• Tidak ada hasil yang ditemukan

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berbagai galur sorgum banyak dikembangkan saat ini mengingat sorgum memiliki banyak manfaat. Berbagai kriteria ditetapkan untuk mendapatkan varietas unggul yang diinginkan. Kriteria yang diinginkan bergantung tujuan dari penggunaan tanaman sorgum itu sendiri karena sorgum dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan diantaranya pangan, pakan, energi, serat, dan pupuk. Beberapa jenis kriteria yang disyaratkan untuk biji sorgum yang digunakan sebagai bahan pangan diantaranya memiliki biji dengan ukuran besar dan memiliki kandungan nutrisi yang seimbang, akan tetapi pada proses penyimpanan serangan hama gudang dirasakan sangat merugikan sehingga kriteria biji sorgum tahan serangan hama gudang diperlukan.

Lima varietas sorgum yang diuji dalam penelitian ini diantaranya Numbu, Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan B-76. Untuk membedakan varietas Lokal Wonogiri dengan varietas lainnya cukup mudah karena varietas ini memiliki biji yang berwarna merah sedangkan 4 varietas lain memiliki warna biji krem. Varietas CTY-33 dan Lokal Bandung memiliki ukuran biji yang relatif besar, untuk membedakan keduanya varietas CTY-33 memiliki warna yang lebih terang dibandingkan varietas Lokal Bandung. Varietas Numbu memiliki ciri khas warna yang agak kusam dibandingkan varietas lainnya. Varietas B-76 memiliki ukuran biji yang terkecil dibandingkan 4 varietas lainnya dan warna biji sorgum varietas ini putih kusam. Diantara kelima jenis sorgum yang diuji yang sudah banyak dikenal adalah varietas Numbu karena varietas ini telah resmi dilepas oleh Kementrian Pertanian Indonesia.

Parameter Resistensi Biji Sorgum terhadap S. zeamais

Terdapat lima parameter resistensi biji sorgum terhadap S. zeamais yang diamati pada penelitian ini diantaranya jumlah imago F1 yang muncul, nilai kehilangan hasil, median waktu perkembangan, nilai Indeks Kerentanan Dobie (IKD), dan konstanta laju perkembangan intrinsik. Hasil pengamatan selama 50 hari menunjukkan bahwa jumlah imago F1 S. zeamais yang muncul pada setiap varietas sorgum memiliki jumlah yang beragam. Jumlah imago S. zeamais yang

muncul pada varietas B-76 dan Lokal Bandung berbeda nyata dengan jumlah imago yang muncul pada varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu (Tabel 2).

Jumlah imago S. zeamais yang muncul paling banyak ditunjukkan oleh varietas B-76 dan Lokal Bandung dibandingkan dengan 3 varietas lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu lebih resisten terhadap serangan S. zeamais dibandingkan varietas Lokal Bandung dan B-76.

Tabel 2 Rata-rata jumlah imago F1 S. zeamais yang muncul pada lima varietas sorgum

Varietas Jumlah F1 yang muncul (individu)

Numbu 247.00b

Lokal Bandung 352.40a

Lokal Wonogiri 233.30b

CTY-33 213.50b B-76 361.20a Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji

Duncan pada p=0.05).

Rendahnya jumlah imago S. zeamais yang muncul pada varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu diduga karena terdapat kandungan tanin yang cukup tinggi pada biji. Kandungan fenol yang cukup tinggi diperkirakan juga memperanguhi jumlah imago S. zeamais yang muncul. Tingginya jumlah imago S. zeamais yang muncul pada varietas Lokal Bandung dan B-76 diperkirakan karena kandungan tanin yang cukup rendah.

Resistensi biji terhadap serangan hama gudang terjadi karena berbagai faktor diantaranya faktor kimiawi dan fisik biji. Faktor fisik biji meliputi kekerasan biji dan dimensi biji, sedangkan faktor kimia diantaranya kandungan senyawa metabolit sekunder seperti fenol dan tanin (Dobie 1977 dalam Siwale et al. 2009). Russell (1966) menyatakan bahwa panjang umur imago S. zeamais lebih pendek jika meningkatkan kekerasan biji atau kadar tanin atau dengan memperkecil ukuran biji.

19  

Pada gambar 7 terlihat pola pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais pada lima varitas sorgum yang diuji. Terlihat bahwa kecenderungan pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais terbagi menjadi 2 kelompok. Hal ini sesuai dengan hasil uji beda nyata pada jumlah imago F1 S. zeamais pada Tabel 2 yang menjukkan terdapat 2 kelompok yaitu kelompok Numbu, CTY-33, dan Lokal Wonogiri serta kelompok Lokal Bandung dan B-76.

Gambar 7 Grafik pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais pada lima varietas sorgum

Pola pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais pada lima varitas sorgum yang diuji menunjukkan kecenderungan grafik yang hampir sama antar varietas, dimana populasi meningkat sangat tajam hingga hari ke-20 setelah 1 bulan inkubasi. Pada kondisi berikutnya populasi mulai tidak lagi bertambah secara signifikan di hari ke-30 hingga hari ke-50 setelah 1 bulan inkubasi terlihat dari garis grafik yang mendatar. Meningkatnya populasi secara signifikan hingga hari ke-20 setelah 1 bulan inkubasi sesuai dengan yang dinyatakan Lefevre (1953) dalam Jadhav (2006) yaitu total siklus hidup Sitophilus spp. pada biji sorgum dengan kadar air 11.8 hingga 12.33 % rata-rata selama 54 hari.

Median waktu perkembangan adalah lamanya hari dari pertengahan waktu peletakkan telur (oviposisi) hingga 50% imago dari turunan pertama (F1) S. zeamais muncul (Dobie 1977 dalam Siwale et al. 2009). Median waktu perkembangan menggambarkan lamanya waktu perkembangan dari serangga S. zeamais untuk berkembang di dalam biji.

Hasil pengamatan menunjukkan nilai yang berbeda nyata antara varietas Numbu dengan 4 varietas lainnya (Tabel 3). Varietas Numbu memiliki nilai median waktu perkembangan yang lebih panjang dibandingkan dengan 4 varietas lainnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa waktu perkembangan yang dibutuhkan S. zeamais pada varietas Numbu lebih lama dibandingkan di 4 varietas lainnya.

Tabel 3 Rata-rata median waktu perkembangan S. zeamais pada lima varietas sorgum

Varietas Median waktu perkembangan (hari)

Numbu 34.0a

Lokal Bandung 33.1b

Lokal Wonogiri 33.1b

CTY-33 33.0b B-76 32.8b Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji

Duncan pada p = 0.05).

Pada empat varietas lainnya; Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan B-76 memiliki nilai median waktu perkembangan yang tidak berbeda nyata satu sama lain. Hal ini menyatakan bahwa rata-rata waktu perkembangan yang dibutuhkan S. zeamais untuk berkembang pada 4 varietas ini lebih cepat dibandingkan dengan varietas Numbu. Pada varietas Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan B-76 memiliki nilai median waktu perkembangan yang hampir sama hal ini menunjukkan kesesuaian 4 varietas ini dengan serangga S. zeamais yang sama.

Median waktu perkembangan menunjukkan kesesuaian antara serangga dengan inangnya, semakin lama suatu serangga berkembang pada inangnya maka

21  

inang tersebut dapat dikatakan lebih resisten dibandingkan dengan inang lain yang sejenis. Varietas Numbu memiliki median waktu perkembangan yang paling panjang dapat diasosiasikan dengan jumlah imago yang muncul pada varietas tersebut rendah sedangkan pada varietas B-76 memiliki nilai median waktu perkembangan paling pendek berhubungan dengan jumlah imago F1 yang muncul pada varietas B-76 paling tinggi.

Konstanta laju perkembangan intrinsik adalah konstanta yang menggambarkan dinamika perkembangan suatu populasi serangga. Hal ini erat kaitannya dengan resistensi varietas karena konstanta laju intrinsik dapat memperlihatkan kesesuaian suatu habitat dan makanan bagi perkembangan serangga, jika suatu serangga di suatu varietas memiliki nilai konstanta laju intrinsik yang semakin rendah maka dapat diasumsikan varietas tersebut relatif resisten dibandingkan varietas lainnya. Besaran konstanta laju perkembangan intrinsik yang semakin tinggi maka habitat atau makanan tersebut semakin sesuai untuk perkembangan hidup serangga (Tarmudji 2008).

Terlihat pada Tabel 4 nilai rata-rata laju perkembangan intrinsik pada varietas Lokal Bandung dan B-76 berbeda nyata dengan varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu. Varietas B-76 adalah varietas yang memiliki konstanta laju perkembangan intrinsik paling tinggi yang artinya sorgum varietas B-76 sangat sesuai untuk perkembangan S. zeamais dibandingkan dengan empat varietas lainnya. Varietas CTY-33 memiliki konstanta laju intrinsik yang paling kecil artinya varietas CTY-33 adalah varietas yang paling tidak sesuai untuk perkembangan S. zeamais. Kesesuaian habitat atau makanan untuk perkembangan serangga memiliki keterkaitan dengan kandungan fisik ataupun kimia dari habitat atau makanan tersebut.

Pada lampiran 12 terlihat konstanta laju perkembangan intrinsik berkorelasi positif sangat signifikan dengan jumlah imago F1 S. zeamais yang muncul dan berkorelasi negatif sangat signifikan dengan nilai median waktu perkembangan S. zeamais. Hal tersebut mengindikasikan bahwa besaran kosntanta laju perkembangan intrinsik dipengaruhi kedua faktor tersebut. Apabila semakin tinggi jumlah imago F1 yang mucul maka konstanta laju perkembangan intrinsik semakin tinggi sedangkan jika semakin panjang median waktu perkembangan

maka semakin rendah konstanta laju perkembangan intrinsik begitu pula sebaliknya.

Tabel 4 Rata-rata nilai laju perkembangan intrinsik S. zeamais pada lima varietas sorgum

Varietas Laju perkembangan intrinsik

Numbu 0.16b

Lokal Bandung 0.31a

Lokal Wonogiri 0.15b

CTY-33 0.12b B-76 0.32a Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji

Duncan pada p = 0.05).

Pengukuran tingkat resistensi biji terhadap serangan hama gudang dapat dilakukan dengan menghitung nilai Indeks Kerentanan Dobie (IKD). Nilai IKD menggambarkan tingkat kerentanan biji sehingga semakin tinggi nilai IKD suatu biji maka biji tersebut semakin rentan sedangkan jika nilai IKDnya semakin rendah maka biji tersebut semakin resisten terhadap serangan hama gudang. Komponen yang dimasukkan ke dalam formula IKD adalah jumlah imago F1 yang keluar dan median waktu perkembangan (Dobie 1977 dalam Siwale et al. 2009).

Pada grafik (Gambar 8) terlihat nilai IKD masing-masing varietas sorgum. Nilai kelima varietas berkisar dari 6.9 hingga 7.75. Nilai IKD varietas Lokal Bandung dan B-76 berbeda nyata dengan nilai IKD varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu. Nilai IKD tertinggi terdapat pada varietas B-76 yang artinya dari kelima varietas ini varietas B-76 adalah varietas yang paling rentan terhadap serangan S. zeamais sedangkan nilai IKD terendah terdapat pada varietas Numbu yang artinya varietas Numbu adalah varietas yang paling resisten terhadap serangan S. zeamais diantara varietas sorgum yang diuji

23  

Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan pada p = 0.05).

Gambar 8 Grafik rata-rata nilai Indeks Kerentanan Dobie lima varietas sorgum

Korelasi positif sangat signifikan terlihat pada besarnya jumlah imago F1 S. zeamais yang muncul dengan nilai IKD sedangkan nilai median waktu perkembangan dan konstanta laju perkembangan intrinsik memiliki hubungan korelasi negatif sangat signifikan dengan nilai IKD (Lampiran 12). Korelasi positif sangat signifikan antara jumlah imago F1 S. zeamais dengan nilai IKD memiliki arti semakin tinggi jumlah imago F1 S. zeamais maka nilai IKD semakin tinggi, sementara korelasi negatif sangat signifikan antara nilai IKD dengan nilai median waktu perkembangan dan konstanta laju perkembangan intrinsik berarti semakin besarnya nilai median waktu perkembangan dan konstanta laju perkembangan maka nilai IKD akan semakin rendah.

Menurut Horber (1988), nilai IKD yang tinggi dapat diasumsikan bahwa semakin banyak jumlah imago F1 yang muncul dan semakin pendeknya median waktu perkembangan maka biji tersebut semakin rentan terhadap serangan hama gudang tertentu. Besarnya nilai IKD dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor fisik maupun kimia dari biji. Hal ini dikarenakan faktor-faktor tersebut dinilai dapat memengaruhi kemampuan akses makan dari serangga.

Nilai kehilangan hasil (weight loss) adalah nilai dari seberapa besar kehilangan hasil yang diakibatkan oleh keberadaan hama gudang pada suatu

komoditas. Nilai kehilangan hasil dihitung menggunakan formula Adams (1976) dengan menghitung biji rusak dan biji tidak rusak serta membandingkan berat keduanya.

Nilai kehilangan hasil pada seluruh varietas berbeda nyata. Nilai kehilangan hasil dinyatakan dalam satuan %, pada lima varietas nilai kehilangan hasil berkisar antara 2.8-4.6 %. Nilai kehilangan hasil dari tertinggi hingga terendah yaitu varietas Lokal Bandung, B-76, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu. Kehilangan hasil pada varietas Lokal Bandung berbeda nyata dengan varietas Numbu, Lokal Wonogiri, dan CTY-33 serta tidak berbeda nyata dengan varietas B-76.

Tabel 5 Rata-rata nilai kehilangan hasil akibat serangan S. zeamais pada lima varietas sorgum

Varietas Kehilangan hasil (%)

Numbu 2.85c

Lokal Bandung 4.57a

Lokal Wonogiri 3.50bc

CTY-33 3.01c B-76 4.28ab Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji

Duncan pada p = 0.05).

Pada hasil uji korelasi (Lampiran 12) terlihat terdapat korelasi positif signifikan dengan jumlah imago F1 S. zeamais, nilai IKD, dan konstanta laju perkembangan intrinsik serta berkorelasi negatif sangat signifikan dengan median waktu perkembangan. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya nilai kehilangan hasil disertai dengan peningkatan jumlah imago F1 S. zeamais, nilai IKD, dan konstanta laju perkembangan intrinsik sedangkatnya nilai kehilangan hasil akan menurun dengan meningkatnya panjang median waktu perkembangan.

Seperti dijabarkan sebelumnya bahwa jumlah imago F1 S. zeamais memiliki korelasi positif sangat signifikan dengan kehilangan hasil. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin meningkatnya populasi S. zeamais maka nilai kehilangan hasil yang diakibatkan aktivitas hama gudang ini juga semakin meningkat. Kurva

25  

regresi dapat menggambarkan model yang dapat menjabarkan formulasi populasi serangga dengan nilai kehilangan hasilnya. Pada kurva regresi (Gambar 9) terlihat garis linier memiliki persamaan y = 0.60 + 0.11x dengan R2 = 0.69.

Gambar 9 Grafik regresi hubungan antara jumlah imago F1 S. zeamais dan kehilangan hasil pada lima varietas sorgum

Persamaan garis tersebut dapat diartikan setiap penambahan 1 individu S. zeamais maka nilai kehilangan hasil akan bertambah sebanyak 0.11 %. Persamaan garis ini berdasarkan jumlah imago S. zeamais dari 100 ekor hingga 500 ekor dan nilai kehilangan hasil dari 2-7.5 %.

Karakteristik Fisik dan Kimia Biji Sorgum

Untuk mendapatkan biji sorgum yang memiliki ketahanan terhadap serangan hama gudang diperlukan informasi mengenai faktor-faktor yang dapat menyebabkan resistensi biji sorgum terhadap serangan hama gudang. Berbagai karakteristik kimia dan fisik lima varietas sorgum diuji dan dilihat korelasinya dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan tingkat resistensi lima varietas sorgum terhadap serangan S. zeamais.

Karakteristik fisik yang diukur dalam penelitian ini diantaranya kekerasan biji, panjang biji, lebar biji, dan tebal biji. Tabel 6 menunjukkan biji sorgum yang memiliki tingkat kekerasan biji paling tinggi yaitu varietas Lokal Bandung sedangkan paling rendah varietas B-76. Tingkat kekerasan biji dijadikan salah

satu karakteristik fisik yang diukur karena kekerasan biji memengaruhi seberapa mudah biji tersebut digerek oleh hama gudang (Sauer 1992).

Tabel 6 Karakteristik fisik lima varietas sorgum Varietas Kekerasan biji

(kg) Panjang biji (mm) Lebar biji (mm) Tebal biji (mm) Numbu 7.17b 4.11b 3.55bc 2.31bc

Lokal Bandung 9.06a 4.64a 4.04a 2.62a

Lokal Wonogiri 6.03c 3.63c 3.46c 1.89d

CTY-33 9.26a 4.18b 3.74b 2.37b

B-76 2.72d 3.62c 3.44c 2.15c

Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan pada p = 0.05).

Pengukuran karekteristik fisik lainnya yaitu dimensi biji (panjang, lebar, dan tebal). Dimensi biji menggambarkan seberapa besar ukuran biji. Ukuran biji paling besar hingga paling kecil yaitu varietas Lokal Bandung, CTY-33, Numbu, Lokal Wonogori, dan B-76. Varietas Lokal Bandung dan CTY-33 memiliki ukuran biji yang tidak berbeda nyata atau dapat diartikan memiliki ukuran yang hampir sama. Dimensi biji dijadikan salah satu indikator yang diukur karena ukuran biji dapat memengaruhi perkembangan larva S. zeamais selama hidup di dalam biji (Sunjaya dan Widayanti 2006).

Menurut Kalshoven (1981), panjang imago S. zeamais berkisar 3-3,5 mm, hal tersebut jika dikaitkan dengan dimensi biji sorgum, semua varietas biji sorgum yang diuji memiliki ukuran yang cocok untuk perkembangan serangga ini sehingga ukuran biji kelima varietas biji tidak memengaruhi perkembangan serangga ini. Perbedaan ukuran biji sorgum hanya akan mempengarhi ukuran besar atau kecilnya imago serangga yang muncul.

Karakteristik kimia dari sorgum yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu kadar tanin dan fenol. Tanin merupakan salah satu senyawa golongan polifenol (Harbone 1996). Kandungan fenol yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kandungan total fenol atau dapat diartikan sebagai seluruh kandungan senyawa polifenol yang terdapat di dalam biji sorgum. Tanin dan fenol merupakan

27  

golongan senyawa metabolit sekunder yang berada di dalam tanaman. Pada seluruh jenis serealia, sorgum adalah satu-satunya jenis serealia yang memiliki kandungan fenolik tertinggi hingga mencapai 6% pada beberapa varietas (Dicko et al. 2005). Hampir seluruh jenis unsur fenolik ditemukan pada sorgum (Awika dan Rooney 2004).

Perbedaan kandungan kimia biji sorgum pada setiap varietas Disebabkan oleh genotipe dan pengaruh lingkungan selama perkembangan sorgum di lapangan. Senyawa fenolik yang menyusun komponen fenolik diantaranya simple phenols, hydroxybenzoic acids, hydroxycinnamic acids, flavonoids (flavanols, flavones, flavanones, isoflavones and anthocyanins), chalcones, aurones (hispidol), hydroxycoumarins, lignans, hydroxystilbenes and polyflavans (proanthocyanidins and prodeoxyanthocyanidins) (Krueger et al. 2003).

Hasil analisis (Tabel 3) menujukkan kadar fenol total dan tanin memiliki korelasi yang kuat, kadar tanin dan fenol dari tertinggi hingga terendah yaitu varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, B-76, Lokal Bandung, dan Numbu. Varietas Lokal Wonogiri memiliki kandungan tanin dan fenol tertinggi diperlihatkan secara fisik dengan warna merah kecoklatan pada kulit biji.

Tabel 7 Karakteristik kimia lima varietas sorgum

Varietas Kadar tanin (%) Kadar fenol (mg/1000g)

Numbu 4.79 268.90

Lokal Bandung 5.09 278.02

Lokal Wonogiri 6.59 949.04

CTY-33 5.39 480.31

B-76 4.86 342.58

Menurut Laimeheriwa (1990) keberadaan tanin dalam biji ditandai dengan warna kemerahan atau kecoklatan pada lapisan kulit luar biji (testa). Kadar tanin yang cukup tinggi dapat memberikan rasa pahit pada sorgum.

Korelasi Parameter Resistensi dengan Faktor-faktor yang Memengaruhi Hubungan antara karakteristik kimia dan fisik biji dengan parameter resistensi dijabarkan pada Tabel 8. Terlihat korelasi negatif signifikan antara kadar fenol dan tanin dengan jumlah imago F1 S. zeamais dan konstanta laju perkembangan intrinsik, yang artinya semakin tinggi nilai kadar fenol total dan tanin biji sorgum maka semakin rendah jumlah imago F1 S. zeamais dan konstanta laju perkembangan intrinsik. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara kandungan fenol dan tanin di dalam biji sorgum dengan jumlah imago S. zeamais yang muncul dan kesesuaian S. zeamais dengan varietas sorgum. Secara empirik data kandungan tanin dan fenol memang tidak terlihat berkorelasi dengan tingkat resistensi varietas (varietas Numbu yang paling resisten tidak memiliki kandungan tanin dan fenol total tertinggi) (Tabel 2, Tabel 4, dan Tabel 7), namun secara statistik terlihat adanya korelasi cukup kuat antar keduanya (−0.25>koefisien korelasi>−0.5) dan signifikan pada nilai p≤0.05. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika nilai kadar tanin sorgum semakin tinggi maka semakin rendah jumlah F1 yang muncul atau konstanta laju intrinsik yang dimiliki dan hal ini terjadi pula sebaliknya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, dimana Ramputh et al. (1999) menyatakan terdapat korelasi negatif antara jumlah serangan Sitophillus sp. dengan jumlah komponen fenolik pada sorgum.

Kandungan kimia non nutrisi pada biji khususnya unsur kimia yang termasuk golongan polifenol menjadi salah satu faktor penentu pada resistensi biji terhadap serangan S. zeamais (Serratos et al. 1987). Unsur kimia golongan fenol berperan sebagai faktor resistensi yang keberadaaannya banyak terdapat pada lapisan luar biji (kulit), hal ini juga memungkinkan adanya keterkaitan dengan struktur komponen di dalam biji dan faktor antibiosis (Arnason et al. 1993).

Tingginya kadar tanin dan fenol sebagai zat antinutrisi atau antifeedant yang dapat mencegah atau menghalangi aktivitas makan dari S. zeamais menyebabkan penurunan efektifitas makanan terhadap serangga hal ini ditunjukkan dengan korelasi negatif antara kandungan tanin dan fenol terhadap tingkat kehilangan hasil. Hal ini tidak hanya menyebabkan rendahnya nilai kehilangan hasil akan tetapi juga penurunan tingkat reproduksi serangga S. zeamais.

29  

Tabel 8 Hasil uji korelasi parameter-parameter daya resistensi dengan kadar tanin, kadar fenol, dan kekerasan biji

Parameter daya resistensi Kadar tanin Kadar fenol total

Kekerasan biji

Jumlah F1 -0.321* -0.335* -0.257

Median waktu perkembangan -0.131 -0.133 0.206 Indeks Kerentanan Dobie -0.203 -0.216 -0.256

Laju intrinsik -0.282* -0.298* -0.242

% kehilangan hasil -0.077 -0.111 -0.117

*korelasi signifikan (p ≤ 0.05).

Berdasarkan fungsi tanin dan fenol sebagai zat antinutrisi maka mekanisme resistensi yang terjadi diantara sorgum dan S. zeamais adalah mekanisme antibiosis. Menurut Teetes (2009), mekanisme antibiosis menyebabkan penurunan kelimpahan serangga hama, dengan meningkatnya tingkat mortalitas, penurunan panjang umur dan penurunan tingkat reproduksi.

Kekerasan biji merupakan karakteristik fisik yang juga dijadikan faktor yang dapat memengaruhi resistensi. Terlihat korelasi negatif antara kekerasan biji dengan jumlah imago F1 S. zeamais dan nilai Indeks Kerentanan Dobie (koefisien korelasi<−0.25), yang artinya semakin tinggi nilai kekerasan biji maka semakin rendah nilai faktor resistensi tersebut (Tabel 8). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dikemukakan oleh Dobie (1974) dalam Tepping et al. (1988) yang menyatakan resistensi pada biji jagung terhadap serangan S. zeamais disebabkan oleh faktor fisik biji seperti kekerasan biji.

Selain dengan kadar tanin, kadar fenol, dan kekerasan biji, parameter resistensi biji sorgum terhadap S. zeamais dikorelasikan terhadap besaran dimensi biji. Panjang, tebal, dan lebar biji dikorelasikan dengan parameter resistensi untuk melihat seberapa besar kesesuaiannya terhadap perkembangan S. zeamais di dalam biji sorgum. Terlihat korelasi yang tidak konsisten dan nilai koefisien korelasi yang kecil (koefisien korelasi<0.25 atau >−0.25) antara parameter resistensi dengan dimensi biji. Hal ini menunjukkan korelasi atau hubungan yang dimiliki antara seluruh parameter resistensi dengan dimensi biji sangat lemah.

Hal ini dikarenakan dimensi atau ukuran biji sorgum lebih besar dari ukuran maksimal larva S. zeamais yang berkembang di dalam biji sorgum.

Tabel 9 Hasil uji korelasi parameter-parameter daya resistensi dengan lebar biji, panjang biji, dan tebal biji sorgum

Parameter daya resistensi Lebar biji Panjang biji Tebal biji

Jumlah F1 0.068 -0.008 0.190

Median waktu perkembangan -0.078 0.0127 0.116 Indeks Kerentanan Dobie 0.103 -0.026 0.130

Laju intrinsik 0.095 0.007 0.189

% kehilangan hasil 0.100 -0.018 0.063

Segrove (1951) dan Longstaff (1981) dalam Danho (1996) menyebutkan bahwa imago betina S. zeamais cenderung meletakkan telur pada biji dengan ukuran besar. Hasil penelitian Danho (1996) menunjukkan hasil yang bertolak belakang dengan pernyataan sebelumnya yaitu bahwa imago betina S. zeamais tidak memilih biji berdasarkan berat atau ukuran biji karena imago betina tidak dapat memperkirakan dengan pasti dimensi dan berat suatu biji. Selain itu penelitian Danho (1990) juga memperlihatkan hasil bahwa telur S. zeamais banyak diinfestasikan oleh imago betina S. zeamais pada biji dengan ukuran kecil.

Serangga S. zeamais akan berkembang menurut ukuran biji atau makanan tempat dia tinggal (Sunjaya dan Widayanti 2006). Besarnya ukuran larva akan mengikuti dengan besarnya biji tempat serangga itu berkembang dan nutrisi yang tersedia di dalamnya. Ukuran imago tentu saja bergantung dengan seberapa besar

Dokumen terkait