STRATEGI AKULTURASI INTEGRASI PADA MAHASISWA PERANTAU DI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
HALAMAN JUDUL Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Age Tiara Wimana
139114047
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
ii
iii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
untuk dukungan dari orang-orang yang saya cintai,
untuk proses yang sudah saya lalui,
v
MOTTO
from now on
what's waited till tomorrow starts tonight
it starts tonight
and let this promise in me start
vi
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 26 Oktober 2018
vii
HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN PSIKOSOSIAL DENGAN PENGGUNAAN STRATEGI AKULTURASI INTEGRASI PADA
MAHASISWA PERANTAU DI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
Age Tiara Wimana
ABSTRAK
Penelitian ini berusaha melihat hubungan antara kematangan psikososial dengan penggunaan strategi akulturasi integrasi pada mahasiswa perantau. Penelitian ini dilakukan kepada 229 mahasiswa perantau di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dengan usia 18-25 tahun. Pemilihan partisipan dilakukan dengan metode purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua buah skala, yaitu skala Penggunaan Strategi Akulturasi Integrasi, dan MEPSI. Data yang didapat kemudian dikorelasikan dengan uji
korelasi Spearman’s rho. Hasil penelitian menunjukkan nilai korelasi sebesar 0,236 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan dan positif di antara kematangan psikososial dengan penggunaan strategi akulturasi integrasi pada mahasiswa perantau. Kemampuan-kemampuan yang dikembangkan dalam kematangan psikososial dapat mendukung individu untuk menjalin relasi dengan orang lain, dan juga dapat mendukung pembentukan identitas individu. Di sisi lain, kedua hal tersebut juga dapat mendukung pengambilan strategi akulturasi integrasi.
viii
THE CORRELATION BETWEEN PSYCHOSOCIAL MATURITY AND THE APPLICATION OF INTEGRATION AS AN
ACCULTURATION STRATEGY IN UNDERGRADUATE PSYCHOLOGY DEPARTMENT STUDENT OF SANATA DHARMA UNIVERSITY FROM
OUTSIDE YOGYAKARTA
ABSTRACT
This study is aimed to seek the correlation between psychosocial maturity and the application of integration as an acculturation strategy in undergraduate students from outside Yogyakarta. This study had 229 undergraduate students from outside Yogyakarta in Department of Psychology, Sanata Dharma University, aged 18-25 as the participant. Purposive Sampling method was used in this study. Data collection was accomplished with Application Integration Acculturation Strategies and MEPSI. The data itself was correlated with Spearman’s rho
correlation test. The results showed 0,236 correlation and significancy 0,000 (p<0,05). This data means that there is a significant and positive correlation between psychosocial maturity and application of integration as an acculturation strategy in undergraduate students from outside Yogyakarta. Developed competencies in psychosocial maturity enable individuals to establish a relationship with others and support identity achievement. Those competencies are required in the application of integration as an acculturation strategies.
ix
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Age Tiara Wimana Nomor Mahasiswa : 139114047
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN PSIKOSOSIAL DENGAN PENGGUNAAN STRATEGI AKULTURASI INTEGRASI PADA
MAHASISWA PERANTAU DI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Yogyakarta
Pada Tanggal : 26 Oktober 2018
yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkatnya yang melimpah
sehingga penelitian ini dapat berjalan dan selesai dibuat. Proses pembuatan skripsi
ini juga tidak lepas dari peran banyak pihak yang telah memberikan waktu,
pikiran, tenaga, dan dukungan bagi pneliti. Maka dari itu, peneliti mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Titik Kristiyani M.Psi., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Wakil Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
3. Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum, M.App,Psych. selaku Kepala
Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
4. Ibu Passchedona Henrietta Puji Dwi Astuti Dian Sabbati, S.Psi., M.A.
selaku Wakil Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma.
5. Bapak Edward Theodorus, M.App.Psy. selaku dosen pembimbing skripsi,
yang tidak pernah lelah dan dengan sabar mendampingi peniliti dalam
pembuatan skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma yang sudah membantu dan mendukung peneliti sampai saat ini.
7. Seluruh partisipan yang telah mau ambil bagian dalam penelitian ini, serta
semua penulis yang karyanya menjadi acuan dan inspirasi dalam proses
pembuatan skripsi ini.
8. Mami, Babeh, Esol, dan Egol atas cinta, doa, dan semangat yang diberikan
pada peneliti. Juga Om Roni dan Mbah Slawi yang mendukung peneliti
xi
9. Koleta Acintya Saraswati, yang sudah menjadi sumber semangat, pemberi
masukan, dan pendamping dalam keseharian. Terima kasih sudah mau
berjalan bersama dalam perjalanan ini.
10. Om Ivan, Tante Inez, dan Kaki Nini atas dukungan yang sungguh besar
artinya bagi peneliti.
11. Dr.Y.B. Cahya Widiyanto, M.Si., Timotius Maria Raditya Hernawa,
M.Psi., Mbak Thia, dan juga seluruh asisten P2TKP yang telah menjadi
guru, sahabat, dan keluarga yang penuh CINTA.
12. Cyrillus Yuniarto Purnomo, Felix Dewa Ndaru, Bonivasios Dwi, Nikolaus
Kusumasmara, Amatohula Lahagu, dan Stefanus Krisna atas suka duka
yang telah dibagikan.
13. Teman-teman dari Bimbingan Skripsi Pak Edo, seluruh mahasiswa
Psikologi, khususnya Kelas D angkatan 2013 yang sudah berbagi ilmu
skaligus menjadi teman seperjuangan peneliti.
14. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, namun telah
membentuk peneliti menjadi seperti saat ini.
Peneliti berharap agar penelitian ini membawa banyak manfaat, akan
tetapi peneliti juga menyadari ada banyak kelemahan dan kekurangan dalam
penelitian ini. Maka dari itu, peneliti juga terbuka terhadap adanya kritik dan
saran yang dapat membantu penelitian ini dan juga peneliti untuk menjadi lebih
xii
B. Rumusan Permasalahan ... 11
C. Ruang Lingkup ... 12
D. Tujuan ... 12
E. Pertanyaan Penelitian... 12
F. Manfaat Penelitian ... 13
1. Bagi Mahasiswa Perantau ... 13
2. Bagi orangtua dan pihak universitas ... 13
3. Bagi masyarakat di sekitar tempat tinggal mahasiswa perantau... 13
4. Bagi ilmuwan dan praktisi psikologi... 14
xiii
A. Pengantar ... 15
B. Dinamika Psikologis Mahasiswa Perantau ... 15
1. Perspektif Perkembangan ... 16
2. Perspektif Psikologi Sosial ... 18
C. Strategi Akulturasi Integrasi ... 21
1. Definisi ... 21
2. Aspek-aspek Strategi Akulturasi Integrasi ... 23
3. Faktor-faktor ... 25
4. Proses dan Dampak ... 28
D. Strategi Akulturasi Integrasi pada Mahasiswa Perantau... 31
E. Kematangan Psikososial ... 32
1. Definisi Kematangan Psikososial ... 32
2. Tahap-tahap Perkembangan Psikososial ... 35
3. Proses dan dampak ... 39
F. Kematangan Psikososial Mahasiswa Perantau ... 41
G. Hubungan Antara Kematangan Psikososial dengan Strategi Akulturasi Integrasi pada Mahasiswa Perantau ... 43
D. Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel ... 51
1. Strategi Akulturasi Integrasi ... 51
2. Kematangan Psikososial ... 52
E. Prosedur ... 52
F. Alat pengumpulan data ... 54
xiv
2. Bagi orangtua, dosen, dan pihak universitas ... 78
3. Bagi masyarakat di lingkungan sekitar mahasiswa perantau ... 79
4. Bagi komunitas ilmuwan psikologi ... 79
D. Komentar Penutup ... 79
DAFTAR PUSTAKA ... 81
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Blueprint Skala Strategi Akulturasi Integrasi……… 53
Tabel 3.2. Bobot Skala Strategi Akulturasi Integrasi………. 54
Tabel 3.3. Sabaran Item Skala Strategi Akulturasi Integrasi untuk Try Out……… 54
Tabel 3.4. Sebaran Item MEPSI………. 56
Tabel 3.5. Sabaran Item Skala Strategi Akulturasi Integrasi Setelah Seleksi Item……….. 58
Tabel 4.1. Jenis Kelamin Partisipan………... 61
Tabel 4.2. Usia Partisipan……….. 62
Tabel 4.3. Daerah Asal Partisipan……….. 63
Tabel 4.4. Hasil Pengukuran Deskripsi Variabel………... 64
Tabel 4.5. Hasil Pengukuran Deskripsi Variabel Penggunaan Strategi Akulturasi Integrasi dan Uji Beda Mean Empiris dengan Mean Teoretis………... 64
Tabel 4.6. Mean Skor Skala Penggunaan Strategi Akulturasi Integrasi Berdasarkan Daerah Asal………... 65
Tabel 4.7. Hasil Uji Normalitas Data Penelitian……… 66
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Uji Coba Skala Penggunaan Strategi Akulturasi Integrasi…... . 85
Lampiran 2 : Informed Consent Penelitian………... 88
Lampiran 3 : Reliabilitas Skala Penggunaan Strategi Akulturasi Integrasi… 89
Lampiran 4 : Uji Nomalitas……… . 92
xvii
DAFTAR GAMBAR
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini membahas mengenai penggunaan strategi akulturasi integrasi
pada mahasiswa perantau di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. Peneliti merasa tertarik dengan penelitian ini karena tiga alasan, yaitu
1) peneliti merasa sedih melihat teman sekelas peneliti yang kesulitan dalam
menghadapi perbedaan budaya, 2) peneliti sendiri merupakan mahasiswa perantau
yang sempat mengalami kesulitan di perantauan, dan 3) peneliti ingin melakukan
sesuatu dalam kapasitasnya sebagai mahasiswa psikologi untuk membantu
mahasiswa perantau yang mengalami kesulitan dalam menghadapi perbedaan
budaya di perantauan.
Pertama, peneliti merasa sedih saat melihat teman sekelas peneliti yang
merasa tidak nyaman dengan kondisi di kelas karena perbedaan budaya, padahal
seharusnya ada cara lain yang bisa dilakukan oleh teman tersebut. Teman tersebut
mengalami kesulitan dalam menjalin pertemanan di kelas. Dia menjadi sangat
pendiam, tidak memiliki banyak teman, dan juga memiliki prestasi akademik yang
kurang baik di kelas. Di sisi lain, ada teman peneliti yang lain yang memiliki cara
berbeda dalam menghadapi perbedaan budaya di perantauan. Teman tersebut
berbicara dengan aksen daerah asalnya dan menjalin relasi yang baik dengan
orang-orang yang ditemui. Teman tersebut juga suka pergi mencicipi
pertemanan, teman tersebut memiliki banyak teman dan menjadi tempat bagi
teman-teman lain untuk bercerita serta mencurahkan isi hati. Peneliti merasa
bahwa seharusnya teman peneliti yang pertama bisa menggunakan cara
menghadapi perbedaan budaya yang diambil oleh teman kedua.
Kedua, peneliti sendiri merupakan mahasiswa perantau yang pernah
mengalami kesulitan dalam menghadapi perbedaan budaya. Selama hidup di
perantauan, peneliti mengalami kesulitan terkait dengan penggunaan bahasa.
Peneliti berasal Purwokerto, di mana bahasa Jawa di Purwokerto memiliki
kosakata dan dialek yang berbeda dengan bahasa Jawa yang digunakan di
Yogyakarta. Peneliti merasa malu karena dalam keseharian dialek tersebut sering
dianggap lucu oleh kebanyakan orang. Peneliti membutuhkan beberapa waktu
sebelum akhirnya dapat memperkaya kosakata dan memperhalus dialek untuk
memperlancar komunikasi dengan teman lain. Untuk mencapai hal tersebut,
peneliti terus-menerus membiasakan diri untuk berelasi dengan teman dari budaya
yang berbeda. Keseluruhan proses ini membuat peneliti merasa lega, karena
setelah itu peneliti menjadi semakin percaya diri dan mudah bergaul dengan
orang-orang di perantauan. Peneliti merasa bahwa membuka diri terhadap budaya
di tempat baru sangat membantu peneliti untuk mengatasi kesulitan di perantauan.
Alasan ketiga, peneliti ingin melakukan sesuatu dalam kapasitasnya sebagai
mahasiswa psikologi untuk membantu mahasiswa perantau yang mengalami
kesulitan dalam menghadapi perbedaan budaya di perantauan. Peneliti melakukan
penelitian mengenai strategi akulturasi integrasi, di mana strategi akulturasi
perbedaan budaya (Berry, 1997). Penelitian ini bisa menjadi referensi dan
memberikan gambaran bagi mahasiswa perantau yang sedang menghadapi
berbagai tantangan di perantauan bahwa ada cara-cara adaptif yang dapat
digunakan. Dengan begitu, melalui penelitian ini peneliti dapat berkontribusi
untuk membuat kondisi mahasiswa perantau menjadi lebih baik.
Ketiga alasan di atas menunjukkan bahwa topik penelitian ini sangat
bermakna bagi peneliti. Penelitian ini juga dapat digunakan untuk menerapkan
ilmu yang telah didapat ke dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah membahas mengenai ketertarikan peneliti, bagian selanjutnya akan
membahas mengenai latar belakang penelitian ini dan juga permasalahan apa yang
berusaha diselesaikan melalui penelitian ini. Pada bab ini juga akan dijabarkan
manfaat dari penelitian ini, baik bagi mahasiswa perantau, bagi orangtua, dosen,
pihak universitas, dan bagi ilmuwan psikologi.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh Yogyakarta menjadi tujuan banyak
orang untuk berkuliah. Hal ini sudah dimulai sejak Ki Hajar Dewantara, seorang
tokoh pendidikan dan pergerakan nasional, mendirikan Perguruan Tamansiswa
pada tahun 1922 (Darmaningtyas, 2017). Perguruan tersebut memberikan
pendidikan kepada semua kalangan, tidak hanya untuk bangsawan saja seperti
sekolah-sekolah pada jaman penjajahan Belanda (Hanna, 2017). Dengan
membuka pendidikan untuk semua kalangan, dalam kurun delapan tahun
Perguruan Tamansiswa berkembang pesat dan memiliki puluhan ribu murid
(Darmaningtyas, 2017). Sejak saat itu, pendidikan di Yogyakarta berkembang
Perkembangan perguruan tinggi di Yogyakarta tidak lepas dari sikap
dukungan pemimpin Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono
IX. Pada tahun 1946, Sri Sultan Hemengku Buwono IX yang juga menjabat
sebagai wakil presiden Republik Indonesia, mengambil peran besar dalam
pendirian UGM (Iwan, n.d.). Ia menjadi penggagas beridirinya UGM, dan juga
memberikan tanah miliki kraton untuk dijadikan tempat berdirinya UGM. Tidak
hanya itu, lingkungan kraton juga dibuka untuk kegiatan perkuliahan.
Keterbukaan ini membuat pendidikan di Yogyakarta menjadi semakin
berkembang. Saat ini, terdapat 106 perguruan tinggi di Yogyakarta (Kementerian
Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, 2016).
Yogyakarta menjadi tujuan mahasiswa untuk merantau juga karena biaya
hidup yang relatif murah dibandingkan dengan biaya hidup di kota-kota lain
(Araro, 2018). Pada tahun 1980 nasi kucing menjadi makanan yang populer di
kalangan mahasiswa. Disebut nasi kucing karena makanan tersebut berisi porsi
kecil nasi yang diberi ikan teri. Bahkan hingga sekarang nasi kucing masih sangat
mudah ditemui di Yogyakrta dengan harga sekitar Rp 1.500 – Rp 2.000 per porsi
(Sulkhan, 2018).
Jumlah mahasiswa perantau di Yogyakarta selalu meningkat dari tahun ke
tahun. Pada tahun 2013, persentase mahasiswa perantau di Yogyakarta mencapai
78,8 persen (“Pertahankan ‘Indonesia Mini’ di Yogyakarta,” 2013). Dengan
jumlah sebesar itu, pertemuan antara budaya yang berbeda akan terjadi.
Banyaknya mahasiswa perantau yang berkuliah di Yogyakarta membuat
daerah lainnya. Berbagai artikel menyebutkan manfaat dari perantau, sseperti
menjadi lebih mandiri, bertanggungjawab, belajar budaya baru, menumbuhkan
rasa cinta pada negara, dan lain sebagainya (Fadhilla, 2017; Nindra, 2017; Tarana,
2017).
Manfaat dari merantau ini dirasakan oleh Putri Nuzulil, seorang mahasiswa
dari Aceh yang berkuliah di Bandung (Nuzulil, 2017). Putri Nuzulil merasa
bahwa dirinya adalah anak yang manja, yang selalu mengandalkan orangtua
dalam menghadapi permasalahan. Contoh yang diceritakan oleh Putri adalah
ketika Putri menghadapi masalah, ia akan langsung berkeluh kesah pada
orangtuanya. Contoh lainnya, Putri yang memiliki suatu alergi akan
membangunkan kedua orangtuanya di tengah malam apabila alerginya kambuh,
meskipun Putri menyadari bahwa alergi tersebut bisa diatasi hanya dengan
meminum obat tanpa perlu membangunkan orangtuanya. Putri merasa bahwa
dengan merantau dirinya bisa semakin mandiri. Putri juga lebih mampu
bertanggungjawab atas dirinya sendiri, mampu mengatur keuangan, dan banyak
manfaat lain.
Putri mengungkapkan bahwa kunci suksesnya untuk hidup di perantauan
adalah dengan fokus pada tujuannya untuk merantau (Nuzulil, 2017). Putri juga
selalu menjalin kontak dengan kedua orangtuanya di Aceh, dan tetap
mempertahankan nilai-nilai yang dibwanya dari Aceh supaya tidak terbawa
kehidupan bebas di Bandung.
Pengalaman lain diceritakan oleh Arief, mahasiswa perantau dari Depok
percakapan sehari-hari dengan teman yang berbahasa Jawa. Ia mengungkapkan
bahwa tingkatan dalam bahasa Jawa menjadi kesulitan bagi dirinya untuk
memahami bahasa Jawa. Untuk mengatasi hal tersebut Arief berusaha
mempelajari bahasa Jawa sederhana dalam kehidupan sehari, mulai dari
menggunakan kata “nggih” dalam percakapan sehari-hari untuk merespon
percapakan dalam Bahasa Jawa. Hal ini memperlancar komunikasi Arief dengan
orang dari Jawa, sehingga adaptasinya di Solo menjadi semakin lancar.
Dalam kajian psikologi, kedua cara menghadapi perbedaan budaya tersebut
dalam pengalaman tersebut disebut dengan strategi akulturasi integrasi (Berry,
2007). Penggunaan strategi tersebut ditandai dengan adanya orientasi individu
untuk mempertahankan budaya yang asli yang dimilikinya, dan juga adanya
perilaku membuka diri terhadap budaya di lingkungan baru. Berbagai literatur
mengungkapkan bahwa strategi akulturasi integrasi merupakan strategi yang
paling adaptif untuk digunakan di perantauan karena membawa berbagai dampak
positif bagi individu yang menggunakannya, seperti hidup lebih sejahtera, dan
lebih cepat beradaptasi di perantauan (Berry, 1997, 2007; Berry & Hou, 2017). Di
sisi lain, penggunaan strategi yang jauh dari strategi akulturasi integrasi dapat
membawa hasil yang berbeda pula. Penggunaan strategi akulturasi marginalisasi
misalnya, di mana individu tidak membuka diri terhadap budaya di lingkungan
barunya, dapat membawa individu memiliki kepuasan hidup yang rendah di
perantauan karena rentan mengalami konflik dan diskriminasi di perantauan
Pada tahun 2014 sempat ramai dibicarakan seseorang bernama Florence
Sihombing, mahasiswa pascasarjana yang berkuliah di Yogyakarta. Berawal dari
Florence yang ditegur karena memotong antrean saat hendak melakukan
pengisian bahan bakar, ia mencurahkan perasaannya di media sosial (Tim VIVA,
2014).
“Jogja miskin, tolol, miskin dan tak berbudaya. Teman-teman
Jakarta, Bandung, jangan mau tinggal di Jogja”.
Banyak pihak yang merasa tidak terima dengan kiriman tersebut dan
melaporkan kasus ini ke polisi. Bahkan situs berita liputan6.com menulis dengan
judul Florence Sihombing kini jadi orang paling dicari di Jogja (“Florence
Sihombing Kini Jadi `Orang Paling Dicari di Jogja`,” 2014). Kasus ini terus
berjalan di pengadilan, hingga akhirnya Florence dijatuhi hukuman 2 bulan
penjara karena dianggap melakukan pencemaran nama baik (Yanuar, 2015).
Kasus di atas menunjukkan bahwa Florence tidak menggunakan strategi yang
adaptif di perantauan.
Ditinjau dari teori Berry, Florence nampak tidak menggunakan strategi
akulturasi yang adaptif. Dari kasus Florence, ia terlihat mempertahankan budaya
asli yang dimiliki dengan mengajak teman-temannya yang berasal dari Jakarta dan
Bandung untuk tidak ke Yogyakarta. Padahal Florence adalah mahasiswa yang
berkuliah di Yogyakarta, akan tetapi Florence seperti tidak mengidentifikasi
Yogyakarta sebagai tempat tinggalnya juga. Dari sisi terbuka atau menerima
budaya di perantauan, Florence juga terlihat tidak melakukan hal tersebut.
Yogyakarta. Dari pembahasan di atas, Florence terlihat seperti menggunakan
strategi akulturasi separasi, di mana strategi akulturasi ini merupakan strategi
yang tidak adaptif karena membatasi interaksi dengan budaya di tempat baru.
Penggunaan strategi yang adaptif menekankan pada perantau untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Di sisi lain, dalam psikologi dikenal
pendekatan psikososial, di mana pendekatan ini juga memandang bahwa
perkembangan psikologis individu tidak hanya berasal dari dalam dirinya saja,
melainkan juga dari interaksi antara individu dengan lingkungan sosialnya
(Erikson, dalam Newman & Newman, 2012). Individu yang tumbuh bersama
dengan lingkungan sosialnya kemungkinan memiliki penyesuaian diri yang baik
pula terhadap lingkungan. Kemampuan penyesuaian diri ini merupakan
kemampuan yang dibutuhkan dalam penggunaan strategi akulturasi integrasi. Hal
ini memungkinkan adanya hubungan antara kematangan psikososial pada individu
dengan pengambilan strategi akulturasi integrasi.
Teori tahap perkembangan psikososial dari Erikson membagi tahap
perkembangan ke dalam delapan tahap (Feist & Feist, 2008). Pada masing-masing
tahap, individu akan mengembangkan suatu unsur dalam dirinya. Unsur yang
dikembangkan dapat bersifat positif, dan negatif. Individu dikatakan semakin
matang secara psikososial saat individu semakin banyak mengembangkan unsur
positif (Olczak & Goldman, 1975). Unsur positif tersebut adalah trust, autonomy,
initiative, industry, identity, intimacy, generativity, dan ego integrity (Newman &
untuk membentuk dirinya dan di saat yang sama juga menyesuaikan diri dengan
tuntutan masyarakat.
Penelitian dilakukan di lingkungan Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta karena banyaknya jumlah mahasiswa perantau di gakultas
tersebut. Berdasarkan data yang didapat dari Sekretariat Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (2018), persentase mahasiswa perantau di
fakultas tersebut berjumlah 634 mahasiswa, atau 68 persen dari keseluruhan
mahasiswa. Penelitian ini dapat membantu melihat penggunaan strategi akulturasi
integrasi dari mahasiswa perantau di Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, penggunaan
strategi akulturasi integrasi ini penting karena dianggap sebagai cara yang paling
adaptif dalam menghadapi perbedaan budaya (Berry, 2007). Selain itu, salah satu
tujuan yang harus dicapai oleh mahasiswa psikologi adalah kemampuan untuk
menjalin relasi interpersonal yang baik (APA Board of Educational Affairs Task
Force on Psychology Major Competencies, 2013) yang juga merupakan aspek
penyusun dari penggunaan strategi akulturasi integrasi.
Pengalaman yang dihadapi oleh mahasiswa perantau tidak lepas dari peran
berbegai pihak 1) orangtua mahasiswa perantau, 2) pihak universitas, 3)
masyarakat di sekitar tempat tinggal mahasiswa perantau, dan 4) ilmuwan serta
praktisi psikologi. Pertama, peran orangtua mahasiswa dalam hal membentuk diri
mahasiswa perantau. Pola asuh yang digunakan orangtua mempengaruhi resiliensi
mahasiswa di perantauan (Cahya Permata & Listiyandini, 2015). Dengan
dapat membuat anak menjadi lebih resilien di perantauan. Selain itu, dukungan
sosial yang diberikan orangtua juga dapat membuat mahasiswa perantau membuat
mahasiswa perantau merasa didukung, dicintai, dan diperhatikan (Harijanto &
Setiawan, 2017).
Kedua, pihak universitas dan juga Kemenristekdikti yang berperan dalam
mendorong prestasi mahasiswa. Untuk mencapai hal tersebut universitas dan
Kemenristekdikti akan menyediakan sistem pelajaran, dan menyediakan fasilitas
pembelajaran yang memadai (Novenanty, n.d.). Selain dari sisi akademis, pihak
universitas dan Kemenristekdikti juga berperan dalam pengembangan diri
mahasiswa. Peran ini dijalankan dengan mengadakan program
pengembangan-pengembangan bagi mahasiswa.
Ketiga, masyarakat di lingkungan sekitar berperan memberi dukungan bagi
mahasiswa perantau (Lian & Tsang, 2010; Sullivan & Kashubeck-West, 2015).
Dukungan diberikan dalam berbagai bentuk seperti perhatian, dorongan, dan juga
dukungan materi. Adanya dukungan dari masyarakat sekitar akan menggantikan
dukungan yang biasa didapat dari orangtua dan orang-orang di daerah asalnya
(Phillimore, 2011). Hal ini dapat memudahkan mahasiswa perantau untuk
beradaptasi.
Keempat, ilmuwan dan praktisi psikologi berperan dalam pengembangan
ilmu pengetahuan. Pengembangan ini dilakuakan untuk meningkatkan
pemahaman tentang perilaku manusia, baik dalam bentuk pemahaman mengenai
diri sendiri maupun orang lain (HIMPSI, 2010). Ilmu pengetahuan ini penting
B. Rumusan Permasalahan
Di perantauan, mahasiswa perantau akan bertemu dengan orang dari budaya
yang berbeda. Dalam mengahadapi perbedaan budaya ini terdapat berbagai
macam strategi. Strategi akulturasi integrasi merupakan strategi yang adaptif dan
membawa banyak manfaat bagi mahasiswa perantau. Manfaat tersebut antara lain
dapat meningkatkan kesejahteraan serta kepuasan hidup mahasiswa di perantauan
(Berry & Hou, 2017). Di sisi lain, dari pembahasan sebelumnya dapat dilihat
bahwa ada banyak perantau di Yogyakarta, namun tidak semua mahasiswa rantau
mengembangkan identitas adaptif dan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan
di lingkungan baru. Ketidakmampuan ini dapat menyebabkan berbagai hal, seperti
diskriminasi, dan penurunan kualitas hidup mahasiswa perantau (Berry & Hou,
2017).
Melihat kesenjangan tersebut, peneliti melakukan penelitian yang
berhubungan dengan strategi akulturasi integrasi. Penelitian mengenai strategi
akulturasi mahasiswa perantau belum banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian
yang sudah dilakukan, antara lain studi deskriptif mengenai penggunaan strategi
akulturasi pada etnik Minangkabau dan Batak di Bandung (Jamhur et al., 2015)
dan penelitian kualitatif dengan subjek ekspatriat yang ada di Yogyakarta (Sari &
Subandi, 2015). Padahal penelitian menganai penggunaan strategi akulturasi dan
dampaknya menjadi topik yang banyak dibahas di luar negeri (Ahani, 2016; Berry
dilakukan mengingat penelitian mengenai akulturasi perlu dilakukan di berbagai
konteks dan partisipan yang berbeda (Sam & Berry, 2006).
C. Ruang Lingkup
Perbedaan antara budaya asli dengan budaya baru dihadapi oleh seluruh
mahasiswa perantau, namun dalam penelitian ini peneliti hanya akan melihat
hubungan antara kematangan psikososial dengan penggunaan strategi akulturasi
integrasi pada mahasiswa perantau di Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta. Yang dimaksud dengan mahasiswa perantau dalam
penelitian ini adalah mahasiswa yang berasal dari luar Daerah Istimewa
Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa perantau yang berusia 18-25
tahun. Penelitian ini tidak mengkategorikan, atau memeriksa strategi apa yang
digunakan oleh partisipan.
D. Tujuan
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk melihat hubungan
antara kematangan psikososial dengan pengambilan strategi akulturasi integrasi
pada mahasiswa perantau.
E. Pertanyaan Penelitian
Apakah ada hubungan yang signifikan antara kematangan psikososial
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat bagi mahasiswa perantau
dan juga bagi pihak-pihak yang berhubungan dengan mahasiswa perantau. Bagian
ini akan menjabarkan manfaat-manfaat apa saja yang diberikan melalui penelitian
ini.
1. Bagi Mahasiswa Perantau
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan mahasiswa
perantau tentang hubungan antara kematangan psikososial dengan penggunaan
strategi akulturasi integrasi. Pengetahuan ini dapat menjadi bekal bagi bagi
mahasiswa perantau untuk dapat meningkatkan penggunaan strategi akulturasi
intergasi di perantauan.
2. Bagi orangtua dan pihak universitas
Penelitian ini bermanfaat bagi orang tua mahasiswa persntsu untuk
mempersiapkan kematangan anak. Bagi universitas, penelitian ini bermanfaat
untuk memperkaya materi yang dapat digunakan dalam program
pengembangan mahasiswa perantau. Misalnya program mengenai cara yang
adaptif dalam menghadapi perbedaan budaya, dan bagaimana meningkatkan
perilaku adaptif tersebut.
3. Bagi masyarakat di sekitar tempat tinggal mahasiswa perantau
Melalui pemapaparan teori, penelitian ini dapat meningkatkan kesadaran
perantau. Masyarakat sekitar juga dapat mengetahui dinamika yang dialami
oleh mahasiswa perantau selama di perantauan.
4. Bagi ilmuwan dan praktisi psikologi
Penelitian ini dapat memperkaya kajian psikologi dalam hal penggunaan
strategi akulturasi integrasi pada mahasiswa perantau. Pengetahuan baru yang
didapat dapat menambah pengetahuan yang sudah ada, sehingga dapat
15
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengantar
Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai variabel-variabel dan target
grup yang ada dalam penelitian ini supaya dapat terlihat hubungan antara kedua
variabel. Pertama, peneliti akan membahas menganai dinamika psikologis
mahasiswa perantau yang akan dibahas dari 2 perspektif : psikologi
perkembangan dan psikologi sosial. Dari perspektif psikologi perkembangan,
dinamika psikologis mahasiswa perantau akan dibahas dari tahap dan tugas
perkembangan yang sedang dijalani oleh mahasiswa pernatau. Sedangkan pada
perspektif psikologi sosial, akan dibahas dinamika kelompok yang memiliki
pengalaman dan dinamika serupa dengan mahasiswa perantau. Hal ini dilakukan
untuk mendapakan gambaran yang luas mengenai mahasiswa perantau.
Bab ini juga akan menjabarkan variabel-variabel yang ada dalam penelitian
ini, mulai dari definisi, aspek, dan faktor-faktor yang mempengaruhi variabel.
Peneliti juga akan menjabarkan hubungan kedua variabel dengan mahasiswa
perantau, dan juga hubungan antara kedua variabel itu sendiri. Melalui
hubungan-hubungan tersebut, bab ini akan ditutup dengan hipotesis yang diajukan oleh
peneliti.
B. Dinamika Psikologis Mahasiswa Perantau
Untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai mahasiswa perantau,
tersebut adalah psikologi perkembangan dan psikologi sosial. Dari perspektif
perkembangan, mahasiswa perantau akan dilihat sebagai individu yang berada
dalam tahap perkembangan emerging adulthood. Pembahasan dinamika
psikologis mahasiswa perantau dari perpektif psikologi sosial akan memandang
mahasiswa perantau sebagai sojourner.
1. Perspektif Perkembangan
Dari perspektif perkembangan, mahasiswa berada di tahap
perkembangan emerging adulthood, yaitu berusia 18-25 tahun (Santrock,
2014; Subdit Statistika Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial, 2017). Arnett
(2000) menggambarkan tahap emerging adulthood sebagai tahapan peralihan
dari tahap remaja menuju tahap dewasa. Pada tahap ini individu mulai
melepaskan ketergantungannya terhadap orang lain layaknya tahap anak-anak
dan remaja yang masih bergantung pada orangtuanya, akan tetapi belum
memiliki tanggungjawab yang dimiliki orang dewasa, seperti bekerja dan
menghidupi keluarga.
Tahapan emerging adulthood memiliki tugas khusus, yaitu eksplorasi
(Arnett, 2000). Eksplorasi menjadi cara individu untuk menemukan identitas
yang sebetulnya sudah dimulai sejak individu berada di tahap perkembangan
remaja, di mana eksplorasi menjadi cara individu untuk menemukan identitas
(Feist & Feist, 2008). Pada tahap emerging adulthood, eksplorasi semakin
terfokus dan mendalam di tiga hal, yaitu cinta, pekerjaan, dan pandangan
memikirkan dan mencari orang untuk dijadikan pendamping hidup bukan lagi
untuk bersenang-senang saja (Arnett, 2005).
Kedua, dalam hal pekerjaan. Sebagai orang dewasa tentunya perlu
memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Pada masa remaja individu belum
memikirkan tentang pekerjaan atau profesi apa yang akan ditekuninya.
Beberpa remaja misalnya mencari pekerjaan untuk dijadikan pengisi waktu
luang dan tamabahan uang saku (Larson & Verma, 1999). Dalam masa
peralihan ini individu mulai mencari pekerjaan yang menjadi ketertarikannya,
dan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Pada area yang ketiga, individu akan mendapat berbagai pandangan
tentang dunia melalui berbagai hal, seperti pengalaman hidup yang dialami
(Gutierrez & Park, 2015) dan pergi meninggalkan rumah (Arnett, 2015).
Dalam eksplorasi ini, terkadang individu juga dapat menemukan nilai-nilai
yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dibawa olehnya sejak kecil (Arnett,
2000). Dengan adanya eksplorasi ini, individu akan memiliki gambaran yang
jelas tentang dirinya yang digunakan sebagai bekal untuk memasuki masa
dewasa nanti.
Sejalan dengan eksplorasi yang ditekankan oleh Arnett, Teori
Perkembangan Psikososial mengungkapkan bahwa mahasiswa perantau
sedang berada pada peralihan dari masa remaja menuju dewasa dan berusaha
mendapat kejelasan identitas melalui eksplorasi (Santrock, 2014). Identitas
berkaitan dengan tujuan hidup, nilai-nilai yang dianut. Ketika identitas tidak
2008). Hal ini ditandai dengan permasalahan seperti kurang memiliki
gambaran diri yang jelas dan ketidakmampuan membangun relasi. Pada masa
dewasa, individu yang mengalami identity confusion dapat mengalami
berbagai kesulitan, misalnya berpindah-pindah tempat kerja tanpa tujuan pasti,
bergonta-ganti pasangan, dan lain sebagainya.
2. Perspektif Psikologi Sosial
Dinamika yang dialami oleh mahasiswa perantau bisa dilihat dari
dinamika psikologis dari sojourner, yaitu orang yang meninggalkan daerah
asalnya dan tinggal di daerah tertentu untuk sementara waktu (Berry, 2007;
Church, 1982; Ikeguchi, 2008). Selain mahasiswa perantau, turis, dan orang
yang melakukan perjalanan bisnis juga tercakup dalam kategori sojourner.
Perpindahan sojourner ke tempat baru dan kontak dengan budaya yang
berbeda-beda di tempat baru dapat membawa dampak negatif bagi sojourner.
Berbagai penelitian telah berusaha melihat dampak dari pertemuan sojourner
dengan budaya yang berbeda. Dampak dari perbedaan budaya yang ditemui
ini adalah akulturatif stres, di mana hal tersebut dapat membawa kecemasan,
bahkan depresi pada individu yang mengalaminya (Berry, 2007; Church,
1982; Hamamura & Laird, 2014). Dampak lain dari kontak dengan budaya
lain adalah munculnya perasaan terisolasi karena jauh dari keluarga, teman,
dan harus hidup sendiri (Phillimore, 2011). Perasaan ini muncul akibat dari
perubahan kebiasaan dan hilangnya dukungan sosial yang biasa diterima
Maka dari itu, dukungan sosial baik dari lingkungan barunya sangat
diperlukan sojourner untuk menggantikan dukungan yang biasa didapat di
tempat asalnya (Lian & Tsang, 2010; Sullivan & Kashubeck-West, 2015). Hal
ini tentu saja dapat membentu mengurangi dampak negatif yang dihadapi oleh
sojourner.
Akulturasi juga dapat membawa perubahan psikologis dalam diri
individu (Berry, 2007). Perubahan psikologis yang terjadi dalam diri
sojourner merupakan bentuk usaha untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan barunya (Berry, Poortinga, Breugelmans, Chasiotis, & Sam,
2012). Salah satu bentuk peruhahan yang dapat diamati adalah perubahan
bahasa. Sojourner akan menemui bahasa yang berbeda dari budaya aslinya.
Perbedaan bahasa dapat mengganggu proses komunikasi antara pendatang dan
orang di tempat baru, padahal komunikasi merupakan kunci bagi sojourner
untuk mampu berbaur dan terlibat dalam kehidupan di tempat barunya
(Selmer & Lauring, 2015). Usaha yang dapat dilakukan oleh sojourner untuk
menghadapi hal ini adalah dengan mempelajari bahasa di tempat barunya.
Berbagai penelitian menunjukkan perubahan pola makan juga dialami
oleh sojourner (Lesser et al., 2014; Skreblin & Sujoldzic, 2003). Perubahan
ini tidak lepas dari ketersediaan bahan makanan di lingkungan sekitar. Seperti
dalam penelitian, partisipan merasa bahwa dirinya lebih mudah untuk
mendapatkan buah dan sayur daripada di tempat asalnya. Hal ini diikuti
dengan tingkat konsumsi buah dan sayur partisipan yang meningkat. Akan
beberapa lama bagi sojourner untuk beradaptasi dengan makanan di tempat
baru (Raza et al., 2016).
Sojourner juga rentan mengalami diskriminasi. Diskriminasi adalah
tindakan tidak adil yang bersifat negatif, dan tindakan yang berbahaya kepada
anggota suatu kelompok yang disebabkan oleh keanggotaan anggota tersebut
di suatu kelompok (Aronson, Wilson, & Akert, 2005). Diskriminasi membuat
sojourner merasa tidak bisa menjalin relasi dengan budaya di sekitarnya
(Berry et al., 2006; Ramos et al., 2016). Tidak adanya relasi antara sojourner
dan lingkungan membuat kelekatan antara sojourner dengan lingkungan tidak
terbentuk. Lebih jauh lagi, mendapat diskriminasi dapat mengarahkan
sojourner pada penurunan kesehatan mental, dan menurunkan kepuasan hidup
pada sojourner (Berry & Hou, 2017).
Meski banyak tantangan yang dihadapi individu di perantauan, menjadi
sojourner juga memiliki berbagai manfaat. Pengalaman sojourner terpapar
budaya lain membuat belajar bahasa baru dapat meningkatkan kemampuan
sojourner dalam hal komunikasi lintas budaya (Salisbury, An, & Pascarella,
2013). Hal ini memungkinkan individu untuk menjalin relasi dengan teman
dari budaya berbeda (Williams, 2005). Dengan banyak menjalin relasi degan
individu yang berbeda budaya, sojourner akan terbiasa menemui perbedaan.
Penelitian menyebutkan bahwa melakukan kontak dengan orang-orang dari
budaya yang berbeda dapat meningkatkan toleransi pada individu (van Zalk,
Penyesuaian diri yang baik pada sojourner dapat meningkatkan
kesejahteraan sojourner selama berada di tempat baru (Berry & Hou, 2017).
Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri akan membawa
sojourner pada pengalaman kesepian, dan kehilangan makna hidup (Russell,
Rosenthal, & Thomson, 2010). Perubahan psikologis yang dialami oleh
individu juga berbeda-beda, sama halnya dengan cara individu menghadapi
perbedaan budaya yang berbeda-beda pula.
C. Strategi Akulturasi Integrasi
Pada bagian ini, peneliti akan menjabarkan hal-hal yang berakaitan dengan
variabel penggunaan strategi akulturasi integrasi, mulai dari definisi strategi
akulturasi integrasi, aspek-aspek yang membentuk strategi tersebut, dan
faktor-faktor yang memperngaruhi penggunaan strategi akulturasi integrasi. Bagian
terakhir akan membahas mengenai proses yang terdapat dalam strategi akulturasi
dan dampak yang ditimbulkan.
1. Definisi
Dalam menjelaskan mengenai akulturasi terdapat dua buah model yang
digunakan, yaitu model akulturasi unidimensional dan bidimensional
(Arends-Tóth & Van de Vijver, 2007). Model pertama adalah model akulturasi
unidimensional. Model ini memandang akulturasi sebagai suatu proses
kontinum, di mana individu akan mempertahankan budaya aslinya atau
sekitarnya. Saat individu mempertahankan budaya aslinya, maka individu
tidak mengikuti budaya di sekiarnya, begitu pula sebaliknya. Model kedua
adalah model akulturasi bidimensional, di mana model ini menggunakan sudut
pandang bahwa dalam proses mempertahankan budaya yang dimiliki oleh
individu dan proses menyesuaikan diri dengan lingkungan berada dalam
dimensi yang berbeda. Hal ini memungkinkan individu untuk melakukan
keduanya secara bersamaan. Dari kedua model tersebut, peneliti menggunakan
model akulturasi bidimensional untuk digunakan dalam penelitian ini.
Model Akulturasi Bidimensional yang paling banyak diteliti adalah
model akulturasi yang dikembangkan oleh Berry (Arends-Tóth & van de
Vijver, 2006). Berry (2007) menggunakan pandangan bidemensional untuk
membuat suatu konsep yang dinamakan Strategi Akulturasi, di mana konsep
ini didasarkan pada dua buah isu. Pertama, apakah individu mempertahankan
budaya asli yang sudah dimilikinya atau tidak, dan yang kedua adalah apakah
individu terbuka terhadap budaya lain atau tidak. Pertemuan isu-isu tersebut
menghasilkan empat macam strategi akulturasi. Ketika individu
mempertahankan budaya aslinya dan di saat yang sama juga terbuka terhadap
budaya lain, strategi tersebut dinamakan integrasi. Sebaliknya ketika individu
tidak mempertahankan budaya aslinya, dan di sisi lain juga tidak mau
menerima budaya baru di tempat tinggalnya, individu tersebut menggunakan
strategi marginalisasi. Strategi asimilasi digunakan saat indvidu tidak
mempertahankan budaya aslinya, dan lebih memilih untuk membuka dirinya
menggunakan strategi akulturasi separasi justru lebih memilih untuk
mempertahankan budaya asli yang dimiliki dan tidak membuka diri dengan
budaya baru yang ada di sekitarnya.
Dari pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa definisi dari strategi
akulturasi integrasi adalah cara mengahadapi perbedaan budaya yang ditandai
dengan orientasi untuk mempertahankan budaya asli dan membuka diri
terhadap budaya di lingkungan baru. Definisi inilah yang akan digunakan oleh
penliti dalam melakukan penelitian.
2. Aspek-aspek Strategi Akulturasi Integrasi
Strategi akulturasi integrasi terbentuk dari sikap individu yang memiliki
orientasi untuk mempertahankan budaya asli, dan terbuka terhadap budaya
lain. Pada bagian ini, bentuk nyata dari kedua hal tersebut akan dijabarkan
secara lebih detail.
a. Sikap Mempertahankan Budaya Asli
Berry (2007) menjelaskan perilaku individu untuk tetap
mempertahankan budaya yang sudah dimilikinya meskipun berada di
tempat yang baru. Bentuk dari perilaku mempertahankan budaya asli dapat
bermacam-macam. LaFromboise, Coleman, & Gerton (1993) menjelaskan
bahwa kemampuan ini ditandai dengan perasaan positif dari individu saat
harus menjalin relasi dengan orang dari budaya yang sama dengannya.
Selain itu, perilaku mempertahankan budaya asli ini dapat dilihat
Penggunaan bahasa ini menjadi hal ditekankan karena bahasa merupakan
identitas bagi suatu kelompok budaya. Ikeguchi juga mengungkapkan
bahwa mempertahankan budaya asli juga berarti mempertahankan
pertemanan dari daerah asalnya, dan juga tetap menjalin kontak dengan
keluarganya. Berkaitan dengan hal tersebut, individu juga akan memiliki
rasa tanggungjawab untuk melakukan sesuatu bagi orang-orang tersebut.
Individu yang mempertahankan budaya aslinya juga memiliki
pengetahuan tentang budaya aslinya dan juga memiliki perasaan aman saat
bersama dengan orang dari daerah asalnya.
b. Sikap Terbuka Terhadap Budaya Lain
Berbagai literatur menggambarkan sikap terhadap budaya lain
sebagai mau menjalin kontak dengan budaya lain. Ikeguchi (2008)
menjelaskan bahwa penyesuaian diri dengan lingkungan memerlukan
individu untuk dapat memahami nilai-nilai dan makna yang ada di dalam
lingkungan barunya. Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah dalam
percakapan dengan orang yang lebih tua, hendaknya individu berbicara
dengan menggunakan bahasa krama. Selain itu, terbuka terhadap
lingkungan baru berarti juga mengembangkan relasi sosial dan terlibat
dalam lingkungan tersebut. Ada pula unsur-unsur budaya yang
digambarkan Ikeguchi (2008) sebagai unsur implisit, seperti gaya
komunikasi, dan unsur eksplisit seperti makan, musik, dan lain
Penjabaran mengenai kedua aspek pembentuk strategi akulturasi integrasi
dapat meningkatkan pemahaman akan penggunaan strategi akulturasi
integrasi. Penjabaran mengenai kedua aspek tersebut masih bisa diperbanyak
dengan menyasar ke berbagai situasi kehidupan yang lain (Arends-Tóth & van
de Vijver, 2006).
3. Faktor-faktor
Penggunaan strategi akulturasi integrasi tidak serta-merta dapat
digunakan oleh individu. Dalam prosesnya, terdapat faktor-faktor yang
mendukung maupun menghambat pengambilan strategi akulturasi integrasi.
Bagian ini akan menjelaskan mengenai faktor-faktor tersebut.
a. Karakteristik Masyarakat di Tempat Baru
Berry dan Sam (2010) menyebutkan bahwa sikap individu juga
dibentuk dari kondisi dan tuntutan masyarakat sekitar. Di antara
masyarakat yang multikultural, integrasilah yang akan didukung.
Sedangkan ketika masyarakat berusaha mengembangkan lingkungan yang
harmonis dan sejenis, maka strategi akulturasi asimilasi akan lebih
mendapat dukungan. Bakker dkk., (2006) juga mengungkapkan hal yang
sama, yaitu bahwa masyarakat memiliki pengaruh yang besar terhadap
pemilihan strategi akulturasi dari individu. Sikap terbuka masyarakat
terhadap pendatang misalnya, memungkinkan terjadinya interaksi antara
pendatang dengan penduduk setempat. Kondisi seperti ini memungkinkan
keterbukaan dari masyarakat hanya memungkinkan individu untuk
mengambil strategi akulturasi separasi dan marginalisasi.
Di Yogyakarta sendiri terdapat stereotip dan prasangka terhadap
orang-orang dari Papua (Nugraha, 2015). Bentuknya bermacam-macam,
mulai dari menganggap orang Papua suka minum-minum, membuat
kerusuhan, suka melanggar aturan, dan lain sebagainya. Hal membuat
orang orang Papua di Yogyakarta mengalami berbagai diskriminasi
(Masyitoh, 2017). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Masyitoh (2017)
dijelaskan bahwa mahasiswa Papua mengalami berbagai penolakan saat
hendak mencari kos, saat hendak menyewa motor atau mobil, dan juga
dijauhi di masyarakat.
Dalam akulturasi, bukan tidak mungkin antara satu budaya dengan
budaya lain memiliki kesamaan dalam hal nilai, kepercayaan, atau yang
lainnya. Seberapa besar kesamaan budaya yang ditemui di tempat baru
juga menjadi faktor yang menentukan perilaku integrasi dari individu
(Arends-Tóth & van de Vijver, 2006; de Anda, 1984). Persamaan yang
terdapat pada kedua budaya memungkinkan individu untuk lebih cepat
memahami lingkungan. Dengan demikian, individu akan mampu lebih
cepat menyesuaikan diri dengan norma dan cara hidup di tempat yang
baru. Hal tersebut akan membantu individu dalam mengambil strategi
akulturasi integrasi. Mahasiswa yang berasal dari Jawa dan berkuliah di
Yogyakarta tidak akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri. Hal
sehari-hari mampu membantu mahasiswa dari Jawa untuk diterima di masyrakat
(Endrayanty, 2012).
Selain kesamaan norma dan nilai-nilai dalam suatu budaya,
persamaan atau perbedaan fisik juga menjadi faktor yang menentukan
dalam pengambilan strategi akulturasi integrasi. Di dalamnya termasuk
etnisitas yang dimiliki oleh individu. Datang ke tempat baru di mana
individu memiliki karakter fisik yang sama dengan orang-orang di
sekitarnya akan memudahkan individu tersebut untuk menyatu dengan
masyarakat (de Anda, 1984). Sebaliknya, perbedaan karakter fisik seperti
warna kulit dan perbedaan bentuk mata akan terlihat secara langsung.
Dengan perbedaan ini, orang di lingkungan baru dapat langsung
membedakan ‘outsiders’ dengan ‘insiders’. Hal ini membuat perbedaan
fisik menjadi dapat penghalang bagi individu dalam melakukan sosialisasi.
b. Karakteristik Personal
Selain faktor dari budaya di sekitar, faktor dari dalam diri individu
pun memiliki peranan (Arends-Tóth & van de Vijver, 2006). Salah satunya
ada kemampuan problem solving yang dimiliki oleh individu (de Anda,
1984). Kemampuan problem solving mengindikasikan kemampuan
kognitif individu untuk memahami lingkungan. Pemahaman ini dapat
membawa individu untuk merespon lingkungannya dengan cara yang
tepat. Cara merespon lingkungan yang dilakukan dengan tepat
lain, di mana hal tersebut penting dalam pengambilan strategi akulturasi
integrasi.
Karakteristik individu lainnya yang dapat menjadi faktor penentu
adalah kemampuan individu untuk menggunakan bahasa baru (de Anda,
1984). Seperti yang sudah diungkapkan sebelumya bahwa kemampuan
berbahasa ini dapat membuka jalan bagi individu untuk menjalin relasi
dengan orang dari budaya baru (Williams, 2005). Adanya keterbukaan
terhadap budaya lain dalam diri individu dapat menjadi jalan bagi individu
untuk menggunakan strategi akulturasi integrasi.
Meskipun terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pengambilan
strategi akulturasi integrasi pada individu, peneliti memiliki keterbatasan
untuk dapat melibatkan seluruh faktor tersebut ke dalam penelitian. Faktor
kesamaan budaya antara budaya asli individu dengan budaya di tempat baru
misalnya, tidak dapat peneliti libatkan secara mendalam dalam penelitian ini.
4. Proses dan Dampak
Aspek aspek dan faktor memberi dampak pada individu, berikut
penjelasannya. Pembahasan sebelumnya menjelaskan bahwa strategi
akulturasi integrasi merupakan perilaku individu untuk mempertahankan
budaya asli sekaligus membuka diri terhadap budaya baru dalam menghadapi
akulturasi. Penggunaan strategi akulturasi integrasi sendiri berhubungan
dengan adaptasi individu di tempat barunya (Lian & Tsang, 2010). Berkaitan
juga dengan rendahnya stres pada individu yang disebabkan oleh perbedaan
budaya di lingkungan baru (Sullivan & Kashubeck-West, 2015). Hal ini
terjadi karena pengambilan strategi akulturasi integrasi memungkinkan
individu untuk mendapat dukungan sosial baik dari budaya asalnya, maupun
orang-orang budaya baru. Selain berhubungan dengan adaptasi dan rendahnya
tingkat stres, penggunaan strategi akulturasi integrasi juga berhubungan
dengan kepuasan hidup yang lebih baik dibanding dengan individu yang
menggunakan strategi lainnya (Ryabichenko & Lebedeva, 2016). Banyaknya
manfaat yang didapat dari pengambilan strategi akulturasi integrasi, tidak
heran apabila berbagai penelitian menganggap strategi ini sebagai strategi
yang paling adaptif untuk digunakan dalam menghadapi akulturasi (Berry,
1997).
Sebaliknya, individu yang tidak mengambil strategi akulturasi integrasi
memiliki sikap untuk tidak mempertahankan budaya asli yang dimiliki dan di
sisi lain juga cenderung tidak membuat kontak dengan budaya di sekitarnya
(Berry, 2007). Dampak dari sikap seperti ini membuat individu rentan
terhadap perlakuan diskriminasi dari lingkungan barunya (Berry & Hou,
2017). Hal ini juga berkaitan dengan rendahnya adaptasi individu di
lingkungan sosial dan rendahnya kepuasan hidup individu di tempat barunya
(Lian & Tsang, 2010; Ryabichenko & Lebedeva, 2016).
Penggunaan strategi akulturasi juga bisa ditingkatkan. Meningkatkan
perilaku integrasi tentu berarti meningkatkan orientasi individu terhadap
barunya. Bryam dalam Yu & Wang (2011) mengungkapkan bahwa kunci
untuk dapat menjalin relasi dengan budaya baru adalah melalui pemahaman
akan bahasa daerah setempat. Dampak yang dibawa dari meningkatnya relasi
individu dengan lingkungannya antara lain menghindari terjadinya
diskriminasi, dan juga kesepian, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
individu (Berry & Hou, 2017).
Untuk melakukan kontak dengan budaya lain, individu juga memerlukan
situasi yang nyaman bagi dirinya. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya
bahwa pertemuan individu dengan budaya lain dapat memunculkan akulturatif
stres yang dapat membuat individu mengalamai kecemasan, bahkan depresi
(Berry, 2007; Church, 1982; Hamamura & Laird, 2014). Adanya akulturatif
stres dapat menghambat individu untuk terlibat dengan lingkungan barunya.
Untuk mengatasi hal ini, individu memerlukan strategi coping, di mana
strategi coping adalah cara yang diambil oleh individu untuk mengurangi stres
(Lazarus & Folkman, 1984). Schmitz (dalam Kosic, 2004) mengungkapkan
bahwa penggunaan strategi coping yang lebih berfokus pada masalah daripada
emosi memiliki hubungan yang kuat dengan penggunaan strategi akulturasi
integrasi. Dengan demikian, melatih individu untuk secara aktif menggunakan
strategi coping yang berfokus terhadap permasalahan dapat mendorong
D. Strategi Akulturasi Integrasi pada Mahasiswa Perantau
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, mahasiswa pergi merantau dengan
tujuan untuk menuntut ilmu. Akan tetapi, mahasiswa perantau juga menghadapi
tantangan di perantauan seperti akulturatif stres (Risaharti & Wang, 2018). Hal ini
disebabkan karena perbedaan budaya yang dihadapi oleh mahasiswa perantau
antara budaya aslinya dengan budaya di tempat baru. Ketidakmampuan untuk
menghadapi akulturatif stres ini juga dapat meningkatkan kemungkinan individu
untuk mengalami diskriminasi yang diakibatkan oleh terpisahnya individu dari
lingkungan sekitar (Ramos et al., 2016) dan berujung pada rendahnya kepuasan
hidup mahasiswa di perantauan (Ryabichenko & Lebedeva, 2016).
Rendahnya penggunaan strategi akulturasi integrasi dapat membuat
mahasiswa perantau mengalami berbagai kesulitan. Segala kesulitan ini dapat
membuat mahasiswa tidak lagi fokus dengan tujuan awal merantau, yaitu untuk
menuntut ilmu. Penelitian yang dilakukan oleh Rania, Siri, Bagnasco, Aleo, &
Sasso (2014) sendiri menekankan pentingnya bagi mahasiswa perantau
membangun relasi yang baik dengan lingkunga. Hal ini dapat mendukung
performa akademik dari mahasiswa perantau. Rania et al., (2014) juga
menambahkan bahwa performa akademik mahasiswa perantau juga dipengurhi
oleh kepuasan hidupnya selama di perantauan.
Kontak dengan orang orang dan budaya yang berbeda dengan budaya asli
yang dimiliki oleh mahasiswa perantau adalah suatu hal yang tidak dapat
dihindari (Imamura & Zhang, 2014). Akan tetapi mahasiswa perlu melakukan
terbuka terhadap budaya lain dan tetap menjalin kontak dengan budaya asli seperti
dalam pengambilan strategi akulturasi integrasi berhubungan dengan kepuasan
hidup mahasiwa perantau (Ryabichenko & Lebedeva, 2016), dan rendahnya
akulturatif stres yang dialami di lingkungan baru (Kosic, 2004). Melalui
pembahasan di atas dapat dipahami pentingnya strategi akulturasi integrasi dalam
kehidupan mahasiswa perantau.
E. Kematangan Psikososial
Setelah membahas mengenai penggunaan strategi akulturasi integrasi,
bagian ini akan membahas mengenai kematangan psikososial. Penjelasan akan
dimulai definisi kematangan psikososial, dilanjutkan dengan tahap-tahap
perkembangan psikososial dari Erikson, dan terakhir adalah proses dan dampak.
1. Definisi Kematangan Psikososial
Pendekatan psikososial melihat perkembangan sebagai hasil dari proses
biologis, psikologis, dan sosial yang saling mempengaruhi dalam diri individu
(Newman & Newman, 2012). Newman dan Newman (2012) menganalogikan
perkembangan ego ini dengan teori evolusi, di mana teori ini memandang
adaptasi sebagai hasil dari interaksi organisme dengan lingkungan fisiknya.
Dengan kata lain, pendekatan ini memandang bahwa ego individu tidak
berkembang dengan sendirinya, melainkan menyesuaikan juga dengan
kebutuhan lingkungan sosial dan juga kemampuan fisik dari individu itu
Greenberger dan Sorensen (1974) juga menjelaskan konsep psikososial
sebagai kesatuan proses antara faktor biologis, psikologis, dan sosiologis dari
individu. Lagi-lagi individu perlu menyesuaikan diri dengan tuntutan dari
lingkungan sosial yang ada. Adapun untuk dapat memenuhi tuntutan sosial di
sekitarnya, individu harus mampu memiliki 3 buah kemampuan. Pertama,
kemampuan untuk menjadi diri yang berfungsi sepenuhnya. Kemampuan ini
meliputi kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, dan
bertanggungjawab atas keberlangsungan hidupnya sendiri. Kemampuan yang
kedua adalah kemampuan untuk menjalin interaksi dengan orang lain. Dalam
hidup, manusia tidak pernah lepas dari orang lain. Individu perlu bekerjasama
dan melakukan kontak sosial untuk bertahan hidup. Dengan adanya
kemampuan untuk menjalin relasi sosial, individu akan dapat diterima dan
dipercaya dalam masyarakat (Greenberger & Sorensen, 1974). Yang terakhir
adalah kemampuan untuk memberi kontribusi bagi kesatuan masyarakat.
Kemampuan ini perlu dikembangkan karena dipandang dapat
mempertahankan keberlangsungan dari masyarakat dan individu itu sendiri.
Setelah mendapat gambaran mengenai konsep psikososial, selanjutnya akan
dibahas mengenai apa itu kematangan.
Greenberger dan Sorensen (1974) melalui tulisannya yang berjudul
Toward a Concept of Psychosocial Maturity membagi konsep kematangan
menjadi dua hal, yaitu statis dan dinamis. Konsep kematangan statis
menggambarkan kematangan dengan deskripsi akan hasil yang seharusnya
dinamis menjelaskan kematangan melalui langkah-langkah yang harus dilalui
untuk mencapai produk akhir. Dari penjebaran tersebut, kematangan berbica
mengenai tahapan tercapainya produk akhir atau perkembangan yang
seutuhnya dari suatu tahap perkembangan.
Salah satu ahli yang menggunakan pendekatan Psikososial adalah Erik
Erikson (Newman & Newman, 2012). Melalui teori perkembangan
psikososialnya, Erikosn membagi tahap perkembangan manusia menjadi
delapan tahapan di mana setiap tahapan perkembangan menjadi dasar bagi
perkembangan di tahap selanjutnya. Feist & Feist (2008) menganalogikan
perkembangan ini seperti seorang anak yang belajar jalan. Proses belajar jalan
diawali dari anak yang hanya bisa merangkak, setelah bisa merangkak,
barulah anak tersebut mampu berdiri, berjalan, kemudian baru berlari dan
melompat. Ketika anak sudah memiliki kemampuan untuk melompat,
kemampuan untuk merangkak, berjalan, dan berlarinya tidak hilang. Dengan
kata lain, kemampuan tersebut dibangun di atas kemampuan lainnya.
Menurut Erikson, individu akan menjumpai krisis di setiap tahapan
perkembangan. Dalam penyelesaian krisis tersebut, individu akan mengalami
konflik antara unsur sistonik dan distonik. Unsur sistonik menrupakan
unsur-unsur positif, seperti trust, autonomy, industry, dan identity. Sebaliknya, unsur
distonik merupakan unsur negatif seperti mistrust, guilty, dan shame. Konflik
tersebut akan menghasilkan basic strength yang akan menjadi modal bagi ego
untuk melangkah ke tahap perkembangan selanjutnya. Ketika basic strength
patologi dari basic strength. Olczak & Goldman (1975) mendifiniskan
kematangan psikososial sebagai seberapa sukses individu menyelesaikan
krisis di setiap tahap perkembangan psikososial.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa definisi dari
kematangan psikososial adalah seberapa sukses individu menyelesaikan krisis
dari tahap perkembangan yang merupakan kesatuan dari proses biologi,
psikologi, dan sosiologi individu. Definisi kematangan psikososial dan
tahapan perkembangan psikososial Erikson inilah yang akan dijadikan
landasan teori untuk melihat kematangan psikososial dalam penelitian ini.
2. Tahap-tahap Perkembangan Psikososial
Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa setiap tahapan
perkembangan psikososial, individu akan mengahdapi krisis. Untuk
memahami krisis yang dihadapi oleh individu dalam proses mencapai
kematangan psikososial, krisis dari setiap tahapan akan dijabarkan di bagian
ini.
a. Masa bayi
Pada masa bayi, individu akan mengalami konflik antara basic trust
vs basic mistrust. Perkembangan dua hal ini akan dipengaruhi oleh
pemenuhan kebutuhan bayi dari lingkungannya, di mana ibu merupakan
figur yang penting dalam pemenuhan kebutuhan ini (Alwisol, 2009). Saat
lingkungan dapat memenuhi kebutuhan si bayi, seperti makanan, dan
yang mampu mengembangkan basic trust dalam dirinya akan memiliki
rasa percaya terhadap orang lain, serta memandang dunia, orang lain, dan
dirinya sendiri secara positif (Santrock, 2014). Pada masa dewasa,
individu yang mengembangkan trust memiliki tingkat konflik yang lebih
rendah saat menjalin pertemanan (Jones, Vaterlaus, Jackson, & Morrill,
2004).
b. Kanak-kanak awal
Pada masa kanak-kanak, di mana individu sudah mengenal hak,
kewajiban, dan batasan-batasan, individu akan mengalami konflik
autonomy vs shame and doubt (Alwisol, 2009). Keberhasilan dalam
mengontrol diri, menyelesaikan kewajiban, dan menyesuaikan diri
terhadap batasan akan memunculkan sisi sistonik dalam diri individu,
yaitu otonomi (Feist & Feist, 2008). Otonomi yang dimiliki individu akan
membuat individu mampu mengandalkan diri sendiri dalam bertindak dan
menentukan pilihan, serta melakukan pengambilan resiko. Sedangkan sisi
distonik pada tahap ini adalah rasa malu dan ragu-ragu, yang ditandai
dengan perasaan diamati, tidak yakin, dan lain sebagainya.
c. Usia bermain
Tahapan berikutnya adalah pada usia bermain, yaitu usia tiga sampai
enam tahun (Alwisol, 2009). Kemampuan individu untuk semakin lincah
bergerak memungkinkan anak untuk semakin memahami lingkungannya.
Hal ini akan menumbuhkan konflik antara inisiatif dengan rasa bersalah.