• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara kematangan psikososial dengan penggunaan strategi akulturasi pada mahasiswa perantau di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta. Berdasarkan perhitungan statistika yang telah dilakukan, diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) dan koefisien korelasi sebesar 0,236. Hasil tersebut menunjukkan bahwa di antara kematangan psikososial dan strategi akulturasi integrasi terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat positif. Hal ini berarti semakin tinggi kematangan psikososial pada mahasiswa perantau yang menjadi partisipan dalam penelitian ini, semakin tinggi pula penggunaan strategi akulturasi mahasiswa tersebut. Hasil ini tidak dapat digeneralisikan ke seluruh populasi karena penggunaan sampling yang tidak memungkinkan seluruh populasi mendapat kesempatan yang sama untuk terlibat dalam penelitian ini (Neuman, 2014).

Hasil dari penelitian menunjukkan ada hubungan antara kematangan psikososial dengan orientasi yang dimiliki oleh partisipan terkait mempertahankan budaya asli. Hal ini dapat dilihat dari salah satu aspek yang dikembangan dalam kematangan psikososial, yaitu identitas (Alwisol, 2009; Feist & Feist, 2008; Newman & Newman, 2012). Partisipan dengan kematangan psikososial tinggi akan dapat mencapai kejelasan identitas, yang akan membawa partisipan pada pemahaman yang utuh tentang siapa dirinya, tujuan hidup, dan lain sebagainya (Gfellner & Cordoba, 2011; Markstrom & Marshall, 2007). Adanya pemahaman identitas ini, membawa partisipan untuk memiliki orientasi terhadap budaya aslinya yang dibutuhkan dalam pengambilan strategi akulturasi integrasi. Orientasi untuk mempertahankan budaya asli di perantauan ditandai dengan partisipan yang tetap menjalin relasi dengan teman-teman dari daerah aslanya. Adanya relasi yang berkelanjutan ini memungkinkan partisipan untuk lebih

mudah dalam mendapatkan dukungan ketika menghadapi kesulitan (Sullivan & Kashubeck-West, 2015). Dukungan ini menjauhkan partisipan dari perasaan terisolasi, sehingga partisipan tidak mengalami stres yang disebabkan karena perbedaan budaya dan akulturasi (Phillimore, 2011)

Strategi akulturasi integrasi juga dibentuk dari orientasi individu untuk terbuka terhadap budaya lain (Berry, 2007). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa strategi akulturasi integrasi berhubungan dengan kematangan psikososial. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, semakin tinggi kematangan psikososial pada partisipan, semakin banyak pula unsur sistonik yang dikembangkan (Darling-Fisher & Leidy, 1988; Olczak & Goldman, 1975). Saat partisipan mengembangkan unsur-unsur sistonik, seperti pandangan yang positif terhadap lingkungan, kepercayaan diri, inisiatif, dan lain sebagainya. Kemampuan tersebut dapat membantu partisipan dalam menjalin relasi dengan lingkungan di sekitarnya. Hasil ini juga didukung oleh Jones et al., (2004) yang mengungkapkan bahwa aspek-aspek kematangan psikososial seperti trust, autonomy, dan initiative

mampu menurunkan konflik dalam pertemanan. Selain itu, mahasiswa perantau yang mengembangkan kematangan psikososial memiliki rasa empati yang tinggi pula (Jones et al., 2004). Dengan demikian dapat dilihat pula bahwa partisipan dengan kematangan psikososial yang tinggi, memiliki penggunaan strategi aulturasi integrasi yang tinggi pula. Dengan menggunakan strategi akulturasi integrasi yang tinggi, partisipan dapat terhindar dari diskriminasi dan memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi pula di perantauan (Berry & Hou, 2017).

Berdasarkan data yang didapat, mahasiswa perantau yang mendapat skor penggunaan strategi akulturasi integrasi dari yang tertinggi adalah partisipan dari Sulawesi (n=10, mean=59,00). Mahasiswa perantau dari Pulau Jawa, tempat di mana partisipan berkuliah berada di urutan kedua (n=115, mean=58,15). Kemudian ada Bali (n=18, mean=58,11), Sumatera (n=38, mean=57,71), dan Kalimatan (n=27, mean=57,14). Skor penggunaan strategi akulturasi integrasi terendah didapatkan oleh partisipan yang berasal dari Papua (N=6, n=56,50). Hasil ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pengambilan strategi akulturasi integrasi.

Pada mean kelompok partisipan yang berada di urutan atas bisa jadi didukung oleh adanya persamaan bahasa, norma, dan budaya antara daerah asalnya dengan budaya yang ditemui di Yogyakarta, atau bisa juga karena faktor personal dari mahasiswa tersebut (de Anda, 1984; LaFromboise et al., 1993). Mahasiswa dari Sulawesi yang memiliki penggunaan strategi akulturasi tertinggi ini didukung dengan penelitian yang mengungkapkan bahwa mahasiswa Sulawesi banyak menggunakan strategi coping problem focused, di mana strategi ini dapat membantu adaptasi mahasiswa di perantauan (Parks, 1999). Selanjutnya mahasiswa dari Jawa berada di urutan kedua juga didukung oleh faktor banyak kesamaan budaya yang ditemui mahasiswa di daerah asalya dengan budaya yang ada di Yogyakarta. Mahasiswa dari Jawa juga menjunjung tinggi sopan santun dalam keseharian (Endrayanty, 2012). Sopan santun ini digunakan baik dalam relasi dengan teman, maupun orang yang lebih tua. Hal ini membuat mahasiswa dari Jawa lebih mudah untuk diterima di masyrakat.

Lain halnya dengan mahasiswa dari Sumatra, penelitian yang sudah ada mengindikasikan bahwa mahasiswa dari Sumatra yang berkuliah di Yogyakarta cenderung mampu untuk menyesuaikan diri dengan budaya Jawa (Marpaung, 2007). Penysuaian diri dengan budaya sekitar ini merupakan salah satu aspek pendukung dari penggunaan dari strategi akulturasi integrasi, akan tetapi penelitian ini menunjukkan bahwamahasiswa dari Sumatera hanya menempati urutan keempat dari tujuh daerah yang dilihat dari penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak hal-hal yang perlu dikembangkan oleh mahasiswa perantau dari Sumatra terkait dengan pengambilan strategi akulturasi integrasi.

Sebaliknya, kelompok partisipan yang berada di peringkat bawah bisa saja mengalami hambatan seperti perbedaan budaya yang besar, perbedaan karakteristik fisik, dan lain sebagainya (de Anda, 1984). Hal lain yang perlu menjadi perhatian pada hasil penelitian ini adalah peran masyarakat sekitar dalam pengambilan strategi akulturasi integrasi pada mahasiswa perantau. Sikap terbuka dari orang-orang di lingkungan sekitar akan mendukung perantau untuk berinteraksi dan memahami lingkungan (Bakker et al., 2006; Berry & Sam, 2010). Penelitian ini tidak mengukur sikap masyrakat sekitar terhadap pendatang, sehingga tidak dapat melihat dampak dari faktor tersebut dalam penelitian ini. Namun, dari hasil penelitian sebelumnya didapati bahwa banyak stereotip yang ditujukan pada mahasiswa Papua, seperti suka melanggar aturan, kasar, dan suka mabuk yang membawa mahasiswa Papua mendapat diskriminasi dari masyarakat Yogyakarta (Masyitoh, 2017; Nugraha, 2015). Hal ini menjadi salah satu

penghambat bagi mahasiswa Papua untuk menggunakan strategi akulturasi integrasi. Selain itu, terdapat perbedaan jumlah pada masing-masing kelompok partisipan, misalnya antara partisipan dari Jawa (n=115) dengan partisipan dari Papua (n=6) dan Sulawesi (n=10). Hal-hal tersebut membuka peluang bagi peneliti lain untuk mengembangkan hasil penelitian ini dalam penelitian selanjutnya.

Peneliti juga berusaha mendapat gambaran mengenai penggunaan strategi akulturasi integrasi pada partisipan. Dari analisis data yang telah dilakukan, diketahui bahwa mean empiris yang didapat oleh partisipan dalam penelitian ini (mean=57,99) lebih tinggi dari mean teoretis penggunaan strategi akulturasi (mean=57,50). Setelah data tersebut diuji secara statistik, didapati bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan mean teoretis dengan mean empiris pada skor kematangan psikososial pada partisipan menunjukkan. Hal ini menunjukkan bahwa pengunaan strategi akulturasi integrasi pada partisipan dalam penelitian ini tidak dapat dibilang tinggi, meskipun mean empiris yang didapat lebih tinggi dari

76

BAB V KESIMPULAN

Dokumen terkait