• Tidak ada hasil yang ditemukan

INPUT LINGKUNGAN

7 PEMBAHASAN UMUM

Karakteristik perikanan pantai di Indonesia, sama halnya juga di banyak negara berkembang lainnya di Asia Tenggara adalah kecenderungan pemanfaatan yang terus menerus yang mengarah pada semakin sedikit kondisi sumberdaya ikan dan sumberdaya manusia yang umumnya berpenghasilan rendah karena hasil tangkapan yang relatif kecil. Peningkatan tekanan penangkapan di wilayah pantai menyebabkan populasi ikan yang berukuran besar semakin menipis sehingga penangkapan menghasilkan ikan-ikan yang semakin kecil ukurannya dan muda usianya.di tempat-tempat yang perikanannya tidak diatur secara tegas, kepemilikan dan kewenangan yang tidak jelas menyebabkan masyarakat nelayan pantai tidak dapat berbuat banyak untuk melindungi sumberdaya ikan yang menjadi sumber mata pencahariannya. Untuk melindungi potensi dan habitat sumberdaya ikan agar kelestarian sumberdaya ikan tetap lestari, maka perlu dilakukan suatu pengelolaan agar pemanfaatan sumberdaya ikan bisa mencapai titik optimum. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kontrol terhadap produksi dan upaya penangkapan.

Kabupaten Donggala yang memiliki potensi ikan layang sampai kondisi aktual belum termanfaatkan sampai batas optimal, namun walaupun demikian dengan diketahuinya estimasi potensi dan upaya optimal ikan layang diharapkan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan layang jangan sampai melewati batas optimal yang telah dihitung pada Bab 3.

Menurut Sparre and Venema (1999), tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum (biasa disebut effort MSY), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield/MSY). Model surplus produksi dapat diterapkan bila diketahui dengan

52

baiktentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan/atau hasil tangkapan perunit upaya (catch per unit effort/CPUE) per spesies dan/atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup. Gulland (1988) dalam Kurniawati (2005) menguraikan bahwa maximum sustainable yield (MSY) adalah hasil tangkapan terbanyak berimbang yang dapat dipertahankan sepanjang masa pada suatu intensitas penangkapan tertentu yang mengakibatkan biomassa sediaan ikan pada akhir suatu periode tertentu sama dengan sediaan biomassa pada permulaan periode tertentu tersebut. Maximum sustainable yield mencakup 3 hal penting yaitu:

1. Memaksimalkan kuantitas beberapa komponen perikanan

2. Memastikan bahwa kuantitas-kuantitas tersebut dapat dipertahankan dari waktu kewaktu.

3. Besarnya hasil penangkapan adalah alat ukur yang layak untuk menunjukkan keadaan perikanan.

Model surplus produksi yang digunakan untuk menentukan MSY dan upaya penangkapan optimum ini menyangkut hubungan antara kelimpahan dan sediaan ikan sebagai massa yang uniform dan tidak berhubungan dengan komposisi dari sediaan seperti proporsi ikan tua atau besar. Kelebihan model surplus produksi ini adalah tidak banyak memerlukan data, yaitu hanya data hasil tangkapan dan upaya penangkapan atau hasil tangkapan per satuan upaya (Kurniawati 2005). Menurut Sparre dan Venema (1999), terdapat beberapa persyaratan untuk analisis model surplus produksi,antara lain:

1. Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap relatif

2. Distribusi ikan menyebar merata

3. Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap yang seragam.

Model surplus produksi memiliki beberapa asumsi. Adapun asumsi-asumsi tersebut menurut Sparre dan Venema (1999) yaitu:

1. Asumsi dalam keadaan ekuilibrium

Pada keadaan ekuilibrium, produksi biomassa per satuan waktu adalah sama dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu) ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam.

2. Asumsi biologi

Menurut Ricker (1975) dalam Kurniawati (2005), alasan biologi yang mendukung model surplus produksi yaitu:

a. Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi berkurang dan sering terjadi jumlah rekrutmen lebih sedikit daripada densitas yang lebih kecil. Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan meningkatkan rekrutmen.

b. Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan menjadi daging oleh stok yang besar dari pada oleh stok yang lebih kecil. Setiap ikan pada suatu stok yang besar masing-masing memperoleh makanan lebih sedikit; dengan demikian dalam fraksi yang lebih besar makanan hanya digunakan untuk mempertahankan hidup, dan dalam fraksi yang lebih kecil digunakan untuk pertumbuhan.

53 c. Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan terdapat kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan stok yang telah dieksploitasi.

3. Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap

Pada model surplus produksi diasumsikan bahwa mortalitas penangkapan proporsional terhadap upaya. Namun demikian upaya ini tidak selamanya benar, sehingga kita harus memilih dengan benar upaya penangkapan yang benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan.

Menurut Fauzi (2004), secara biologis, pertumbuhan populasi ikan pada periode tertentu di suatu daerah perbatasan merupakan fungsi dari jumlah awal populasi tersebut. Hal ini berarti bahwa populasi pada awal periode menentukan perubahan stok ikan pada periode waktu tertentu. Analisis ini didasarkan pada konsep produksi biologi kuadratik yang dikembangkan oleh Verhulst pada tahun 1883 dan kemudian diterapkan untuk perikanan oleh seorang ahli biologi perikanan yaitu Schaefer pada tahun 1957. Penerapan konsep produksi kuadrati kuntuk perikanan tersebut menggambarkan antara produksi dengan effort yang dikenal dengan Model Pertumbuhan Schaefer atau disebut juga kurva produksi lestari (kurva Maximum Sustainable Yield/MSY).

Pada kurva MSY, sumbu X menunjukkan effort dari kegiatan perikanan dan sumbu Y menunjukkan produksi dari kegiatan perikanan. Kurva MSYmenunjukkan bahwa pada kondisi tidak ada aktivitas penangkapan atau tidak ada effort, maka produksi ikan akan sama dengan nol. Tetapi, apabila effort ditingkatkan sampai pada batas effort optimal (EMSY) maka akan diperoleh produksi lestari atau lebih dikenal dengan MSY. Perlu diingat bahwa kurva MSY berbentuk kuadratik, sehingga peningkatan effort yang dilakukan secara terus menerus setelah melampaui batas MSY tidak akan diikuti dengan peningkatan produksi lestari. Dengan kata lain, produksi lestari akan mengalami penurunan kembali pada saat effort telah melewati batas effort optimal (Suyasa 2007).

Perikanan merupakan salah satu sumberdaya alam yang bersifat dapat diperbaharui (renewable) namun perlu adanya pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut. Jika tidak, maka sumberdaya perikanan dipastikan akan berkurang atau bahkan, pada spesies ikan tertentu, akan habis (Indra 2007). Hal ini disebabkan karena adanya kelebihan tangkap (over fishing) pada suatu daerah penangkapan ikan. Over fishing merupakan jumlah ikan yang tertangkap melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan dalam daerah tertentu (Fauzi 2005).

Fauzi (2005) menjelaskan bahwa over fishing dapat dikategorikan menjadi beberapa tipe, yaitu:

1. Recruitment over fishing adalah situasi dimana populasi ikan dewasa ditangkap sedemikian rupa sehingga tidak mampu lagi untuk melakukanreproduksi untuk memperbaharui spesiesnya lagi.

2. Growth over fishing terjadi mana kala stok yang ditangkap rata-rata ukurannya lebih kecil dari pada ukuran yang seharusnya untuk berproduksi pada tingkat yield per recruit yang maksimum.

54

3. Economic over fishing terjadi jika rasio biaya/harga terlalu besar atau jumlah input yang dibutuhkan lebih besar daripada jumlah input yang diperlukan untuk berproduksi pada tingkat rente ekonomi yang maksimum.

4. Malthusian over fishing terjadi ketika nelayan skala kecil yang umumnya miskin dan tidak memiliki alternatif pekerjaan memasuki industri perikanan namun menghadapi hasil tangkapan yang menurun. Widodo dan Suadi (2006) menambahkan bahwa terdapat kategori dari overfishing yang lainnya yaitu biological over fishing dan ecosystem over fishing. Berikut merupakan penjelasan mengenai dua kategori over fishing tersebut:

5. Biological over fishing merupakan kombinasi dari growth over fishing danrecruitment over fishing yang terjadi manakala tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu melampui tingkat upaya yang diperlukan untukmenghasilkan MSY. Adapun pencegahan terhadap biological over fishingmeliputi pengaturan upaya penangkapan dan pola penangkapan.

6. Ecosystem over fishing terjadi sebagai hasil dari suatu perubahan komposisijenis dari suatu stok sebagai akibat dari upaya penangkapan yang berlebihan,dimana spesies target menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh jenis pengganti.

Nijikuluw (2002) dalam Hiariey (2009) menjelaskan beberapa indikator suatu wilayah perairan yang telah mengalami over fishing. Adapun indikator tersebut antara lain:

1. Menurunnya produksi dan produktivitas penangkapan secara nyata; 2. Ukuran ikan yang menjadi target penangkapan semakin kecil; 3. Hilangnya spesies ikan yang menjadi target penangkapan ikan;

4. Munculnya spesies yang bukan target penangkapan dalam jumlah banyak. Selanjutnya, Nijikuluw (2002) dalam Hiariey (2009) menambahkan bahwa gejala over fishing telah terjadi di beberapa wilayah perairan Indonesia berdasarkan aspek potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya. Persepsi yang keliru mengenai sumberdaya ikan sebagai sumberdaya yang dapat pulih dan tidak adanya kepastian hak serta akses terhadap sumberdaya ikan merupakan penyebab terjadinya over fishing (Fauzi 2005). Over fishing memberikan dampak terhadap pergeseran armada untuk mencari daerah penangkapan baru yang lebih produktif dan mungkin terjadi secara nasional maupun antar negara secara legal maupun illegal. Pergeseran armada secara illiegal menimbulkan illegal fishing dan memberikan kerugian yang besar bagi stakeholder, khususnya masyarakat nelayan di daerah tersebut (Hiariey 2009).

Pemanfaatan optimal sumberdaya perikanan harus memperhatikan beberapa aspek kajian, yaitu aspek biologi, teknis, sosial ekonomi dan lingkungan. Oleh karena itu, pada Bab 4 dibahas tentang hal ini yang mana yang dikaji adalah memilih alat tangkap yang unggul dari yang ada untuk memanfaatkan sumberdaya ikan layang yaitu payang, purse seine, gillnet dan pancing. Dari hasil skoringnya ternyata alat tangkap gillnet yang unggul untuk dipertahankan dan perlu dikembangkan karena alat tangkap ini bersifat ramah lingkungan. Hal ini sesuai pendapat Supardi (2007), yang menyatakan bahwa gillnet termasuk alat penangkap ikan yang pasif, selektif dan juga ramah lingkungan. Pengoperasian gillnet konvensional relatif sederhana, sebagian besar pelaksanaan operasi menggunakan tenaga manusia. Sedangkan purse seine memiliki tingkat kepedulian keramahan lingkungan paling rendah ini sesuai pendapat Masyahoro

55 (2001) menyatakan bahwa faktor lama operasi/rip dan ukuran panjang jaring purse seine akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap besarnya hasil tangkapan dalam operasi penangkapan ikan layang sehingga apabila digunakan purse seine secara terus menerus dapat menimbulkan over fishing dan tidak ramah lingkungan dikarenakan akibat penangkapan yang berlebihan. Untuk payang perlu dikurangi atau dialihkan penggunaannya karena alat tangkap payang ini telah dilarang penggunaannya berdasarkan PERMEN KP No.2/2015.

Purbayanto et al (2010) mengatakan bahwa penggunaan setiap jenis teknologi penangkapan ikan mulai dari yang sederhana hingga modern sedikit atau banyak memberikan dampak negatif terhadap sumberdaya ikan dan lingkungan perairan. Besarnya dampak yang ditimbulkan secara umum sangat tergantung dari 4 faktor utama meliputi : 1) daya tangkap (fishing power), (2) intensitas penangkapan, 3) bahan atau material dari komponen dari alat tangkap, dan 4) lokasi pengoperasian alat tangkap.

Keberlanjutan sumberdaya ikan layang di perairan Kabupaten Donggala maka yang dapat dilakukan adalah kebijakan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. Hasil analisis dengan menggunakan metode skoring ditetapkan alat tangkap gillnet sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan dan layak digunakan untuk menangkap ikan layang.

Sosialisasi penggunaan gillnet ini tidak terlalu sulit untuk dilakukan, karena umumnya sudah dioperasikan oleh nelayan dan yang masih menggunakan alat tangkap payang diberikan pilihan alat tangkap yang mau digunakan apakah mereka memilih gillnet atau pancing atau memodifikasi alat tangkap payang yang mereka miliki menjadi alat tangkap yang ramah lingkungan seperti ukuran mata jaringnya diperbesar namun teknik pengoperasiannya tidak boleh menarik alat karena sudah dilarang penggunaan alat tangkap dengan cara menarik/menyapu. Penghapusan alat tangkap payang juga dapat dilakukan dengan tidak memeperpanjang perizinan buat yang izin usahanya sudah habis.

Selanjutnya dibahas lebih lanjut jumlah alokasi optimum untuk alat tangkap ikan layang, yang mana menghasilkan jumlah purse seine yang diharapkan 57 unit, gillnet 417 unit dan pancing 391 unit. Pengurangan dan penambahan alat tangkap, di perairan Kabupaten Donggala berpengaruh terhadap potensi sumberdaya ikan, jumlah tenaga kerja, sedangkan implikasi akibat pengurangan jumlah alat tangkap dilakukan mengingat jenis alat-alat tangkap ini dalam pengoperasiannya tidak mengikuti aturan-aturan sesuai dengan kriteria penangkapan ikan berkelanjutan yang telah ditetapkan. Dalam perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan, pengurangan terhadap jumlah alat tangkap adalah sangat efektif dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan di perairan Kabupaten Donggala. Solusi yang diperlukan untuk mengurangi tekanan sumberdaya adalah dengan perbaikan teknologi dari masing- masing alat tangkap sehingga keberadaan stok sumberdaya yang ada dapat berkelanjutan dengan mengikuti aturan yang berlaku.

Perbaikan teknologi perlu dilakukan pada keberlanjutan usaha yang dilakukan seperti: 1) menangkap ikan dengan ukuran jaring yang sesuai, 2) tidak merusak ekosistim perairan, 3) tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi, 4) penggunaan teknologi penangkapan sesuai jenis ikan yang ditangkap, 5) serta dapat diterima secara sosial.

56

Hasil analisis goal programming tidak merekomendasikan pukat cincin untuk dikembangkan atau ditambah jumlahnya, berdasarkan solusi optimal basis, sehingga dipertahankan saja jumlahnya yaitu 57 unit. Hal ini dilakukan karena alat tangkap ini sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan sumberdaya perikanan dan pada kondisi ini perlu perhatian serius dari stakeholder sehingga potensi sumberdaya tersebut dapat dikelola secara optimal.

Alat tangkap gillnet hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi penambahan jumlah alat tangkap di perairan Kabupaten Donggala sebesar 380 unit dari kondisi aktual 37 untuk mencapai solusi aktual basis sebanyak 417 unit. Pengembangan alat tangkap ini perlu dilakukan mengingat alat tangkap ini merupakan salah satu diantara alat tangkap ikan pelagis kecil yang tidak merusak lingkungan. Kebijakan penambahan ini dilakukan agar dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layang dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan. Ditinjau dari aspek kelestarian sumberdaya, ikan yang tertangkap dengan alat tangkap jaring insang sangat selektif dalam ukuran.

Berbicara mengenai strategi maka perlu diketahui defenisi strategi yaitu merupakan penetapan dari tujuan dan sasaran jangka panjang serta penggunaan saerangkaian tindakan dan alokasi sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan. (Chadler dan Alfred 1966). Dari hasil analisis SWOT dan dapat dilihat pada diagram cartesius pemanfaatan sumberdaya ikan layang di Kabupaten Donggala ternyata masuk kategori strategi pertumbuhan (Growth Strategy), dimana didesain untuk mencapai pertumbuhan, baik dalam hal penjualan, aset, profit maupun kombinasi dari ketiganya. Hal ini dapat dicapai dengan cara penstabilan harga, mengembangkan usaha melalui peningkatan teknologi, menambah kualitas produk atau meningkatkan akses pasar yang lebih luas. Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan cara meminimalkan biaya (minimize cost) sehingga dapat meningkatkan profit. Cara ini merupakan strategi terpenting apabila kondisi usaha tersebut berada dalam pertumbuhan yang cepat dan terdapat kecenderungan pesaing untuk melakukan perang harga dalam usaha untuk meningkatkan pangsa pasar. (Rangkuti 2006).

Keberhasilan dalam sistem pemanfaatan sumberdaya ikan sangat terkait dengan konsep dan kebijakan serta pendanaan yang menunjang kelancaran pengelolaannya. Guna mengantisipasi perkembangan yang terjadi terhadap isu- isu pengelolaan sumberdaya ikan dimasa mendatang, maka perumusan perencanaan perlu dilakukan dengan berorientasi masa depan. Dengan demikian strategi-strategi yang diformulasikan tidak ketinggalan tetapi adaptif terhadap perkembangan atau perubahan yang terjadi. Perangkat monitoring dan evaluasi merupakan persyaratan untuk memutakhirkan pengelolaan agar tetap sesuai untuk menangani permasalahan terkini dan yang akan datang. Nelayan dan masyarakat yang berada di sekitar Kabupaten Donggala hendaknya dapat mengikuti atau membantu penegakan peraturan/ketentuan yang ada maupun yang akan diadakan terkait dengan pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan, maka dampak positifnya akan sangat nyata bagi pengembangan perikanan pelagis kecil khusunya ikan layang, sebaliknya bukanlah merupakan hal yang tidak mungkin dicapai. Adapun desain yang disusun untuk pemanfataan sumberdaya ikan layang di Kabupaten Donggala dapat dilihat pada Gambar 11 berikut ini :

57

Gambar 10 Desain pemanfaatan ikan layang di Kabupaten Donggala Kondisi

perikanan layang di Kabupaten Donggala saat ini

Estimasi potensi lestari (MSY = 166,87 ton/thn) dan Eopt= 1425 trip/thn.

Alat tangkap yang unggul: -Gillnet (prioritas I) -Pancing (prioritas II) -Purse seine (prioritas III

Alokasi alat tangkap yang optimal: - Purse seine = 57 - Gillnet = 417 - Pancing = 391 Strategi : 1. Mengoptimalkan fungsi cold storage 2. Peningkatan IPTEK untuk nelayan (penyuluhan/pelatihan) 3. Kelola koperasi dengan baik 4. Pengaturan nelayan andon agar tidak terjadi konflik 5. Perluasan daerah

penangkapan.

6. Mengatur lokasi yang dijadikan untuk dermaga kapal tongkang yang membawa hasil penambangan.

- Desain pemanfaatan ikan layang: Pendapatan nelayan meningkat. PAD meningkat.

Sumberdaya ikan layang lestari -Implementasi desain Stakeholder perikanan: - Nelayan - Pengusaha - Pedagang - PEMDA - Masyarakat

58

8 SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait