yang lebih pakar dan dengan lingkungannya secara signifikan sangat mempengaruhi cara berpikir siswa dan caranya menginterpretasi situasi. Ia mengembangkan intelektualnya melalui internalisasi konsep berdasarkan interpretasinya sendiri yang terjadi dalam sosial setting. Komunikasi yang terjadi dengan orang yang lebih pakar membantu siswa mengkonstruk suatu pemahaman konsep (Nusu,2010).

Stuyf (Nusu, 2010) menyatakan bahwa peran guru atau pakar menjadi kunci teori ini melalui bimbingan yang diberikan kepada anak, sehingga anak sanggup mencapai sesuatu yang tidak berada pada level kemampuannya sendiri. Mereka beralih dari level aktual ke level potensialnya. Anak tidak dianggap sebagai saintis yang mencoba penyelesaian, akan tetapi aktif belajar dibimbing oleh orang yang lebih pakar. Dipercaya bahwa anak dapat diajar secara efektif menggunakan teknik scaffolding pada daerah ZPD. Guru mengaktifkan daerah ini saat mengajarkan konsep di atas tingkat keterampilan dan pengetahuan yang ada pada siswa yang mendorong mereka untuk melampaui tingkat keterampilan terakhir mereka. Siswa diarahkan dan dibimbing melalui aktivitas belajar yang berfungsi sebagai jembatan interaktif untuk membawa mereka ke tingkat berikutnya. Dengan demikian siswa mengembangkan dan mengkonstruk pengetahuan baru melalui elaborasi pengetahuan sebelumnya dengan support yang disiapkan oleh pakar. Tanpa pengalaman belajar terbimbing dan interaksi sosial, maka pengembangan belajar akan terhambat.

Saat pemberian masalah (matematika) yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa, tidak menuntut kemungkinan banyak siswa yang membutuhkan bantuan dari guru. Hal ini dimungkinkan karena kebanyakan siswa masih belum terbiasa dalam menyelesaikan masalah yang demikian. Olehnya itu bantuan yang intensif dari seorang guru pada tahap awal sangat dibutuhkan. Tahap awal ini merupakan tahap awal dalam strategi pembelajaran scaffolding.

Bantuan yang intensif pada tahap awal dalam menyelesaikan permasalahan matematika yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa berupa bantuan secara individu ataupun kelompok oleh guru. Bantuan ini akan membentuk cara berpikir siswa dalam menyelesaikan soal. Pada saat siswa mendapat kesulitan dalam mengerjakan suatu soal cerita, bantuan intensif yang diberikan oleh guru baik secara kelompok maupun individu bisa berupa petunjuk mengubah bentuk kalimat menjadi suatu kalimat matematika. Dengan bantuan ini, cara berpikir siswa pada saat akan mengerjakan suatu soal cerita adalah mengubah kalimat menjadi kalimat matematika.

Bantuan intensif yang diberikan oleh seorang guru harus lengkap dan tertanam dengan baik dipikiran siswa. Informasi yang lengkap ini akan digunakan siswa pada saat guru sudah mulai mengurangi bantuannya. Khususnya soal matematika yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, bantuan – bantuan intensif yang sebaiknya diberikan adalah pemahaman konsep, mengaplikasikan konsep, pembentukan kalimat matematika, menghubungkan antar suatu konsep dengan konsep lain biasanya rumus yang satu dengan rumus yang lain, serta mengajarkan secara langsung kepada siswa yang mengalami kesulitan.

Setelah pemberian bantuan intensif kepada siswa, guru secara bertahap mengurangi bantuannya. Jadi pada tahap scaffolding ini, guru masih memberikan bantuan-bantuan terhadap siswa yang mengalami kesulitan namun tidak sama pada tahap awal scaffolding sebelumnya.

Pada tahap ini bantuan yang diberikan oleh guru hanya pada mengulangi atau mengingatkan siswa tentang sesuatu yang telah diberikan pada tahap awal. Jadi pada saat siswa mendapatkan kesulitan pada saat mengerjakan soal yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, guru memberikan bantuan berupa mengingatkan siswa tentang bagaimana cara menyelesaikan masalah bukan secara langsung membantu siswa menyelesaikan masalah tersebut.

Setelah siswa diberi informasi lengkap tentang konsep, arahan dalam mengerjakan permasalahan matematika, maka tahap terakhir dalam strategi ini adalah memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja menyelesaikan soal matematika secara mandiri. Siswa yang bekerja secara mandiri diharapkan bisa memanfaatkan semua bantuan dari guru saat proses scaffolding sebelumnya.

SIMPULAN DAN SARAN

Sebagai simpulan dari artikel ini, penulis berhipotesis bahwa startegi scaffolding dapat meningkatkan kemampuan Higher Order Thinking Siswa. Bantuan – bantuan yang bermakna dari

guru maupun dari teman sebaya sebaiknya tersimpan dalam pemikiran siswa guna untuk dimanfaatkan kembali sebagai modal untuk memecahkan masalah yang lain yang berkaitan.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Lorin & David Kratwohl. 2002. A taxonomy for Learning, Teaching and Assesing (a revision of Bloom Taxonomy of Educational objectives). New York: Longman

Arends, Richard I. 2008. Lerning To Teach, Belajar Untuk Mengajar Edisi-7. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Harsanto, Ratno. 2011. Pengelolaan Kelas yang Dinamis: Paradigma Baru Pembelajaran

Kompetensi Siswa. Yogyakarta: Kanisius

Harta, Idris. 2008. Pertanyaan-Pertanyaan Inovatif untuk Meningkatkan Keterampilan Berfikir

Tingkat Tinggi. Surakarta: Prodi Pend Matematika FKIP Universitas Muhammadiyah

Surakarta

Kelly, Melissa. 2002. Bloom's Taxonomy - Analyze Category. Prepared at. http:// 712 educators .about .com/ od/ testconstruction/p/ blooms_analyze. htm. Akses November 2013 Kelly, Melissa. 2002. Bloom's Taxonomy - Evaluation Category. Prepared at. http:// 712 educators

.about .com/ od/ testconstruction/p/ blooms_evaluation. htm. Akses November 2013

Lange, Verna Leigh. 2002. Instructional Scaffolding. Prepared at http://condor.admin.ccny.cuny.Edu/~group4/Lange/lange%20paper.doc. Akses November 2013

Newmann, F. M. 1988. Higher Order Thinking in the High School Curriculum. NASSP Bulletin, 72, 58-64

Nusu, Abdullatif. 2010. Dissertasi tidak dipublikasikan: Scaffolding dalam Pengajaran Mikro

Kimia. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

OECD, 2010, PISA 2009 at Glance. OECD Publishing

Resnick, L.B. 1987. Education and Learning To Think. Washington, D.C.: National Academy Press

Solso, Robert L. 1995. Cognitive Psychology. United States of America: Allyn and Bacon

Sumarmo, Utari & Nishitami,Izumi. 2010. High Level Mathematical Thinking: Experiment With

High School and Under Graduate Students Using Various Approaches and Strategie, 58, 9-22.

Suryadi, Didi. 2012. Membangun Budaya Baru dalam Berpikir Matematika. Bandung: RIZQI Press

Suherman, Erman dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.

Syamsiah, Sitti. 2008. Skripsi Tidak Diterbitkan: Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui

Pembelajaran Kooperatif Dengan Mengintensifkan Scaffolding Di Kelas IX/H SMP Negeri 2 Takalar. Makassar: Universitas Negeri Makassar

Thompson, Tony. 2008. Mathematics Teacher’s Interpretation of Higher Order Thinking In

PENGEMBANGAN INSTRUMEN EVALUASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Dokumen terkait