• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara kematangan psikososial dengan penggunaan strategi akulturasi integrasi pada mahasiswa perantau di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan antara kematangan psikososial dengan penggunaan strategi akulturasi integrasi pada mahasiswa perantau di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI AKULTURASI INTEGRASI PADA MAHASISWA PERANTAU DI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

HALAMAN JUDUL Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Age Tiara Wimana

139114047

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

untuk dukungan dari orang-orang yang saya cintai,

untuk proses yang sudah saya lalui,

(5)

v

MOTTO

from now on

what's waited till tomorrow starts tonight

it starts tonight

and let this promise in me start

(6)

vi

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 26 Oktober 2018

(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN PSIKOSOSIAL DENGAN PENGGUNAAN STRATEGI AKULTURASI INTEGRASI PADA

MAHASISWA PERANTAU DI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

Age Tiara Wimana

ABSTRAK

Penelitian ini berusaha melihat hubungan antara kematangan psikososial dengan penggunaan strategi akulturasi integrasi pada mahasiswa perantau. Penelitian ini dilakukan kepada 229 mahasiswa perantau di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dengan usia 18-25 tahun. Pemilihan partisipan dilakukan dengan metode purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua buah skala, yaitu skala Penggunaan Strategi Akulturasi Integrasi, dan MEPSI. Data yang didapat kemudian dikorelasikan dengan uji

korelasi Spearman’s rho. Hasil penelitian menunjukkan nilai korelasi sebesar 0,236 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan dan positif di antara kematangan psikososial dengan penggunaan strategi akulturasi integrasi pada mahasiswa perantau. Kemampuan-kemampuan yang dikembangkan dalam kematangan psikososial dapat mendukung individu untuk menjalin relasi dengan orang lain, dan juga dapat mendukung pembentukan identitas individu. Di sisi lain, kedua hal tersebut juga dapat mendukung pengambilan strategi akulturasi integrasi.

(8)

viii

THE CORRELATION BETWEEN PSYCHOSOCIAL MATURITY AND THE APPLICATION OF INTEGRATION AS AN

ACCULTURATION STRATEGY IN UNDERGRADUATE PSYCHOLOGY DEPARTMENT STUDENT OF SANATA DHARMA UNIVERSITY FROM

OUTSIDE YOGYAKARTA

ABSTRACT

This study is aimed to seek the correlation between psychosocial maturity and the application of integration as an acculturation strategy in undergraduate students from outside Yogyakarta. This study had 229 undergraduate students from outside Yogyakarta in Department of Psychology, Sanata Dharma University, aged 18-25 as the participant. Purposive Sampling method was used in this study. Data collection was accomplished with Application Integration Acculturation Strategies and MEPSI. The data itself was correlated with Spearman’s rho

correlation test. The results showed 0,236 correlation and significancy 0,000 (p<0,05). This data means that there is a significant and positive correlation between psychosocial maturity and application of integration as an acculturation strategy in undergraduate students from outside Yogyakarta. Developed competencies in psychosocial maturity enable individuals to establish a relationship with others and support identity achievement. Those competencies are required in the application of integration as an acculturation strategies.

(9)

ix

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Age Tiara Wimana Nomor Mahasiswa : 139114047

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN PSIKOSOSIAL DENGAN PENGGUNAAN STRATEGI AKULTURASI INTEGRASI PADA

MAHASISWA PERANTAU DI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Yogyakarta

Pada Tanggal : 26 Oktober 2018

yang menyatakan,

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkatnya yang melimpah

sehingga penelitian ini dapat berjalan dan selesai dibuat. Proses pembuatan skripsi

ini juga tidak lepas dari peran banyak pihak yang telah memberikan waktu,

pikiran, tenaga, dan dukungan bagi pneliti. Maka dari itu, peneliti mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Titik Kristiyani M.Psi., selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Wakil Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum, M.App,Psych. selaku Kepala

Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

4. Ibu Passchedona Henrietta Puji Dwi Astuti Dian Sabbati, S.Psi., M.A.

selaku Wakil Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma.

5. Bapak Edward Theodorus, M.App.Psy. selaku dosen pembimbing skripsi,

yang tidak pernah lelah dan dengan sabar mendampingi peniliti dalam

pembuatan skripsi ini.

6. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma yang sudah membantu dan mendukung peneliti sampai saat ini.

7. Seluruh partisipan yang telah mau ambil bagian dalam penelitian ini, serta

semua penulis yang karyanya menjadi acuan dan inspirasi dalam proses

pembuatan skripsi ini.

8. Mami, Babeh, Esol, dan Egol atas cinta, doa, dan semangat yang diberikan

pada peneliti. Juga Om Roni dan Mbah Slawi yang mendukung peneliti

(11)

xi

9. Koleta Acintya Saraswati, yang sudah menjadi sumber semangat, pemberi

masukan, dan pendamping dalam keseharian. Terima kasih sudah mau

berjalan bersama dalam perjalanan ini.

10. Om Ivan, Tante Inez, dan Kaki Nini atas dukungan yang sungguh besar

artinya bagi peneliti.

11. Dr.Y.B. Cahya Widiyanto, M.Si., Timotius Maria Raditya Hernawa,

M.Psi., Mbak Thia, dan juga seluruh asisten P2TKP yang telah menjadi

guru, sahabat, dan keluarga yang penuh CINTA.

12. Cyrillus Yuniarto Purnomo, Felix Dewa Ndaru, Bonivasios Dwi, Nikolaus

Kusumasmara, Amatohula Lahagu, dan Stefanus Krisna atas suka duka

yang telah dibagikan.

13. Teman-teman dari Bimbingan Skripsi Pak Edo, seluruh mahasiswa

Psikologi, khususnya Kelas D angkatan 2013 yang sudah berbagi ilmu

skaligus menjadi teman seperjuangan peneliti.

14. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, namun telah

membentuk peneliti menjadi seperti saat ini.

Peneliti berharap agar penelitian ini membawa banyak manfaat, akan

tetapi peneliti juga menyadari ada banyak kelemahan dan kekurangan dalam

penelitian ini. Maka dari itu, peneliti juga terbuka terhadap adanya kritik dan

saran yang dapat membantu penelitian ini dan juga peneliti untuk menjadi lebih

(12)

xii

B. Rumusan Permasalahan ... 11

C. Ruang Lingkup ... 12

D. Tujuan ... 12

E. Pertanyaan Penelitian... 12

F. Manfaat Penelitian ... 13

1. Bagi Mahasiswa Perantau ... 13

2. Bagi orangtua dan pihak universitas ... 13

3. Bagi masyarakat di sekitar tempat tinggal mahasiswa perantau... 13

4. Bagi ilmuwan dan praktisi psikologi... 14

(13)

xiii

A. Pengantar ... 15

B. Dinamika Psikologis Mahasiswa Perantau ... 15

1. Perspektif Perkembangan ... 16

2. Perspektif Psikologi Sosial ... 18

C. Strategi Akulturasi Integrasi ... 21

1. Definisi ... 21

2. Aspek-aspek Strategi Akulturasi Integrasi ... 23

3. Faktor-faktor ... 25

4. Proses dan Dampak ... 28

D. Strategi Akulturasi Integrasi pada Mahasiswa Perantau... 31

E. Kematangan Psikososial ... 32

1. Definisi Kematangan Psikososial ... 32

2. Tahap-tahap Perkembangan Psikososial ... 35

3. Proses dan dampak ... 39

F. Kematangan Psikososial Mahasiswa Perantau ... 41

G. Hubungan Antara Kematangan Psikososial dengan Strategi Akulturasi Integrasi pada Mahasiswa Perantau ... 43

D. Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel ... 51

1. Strategi Akulturasi Integrasi ... 51

2. Kematangan Psikososial ... 52

E. Prosedur ... 52

F. Alat pengumpulan data ... 54

(14)

xiv

2. Bagi orangtua, dosen, dan pihak universitas ... 78

3. Bagi masyarakat di lingkungan sekitar mahasiswa perantau ... 79

4. Bagi komunitas ilmuwan psikologi ... 79

D. Komentar Penutup ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Blueprint Skala Strategi Akulturasi Integrasi……… 53

Tabel 3.2. Bobot Skala Strategi Akulturasi Integrasi………. 54

Tabel 3.3. Sabaran Item Skala Strategi Akulturasi Integrasi untuk Try Out……… 54

Tabel 3.4. Sebaran Item MEPSI………. 56

Tabel 3.5. Sabaran Item Skala Strategi Akulturasi Integrasi Setelah Seleksi Item……….. 58

Tabel 4.1. Jenis Kelamin Partisipan………... 61

Tabel 4.2. Usia Partisipan……….. 62

Tabel 4.3. Daerah Asal Partisipan……….. 63

Tabel 4.4. Hasil Pengukuran Deskripsi Variabel………... 64

Tabel 4.5. Hasil Pengukuran Deskripsi Variabel Penggunaan Strategi Akulturasi Integrasi dan Uji Beda Mean Empiris dengan Mean Teoretis………... 64

Tabel 4.6. Mean Skor Skala Penggunaan Strategi Akulturasi Integrasi Berdasarkan Daerah Asal………... 65

Tabel 4.7. Hasil Uji Normalitas Data Penelitian……… 66

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Uji Coba Skala Penggunaan Strategi Akulturasi Integrasi…... . 85

Lampiran 2 : Informed Consent Penelitian………... 88

Lampiran 3 : Reliabilitas Skala Penggunaan Strategi Akulturasi Integrasi… 89

Lampiran 4 : Uji Nomalitas……… . 92

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini membahas mengenai penggunaan strategi akulturasi integrasi

pada mahasiswa perantau di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta. Peneliti merasa tertarik dengan penelitian ini karena tiga alasan, yaitu

1) peneliti merasa sedih melihat teman sekelas peneliti yang kesulitan dalam

menghadapi perbedaan budaya, 2) peneliti sendiri merupakan mahasiswa perantau

yang sempat mengalami kesulitan di perantauan, dan 3) peneliti ingin melakukan

sesuatu dalam kapasitasnya sebagai mahasiswa psikologi untuk membantu

mahasiswa perantau yang mengalami kesulitan dalam menghadapi perbedaan

budaya di perantauan.

Pertama, peneliti merasa sedih saat melihat teman sekelas peneliti yang

merasa tidak nyaman dengan kondisi di kelas karena perbedaan budaya, padahal

seharusnya ada cara lain yang bisa dilakukan oleh teman tersebut. Teman tersebut

mengalami kesulitan dalam menjalin pertemanan di kelas. Dia menjadi sangat

pendiam, tidak memiliki banyak teman, dan juga memiliki prestasi akademik yang

kurang baik di kelas. Di sisi lain, ada teman peneliti yang lain yang memiliki cara

berbeda dalam menghadapi perbedaan budaya di perantauan. Teman tersebut

berbicara dengan aksen daerah asalnya dan menjalin relasi yang baik dengan

orang-orang yang ditemui. Teman tersebut juga suka pergi mencicipi

(19)

pertemanan, teman tersebut memiliki banyak teman dan menjadi tempat bagi

teman-teman lain untuk bercerita serta mencurahkan isi hati. Peneliti merasa

bahwa seharusnya teman peneliti yang pertama bisa menggunakan cara

menghadapi perbedaan budaya yang diambil oleh teman kedua.

Kedua, peneliti sendiri merupakan mahasiswa perantau yang pernah

mengalami kesulitan dalam menghadapi perbedaan budaya. Selama hidup di

perantauan, peneliti mengalami kesulitan terkait dengan penggunaan bahasa.

Peneliti berasal Purwokerto, di mana bahasa Jawa di Purwokerto memiliki

kosakata dan dialek yang berbeda dengan bahasa Jawa yang digunakan di

Yogyakarta. Peneliti merasa malu karena dalam keseharian dialek tersebut sering

dianggap lucu oleh kebanyakan orang. Peneliti membutuhkan beberapa waktu

sebelum akhirnya dapat memperkaya kosakata dan memperhalus dialek untuk

memperlancar komunikasi dengan teman lain. Untuk mencapai hal tersebut,

peneliti terus-menerus membiasakan diri untuk berelasi dengan teman dari budaya

yang berbeda. Keseluruhan proses ini membuat peneliti merasa lega, karena

setelah itu peneliti menjadi semakin percaya diri dan mudah bergaul dengan

orang-orang di perantauan. Peneliti merasa bahwa membuka diri terhadap budaya

di tempat baru sangat membantu peneliti untuk mengatasi kesulitan di perantauan.

Alasan ketiga, peneliti ingin melakukan sesuatu dalam kapasitasnya sebagai

mahasiswa psikologi untuk membantu mahasiswa perantau yang mengalami

kesulitan dalam menghadapi perbedaan budaya di perantauan. Peneliti melakukan

penelitian mengenai strategi akulturasi integrasi, di mana strategi akulturasi

(20)

perbedaan budaya (Berry, 1997). Penelitian ini bisa menjadi referensi dan

memberikan gambaran bagi mahasiswa perantau yang sedang menghadapi

berbagai tantangan di perantauan bahwa ada cara-cara adaptif yang dapat

digunakan. Dengan begitu, melalui penelitian ini peneliti dapat berkontribusi

untuk membuat kondisi mahasiswa perantau menjadi lebih baik.

Ketiga alasan di atas menunjukkan bahwa topik penelitian ini sangat

bermakna bagi peneliti. Penelitian ini juga dapat digunakan untuk menerapkan

ilmu yang telah didapat ke dalam kehidupan sehari-hari.

Setelah membahas mengenai ketertarikan peneliti, bagian selanjutnya akan

membahas mengenai latar belakang penelitian ini dan juga permasalahan apa yang

berusaha diselesaikan melalui penelitian ini. Pada bab ini juga akan dijabarkan

manfaat dari penelitian ini, baik bagi mahasiswa perantau, bagi orangtua, dosen,

pihak universitas, dan bagi ilmuwan psikologi.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh Yogyakarta menjadi tujuan banyak

orang untuk berkuliah. Hal ini sudah dimulai sejak Ki Hajar Dewantara, seorang

tokoh pendidikan dan pergerakan nasional, mendirikan Perguruan Tamansiswa

pada tahun 1922 (Darmaningtyas, 2017). Perguruan tersebut memberikan

pendidikan kepada semua kalangan, tidak hanya untuk bangsawan saja seperti

sekolah-sekolah pada jaman penjajahan Belanda (Hanna, 2017). Dengan

membuka pendidikan untuk semua kalangan, dalam kurun delapan tahun

Perguruan Tamansiswa berkembang pesat dan memiliki puluhan ribu murid

(Darmaningtyas, 2017). Sejak saat itu, pendidikan di Yogyakarta berkembang

(21)

Perkembangan perguruan tinggi di Yogyakarta tidak lepas dari sikap

dukungan pemimpin Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono

IX. Pada tahun 1946, Sri Sultan Hemengku Buwono IX yang juga menjabat

sebagai wakil presiden Republik Indonesia, mengambil peran besar dalam

pendirian UGM (Iwan, n.d.). Ia menjadi penggagas beridirinya UGM, dan juga

memberikan tanah miliki kraton untuk dijadikan tempat berdirinya UGM. Tidak

hanya itu, lingkungan kraton juga dibuka untuk kegiatan perkuliahan.

Keterbukaan ini membuat pendidikan di Yogyakarta menjadi semakin

berkembang. Saat ini, terdapat 106 perguruan tinggi di Yogyakarta (Kementerian

Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, 2016).

Yogyakarta menjadi tujuan mahasiswa untuk merantau juga karena biaya

hidup yang relatif murah dibandingkan dengan biaya hidup di kota-kota lain

(Araro, 2018). Pada tahun 1980 nasi kucing menjadi makanan yang populer di

kalangan mahasiswa. Disebut nasi kucing karena makanan tersebut berisi porsi

kecil nasi yang diberi ikan teri. Bahkan hingga sekarang nasi kucing masih sangat

mudah ditemui di Yogyakrta dengan harga sekitar Rp 1.500 – Rp 2.000 per porsi

(Sulkhan, 2018).

Jumlah mahasiswa perantau di Yogyakarta selalu meningkat dari tahun ke

tahun. Pada tahun 2013, persentase mahasiswa perantau di Yogyakarta mencapai

78,8 persen (“Pertahankan ‘Indonesia Mini’ di Yogyakarta,” 2013). Dengan

jumlah sebesar itu, pertemuan antara budaya yang berbeda akan terjadi.

Banyaknya mahasiswa perantau yang berkuliah di Yogyakarta membuat

(22)

daerah lainnya. Berbagai artikel menyebutkan manfaat dari perantau, sseperti

menjadi lebih mandiri, bertanggungjawab, belajar budaya baru, menumbuhkan

rasa cinta pada negara, dan lain sebagainya (Fadhilla, 2017; Nindra, 2017; Tarana,

2017).

Manfaat dari merantau ini dirasakan oleh Putri Nuzulil, seorang mahasiswa

dari Aceh yang berkuliah di Bandung (Nuzulil, 2017). Putri Nuzulil merasa

bahwa dirinya adalah anak yang manja, yang selalu mengandalkan orangtua

dalam menghadapi permasalahan. Contoh yang diceritakan oleh Putri adalah

ketika Putri menghadapi masalah, ia akan langsung berkeluh kesah pada

orangtuanya. Contoh lainnya, Putri yang memiliki suatu alergi akan

membangunkan kedua orangtuanya di tengah malam apabila alerginya kambuh,

meskipun Putri menyadari bahwa alergi tersebut bisa diatasi hanya dengan

meminum obat tanpa perlu membangunkan orangtuanya. Putri merasa bahwa

dengan merantau dirinya bisa semakin mandiri. Putri juga lebih mampu

bertanggungjawab atas dirinya sendiri, mampu mengatur keuangan, dan banyak

manfaat lain.

Putri mengungkapkan bahwa kunci suksesnya untuk hidup di perantauan

adalah dengan fokus pada tujuannya untuk merantau (Nuzulil, 2017). Putri juga

selalu menjalin kontak dengan kedua orangtuanya di Aceh, dan tetap

mempertahankan nilai-nilai yang dibwanya dari Aceh supaya tidak terbawa

kehidupan bebas di Bandung.

Pengalaman lain diceritakan oleh Arief, mahasiswa perantau dari Depok

(23)

percakapan sehari-hari dengan teman yang berbahasa Jawa. Ia mengungkapkan

bahwa tingkatan dalam bahasa Jawa menjadi kesulitan bagi dirinya untuk

memahami bahasa Jawa. Untuk mengatasi hal tersebut Arief berusaha

mempelajari bahasa Jawa sederhana dalam kehidupan sehari, mulai dari

menggunakan kata “nggih” dalam percakapan sehari-hari untuk merespon

percapakan dalam Bahasa Jawa. Hal ini memperlancar komunikasi Arief dengan

orang dari Jawa, sehingga adaptasinya di Solo menjadi semakin lancar.

Dalam kajian psikologi, kedua cara menghadapi perbedaan budaya tersebut

dalam pengalaman tersebut disebut dengan strategi akulturasi integrasi (Berry,

2007). Penggunaan strategi tersebut ditandai dengan adanya orientasi individu

untuk mempertahankan budaya yang asli yang dimilikinya, dan juga adanya

perilaku membuka diri terhadap budaya di lingkungan baru. Berbagai literatur

mengungkapkan bahwa strategi akulturasi integrasi merupakan strategi yang

paling adaptif untuk digunakan di perantauan karena membawa berbagai dampak

positif bagi individu yang menggunakannya, seperti hidup lebih sejahtera, dan

lebih cepat beradaptasi di perantauan (Berry, 1997, 2007; Berry & Hou, 2017). Di

sisi lain, penggunaan strategi yang jauh dari strategi akulturasi integrasi dapat

membawa hasil yang berbeda pula. Penggunaan strategi akulturasi marginalisasi

misalnya, di mana individu tidak membuka diri terhadap budaya di lingkungan

barunya, dapat membawa individu memiliki kepuasan hidup yang rendah di

perantauan karena rentan mengalami konflik dan diskriminasi di perantauan

(24)

Pada tahun 2014 sempat ramai dibicarakan seseorang bernama Florence

Sihombing, mahasiswa pascasarjana yang berkuliah di Yogyakarta. Berawal dari

Florence yang ditegur karena memotong antrean saat hendak melakukan

pengisian bahan bakar, ia mencurahkan perasaannya di media sosial (Tim VIVA,

2014).

“Jogja miskin, tolol, miskin dan tak berbudaya. Teman-teman

Jakarta, Bandung, jangan mau tinggal di Jogja”.

Banyak pihak yang merasa tidak terima dengan kiriman tersebut dan

melaporkan kasus ini ke polisi. Bahkan situs berita liputan6.com menulis dengan

judul Florence Sihombing kini jadi orang paling dicari di Jogja (“Florence

Sihombing Kini Jadi `Orang Paling Dicari di Jogja`,” 2014). Kasus ini terus

berjalan di pengadilan, hingga akhirnya Florence dijatuhi hukuman 2 bulan

penjara karena dianggap melakukan pencemaran nama baik (Yanuar, 2015).

Kasus di atas menunjukkan bahwa Florence tidak menggunakan strategi yang

adaptif di perantauan.

Ditinjau dari teori Berry, Florence nampak tidak menggunakan strategi

akulturasi yang adaptif. Dari kasus Florence, ia terlihat mempertahankan budaya

asli yang dimiliki dengan mengajak teman-temannya yang berasal dari Jakarta dan

Bandung untuk tidak ke Yogyakarta. Padahal Florence adalah mahasiswa yang

berkuliah di Yogyakarta, akan tetapi Florence seperti tidak mengidentifikasi

Yogyakarta sebagai tempat tinggalnya juga. Dari sisi terbuka atau menerima

budaya di perantauan, Florence juga terlihat tidak melakukan hal tersebut.

(25)

Yogyakarta. Dari pembahasan di atas, Florence terlihat seperti menggunakan

strategi akulturasi separasi, di mana strategi akulturasi ini merupakan strategi

yang tidak adaptif karena membatasi interaksi dengan budaya di tempat baru.

Penggunaan strategi yang adaptif menekankan pada perantau untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan. Di sisi lain, dalam psikologi dikenal

pendekatan psikososial, di mana pendekatan ini juga memandang bahwa

perkembangan psikologis individu tidak hanya berasal dari dalam dirinya saja,

melainkan juga dari interaksi antara individu dengan lingkungan sosialnya

(Erikson, dalam Newman & Newman, 2012). Individu yang tumbuh bersama

dengan lingkungan sosialnya kemungkinan memiliki penyesuaian diri yang baik

pula terhadap lingkungan. Kemampuan penyesuaian diri ini merupakan

kemampuan yang dibutuhkan dalam penggunaan strategi akulturasi integrasi. Hal

ini memungkinkan adanya hubungan antara kematangan psikososial pada individu

dengan pengambilan strategi akulturasi integrasi.

Teori tahap perkembangan psikososial dari Erikson membagi tahap

perkembangan ke dalam delapan tahap (Feist & Feist, 2008). Pada masing-masing

tahap, individu akan mengembangkan suatu unsur dalam dirinya. Unsur yang

dikembangkan dapat bersifat positif, dan negatif. Individu dikatakan semakin

matang secara psikososial saat individu semakin banyak mengembangkan unsur

positif (Olczak & Goldman, 1975). Unsur positif tersebut adalah trust, autonomy,

initiative, industry, identity, intimacy, generativity, dan ego integrity (Newman &

(26)

untuk membentuk dirinya dan di saat yang sama juga menyesuaikan diri dengan

tuntutan masyarakat.

Penelitian dilakukan di lingkungan Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta karena banyaknya jumlah mahasiswa perantau di gakultas

tersebut. Berdasarkan data yang didapat dari Sekretariat Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (2018), persentase mahasiswa perantau di

fakultas tersebut berjumlah 634 mahasiswa, atau 68 persen dari keseluruhan

mahasiswa. Penelitian ini dapat membantu melihat penggunaan strategi akulturasi

integrasi dari mahasiswa perantau di Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, penggunaan

strategi akulturasi integrasi ini penting karena dianggap sebagai cara yang paling

adaptif dalam menghadapi perbedaan budaya (Berry, 2007). Selain itu, salah satu

tujuan yang harus dicapai oleh mahasiswa psikologi adalah kemampuan untuk

menjalin relasi interpersonal yang baik (APA Board of Educational Affairs Task

Force on Psychology Major Competencies, 2013) yang juga merupakan aspek

penyusun dari penggunaan strategi akulturasi integrasi.

Pengalaman yang dihadapi oleh mahasiswa perantau tidak lepas dari peran

berbegai pihak 1) orangtua mahasiswa perantau, 2) pihak universitas, 3)

masyarakat di sekitar tempat tinggal mahasiswa perantau, dan 4) ilmuwan serta

praktisi psikologi. Pertama, peran orangtua mahasiswa dalam hal membentuk diri

mahasiswa perantau. Pola asuh yang digunakan orangtua mempengaruhi resiliensi

mahasiswa di perantauan (Cahya Permata & Listiyandini, 2015). Dengan

(27)

dapat membuat anak menjadi lebih resilien di perantauan. Selain itu, dukungan

sosial yang diberikan orangtua juga dapat membuat mahasiswa perantau membuat

mahasiswa perantau merasa didukung, dicintai, dan diperhatikan (Harijanto &

Setiawan, 2017).

Kedua, pihak universitas dan juga Kemenristekdikti yang berperan dalam

mendorong prestasi mahasiswa. Untuk mencapai hal tersebut universitas dan

Kemenristekdikti akan menyediakan sistem pelajaran, dan menyediakan fasilitas

pembelajaran yang memadai (Novenanty, n.d.). Selain dari sisi akademis, pihak

universitas dan Kemenristekdikti juga berperan dalam pengembangan diri

mahasiswa. Peran ini dijalankan dengan mengadakan program

pengembangan-pengembangan bagi mahasiswa.

Ketiga, masyarakat di lingkungan sekitar berperan memberi dukungan bagi

mahasiswa perantau (Lian & Tsang, 2010; Sullivan & Kashubeck-West, 2015).

Dukungan diberikan dalam berbagai bentuk seperti perhatian, dorongan, dan juga

dukungan materi. Adanya dukungan dari masyarakat sekitar akan menggantikan

dukungan yang biasa didapat dari orangtua dan orang-orang di daerah asalnya

(Phillimore, 2011). Hal ini dapat memudahkan mahasiswa perantau untuk

beradaptasi.

Keempat, ilmuwan dan praktisi psikologi berperan dalam pengembangan

ilmu pengetahuan. Pengembangan ini dilakuakan untuk meningkatkan

pemahaman tentang perilaku manusia, baik dalam bentuk pemahaman mengenai

diri sendiri maupun orang lain (HIMPSI, 2010). Ilmu pengetahuan ini penting

(28)

B. Rumusan Permasalahan

Di perantauan, mahasiswa perantau akan bertemu dengan orang dari budaya

yang berbeda. Dalam mengahadapi perbedaan budaya ini terdapat berbagai

macam strategi. Strategi akulturasi integrasi merupakan strategi yang adaptif dan

membawa banyak manfaat bagi mahasiswa perantau. Manfaat tersebut antara lain

dapat meningkatkan kesejahteraan serta kepuasan hidup mahasiswa di perantauan

(Berry & Hou, 2017). Di sisi lain, dari pembahasan sebelumnya dapat dilihat

bahwa ada banyak perantau di Yogyakarta, namun tidak semua mahasiswa rantau

mengembangkan identitas adaptif dan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan

di lingkungan baru. Ketidakmampuan ini dapat menyebabkan berbagai hal, seperti

diskriminasi, dan penurunan kualitas hidup mahasiswa perantau (Berry & Hou,

2017).

Melihat kesenjangan tersebut, peneliti melakukan penelitian yang

berhubungan dengan strategi akulturasi integrasi. Penelitian mengenai strategi

akulturasi mahasiswa perantau belum banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian

yang sudah dilakukan, antara lain studi deskriptif mengenai penggunaan strategi

akulturasi pada etnik Minangkabau dan Batak di Bandung (Jamhur et al., 2015)

dan penelitian kualitatif dengan subjek ekspatriat yang ada di Yogyakarta (Sari &

Subandi, 2015). Padahal penelitian menganai penggunaan strategi akulturasi dan

dampaknya menjadi topik yang banyak dibahas di luar negeri (Ahani, 2016; Berry

(29)

dilakukan mengingat penelitian mengenai akulturasi perlu dilakukan di berbagai

konteks dan partisipan yang berbeda (Sam & Berry, 2006).

C. Ruang Lingkup

Perbedaan antara budaya asli dengan budaya baru dihadapi oleh seluruh

mahasiswa perantau, namun dalam penelitian ini peneliti hanya akan melihat

hubungan antara kematangan psikososial dengan penggunaan strategi akulturasi

integrasi pada mahasiswa perantau di Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta. Yang dimaksud dengan mahasiswa perantau dalam

penelitian ini adalah mahasiswa yang berasal dari luar Daerah Istimewa

Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa perantau yang berusia 18-25

tahun. Penelitian ini tidak mengkategorikan, atau memeriksa strategi apa yang

digunakan oleh partisipan.

D. Tujuan

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk melihat hubungan

antara kematangan psikososial dengan pengambilan strategi akulturasi integrasi

pada mahasiswa perantau.

E. Pertanyaan Penelitian

Apakah ada hubungan yang signifikan antara kematangan psikososial

(30)

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat bagi mahasiswa perantau

dan juga bagi pihak-pihak yang berhubungan dengan mahasiswa perantau. Bagian

ini akan menjabarkan manfaat-manfaat apa saja yang diberikan melalui penelitian

ini.

1. Bagi Mahasiswa Perantau

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan mahasiswa

perantau tentang hubungan antara kematangan psikososial dengan penggunaan

strategi akulturasi integrasi. Pengetahuan ini dapat menjadi bekal bagi bagi

mahasiswa perantau untuk dapat meningkatkan penggunaan strategi akulturasi

intergasi di perantauan.

2. Bagi orangtua dan pihak universitas

Penelitian ini bermanfaat bagi orang tua mahasiswa persntsu untuk

mempersiapkan kematangan anak. Bagi universitas, penelitian ini bermanfaat

untuk memperkaya materi yang dapat digunakan dalam program

pengembangan mahasiswa perantau. Misalnya program mengenai cara yang

adaptif dalam menghadapi perbedaan budaya, dan bagaimana meningkatkan

perilaku adaptif tersebut.

3. Bagi masyarakat di sekitar tempat tinggal mahasiswa perantau

Melalui pemapaparan teori, penelitian ini dapat meningkatkan kesadaran

(31)

perantau. Masyarakat sekitar juga dapat mengetahui dinamika yang dialami

oleh mahasiswa perantau selama di perantauan.

4. Bagi ilmuwan dan praktisi psikologi

Penelitian ini dapat memperkaya kajian psikologi dalam hal penggunaan

strategi akulturasi integrasi pada mahasiswa perantau. Pengetahuan baru yang

didapat dapat menambah pengetahuan yang sudah ada, sehingga dapat

(32)

15

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengantar

Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai variabel-variabel dan target

grup yang ada dalam penelitian ini supaya dapat terlihat hubungan antara kedua

variabel. Pertama, peneliti akan membahas menganai dinamika psikologis

mahasiswa perantau yang akan dibahas dari 2 perspektif : psikologi

perkembangan dan psikologi sosial. Dari perspektif psikologi perkembangan,

dinamika psikologis mahasiswa perantau akan dibahas dari tahap dan tugas

perkembangan yang sedang dijalani oleh mahasiswa pernatau. Sedangkan pada

perspektif psikologi sosial, akan dibahas dinamika kelompok yang memiliki

pengalaman dan dinamika serupa dengan mahasiswa perantau. Hal ini dilakukan

untuk mendapakan gambaran yang luas mengenai mahasiswa perantau.

Bab ini juga akan menjabarkan variabel-variabel yang ada dalam penelitian

ini, mulai dari definisi, aspek, dan faktor-faktor yang mempengaruhi variabel.

Peneliti juga akan menjabarkan hubungan kedua variabel dengan mahasiswa

perantau, dan juga hubungan antara kedua variabel itu sendiri. Melalui

hubungan-hubungan tersebut, bab ini akan ditutup dengan hipotesis yang diajukan oleh

peneliti.

B. Dinamika Psikologis Mahasiswa Perantau

Untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai mahasiswa perantau,

(33)

tersebut adalah psikologi perkembangan dan psikologi sosial. Dari perspektif

perkembangan, mahasiswa perantau akan dilihat sebagai individu yang berada

dalam tahap perkembangan emerging adulthood. Pembahasan dinamika

psikologis mahasiswa perantau dari perpektif psikologi sosial akan memandang

mahasiswa perantau sebagai sojourner.

1. Perspektif Perkembangan

Dari perspektif perkembangan, mahasiswa berada di tahap

perkembangan emerging adulthood, yaitu berusia 18-25 tahun (Santrock,

2014; Subdit Statistika Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial, 2017). Arnett

(2000) menggambarkan tahap emerging adulthood sebagai tahapan peralihan

dari tahap remaja menuju tahap dewasa. Pada tahap ini individu mulai

melepaskan ketergantungannya terhadap orang lain layaknya tahap anak-anak

dan remaja yang masih bergantung pada orangtuanya, akan tetapi belum

memiliki tanggungjawab yang dimiliki orang dewasa, seperti bekerja dan

menghidupi keluarga.

Tahapan emerging adulthood memiliki tugas khusus, yaitu eksplorasi

(Arnett, 2000). Eksplorasi menjadi cara individu untuk menemukan identitas

yang sebetulnya sudah dimulai sejak individu berada di tahap perkembangan

remaja, di mana eksplorasi menjadi cara individu untuk menemukan identitas

(Feist & Feist, 2008). Pada tahap emerging adulthood, eksplorasi semakin

terfokus dan mendalam di tiga hal, yaitu cinta, pekerjaan, dan pandangan

(34)

memikirkan dan mencari orang untuk dijadikan pendamping hidup bukan lagi

untuk bersenang-senang saja (Arnett, 2005).

Kedua, dalam hal pekerjaan. Sebagai orang dewasa tentunya perlu

memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Pada masa remaja individu belum

memikirkan tentang pekerjaan atau profesi apa yang akan ditekuninya.

Beberpa remaja misalnya mencari pekerjaan untuk dijadikan pengisi waktu

luang dan tamabahan uang saku (Larson & Verma, 1999). Dalam masa

peralihan ini individu mulai mencari pekerjaan yang menjadi ketertarikannya,

dan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Pada area yang ketiga, individu akan mendapat berbagai pandangan

tentang dunia melalui berbagai hal, seperti pengalaman hidup yang dialami

(Gutierrez & Park, 2015) dan pergi meninggalkan rumah (Arnett, 2015).

Dalam eksplorasi ini, terkadang individu juga dapat menemukan nilai-nilai

yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dibawa olehnya sejak kecil (Arnett,

2000). Dengan adanya eksplorasi ini, individu akan memiliki gambaran yang

jelas tentang dirinya yang digunakan sebagai bekal untuk memasuki masa

dewasa nanti.

Sejalan dengan eksplorasi yang ditekankan oleh Arnett, Teori

Perkembangan Psikososial mengungkapkan bahwa mahasiswa perantau

sedang berada pada peralihan dari masa remaja menuju dewasa dan berusaha

mendapat kejelasan identitas melalui eksplorasi (Santrock, 2014). Identitas

berkaitan dengan tujuan hidup, nilai-nilai yang dianut. Ketika identitas tidak

(35)

2008). Hal ini ditandai dengan permasalahan seperti kurang memiliki

gambaran diri yang jelas dan ketidakmampuan membangun relasi. Pada masa

dewasa, individu yang mengalami identity confusion dapat mengalami

berbagai kesulitan, misalnya berpindah-pindah tempat kerja tanpa tujuan pasti,

bergonta-ganti pasangan, dan lain sebagainya.

2. Perspektif Psikologi Sosial

Dinamika yang dialami oleh mahasiswa perantau bisa dilihat dari

dinamika psikologis dari sojourner, yaitu orang yang meninggalkan daerah

asalnya dan tinggal di daerah tertentu untuk sementara waktu (Berry, 2007;

Church, 1982; Ikeguchi, 2008). Selain mahasiswa perantau, turis, dan orang

yang melakukan perjalanan bisnis juga tercakup dalam kategori sojourner.

Perpindahan sojourner ke tempat baru dan kontak dengan budaya yang

berbeda-beda di tempat baru dapat membawa dampak negatif bagi sojourner.

Berbagai penelitian telah berusaha melihat dampak dari pertemuan sojourner

dengan budaya yang berbeda. Dampak dari perbedaan budaya yang ditemui

ini adalah akulturatif stres, di mana hal tersebut dapat membawa kecemasan,

bahkan depresi pada individu yang mengalaminya (Berry, 2007; Church,

1982; Hamamura & Laird, 2014). Dampak lain dari kontak dengan budaya

lain adalah munculnya perasaan terisolasi karena jauh dari keluarga, teman,

dan harus hidup sendiri (Phillimore, 2011). Perasaan ini muncul akibat dari

perubahan kebiasaan dan hilangnya dukungan sosial yang biasa diterima

(36)

Maka dari itu, dukungan sosial baik dari lingkungan barunya sangat

diperlukan sojourner untuk menggantikan dukungan yang biasa didapat di

tempat asalnya (Lian & Tsang, 2010; Sullivan & Kashubeck-West, 2015). Hal

ini tentu saja dapat membentu mengurangi dampak negatif yang dihadapi oleh

sojourner.

Akulturasi juga dapat membawa perubahan psikologis dalam diri

individu (Berry, 2007). Perubahan psikologis yang terjadi dalam diri

sojourner merupakan bentuk usaha untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungan barunya (Berry, Poortinga, Breugelmans, Chasiotis, & Sam,

2012). Salah satu bentuk peruhahan yang dapat diamati adalah perubahan

bahasa. Sojourner akan menemui bahasa yang berbeda dari budaya aslinya.

Perbedaan bahasa dapat mengganggu proses komunikasi antara pendatang dan

orang di tempat baru, padahal komunikasi merupakan kunci bagi sojourner

untuk mampu berbaur dan terlibat dalam kehidupan di tempat barunya

(Selmer & Lauring, 2015). Usaha yang dapat dilakukan oleh sojourner untuk

menghadapi hal ini adalah dengan mempelajari bahasa di tempat barunya.

Berbagai penelitian menunjukkan perubahan pola makan juga dialami

oleh sojourner (Lesser et al., 2014; Skreblin & Sujoldzic, 2003). Perubahan

ini tidak lepas dari ketersediaan bahan makanan di lingkungan sekitar. Seperti

dalam penelitian, partisipan merasa bahwa dirinya lebih mudah untuk

mendapatkan buah dan sayur daripada di tempat asalnya. Hal ini diikuti

dengan tingkat konsumsi buah dan sayur partisipan yang meningkat. Akan

(37)

beberapa lama bagi sojourner untuk beradaptasi dengan makanan di tempat

baru (Raza et al., 2016).

Sojourner juga rentan mengalami diskriminasi. Diskriminasi adalah

tindakan tidak adil yang bersifat negatif, dan tindakan yang berbahaya kepada

anggota suatu kelompok yang disebabkan oleh keanggotaan anggota tersebut

di suatu kelompok (Aronson, Wilson, & Akert, 2005). Diskriminasi membuat

sojourner merasa tidak bisa menjalin relasi dengan budaya di sekitarnya

(Berry et al., 2006; Ramos et al., 2016). Tidak adanya relasi antara sojourner

dan lingkungan membuat kelekatan antara sojourner dengan lingkungan tidak

terbentuk. Lebih jauh lagi, mendapat diskriminasi dapat mengarahkan

sojourner pada penurunan kesehatan mental, dan menurunkan kepuasan hidup

pada sojourner (Berry & Hou, 2017).

Meski banyak tantangan yang dihadapi individu di perantauan, menjadi

sojourner juga memiliki berbagai manfaat. Pengalaman sojourner terpapar

budaya lain membuat belajar bahasa baru dapat meningkatkan kemampuan

sojourner dalam hal komunikasi lintas budaya (Salisbury, An, & Pascarella,

2013). Hal ini memungkinkan individu untuk menjalin relasi dengan teman

dari budaya berbeda (Williams, 2005). Dengan banyak menjalin relasi degan

individu yang berbeda budaya, sojourner akan terbiasa menemui perbedaan.

Penelitian menyebutkan bahwa melakukan kontak dengan orang-orang dari

budaya yang berbeda dapat meningkatkan toleransi pada individu (van Zalk,

(38)

Penyesuaian diri yang baik pada sojourner dapat meningkatkan

kesejahteraan sojourner selama berada di tempat baru (Berry & Hou, 2017).

Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri akan membawa

sojourner pada pengalaman kesepian, dan kehilangan makna hidup (Russell,

Rosenthal, & Thomson, 2010). Perubahan psikologis yang dialami oleh

individu juga berbeda-beda, sama halnya dengan cara individu menghadapi

perbedaan budaya yang berbeda-beda pula.

C. Strategi Akulturasi Integrasi

Pada bagian ini, peneliti akan menjabarkan hal-hal yang berakaitan dengan

variabel penggunaan strategi akulturasi integrasi, mulai dari definisi strategi

akulturasi integrasi, aspek-aspek yang membentuk strategi tersebut, dan

faktor-faktor yang memperngaruhi penggunaan strategi akulturasi integrasi. Bagian

terakhir akan membahas mengenai proses yang terdapat dalam strategi akulturasi

dan dampak yang ditimbulkan.

1. Definisi

Dalam menjelaskan mengenai akulturasi terdapat dua buah model yang

digunakan, yaitu model akulturasi unidimensional dan bidimensional

(Arends-Tóth & Van de Vijver, 2007). Model pertama adalah model akulturasi

unidimensional. Model ini memandang akulturasi sebagai suatu proses

kontinum, di mana individu akan mempertahankan budaya aslinya atau

(39)

sekitarnya. Saat individu mempertahankan budaya aslinya, maka individu

tidak mengikuti budaya di sekiarnya, begitu pula sebaliknya. Model kedua

adalah model akulturasi bidimensional, di mana model ini menggunakan sudut

pandang bahwa dalam proses mempertahankan budaya yang dimiliki oleh

individu dan proses menyesuaikan diri dengan lingkungan berada dalam

dimensi yang berbeda. Hal ini memungkinkan individu untuk melakukan

keduanya secara bersamaan. Dari kedua model tersebut, peneliti menggunakan

model akulturasi bidimensional untuk digunakan dalam penelitian ini.

Model Akulturasi Bidimensional yang paling banyak diteliti adalah

model akulturasi yang dikembangkan oleh Berry (Arends-Tóth & van de

Vijver, 2006). Berry (2007) menggunakan pandangan bidemensional untuk

membuat suatu konsep yang dinamakan Strategi Akulturasi, di mana konsep

ini didasarkan pada dua buah isu. Pertama, apakah individu mempertahankan

budaya asli yang sudah dimilikinya atau tidak, dan yang kedua adalah apakah

individu terbuka terhadap budaya lain atau tidak. Pertemuan isu-isu tersebut

menghasilkan empat macam strategi akulturasi. Ketika individu

mempertahankan budaya aslinya dan di saat yang sama juga terbuka terhadap

budaya lain, strategi tersebut dinamakan integrasi. Sebaliknya ketika individu

tidak mempertahankan budaya aslinya, dan di sisi lain juga tidak mau

menerima budaya baru di tempat tinggalnya, individu tersebut menggunakan

strategi marginalisasi. Strategi asimilasi digunakan saat indvidu tidak

mempertahankan budaya aslinya, dan lebih memilih untuk membuka dirinya

(40)

menggunakan strategi akulturasi separasi justru lebih memilih untuk

mempertahankan budaya asli yang dimiliki dan tidak membuka diri dengan

budaya baru yang ada di sekitarnya.

Dari pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa definisi dari strategi

akulturasi integrasi adalah cara mengahadapi perbedaan budaya yang ditandai

dengan orientasi untuk mempertahankan budaya asli dan membuka diri

terhadap budaya di lingkungan baru. Definisi inilah yang akan digunakan oleh

penliti dalam melakukan penelitian.

2. Aspek-aspek Strategi Akulturasi Integrasi

Strategi akulturasi integrasi terbentuk dari sikap individu yang memiliki

orientasi untuk mempertahankan budaya asli, dan terbuka terhadap budaya

lain. Pada bagian ini, bentuk nyata dari kedua hal tersebut akan dijabarkan

secara lebih detail.

a. Sikap Mempertahankan Budaya Asli

Berry (2007) menjelaskan perilaku individu untuk tetap

mempertahankan budaya yang sudah dimilikinya meskipun berada di

tempat yang baru. Bentuk dari perilaku mempertahankan budaya asli dapat

bermacam-macam. LaFromboise, Coleman, & Gerton (1993) menjelaskan

bahwa kemampuan ini ditandai dengan perasaan positif dari individu saat

harus menjalin relasi dengan orang dari budaya yang sama dengannya.

Selain itu, perilaku mempertahankan budaya asli ini dapat dilihat

(41)

Penggunaan bahasa ini menjadi hal ditekankan karena bahasa merupakan

identitas bagi suatu kelompok budaya. Ikeguchi juga mengungkapkan

bahwa mempertahankan budaya asli juga berarti mempertahankan

pertemanan dari daerah asalnya, dan juga tetap menjalin kontak dengan

keluarganya. Berkaitan dengan hal tersebut, individu juga akan memiliki

rasa tanggungjawab untuk melakukan sesuatu bagi orang-orang tersebut.

Individu yang mempertahankan budaya aslinya juga memiliki

pengetahuan tentang budaya aslinya dan juga memiliki perasaan aman saat

bersama dengan orang dari daerah asalnya.

b. Sikap Terbuka Terhadap Budaya Lain

Berbagai literatur menggambarkan sikap terhadap budaya lain

sebagai mau menjalin kontak dengan budaya lain. Ikeguchi (2008)

menjelaskan bahwa penyesuaian diri dengan lingkungan memerlukan

individu untuk dapat memahami nilai-nilai dan makna yang ada di dalam

lingkungan barunya. Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah dalam

percakapan dengan orang yang lebih tua, hendaknya individu berbicara

dengan menggunakan bahasa krama. Selain itu, terbuka terhadap

lingkungan baru berarti juga mengembangkan relasi sosial dan terlibat

dalam lingkungan tersebut. Ada pula unsur-unsur budaya yang

digambarkan Ikeguchi (2008) sebagai unsur implisit, seperti gaya

komunikasi, dan unsur eksplisit seperti makan, musik, dan lain

(42)

Penjabaran mengenai kedua aspek pembentuk strategi akulturasi integrasi

dapat meningkatkan pemahaman akan penggunaan strategi akulturasi

integrasi. Penjabaran mengenai kedua aspek tersebut masih bisa diperbanyak

dengan menyasar ke berbagai situasi kehidupan yang lain (Arends-Tóth & van

de Vijver, 2006).

3. Faktor-faktor

Penggunaan strategi akulturasi integrasi tidak serta-merta dapat

digunakan oleh individu. Dalam prosesnya, terdapat faktor-faktor yang

mendukung maupun menghambat pengambilan strategi akulturasi integrasi.

Bagian ini akan menjelaskan mengenai faktor-faktor tersebut.

a. Karakteristik Masyarakat di Tempat Baru

Berry dan Sam (2010) menyebutkan bahwa sikap individu juga

dibentuk dari kondisi dan tuntutan masyarakat sekitar. Di antara

masyarakat yang multikultural, integrasilah yang akan didukung.

Sedangkan ketika masyarakat berusaha mengembangkan lingkungan yang

harmonis dan sejenis, maka strategi akulturasi asimilasi akan lebih

mendapat dukungan. Bakker dkk., (2006) juga mengungkapkan hal yang

sama, yaitu bahwa masyarakat memiliki pengaruh yang besar terhadap

pemilihan strategi akulturasi dari individu. Sikap terbuka masyarakat

terhadap pendatang misalnya, memungkinkan terjadinya interaksi antara

pendatang dengan penduduk setempat. Kondisi seperti ini memungkinkan

(43)

keterbukaan dari masyarakat hanya memungkinkan individu untuk

mengambil strategi akulturasi separasi dan marginalisasi.

Di Yogyakarta sendiri terdapat stereotip dan prasangka terhadap

orang-orang dari Papua (Nugraha, 2015). Bentuknya bermacam-macam,

mulai dari menganggap orang Papua suka minum-minum, membuat

kerusuhan, suka melanggar aturan, dan lain sebagainya. Hal membuat

orang orang Papua di Yogyakarta mengalami berbagai diskriminasi

(Masyitoh, 2017). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Masyitoh (2017)

dijelaskan bahwa mahasiswa Papua mengalami berbagai penolakan saat

hendak mencari kos, saat hendak menyewa motor atau mobil, dan juga

dijauhi di masyarakat.

Dalam akulturasi, bukan tidak mungkin antara satu budaya dengan

budaya lain memiliki kesamaan dalam hal nilai, kepercayaan, atau yang

lainnya. Seberapa besar kesamaan budaya yang ditemui di tempat baru

juga menjadi faktor yang menentukan perilaku integrasi dari individu

(Arends-Tóth & van de Vijver, 2006; de Anda, 1984). Persamaan yang

terdapat pada kedua budaya memungkinkan individu untuk lebih cepat

memahami lingkungan. Dengan demikian, individu akan mampu lebih

cepat menyesuaikan diri dengan norma dan cara hidup di tempat yang

baru. Hal tersebut akan membantu individu dalam mengambil strategi

akulturasi integrasi. Mahasiswa yang berasal dari Jawa dan berkuliah di

Yogyakarta tidak akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri. Hal

(44)

sehari-hari mampu membantu mahasiswa dari Jawa untuk diterima di masyrakat

(Endrayanty, 2012).

Selain kesamaan norma dan nilai-nilai dalam suatu budaya,

persamaan atau perbedaan fisik juga menjadi faktor yang menentukan

dalam pengambilan strategi akulturasi integrasi. Di dalamnya termasuk

etnisitas yang dimiliki oleh individu. Datang ke tempat baru di mana

individu memiliki karakter fisik yang sama dengan orang-orang di

sekitarnya akan memudahkan individu tersebut untuk menyatu dengan

masyarakat (de Anda, 1984). Sebaliknya, perbedaan karakter fisik seperti

warna kulit dan perbedaan bentuk mata akan terlihat secara langsung.

Dengan perbedaan ini, orang di lingkungan baru dapat langsung

membedakan ‘outsiders’ dengan ‘insiders’. Hal ini membuat perbedaan

fisik menjadi dapat penghalang bagi individu dalam melakukan sosialisasi.

b. Karakteristik Personal

Selain faktor dari budaya di sekitar, faktor dari dalam diri individu

pun memiliki peranan (Arends-Tóth & van de Vijver, 2006). Salah satunya

ada kemampuan problem solving yang dimiliki oleh individu (de Anda,

1984). Kemampuan problem solving mengindikasikan kemampuan

kognitif individu untuk memahami lingkungan. Pemahaman ini dapat

membawa individu untuk merespon lingkungannya dengan cara yang

tepat. Cara merespon lingkungan yang dilakukan dengan tepat

(45)

lain, di mana hal tersebut penting dalam pengambilan strategi akulturasi

integrasi.

Karakteristik individu lainnya yang dapat menjadi faktor penentu

adalah kemampuan individu untuk menggunakan bahasa baru (de Anda,

1984). Seperti yang sudah diungkapkan sebelumya bahwa kemampuan

berbahasa ini dapat membuka jalan bagi individu untuk menjalin relasi

dengan orang dari budaya baru (Williams, 2005). Adanya keterbukaan

terhadap budaya lain dalam diri individu dapat menjadi jalan bagi individu

untuk menggunakan strategi akulturasi integrasi.

Meskipun terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pengambilan

strategi akulturasi integrasi pada individu, peneliti memiliki keterbatasan

untuk dapat melibatkan seluruh faktor tersebut ke dalam penelitian. Faktor

kesamaan budaya antara budaya asli individu dengan budaya di tempat baru

misalnya, tidak dapat peneliti libatkan secara mendalam dalam penelitian ini.

4. Proses dan Dampak

Aspek aspek dan faktor memberi dampak pada individu, berikut

penjelasannya. Pembahasan sebelumnya menjelaskan bahwa strategi

akulturasi integrasi merupakan perilaku individu untuk mempertahankan

budaya asli sekaligus membuka diri terhadap budaya baru dalam menghadapi

akulturasi. Penggunaan strategi akulturasi integrasi sendiri berhubungan

dengan adaptasi individu di tempat barunya (Lian & Tsang, 2010). Berkaitan

(46)

juga dengan rendahnya stres pada individu yang disebabkan oleh perbedaan

budaya di lingkungan baru (Sullivan & Kashubeck-West, 2015). Hal ini

terjadi karena pengambilan strategi akulturasi integrasi memungkinkan

individu untuk mendapat dukungan sosial baik dari budaya asalnya, maupun

orang-orang budaya baru. Selain berhubungan dengan adaptasi dan rendahnya

tingkat stres, penggunaan strategi akulturasi integrasi juga berhubungan

dengan kepuasan hidup yang lebih baik dibanding dengan individu yang

menggunakan strategi lainnya (Ryabichenko & Lebedeva, 2016). Banyaknya

manfaat yang didapat dari pengambilan strategi akulturasi integrasi, tidak

heran apabila berbagai penelitian menganggap strategi ini sebagai strategi

yang paling adaptif untuk digunakan dalam menghadapi akulturasi (Berry,

1997).

Sebaliknya, individu yang tidak mengambil strategi akulturasi integrasi

memiliki sikap untuk tidak mempertahankan budaya asli yang dimiliki dan di

sisi lain juga cenderung tidak membuat kontak dengan budaya di sekitarnya

(Berry, 2007). Dampak dari sikap seperti ini membuat individu rentan

terhadap perlakuan diskriminasi dari lingkungan barunya (Berry & Hou,

2017). Hal ini juga berkaitan dengan rendahnya adaptasi individu di

lingkungan sosial dan rendahnya kepuasan hidup individu di tempat barunya

(Lian & Tsang, 2010; Ryabichenko & Lebedeva, 2016).

Penggunaan strategi akulturasi juga bisa ditingkatkan. Meningkatkan

perilaku integrasi tentu berarti meningkatkan orientasi individu terhadap

(47)

barunya. Bryam dalam Yu & Wang (2011) mengungkapkan bahwa kunci

untuk dapat menjalin relasi dengan budaya baru adalah melalui pemahaman

akan bahasa daerah setempat. Dampak yang dibawa dari meningkatnya relasi

individu dengan lingkungannya antara lain menghindari terjadinya

diskriminasi, dan juga kesepian, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan

individu (Berry & Hou, 2017).

Untuk melakukan kontak dengan budaya lain, individu juga memerlukan

situasi yang nyaman bagi dirinya. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya

bahwa pertemuan individu dengan budaya lain dapat memunculkan akulturatif

stres yang dapat membuat individu mengalamai kecemasan, bahkan depresi

(Berry, 2007; Church, 1982; Hamamura & Laird, 2014). Adanya akulturatif

stres dapat menghambat individu untuk terlibat dengan lingkungan barunya.

Untuk mengatasi hal ini, individu memerlukan strategi coping, di mana

strategi coping adalah cara yang diambil oleh individu untuk mengurangi stres

(Lazarus & Folkman, 1984). Schmitz (dalam Kosic, 2004) mengungkapkan

bahwa penggunaan strategi coping yang lebih berfokus pada masalah daripada

emosi memiliki hubungan yang kuat dengan penggunaan strategi akulturasi

integrasi. Dengan demikian, melatih individu untuk secara aktif menggunakan

strategi coping yang berfokus terhadap permasalahan dapat mendorong

(48)

D. Strategi Akulturasi Integrasi pada Mahasiswa Perantau

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, mahasiswa pergi merantau dengan

tujuan untuk menuntut ilmu. Akan tetapi, mahasiswa perantau juga menghadapi

tantangan di perantauan seperti akulturatif stres (Risaharti & Wang, 2018). Hal ini

disebabkan karena perbedaan budaya yang dihadapi oleh mahasiswa perantau

antara budaya aslinya dengan budaya di tempat baru. Ketidakmampuan untuk

menghadapi akulturatif stres ini juga dapat meningkatkan kemungkinan individu

untuk mengalami diskriminasi yang diakibatkan oleh terpisahnya individu dari

lingkungan sekitar (Ramos et al., 2016) dan berujung pada rendahnya kepuasan

hidup mahasiswa di perantauan (Ryabichenko & Lebedeva, 2016).

Rendahnya penggunaan strategi akulturasi integrasi dapat membuat

mahasiswa perantau mengalami berbagai kesulitan. Segala kesulitan ini dapat

membuat mahasiswa tidak lagi fokus dengan tujuan awal merantau, yaitu untuk

menuntut ilmu. Penelitian yang dilakukan oleh Rania, Siri, Bagnasco, Aleo, &

Sasso (2014) sendiri menekankan pentingnya bagi mahasiswa perantau

membangun relasi yang baik dengan lingkunga. Hal ini dapat mendukung

performa akademik dari mahasiswa perantau. Rania et al., (2014) juga

menambahkan bahwa performa akademik mahasiswa perantau juga dipengurhi

oleh kepuasan hidupnya selama di perantauan.

Kontak dengan orang orang dan budaya yang berbeda dengan budaya asli

yang dimiliki oleh mahasiswa perantau adalah suatu hal yang tidak dapat

dihindari (Imamura & Zhang, 2014). Akan tetapi mahasiswa perlu melakukan

(49)

terbuka terhadap budaya lain dan tetap menjalin kontak dengan budaya asli seperti

dalam pengambilan strategi akulturasi integrasi berhubungan dengan kepuasan

hidup mahasiwa perantau (Ryabichenko & Lebedeva, 2016), dan rendahnya

akulturatif stres yang dialami di lingkungan baru (Kosic, 2004). Melalui

pembahasan di atas dapat dipahami pentingnya strategi akulturasi integrasi dalam

kehidupan mahasiswa perantau.

E. Kematangan Psikososial

Setelah membahas mengenai penggunaan strategi akulturasi integrasi,

bagian ini akan membahas mengenai kematangan psikososial. Penjelasan akan

dimulai definisi kematangan psikososial, dilanjutkan dengan tahap-tahap

perkembangan psikososial dari Erikson, dan terakhir adalah proses dan dampak.

1. Definisi Kematangan Psikososial

Pendekatan psikososial melihat perkembangan sebagai hasil dari proses

biologis, psikologis, dan sosial yang saling mempengaruhi dalam diri individu

(Newman & Newman, 2012). Newman dan Newman (2012) menganalogikan

perkembangan ego ini dengan teori evolusi, di mana teori ini memandang

adaptasi sebagai hasil dari interaksi organisme dengan lingkungan fisiknya.

Dengan kata lain, pendekatan ini memandang bahwa ego individu tidak

berkembang dengan sendirinya, melainkan menyesuaikan juga dengan

kebutuhan lingkungan sosial dan juga kemampuan fisik dari individu itu

(50)

Greenberger dan Sorensen (1974) juga menjelaskan konsep psikososial

sebagai kesatuan proses antara faktor biologis, psikologis, dan sosiologis dari

individu. Lagi-lagi individu perlu menyesuaikan diri dengan tuntutan dari

lingkungan sosial yang ada. Adapun untuk dapat memenuhi tuntutan sosial di

sekitarnya, individu harus mampu memiliki 3 buah kemampuan. Pertama,

kemampuan untuk menjadi diri yang berfungsi sepenuhnya. Kemampuan ini

meliputi kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, dan

bertanggungjawab atas keberlangsungan hidupnya sendiri. Kemampuan yang

kedua adalah kemampuan untuk menjalin interaksi dengan orang lain. Dalam

hidup, manusia tidak pernah lepas dari orang lain. Individu perlu bekerjasama

dan melakukan kontak sosial untuk bertahan hidup. Dengan adanya

kemampuan untuk menjalin relasi sosial, individu akan dapat diterima dan

dipercaya dalam masyarakat (Greenberger & Sorensen, 1974). Yang terakhir

adalah kemampuan untuk memberi kontribusi bagi kesatuan masyarakat.

Kemampuan ini perlu dikembangkan karena dipandang dapat

mempertahankan keberlangsungan dari masyarakat dan individu itu sendiri.

Setelah mendapat gambaran mengenai konsep psikososial, selanjutnya akan

dibahas mengenai apa itu kematangan.

Greenberger dan Sorensen (1974) melalui tulisannya yang berjudul

Toward a Concept of Psychosocial Maturity membagi konsep kematangan

menjadi dua hal, yaitu statis dan dinamis. Konsep kematangan statis

menggambarkan kematangan dengan deskripsi akan hasil yang seharusnya

(51)

dinamis menjelaskan kematangan melalui langkah-langkah yang harus dilalui

untuk mencapai produk akhir. Dari penjebaran tersebut, kematangan berbica

mengenai tahapan tercapainya produk akhir atau perkembangan yang

seutuhnya dari suatu tahap perkembangan.

Salah satu ahli yang menggunakan pendekatan Psikososial adalah Erik

Erikson (Newman & Newman, 2012). Melalui teori perkembangan

psikososialnya, Erikosn membagi tahap perkembangan manusia menjadi

delapan tahapan di mana setiap tahapan perkembangan menjadi dasar bagi

perkembangan di tahap selanjutnya. Feist & Feist (2008) menganalogikan

perkembangan ini seperti seorang anak yang belajar jalan. Proses belajar jalan

diawali dari anak yang hanya bisa merangkak, setelah bisa merangkak,

barulah anak tersebut mampu berdiri, berjalan, kemudian baru berlari dan

melompat. Ketika anak sudah memiliki kemampuan untuk melompat,

kemampuan untuk merangkak, berjalan, dan berlarinya tidak hilang. Dengan

kata lain, kemampuan tersebut dibangun di atas kemampuan lainnya.

Menurut Erikson, individu akan menjumpai krisis di setiap tahapan

perkembangan. Dalam penyelesaian krisis tersebut, individu akan mengalami

konflik antara unsur sistonik dan distonik. Unsur sistonik menrupakan

unsur-unsur positif, seperti trust, autonomy, industry, dan identity. Sebaliknya, unsur

distonik merupakan unsur negatif seperti mistrust, guilty, dan shame. Konflik

tersebut akan menghasilkan basic strength yang akan menjadi modal bagi ego

untuk melangkah ke tahap perkembangan selanjutnya. Ketika basic strength

(52)

patologi dari basic strength. Olczak & Goldman (1975) mendifiniskan

kematangan psikososial sebagai seberapa sukses individu menyelesaikan

krisis di setiap tahap perkembangan psikososial.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa definisi dari

kematangan psikososial adalah seberapa sukses individu menyelesaikan krisis

dari tahap perkembangan yang merupakan kesatuan dari proses biologi,

psikologi, dan sosiologi individu. Definisi kematangan psikososial dan

tahapan perkembangan psikososial Erikson inilah yang akan dijadikan

landasan teori untuk melihat kematangan psikososial dalam penelitian ini.

2. Tahap-tahap Perkembangan Psikososial

Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa setiap tahapan

perkembangan psikososial, individu akan mengahdapi krisis. Untuk

memahami krisis yang dihadapi oleh individu dalam proses mencapai

kematangan psikososial, krisis dari setiap tahapan akan dijabarkan di bagian

ini.

a. Masa bayi

Pada masa bayi, individu akan mengalami konflik antara basic trust

vs basic mistrust. Perkembangan dua hal ini akan dipengaruhi oleh

pemenuhan kebutuhan bayi dari lingkungannya, di mana ibu merupakan

figur yang penting dalam pemenuhan kebutuhan ini (Alwisol, 2009). Saat

lingkungan dapat memenuhi kebutuhan si bayi, seperti makanan, dan

(53)

yang mampu mengembangkan basic trust dalam dirinya akan memiliki

rasa percaya terhadap orang lain, serta memandang dunia, orang lain, dan

dirinya sendiri secara positif (Santrock, 2014). Pada masa dewasa,

individu yang mengembangkan trust memiliki tingkat konflik yang lebih

rendah saat menjalin pertemanan (Jones, Vaterlaus, Jackson, & Morrill,

2004).

b. Kanak-kanak awal

Pada masa kanak-kanak, di mana individu sudah mengenal hak,

kewajiban, dan batasan-batasan, individu akan mengalami konflik

autonomy vs shame and doubt (Alwisol, 2009). Keberhasilan dalam

mengontrol diri, menyelesaikan kewajiban, dan menyesuaikan diri

terhadap batasan akan memunculkan sisi sistonik dalam diri individu,

yaitu otonomi (Feist & Feist, 2008). Otonomi yang dimiliki individu akan

membuat individu mampu mengandalkan diri sendiri dalam bertindak dan

menentukan pilihan, serta melakukan pengambilan resiko. Sedangkan sisi

distonik pada tahap ini adalah rasa malu dan ragu-ragu, yang ditandai

dengan perasaan diamati, tidak yakin, dan lain sebagainya.

c. Usia bermain

Tahapan berikutnya adalah pada usia bermain, yaitu usia tiga sampai

enam tahun (Alwisol, 2009). Kemampuan individu untuk semakin lincah

bergerak memungkinkan anak untuk semakin memahami lingkungannya.

Hal ini akan menumbuhkan konflik antara inisiatif dengan rasa bersalah.

Gambar

Gambar 2.1. Skema Penelitian………………………………………….... 45
Gambar 2.1 Skema Penelitian
Tabel 3.1 Blueprint Skala Strategi Akulturasi Integrasi
Tabel 3.3 Sabaran Item Skala Strategi Akulturasi Integrasi untuk Try Out
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peraga dot matrix sebagai penyampaian pesan informasi ini dilengkapi dengan menggunakan fasilitas SMS, pertama kali mikrokontroler akan memeriksa dan mengambil

Pada prinsipnya, penelitian tersebut menunjukan bahwa Object Relational Mapping (ORM) adalah sebuah solusi yang dapat menjembatani paradigma ketidaksesuaian antara

Menimbang, bahwa Penggugat telah menunjukan sikap dan tekadnya untuk bercerai, dan Tergugat juga pada akhirnya telah menunjukan sikap yang sama hal mana Penggugat dan Tergugat

Penelitian ini adalah penelitian eksperimen, yang bertujuan untuk (1) mengetahui aktivitas siswa selama pembelajaran kooperatif tipe Make a Match dan tipe Scramble ,

Apabila kita lihat kenyataan tersebut, maka dalam benak kita akan timbul beberapa pertanyaan yang antara lain sebagai berikut: Apa yang menyebabkan para pegawai kurang

PELAYANAN PENGADUAN BERBASIS E-GOVERNMENT ( Studi Deskriptif Di Unit Pelayanan Informasi Dan Keluhan (UPIK) Kota Yogyakarta Tahun 2014) adalah hasil penelitian

Dengan perluasan pengenaan sampai dengan tingkat Pedagang Eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 maka sesuai dengan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dalam Undang-undang Nomor

Dari analisis yang dilakukan diketahui bahwa tidak ada perbedaan nyata penilaian responden terhadap dua belas aspek kualitas halte, baik untuk tingkat kepentingan maupun