• Tidak ada hasil yang ditemukan

 

TINJAUAN PUSTAKA

Sorgum (Sorghum bicolor (L.)) Taksonomi

Tanaman sorgum termasuk famili Graminae atau rerumputan. Tanaman lain yang termasuk dalam famili Graminae diantaranya adalah padi, jagung, dan tebu. Taksonomi tanaman sorgum adalah sebagai berikut:

Kelas : Monocotyledon Famili : Gramineae Genus : Sorghum

Spesies : Sorghum bicolor (L.) Holchus Sorghum (L.) Andropogan sorghum (L.) Sorghum Vulgare (L.)

Berbagai nama lokal untuk sorgum adalah Great Millet, guinea Cora (Afrika Barat); Kafir Corn (Afrika Selatan); Milo Sorgo (Amerika Serikat); Kaoliang (Cina); Durra (Sudan); Mtama (Afrika Barat); cantel (Jawa Tengah dan Jawa Timur); Chotam (India); jagung cantrik (Jawa Barat) (Suprapto 1987).

Morfologi dan fisiologi

Sifat ikatan kulit biji pada biji sorgum yaitu diantara kulit biji dan daging biji dilapisi oleh lapisan testa danaleuron, lapisan testa termasuk bagian kulit biji, dan lapisan aleuron termasuk bagian daging biji. Jaringan kulit biji terikat erat oleh daging biji, melalui lapisan tipis yang disebut lapisan semen. Pada proses penggilingan, ikatan kulit biji dengan daging biji ini sulit dipisahkan (Laimheriwa 1990).

Sifat fisik pada biji sorgum umumya berbentuk bulat oval dengan ukuran biji kira-kira 4x2.5x3.5 mm. Berat biji bervariasi antara 8-50 mg, rata-rata berat 28 mg. Berdasarkan ukurannya sorgum dibagi atas: (a) sorgum biji kecil (8-10 mg), (b) sorgum biji sedang (12-24 mg), dan (c) sorgum biji besar (25-35 mg).

Gambar 1 Penampang membujur biji sorgum (Laimeheriwa 1990)

Kulit biji sorgum ada yang berwarna putih, merah atau cokelat. Sorgum putih disebut sorgum kafir dan yang berwarna merah atau cokelat biasanya termasuk varietas Feterita. Warna biji ini merupakan salah satu kriteria untuk menentukan kegunaannya. Varietas yang berwarna lebih terang akan menghasilkan tepung yang lebih putih dan tepung ini cocok untuk digunakan sebagai makanan lunak, roti dan lain-lainnya. Sedangkan varietas yang berwarna gelap akan menghasilkan tepung yang berwarna gelap dan rasanya lebih pahit. Tepung jenis ini cocok untuk bahan dasar pembuatan minuman. Untuk memperbaiki warna biji ini, biasanya digunakan larutan asam tamarand atau bekas cucian beras yang telah difermentasikan dan kemudian digiling menjadi pasta tepung (Laimeheriwa 1990).

Umumnya warna biji sorgum terkait dengan kadar tanin dalam biji sorgum yang sebagian besar terdapat pada lapisan testa. Sorgum yang kadar taninnya tinggi umumnya bijinya berwarna cokelat gelap atau cokelat kemerah-merahan. Selama proses penepungan komersial, tanin berada dalam tepung, dan dengan penyaringan tidak dapat dihilangkan. Selama penyosohan dengan perlakuan perendaman, tanin akan larut dan diusahakan untuk dapat dihilangkan dari kulit

5  

bijinya. Kehilangan tanin ini akibat terkelupasnya kulit biji dan hilangnya lapisan testa selama perlakuan. Dengan hilangnya senyawa tanin ini, warna tepung menjadi lebih putih, dapat menghilangkan rasa pahit, dan yang terpenting dapat menghilangkan zat anti nutrisi tanin dalam biji sorgum (Suprapto 1987).

Kandungan nutrisi

Sebagai sumber karbohidrat sorgum kaya akan nutrisi. Kandungan nutrisi pada sorgum juga lebih baik dibandingkan dengan beras. Hal tersebut bisa dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan kandungan nutrisi sorgum dengan berbagai jenis sumber karbohidrat lainnya  

Nutrisi Kandungan per 100 g

Beras Jagung Singkong Sorgum Kedelai

Kalori (cal) 360 361 146 332 286 Protein (g) 6.8 8.7 1.2 11.0 30.2 Lemak (g) 0.7 4.5 0.3 3.3 15.6 Karbohidrat (g) 78.9 72.4 34.7 73.0 30.1 Kalsium (mg) 6.0 9.0 33.0 28.0 196.0 Besi (mg) 0.8 4.6 0.7 4.4 6.9 Fosfor (mg) 140 380 40 287 506 Vitamin B1 (mg) 0.12 0.27 0.06 0.38 0.93

Sumber: Departemen Kesehatan 1992.

Kandungan kimia biji sorgum

Kandungan kimia dalam biji sorgum yang lain diantaranya fenol terlarut. Fenol terlarut yang telah diidentifikasi terkandung dalam biji sorgum mencakup 4 jenis proanthocyanidins yaitu epicatechin±(epicatechin)n±catechin, glycosylated dimeric dan trimeric-avonoids dengan eriodictyol dan taxifolin unit (Gujer et al. 1986). Komponen fenolik dalam biji sorgum dibagi menjadi tiga kategori utama yaitu asam fenolat, flavonoid, dan tanin. Komponen-komponen tersebut

ditemukan paling banyak pada lapisan perikarp, testa, dan aleuron (Dicko et al. 2006).

Tanin pada sorgum biasanya dikaitkan dengan dengan kandungan protein yang rendah. Seluruh jenis tanin termasuk dalam polifenol akan tetapi tidak semua polifenol pada sorgum adalah tanin. Kandungan polifenol yang tinggi pada sorgum dicirikan dengan perikarp berwarna coklat dan kulit biji yang berwarna, pada jenis sorgum dengan perikarp berwarna merah dan tidak memiliki kulit biji kandungan polifenolnya cukup signifikan sedangkan pada biji sorgum yang tidak berwarna kandungan polifenol sangat rendah. Keterkaitan antara pigmentasi biji sorgum dengan kandungan tanin yang dimiliki biji sorgum masih belum dapat dipastikan (Dogget 1988).

Sitophilus zeamais (Motsch.)

Serangga hama gudang merupakan faktor biologis yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan selama penyimpanan (Ileleji et al. 2007). Sitophilus zeamais adalah serangga hama gudang yang bersifat polifag (keberadaannya terdeteksi hampir di seluruh komoditas di gudang) (Throne 1986). Kumbang ini tergolong hama penting dan hama primer. Menurut Rees (2004), biologi hama ini termasuk kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Coleoptera, famili Curculionidae, genus Sitophilus, spesies Sitophilus zeamais Motschulky.

Serangga hama ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) dari fase telur sampai menjadi imago (Subramanyam dan Hagstrum 1996). Imago betina meletakkan telur pada biji yang telah dilubangi dengan moncongnya dan tiap lubang diisi satu butir telur lalu ditutup dengan gelatinous egg plug. Fase telur berlangsung sekitar 6 hari. Imago betina meletakkan telur hingga 300-400 butir selama hidup mereka (Sauer 1992).

Larva yang terdapat dalam biji akan terus menggerek biji. Larva tetap berada di dalam biji sampai terbentuk pupa. Larva tidak bertungkai dan berwarna putih. Larva tidak bertungkai dikarenakan makanan yang dibutuhkan larva berada di sekitarnya sehingga tidak butuh pergerakan. Ketika bergerak, larva agak mengkerut lalu memanjang kembali dan seterusnya. Larva berkembang di dalam

7  

rongga dalam biji pada suhu optimum 25 0C (Subramanyam dan Hagstrum 1996). Ukuran serangga ini bergantung pada tempat serangga berkembang biak. Bila hidup pada jagung, ukurannya lebih besar daripada bila hidup pada beras (Sunjaya dan Widayanti 2006).

Gambar 2 Sitophilus zeamais Motschulky

Panjang imago bervariasi mulai 2-5 mm tergantung pada kemampuan makan larva, tetapi pada umumnya S. oryzae berukuran 2-3.5 mm dan S. zeamais 3-3.5 mm (Kalshoven 1981). Satu butir beras hanya dapat ditempati oleh satu larva kumbang ini sedangkan pada biji yang lebih besar seperti jagung, satu butirnya dapat ditempati oleh dua larva S. zeamais.

Di Indonesia S. zeamais lebih banyak ditemukan daripada S. oryzae (Pranata 1979). Sitophilus zeamais merupakan serangga yang dapat berkembang biak dengan cepat, yaitu selama satu tahun dapat menghasilkan 5-7 generasi. Kumbang betina akan mengunyah lubang kecil di dalam inti biji, kemudian memasukkan satu telur ke dalamnya kemudian lubang ditutup kembali dengan zat seperti gelatin yang berfungsi sebagai sumbat telur atau egg plug (Haines 1991).

Telur akan menetas dalam beberapa hari menjadi larva dan memakan bagian dalam inti biji. Larva kumbang ini berkembang selama 4 stadia. Larva kemudian menggerek biji dan hidup di dalam biji, umur kurang lebih 20 hari pada suhu 250C dan kelembaban relatif 70%. Kemudian menjadi pupa, selanjutnya menjadi kumbang dewasa. Fase pupa berlangsung di dalam biji yang telah kosong (Kalshoven 1981). Tipe pupa eksarata, dimana semua embelannya bebas atau

tidak menyatu satu sama lain (Fachry 2005). Selama masa perkembangan serangga pada biji tertentu tidak dapat dideteksi dengan kasat mata hingga kemunculan imago kumbang ini akan tetapi pada jagung dan beras keberadaaan larva dan pupa kumbang ini terkadang dapat terlihat pada bagian perikarp (Sauer 1992).

Imago dapat bertahan hidup cukup lama yaitu dengan makan sekitar 5-8 bulan (Sauer 1992). Serangga ini digolongkan ke dalam hama primer (internal feeder), yaitu hama menyerang dan mampu berkembang dengan baik pada komoditas yang masih utuh dengan cara menggerek (Sunjaya dan Widayanti 2006). Perkembangan, aktivitas, dan kopulasi serangga ini dilakukan pada siang hari dan berlangsung lebih lama dibandingkan dengan masa kopulasi hama gudang lainnya (Surtikanti 2004).

Mekanisme Resistensi dan Faktor yang Memengaruhi

Definisi dari resistensi tanaman terhadap serangga sangat banyak dan bervariasi. Dalam arti luas, resistensi tanaman didefinisikan sebagai sifat yang diwariskan oleh tetuanya yang menghasilkan tanaman yang relatif resisten (kerusakan berkurang) dibandingkan tanaman yang rentan dengan jumlah OPT yang menyerang sama. Dalam pengertian praktis tanaman resisten adalah tanaman yang tahan dan mengalami lebih sedikit kerusakan jika terserang hama tertentu. Resistensi tanaman adalah relatif dan didasarkan pada perbandingan dengan tanaman kurang memiliki karakter perlawanan, yaitu tanaman rentan.

Kultivar tanaman tahan serangan hama dapat menekan kelimpahan hama serangga atau menurunkan tingkat kerusakan tanaman. Dengan kata lain, tanaman tahan hama dapat mengubah hubungan hama serangga dengan tanaman inang. Hubungan antara serangga dan tanaman tergantung pada jenis mekanisme resistensi, misalnya antibiosis, antixenosis (non-preferensi), atau toleransi.

Mekanisme antibiosis memengaruhi biologi serangga sehingga kelimpahan hama dan kerusakan menurun dibandingkan dengan apa yang akan terjadi jika serangga tersebut menyerang pada tanaman rentan. Mekanisme antibiosis sering

9  

menyebabkan kematian meningkat atau panjang umur berkurang dan penurunan reproduksi serangga.

Mekanisme antixenosis memengaruhi perilaku hama serangga dan biasanya dinyatakan sebagai non-preferensi serangga pada tanaman tahan dibandingkan dengan tanaman rentan.

Toleransi adalah respon tanaman terhadap hama serangga. Mekanisme toleransi terjadi di mana tanaman yang mampu bertahan atau pulih dari kerusakan yang disebabkan oleh serangan serangga hama dengan kerusakan awal yang sama dengan tanaman tanpa karakter resistensi (rentan). Dengan demikian, mekanisme resistensi dengan dasar toleransi berbeda dengan antibiosis dan antixenosis dalam pengaruhnya terhadap hubungan serangga dan tanaman. Mekanisme antibiosis dan antixenosis menyebabkan respon serangga saat serangga mencoba untuk menggunakan tanaman tahan untuk makanan, oviposisi, atau tempat tinggal (Teetes 2009).

Menurut Chandrashekar dan Satyanarayana (2006), daya resistensi sorgum terhadap hama dan patogen dipengaruhi komposisi struktur fisik dan kimia dari biji. Struktur fisik biji seperti ketebalan komposisi lapisan perikarp, tekstur endosperm, dan bermacam-macam komponen kimia seperti asam hidroksinamat, asam ferulat, dan bermacam-macam protein endosperm memiliki daya antagonis terhadap hama dan patogen, sehingga berperan sebagai pertahanan biji.

Menurut Adesuyi (1979) faktor yang memengaruhi tingkat resistensi produk simpanan terhadap serangan Sitophilus spp. adalah toksin alkaloid atau asam amino dalam beberapa produk simpanan, pencegah makan serangga, karakteristik kulit biji yang menghambat oviposisi serta enzim pencernaan dan kekerasan kernel. Uji resistensi sorgum terhadap Sitophilus oryzae dengan menjadikan fenol terlarut sebagai indikator resistensi telah dilakukan sebelumnya oleh Ramputh (1998) dan menunjukkan bahwa kandungan fenol dalam sorgum memiliki pengaruh terhadap tingkat resistensi sorgum terhadap serangan S. oryzae. Kandungan fenol di dalam sorgum mungkin terlibat dalam antibiosis untuk S. oryzae karena memiliki hubungan korelasi negatif dengan munculnya F1 (Ramputh 1998).

Gambar 3 Struktur kimia tanin (Hagerman et al. 1997)

Tanin merupakan salah satu senyawa dari golongan polifenol dan memiliki peranan biologis yang kompleks. Fungsi tanin diantaranya dapat menghelat protein dan logam. Selain itu, tanin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis (Hagerman et al. 1997).

Kekerasan biji adalah salah satu faktor penting yang memengaruhi resistensi biji terhadap serangga. Pada banyak jenis biji-bijian kekerasan biji pada varietas yang sama memiliki variasi yang tinggi, hal ini dapat dikarenakan perbedaan genetik dan kondisi lapangan. Kandungan protein diketahui sebagai penentu kekerasan biji pada jagung, sorgum, dan millet (Sauer 1992).

   

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Entomologi, SEAMEO BIOTROP, Tajur, Bogor. Penelitian berlangsung dari Februari hingga September 2012.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5 varietas sorgum yaitu Numbu, Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan B-76, fluon, dan fosfin tablet. Alat yang digunakan diantaranya alat pengukur kadar air biji, sample divider, ayakan besi ukuran 2 mm, ayakan plastik, nampan plastik, stoples plastik bervolume 1000 ml, kuas, termohygrometer, hardness tester, timbangan sartorius, plastik zipper, label, pensil, spidol, dan kamera.

Tahap Persiapan Penyediaan Pakan Serangga Uji

Biji sorgum didapatkan dari pertanaman sorgum di lingkungan SEAMEO BIOTROP. Biji sorgum yang digunakan yaitu varietas Numbu. Biji sorgum yang digunakan sebagai pakan sebelumnya difumigasi dengan fosfin tablet (1.5 tablet/m3).

Penyediaan Sorgum Uji

Sorgum yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan langsung dari lapangan meliputi Wonogiri (Lokal Wonogiri), Tangerang (Numbu), Bandung (Lokal Bandung), dan Bogor (CTY-33 dan B-76). Pada setiap panen dilakukan pemotongan bagian malai sorgum, selanjutnya malai dikeringkan dengan dijemur (terkena sinar matahari langsung) selama 2 minggu. Setelah dikeringkan malai sorgum dirontokkan baik secara manual atau dengan alat perontok, selanjutnya dilakukan pengayakan untuk memisahkan biji dengan bagian malai yang terbawa.

Varietas lokal yang digunakan diantaranya varietas Lokal Wonogiri dan Lokal Bandung berasal dari pertanaman petani di daerah tersebut. Varietas

Numbu berasal dari pertanaman petani di daerah Tangerang, varietas B-76 berasal dari pertanaman di lingkungan SEAMEO BIOTROP, dan varietas CTY-33 berasal dari pertanaman di daerah Jonggol. Varietas B-76, CTY-33, dan Numbu merupakan hasil pemuliaan BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional).

Gambar 4 Penampakan fisik lima varietas sorgum yang diuji

Pengembangbiakan Serangga Uji

Serangga uji yang digunakan adalah imago S. zeamais yang berasal dari koloni koleksi laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP. Serangga uji diperbanyak pada 400 gram sorgum varietas Numbu dengan menginfestasi imago S. zeamais sebanyak 1000 ekor per wadah (stoples). Pengembangbiakan serangga uji dilakukan sebanyak 10 wadah, setelah itu dilakukan inkubasi selama 2 minggu, selanjutnya imago indukan dikeluarkan dan sorgum kembali diinkubasikan hingga hari ke-30. Mulai hari ke-31 imago S. zeamais yang muncul dipanen setiap harinya dan dipisahkan berdasarkan tanggal panen untuk mengetahui umur serangga tersebut.

Uji Resistensi

Biji sorgum yang akan diuji sebelumnya diberi perlakuan fumigasi dengan fosfin (dosis 1.5 tablet/m3) selama 48 jam untuk membunuh seluruh serangga. Biji

13  

sorgum yang digunakan juga telah disamakan tingkat kadar airnya yang diukur dengan alat pengukur kadar air biji. Selanjutnya 40 ekor imago S. zeamais berumur seragam (1-14 hari) dimasukkan ke dalam stoples plastik bevolume 1000 ml yang berisi 100 gram biji sorgum, di bagian atas permukaan dalam wadah plastik diolesi dengan “fluon” untuk mencegah imago S. zeamais ke luar dari dalam wadah. Inkubasi dilakukan selama 2 minggu setelah itu seluruh imago dikeluarkan dari wadah (Dobie 1977 dalam Siwale et al. 2009).

Pada hari ke 31 imago turunan pertama (F1) yang muncul dikeluarkan dan dihitung setiap harinya hingga 50 hari dengan asumsi seluruh imago F1 telah menetas secara keseluruhan (Bamaiyi 2007). Inkubasi dilakukan pada ruangan dengan suhu 26-30 0C dan kelembapan relatif 50-70 %.

Gambar 5 Stoples berisi serangga uji dan sorgum selama inkubasi

Setelah 50 hari penghitungan jumlah imago F1 S. zeamais, setiap ulangan dilakukan pengambilan sampel biji sorgum sebanyak 25 gram dengan menggunakan sample divider. Sampel kemudian dipisahkan antara biji utuh (tidak berlubang, tidak pecah, tidak terdapat gerekan eksternal) dan tidak utuh setelah itu dilakukan penimbangan ulang untuk setiap biji utuh dan tidak utuh pada setiap sampel.

Analisis dan Pengukuran Karakter Fisik dan Kimia Biji Sorgum Analisis Kekerasan Biji

Analisis kekerasan biji dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Institut Pertanian Bogor dengan alat Hardness Tester. Pengukuran dilakukan sebanyak 10 kali ulangan tiap varietas sorgum (Gambar 6).

Gambar 6 Alat Hardness Tester

Pengukuran Karakteristik Fisik Biji Sorgum

Pengukuran panjang, lebar, dan tebal biji dilakukan di Laboratorium Entomologi, SEAMEO BIOTROP dengan menggunakan alat Electronic Digital Caliper (jangka sorong elektronik). Pengukuran diulang sebanyak 10 kali untuk setiap varietas sorgum.

Analisis Kadar Tanin

Analisis kadar tanin dilakukan di Laboratorium PT. Saraswati Indo Gentech, Bogor dengan menggunakan metode Spektrofotometri (Shetty et al. 1995).

Analisis Kadar Total Fenol

Analisis kadar total fenol dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor dengan menggunakan metode Spektrofotometri (Shetty et al. 1995).

15  

Rancangan Penelitian

Penelitian terdiri dari 1 faktor yaitu varietas sorgum yang terdiri atas 5 taraf, perlakuan diulang sebanyak 10 kali ulangan dan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan parameter yang diamati adalah nilai kehilangan hasil (weight loss) dan jumlah imago S. zeamais generasi pertama (F1) yang muncul.

Pada pengamatan kehilangan hasil dilakukan dengan mengambil sampel sebanyak 25 gram dari setiap perlakuan. Nilai kehilangan hasil dilakukan dengan rumus sebagai berkut:

Nilai kehilangan hasil

Nilai kehilangan hasil sorgum selama penyimpanan, dihitung menggunakan formula Adams (Adams 1976), yaitu dengan rumus:

Dimana :

U = Bobot biji utuh Nu = Jumlah biji utuh D = Bobot biji berlubang Nd = Jumlah biji berlubang

N = Jumlah biji utuh + jumlah biji berlubang

Laju perkembangan intrinsik (Rm), dihitung dengan formula:

Keterangan :

R = F1/No No = Jumlah serangga yang diinfestasikan Dm = Periode perkembangan dalam satuan minggu

Tingkat resistensi biji sorgum dinilai berdasarkan Indeks Kerentanan Dobie (Dobie 1977 dalam Siwale et al. 2009):

Keterangan:

F1 = jumlah S. zeamais generasi pertama (generasi F1) yang muncul setelah 31 hari inkubasi

D = Nilai tengah dari waktu peletakkan telur (oviposition periode) hingga 50% imago F1 muncul.

Analisis Data

Data nilai kehilangan hasil, jumlah imago generasi F1 S. zeamais yang mucul, kekerasan, dan dimensi biji sorgum (panjang, lebar, tebal) kemudian dianalisis dengan uji ANOVA (Analysis of Variance) dilanjutkan dengan uji perbandingan nilai tengah dengan selang berganda DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) dengan tingkat kepercayaan 95%. Selain itu dilakukan uji korelasi Pearson dan regresi. Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS 16.0

   

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berbagai galur sorgum banyak dikembangkan saat ini mengingat sorgum memiliki banyak manfaat. Berbagai kriteria ditetapkan untuk mendapatkan varietas unggul yang diinginkan. Kriteria yang diinginkan bergantung tujuan dari penggunaan tanaman sorgum itu sendiri karena sorgum dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan diantaranya pangan, pakan, energi, serat, dan pupuk. Beberapa jenis kriteria yang disyaratkan untuk biji sorgum yang digunakan sebagai bahan pangan diantaranya memiliki biji dengan ukuran besar dan memiliki kandungan nutrisi yang seimbang, akan tetapi pada proses penyimpanan serangan hama gudang dirasakan sangat merugikan sehingga kriteria biji sorgum tahan serangan hama gudang diperlukan.

Lima varietas sorgum yang diuji dalam penelitian ini diantaranya Numbu, Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan B-76. Untuk membedakan varietas Lokal Wonogiri dengan varietas lainnya cukup mudah karena varietas ini memiliki biji yang berwarna merah sedangkan 4 varietas lain memiliki warna biji krem. Varietas CTY-33 dan Lokal Bandung memiliki ukuran biji yang relatif besar, untuk membedakan keduanya varietas CTY-33 memiliki warna yang lebih terang dibandingkan varietas Lokal Bandung. Varietas Numbu memiliki ciri khas warna yang agak kusam dibandingkan varietas lainnya. Varietas B-76 memiliki ukuran biji yang terkecil dibandingkan 4 varietas lainnya dan warna biji sorgum varietas ini putih kusam. Diantara kelima jenis sorgum yang diuji yang sudah banyak dikenal adalah varietas Numbu karena varietas ini telah resmi dilepas oleh Kementrian Pertanian Indonesia.

Parameter Resistensi Biji Sorgum terhadap S. zeamais

Terdapat lima parameter resistensi biji sorgum terhadap S. zeamais yang diamati pada penelitian ini diantaranya jumlah imago F1 yang muncul, nilai kehilangan hasil, median waktu perkembangan, nilai Indeks Kerentanan Dobie (IKD), dan konstanta laju perkembangan intrinsik. Hasil pengamatan selama 50 hari menunjukkan bahwa jumlah imago F1 S. zeamais yang muncul pada setiap varietas sorgum memiliki jumlah yang beragam. Jumlah imago S. zeamais yang

muncul pada varietas B-76 dan Lokal Bandung berbeda nyata dengan jumlah imago yang muncul pada varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu (Tabel 2).

Jumlah imago S. zeamais yang muncul paling banyak ditunjukkan oleh varietas B-76 dan Lokal Bandung dibandingkan dengan 3 varietas lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu lebih resisten terhadap serangan S. zeamais dibandingkan varietas Lokal Bandung dan B-76.

Tabel 2 Rata-rata jumlah imago F1 S. zeamais yang muncul pada lima varietas sorgum

Varietas Jumlah F1 yang muncul (individu)

Numbu 247.00b

Lokal Bandung 352.40a

Lokal Wonogiri 233.30b

CTY-33 213.50b B-76 361.20a Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji

Duncan pada p=0.05).

Rendahnya jumlah imago S. zeamais yang muncul pada varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu diduga karena terdapat kandungan tanin yang cukup tinggi pada biji. Kandungan fenol yang cukup tinggi diperkirakan juga memperanguhi jumlah imago S. zeamais yang muncul. Tingginya jumlah imago S. zeamais yang muncul pada varietas Lokal Bandung dan B-76 diperkirakan karena kandungan tanin yang cukup rendah.

Resistensi biji terhadap serangan hama gudang terjadi karena berbagai faktor diantaranya faktor kimiawi dan fisik biji. Faktor fisik biji meliputi kekerasan biji dan dimensi biji, sedangkan faktor kimia diantaranya kandungan senyawa metabolit sekunder seperti fenol dan tanin (Dobie 1977 dalam Siwale et al. 2009). Russell (1966) menyatakan bahwa panjang umur imago S. zeamais lebih pendek jika meningkatkan kekerasan biji atau kadar tanin atau dengan memperkecil ukuran biji.

19  

Pada gambar 7 terlihat pola pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais pada lima varitas sorgum yang diuji. Terlihat bahwa kecenderungan pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais terbagi menjadi 2 kelompok. Hal ini sesuai dengan hasil uji beda nyata pada jumlah imago F1 S. zeamais pada Tabel 2 yang menjukkan terdapat 2 kelompok yaitu kelompok Numbu, CTY-33, dan Lokal Wonogiri serta kelompok Lokal Bandung dan B-76.

Gambar 7 Grafik pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais pada lima varietas sorgum

Pola pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais pada lima varitas sorgum yang diuji menunjukkan kecenderungan grafik yang hampir sama antar varietas, dimana populasi meningkat sangat tajam hingga hari ke-20 setelah 1 bulan inkubasi. Pada kondisi berikutnya populasi mulai tidak lagi bertambah secara signifikan di hari ke-30 hingga hari ke-50 setelah 1 bulan inkubasi terlihat dari garis grafik yang mendatar. Meningkatnya populasi secara signifikan hingga hari ke-20 setelah 1 bulan inkubasi sesuai dengan yang dinyatakan Lefevre (1953) dalam Jadhav (2006) yaitu total siklus hidup Sitophilus spp. pada biji sorgum dengan kadar air 11.8 hingga 12.33 % rata-rata selama 54 hari.

Median waktu perkembangan adalah lamanya hari dari pertengahan waktu peletakkan telur (oviposisi) hingga 50% imago dari turunan pertama (F1) S. zeamais muncul (Dobie 1977 dalam Siwale et al. 2009). Median waktu perkembangan menggambarkan lamanya waktu perkembangan dari serangga S. zeamais untuk berkembang di dalam biji.

Hasil pengamatan menunjukkan nilai yang berbeda nyata antara varietas

Dokumen terkait