• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini melakukan analisa pengaruh resiliensi terhadap subjective well-being pada ibu rumah tangga selama masa pandemi COVID-19. Adapun tujuan penelitian ini ialah untuk menguji hipotesis yaitu terdapat pengaruh positif antara variabel resiliensi terhadap subjective well-being pada ibu rumah tangga selama masa pandemi COVID-19.

46

Berdasarkan evaluasi psikometris mengenai konstruk subjective well-being yang dilakukan oleh Akhtar (2019) menemukan bahwa subjective well-being lebih tepat jika dimodelkan dengan tiga dimensi independen, namun saling berhubungan. Ketiga dimensi ini harus dianalisis sendiri dan kurang tepat jika skor setiap aitem dijumlahkan. Maka dari itu, peneliti mengkorelasikan variabel resiliensi dengan komponen-komponen dari variabel subjective well-being, dan kemudian akan disimpulkan dari korelasi tersebut.

Jika dilihat dari hasil analisa, resiliensi berpengaruh positif sebesar 61,7%

terhadap komponen kognitif, 68,5% terhadap afek positif, dan 18,4% terhadap afek negatif subjective well-being, sedangkan sisanya terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap subjective well-being, yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Compton dan Hoffman (2013) yang mengungkapkan kontrol diri, dalam hal ini adalah kemampuan resiliensi sebagai faktor yang dapat mempengaruhi subjective well-being. Adapun faktor lain yang mempengaruhi subjective well-being menurut Compton dan Hoffman (2013), yaitu self-esteem, optimis, makna dan tujuan hidup, hubungan positif dengan orang lain, kepribadian, uang, jenis kelamin, dan usia. Menurut penelitian Pradana (2021) perbandingan sosial, harga diri dan rasa syukur berpengaruh positif dengan memberikan kontribusi sebesar 44.8% kepada subjective well-being. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Putri (2016) menyatakan bahwa kecerdasan emosi berpengaruh sebesar 44% dan dukungan sosial memberikan pengaruh sebesar 50% terhadap subjective well-being.

Persamaan garis regresi dalam penelitian ini adalah Y = 4,555 + 0,260 X untuk resilensi dengan komponen kognitif, Y = 8,478 + 0,196 X untuk resiliensi

47

dengan afek positif. Persamaan tersebut menyatakan bahwa setiap penambahan satu skor variabel resiliensi, maka nilai variabel subjective well-being juga akan bertambah. Sedangkan, untuk resiliensi dengan afek negatif subjective well-being persamaan garis regresinya adalah Y = 26,004 - 0,118 X. Persamaan tersebut menyatakan bahwa setiap penambahan satu satuan variabel resiliensi, maka nilai komponen afek negatif subjective well-being akan menurun sebesar 0,118. Ini menunjukkan bahwa semakin baik kemampuan resiliensi ibu rumah tangga, maka akan semakin baik subjective well-beingnya. Hal ini didukung oleh teori Diener (2000) yang mendefinisikan subjective well-being sebagai evaluasi individu tentang kehidupannya yang meliputi kepuasan hidup, mengalami banyak afek positif, dan tingkat afek negatif yang rendah.

Untuk mengetahui pengaruh resiliensi terhadap subjective well-being dapat dilihat melalui perbandingan mean hipotetik dan mean empirik. Mean hipotetik adalah mean yang digunakan untuk melihat posisi relatif kelompok berdasarkan alat ukur, sedangkan mean empirik adalah mean yang digunakan untuk melihat posisi relatif individu terhadap kelompok. Jika ditinjau dari perbandingan mean hipotetik dengan mean empirik resiliensi, maka diperoleh mean empirik lebih besar daripada mean hipotetik (64,9 > 50), yang berarti bahwa subjek memiliki kemampuan resiliensi berada pada level yang cenderung tinggi atau dapat dikatakan baik. Hasil yang didapat dari mean hipotetik juga menunjukkan bahwa sebanyak 50% ibu rumah tangga memiliki kemampuan resiliensi yang tinggi, 46%

memiliki kemampuan resiliensi pada kategori sedang dan 4% memiliki kemampuan resiliensi yang rendah. Berdasarkan data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan resiliensi ibu rumah tangga dalam penelitian ini

48

dominan dipersepsikan tinggi dengan skor terbanyak pada kategori tinggi dengan persentase 50%.

Perbandingan antara mean hipotetik dengan mean empirik dari komponen kognitif subjective well-being juga memperoleh mean empirik lebih besar dari mean hipotetik (21,44 > 20) yang berarti bahwa subjek memiliki kepuasan hidup yang berada pada level yang cenderung tinggi. Hasil yang didapat dari mean hipotetik juga menunjukkan bahwa sebanyak 30% ibu rumah tangga mengalami kepuasan hidup yang tinggi, 59% mengalami kepuasan hidup pada kategori sedang dan 11% mengalami kepuasan hidup yang rendah. Berdasarkan data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ibu rumah tangga dalam penelitian ini dominan dipersepsikan cukup merasakan kepuasan hidup dengan skor terbanyak pada kategori sedang dengan persentase 59%.

Pada komponen afek positif subjective well-being, perbandingan antara mean hipotetik dengan mean empirik menghasilkan mean empirik yang lebih besar dari mean hipotetik (21,18 > 18) yang berarti bahwa subjek memiliki afek positif yang berada pada level yang cenderung tinggi. Hasil yang didapat dari mean hipotetik juga menunjukkan bahwa sebanyak 51% ibu rumah tangga mengalami afek positif yang tinggi, 43% mengalami afek positif pada kategori sedang dan 6% mengalami afek positif yang rendah. Berdasarkan data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ibu rumah tangga dalam penelitian ini dominan dipersepsikan banyak mengalami afek positif dengan skor terbanyak pada kategori tinggi dengan persentase 51%.

Pada komponen afek negatif subjective well-being, perbandingan antara mean hipotetik dengan mean empirik menghasilkan mean empirik yang lebih

49

besar dari mean hipotetik (18,36 > 18) yang berarti bahwa subjek memiliki afek negatif yang berada pada level yang tidak terlalu tinggi. Hasil yang didapat dari mean hipotetik juga menunjukkan bahwa sebanyak 23% ibu rumah tangga mengalami afek negatif yang tinggi, 63% mengalami afek negatif pada kategori sedang dan 14% mengalami afek negatif yang rendah. Berdasarkan data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ibu rumah tangga dalam penelitian ini dominan dipersepsikan tidak banyak mengalami afek negatif dengan skor terbanyak pada kategori sedang dengan persentase 63%.

Berdasarkan kategorisasi, didapatkan juga kaitan antara usia subjek dengan variabel subjective well-being. Pada komponen kognitif variabel subjective well-being ditemukan bahwa, 32% subjek dari usia dewasa awal memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan 21% subjek dari usia dewasa madya. Pada afek positif variabel subjective well-being ditemukan bahwa, 52% subjek dari usia dewasa madya lebih sering mengalami afek positif dibandingkan dengan 50% subjek dari usia dewasa awal. Pada afek negatif variabel subjective well-being ditemukan bahwa, 31% subjek dari usia dewasa awal lebih sering mengalami afek negatif dibandingkan dengan 21% subjek dari usia dewasa madya. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Compton dan Hoffman (2013) yang mengatakan bahwa anak muda dikatakan lebih sering mengalami emosi negatif daripada orang tua dan frekuensi emosi negatif menurun seiring bertambahnya usia.

Masa pandemi COVID-19 tidak menjadi masalah bagi ibu rumah tangga yang mampu mengembangkan potensi dirinya, yaitu kemampuan resiliensinya.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan subjective

well-50

being dapat ditingkatkan dengan mengembangkan kemampuan resiliensi. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Paredes, dkk. (2020) yang menemukan bahwa individu dengan tingkat resilien yang lebih tinggi dikatakan memiliki tingkat kecemasan yang rendah dan pada gilirannya berdampak pada kesejahteraan mental subjektif, dan mengalami keberhasilan yang lebih besar dalam mengatasi tekanan emosional yang dipicu oleh pandemi.

Hasil penelitian ini juga didukung oleh Satici, dkk. (2020) menemukan bahwa resiliensi dikaitkan dengan penurunan rasa takut akan COVID-19 dan peningkatan kebahagiaan subjektif individu. Resiliensi membantu melindungi kebahagiaan subjektif dalam mencegah individu mengembangkan ketakutan terhadap COVID-19. Individu yang memiliki kekuatan untuk mengatasi situasi kehidupan yang penuh tekanan dan memiliki harapan lebih mampu mengatasi peristiwa kehidupan yang menantang.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa resiliensi berpengaruh positif terhadap subjective well-being ibu rumah tangga selama masa pandemi COVID-19.

Dokumen terkait