• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Resistensi Lima Varietas Sorgum Terhadap Sitophilus zeamais (Motsch.) (Coleoptera: Curculionidae)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Resistensi Lima Varietas Sorgum Terhadap Sitophilus zeamais (Motsch.) (Coleoptera: Curculionidae)"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN RESISTENSI LIMA VARIETAS SORGUM

TERHADAP

Sitophilus zeamais

(Motsch.) (COLEOPTERA:

CURCULIONIDAE)

SAGITA PHINANTHIE

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

   

ABSTRAK

SAGITA PHINANTHIE. Kajian Resistensi Lima Varietas Sorgum Terhadap Sitophilus zeamais (Motsch.) (Coleoptera: Curculionidae). Dibimbing oleh IDHAM SAKTI HARAHAP.

Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki banyak manfaat diantaranya sebagai pangan, pakan, serat, pupuk, dan bioenergi. Pada penyimpanan sorgum banyak mengalami masalah yang disebabkan oleh hama gudang salah satunya Sitophilus zeamais (Motsch.). Kehilangan hasil yang disebabkan aktifitas hama ini mencapai 26-29 % (Semple 1985). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui resistensi lima varietas sorgum terhadap serangan S. zeamais selama masa penyimpanan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP dari bulan Februari hingga September 2012. Serangga yang digunakan adalah imago S. zeamais berasal dari SEAMEO BIOTROP. Uji resistensi dilakukan menurut metode Baimaiyi (2007) dengan menginfestasi 40 ekor imago S. zeamais ke dalam stoples plastik bervolume 1000 ml yang berisi 100 gr sorgum. Lima varietas sorgum yang diujikan yaitu Numbu, Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan B-76. Imago S. zeamais diinkubasi selama 14 hari lalu dikeluarkan seluruhnya, penghitungan imago F1 S. zeamais yang muncul dilakukan setiap hari dimulai pada hari ke-30 hingga hari ke-80 (Bamaiyi 2007). Penghitungan nilai kehilangan hasil dilakukan pada hari ke-80 dengan menggunakan metode Adams (1976). Tingkat resistensi sorgum dihitung dengan Indeks Kerentanan Dobie (IKD). Varietas yang paling resisten adalah varietas Numbu dengan nilai IKD 6.99. Hasil uji korelasi menunjukkan faktor kadar tanin, fenol, dan kekerasan biji berkorelasi negatif dengan jumlah imago F1 S. zeamais, nilai IKD, dan konstanta laju intrinsik sedangkan untuk dimensi biji tidak berkorelasi dengan seluruh parameter resistensi.

(3)

KAJIAN RESISTENSI LIMA VARIETAS SORGUM

TERHADAP

Sitophilus zeamais

(Motsch.) (COLEOPTERA:

CURCULIONIDAE)

SAGITA PHINANTHIE

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

Pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

   

Judul : Kajian Resistensi Lima Varietas Sorgum terhadap

Sitophilus zeamais (Motsch.) (Coleoptera: Curculionidae) Nama Mahasiswa : Sagita Phinanthie

NRP : A34080090

Disetujui Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si NIP. 19591022 198503 1 002

Diketahui

Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si NIP. 19650621 198910 2 001

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pasarminggu, Kecamatan Pasarminggu, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 6 Agustus 1991. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari keluarga Bapak Karman Soedjadi dan Ibu Sabarwati. Penulis memiliki dua orang kakak yang bernama Shinta Kristianti dan Satrio Gumilar.

Penulis lulus dari SDN 02 Pasarminggu pada tahun 2003, kemudian melanjutkan ke SMPN 41 Jakarta dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama melanjutkan ke SMAN 34 Jakarta dan lulus pada tahun 2008.

(6)

   

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan hanya untuk Allah SWT atas seluruh berkah rahmat dan karunia Nya yang telah diberikan kepada seluruh manusia dan shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Resistensi Lima Varietas Sorgum Terhadap Sitophilus zeamais (Motsch.) (Coleoptera: Curculionidae)”.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si. sebagai dosen pembimbing skripsi sekaligus pembimbing akademik serta Drs. Sunjaya dan Ir. Sri Widayanti sebagai pembimbing di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP yang telah memberikan pengetahuan, pengarahan, dukungan, dan bimbingan sejak awal hingga akhir penelitian. Terima kasih kepada Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan banyak masukan dan koreksi penulisan skripsi ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Fakultas Pertanian dan laboran Departemen Proteksi Tanaman yang telah memberikan ilmu dan pengalaman selama menyelesaikan pendidikan di Fakultas Pertanian IPB.

Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih untuk Ibunda Sabarwati Ayahanda Karman Soedjadi dan kakak tercinta, untuk dukungan, do’a, kasih, dan sayang yang selalu diberikan hingga menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada Heri Yanto dan Dr. Supriyanto atas bantuan kerjasama dan dukungan moril di SEAMEO BIOTROP hingga menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada teman-teman DPT 45; Fiqi Syaripah, Rizkika Latania, Nia Trikusuma, Rusman Arif, Keisha Disa, dan teman-teman lainnya atas kebersamaan, semangat, persahabatan dan dukungannya selama kuliah. Terima kasih kepada teman yang sekaligus telah menjadi keluarga di Bogor; Mutia Rahim, Teresa Gabriella, Fibria Mustikarini, atas kebersamaan dan kenangan indah selama ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi penulisan yang lebih baik. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan pengetahuan bagi siapa saja yang membacanya.

Bogor, Desember 2012

(7)

DAFTAR

ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Sorgum (Sorghum bicolor (L.)) ... 3

Taksonomi ... 3

Morfologi dan fisiologi ... 3

Kandungan nutrisi ... 5

Kandungan kimia biji sorgum ... 5

Sitophilus zeamais (Motsch.) ... 6

Mekanisme Resistensi dan Faktor yang Memengaruhi ... 8

BAHAN DAN METODE ... 11

Waktu dan Tempat Penelitian ... 11

Bahan dan Alat ... 11

Tahap Persiapan ... 11

Penyediaan Pakan Serangga Uji ... 11

Penyediaan Sorgum Uji ... 11

Pengembangbiakan Serangga Uji ... 12

Uji Resistensi ... 12

Analisis dan Pengukuran Karakter Fisik dan Kimia Biji Sorgum ... 14

Analisis Kekerasan Biji ... 14

Pengukuran Karakteristik Fisik Biji Sorgum ... 14

Analisis Kadar Tanin ... 14

(8)

viii  

Rancangan Penelitian ... 15

Analisis Data ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Parameter Resistensi Biji Sorgum terhadap S. zeamais ... 17

Karakteristik Fisik dan Kimia Biji Sorgum ... 25

Korelasi Parameter Resistensi dengan Faktor-faktor yang Memengaruhi ... 28

KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

Kesimpulan ... 31

Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Perbandingan kandungan nutrisi sorgum dengan berbagai jenis biji

lainnya………... 5 2. Rata-rata jumlah imago F1 S. zeamais yang muncul pada lima

varietas sorgum………. 18 3. Rata-rata median waktu perkembangan S. zeamais pada lima varietas

sorgum………... 20 4. Rata-rata nilai laju perkembangan intrinsik S. zeamais pada lima

varietas sorgum ………... 22 5. Rata-rata nilai kehilangan hasil akibat serangan S. zeamais pada

lima varietas sorgum……….. 24 6. Karakteristik fisik lima varietas sorgum ………... 26 7. Karakteristik kimia lima varietas sorgum ………... 27 8. Hasil uji korelasi parameter-parameter daya resistensi dengan

kadar tanin, kadar fenol, dan kekerasan biji ………... 29 9. Hasil uji korelasi parameter-parameter daya resistensi dengan

(10)

   

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Penampang membujur biji sorgum ……….. 4

2. Sitophilus zeamais Motschulky……… 7

3. Struktur kimia tanin ………... 10

4. Penampakan fisik lima varietas sorgum yang diuji……….. 12

5. Stoples berisi serangga uji dan sorgum selama inkubasi……….. 13

6. Alat Hardness Tester ………... 14

7. Grafik pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais pada lima varietas sorgum... 19

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Output Analisis sidik ragam jumlah imago F1 S. zeamais, median waktu perkembangan, konstanta laju perkembangan intrinsik, nilai Indeks Kerentanan Dobie, kekerasan biji, panjang biji, lebar biji,

tebal biji, dan kehilangan hasil lima varietas sorgum………. 38

2. Uji Duncan jumlah imago F1 S. zeamais.... 39

3. Uji Duncan median waktu perkembangan………... 39

4. Uji Duncan konstanta laju perkembangan intrinsik…………...…... 39

5. Uji Duncan nilai Indeks Kerentanan Dobie………... 40

6. Uji Duncan kekerasan biji sorgum………... 40

7. Uji Duncan panjang biji sorgum………... 40

8. Uji Duncan lebar biji sorgum………... 41

9. Uji Duncan tebal biji sorgum………... 41

10. Uji Duncan nilai kehilangan hasil ………... 41

11. Uji regresi linier antara jumlah imago F1 S. zeamais dengan nilai kehilangan hasil………... 42

(12)

   

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan beras di Indonesia dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan penduduk. Peningkatan jumlah penduduk terus berlangsung secara signifikan sehingga peningkatan kebutuhan beras juga terus terjadi. Pada tahun 2014 Pemerintah Indonesia telah menargetkan produksi beras sebanyak 75.7 ton gabah kering giling (Suswono 2011). Produksi beras di Indonesia selama ini bergantung pada hasil produksi padi sawah, sementara itu luas areal tanaman padi sawah akhir-akhir ini terus menurun akibat terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Situasi ini tentu menghambat peningkatan produksi beras, sebagai alternatif dilakukan diversifikasi budidaya tanaman penghasil karbohidrat sebagai sumber pangan utama non-beras di lahan kering.

Sorgum merupakan tanaman serealia yang berpotensi dikembangkan di Indonesia. Sorgum adalah salah satu jenis tanaman pangan yang lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan tanaman pangan lainnya (Laimheriwa 1990). Banyaknya lahan marjinal di Indonesia juga menjadi salah satu potensi yang mendorong untuk pengembangan sorgum di Indonesia. Sorgum juga merupakan tanaman yang mudah dibudidayakan karena tanaman ini tidak terlalu banyak membutuhkan input dari luar dan dapat diratun beberapa kali (Nur et al. 2012).

Sorgum dapat digunakan sebagai bahan pangan, pakan ternak, serat, pupuk, dan bioenergi (bioetanol) (Supriyanto 2012). Hasil olahan sorgum untuk bahan pangan dapat berupa bubur, kue kering, mie, dan roti. Sorgum merupakan salah satu sumber karbohidrat penting karena memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi, diantaranya kandungan protein dan vitamin B1 yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras, jagung, dan singkong. Kandungan nutrisi lainnya di dalam biji sorgum juga tinggi dan tidak jauh berbeda dengan kandungan nutrisi beras, jagung, dan singkong (DEPKES 1992).

(13)

banyak peneliti baik dari balai penelitian maupun perguruan tinggi untuk menghasilkan varietas sorgum yang unggul. Kriteria dari varietas unggul dicirikan oleh beberapa komponen, salah satunya adalah resisten terhadap hama atau penyakit yang menyerang tanaman tersebut.

Di tempat penyimpanan terdapat banyak hama dan patogen yang menyerang biji sorgum yang dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang cukup berarti. Serangga hama gudang yang banyak menyerang biji sorgum diantaranya Rhyzoperta dominica, Sitophilus zaemais, Sitotroga cerealella, dan Ephestia cautella (Wall 1970). Hama yang menyebabkan nilai kehilangan hasil paling tinggi yaitu R. dominica dan S. zeamais. Kumbang Sitophilus zeamais merupakan hama pasca panen yang penting pada berbagai komoditas biji-bijian di negara tropis. Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama ini di Indonesia diperkirakan mencapai 26-29% pada berbagai komoditas di penyimpanan (Semple 1985).

Kerugian yang ditimbulkan akibat serangan S. zeamais yaitu biji yang diserang menjadi berlubang-lubang dan menghasilkan banyak serbuk hasil gerekan. Faktor yang memengaruhi resistensi biji sorgum terhadap serangan S. zeamais perlu diketahui dan pedoman untuk menetapkan indeks resistensi (Indeks Kerentanan Dobie) biji sorgum terhadap serangan hama gudang S. zeamais diperlukan sebagai acuan untuk pemuliaan biji sorgum di masa mendatang. Oleh karena itu, kajian resistensi biji sorgum terhadap S. zeamais perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menilai resistensi lima varietas sorgum terhadap serangan S. zeamais selama masa penyimpanan dan faktor-faktor yang memengaruhinya.

Manfaat Penelitian

(14)

   

TINJAUAN PUSTAKA

Sorgum (Sorghum bicolor (L.)) Taksonomi

Tanaman sorgum termasuk famili Graminae atau rerumputan. Tanaman lain yang termasuk dalam famili Graminae diantaranya adalah padi, jagung, dan tebu. Taksonomi tanaman sorgum adalah sebagai berikut:

Kelas : Monocotyledon Famili : Gramineae Genus : Sorghum

Spesies : Sorghum bicolor (L.) Holchus Sorghum (L.) Andropogan sorghum (L.) Sorghum Vulgare (L.)

Berbagai nama lokal untuk sorgum adalah Great Millet, guinea Cora (Afrika Barat); Kafir Corn (Afrika Selatan); Milo Sorgo (Amerika Serikat); Kaoliang (Cina); Durra (Sudan); Mtama (Afrika Barat); cantel (Jawa Tengah dan Jawa Timur); Chotam (India); jagung cantrik (Jawa Barat) (Suprapto 1987).

Morfologi dan fisiologi

Sifat ikatan kulit biji pada biji sorgum yaitu diantara kulit biji dan daging biji dilapisi oleh lapisan testa danaleuron, lapisan testa termasuk bagian kulit biji, dan lapisan aleuron termasuk bagian daging biji. Jaringan kulit biji terikat erat oleh daging biji, melalui lapisan tipis yang disebut lapisan semen. Pada proses penggilingan, ikatan kulit biji dengan daging biji ini sulit dipisahkan (Laimheriwa 1990).

(15)

Gambar 1 Penampang membujur biji sorgum (Laimeheriwa 1990)

Kulit biji sorgum ada yang berwarna putih, merah atau cokelat. Sorgum putih disebut sorgum kafir dan yang berwarna merah atau cokelat biasanya termasuk varietas Feterita. Warna biji ini merupakan salah satu kriteria untuk menentukan kegunaannya. Varietas yang berwarna lebih terang akan menghasilkan tepung yang lebih putih dan tepung ini cocok untuk digunakan sebagai makanan lunak, roti dan lain-lainnya. Sedangkan varietas yang berwarna gelap akan menghasilkan tepung yang berwarna gelap dan rasanya lebih pahit. Tepung jenis ini cocok untuk bahan dasar pembuatan minuman. Untuk memperbaiki warna biji ini, biasanya digunakan larutan asam tamarand atau bekas cucian beras yang telah difermentasikan dan kemudian digiling menjadi pasta tepung (Laimeheriwa 1990).

(16)

5  

bijinya. Kehilangan tanin ini akibat terkelupasnya kulit biji dan hilangnya lapisan testa selama perlakuan. Dengan hilangnya senyawa tanin ini, warna tepung menjadi lebih putih, dapat menghilangkan rasa pahit, dan yang terpenting dapat menghilangkan zat anti nutrisi tanin dalam biji sorgum (Suprapto 1987).

Kandungan nutrisi

Sebagai sumber karbohidrat sorgum kaya akan nutrisi. Kandungan nutrisi pada sorgum juga lebih baik dibandingkan dengan beras. Hal tersebut bisa dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan kandungan nutrisi sorgum dengan berbagai jenis sumber karbohidrat lainnya  

Sumber: Departemen Kesehatan 1992.

Kandungan kimia biji sorgum

(17)

ditemukan paling banyak pada lapisan perikarp, testa, dan aleuron (Dicko et al. 2006).

Tanin pada sorgum biasanya dikaitkan dengan dengan kandungan protein yang rendah. Seluruh jenis tanin termasuk dalam polifenol akan tetapi tidak semua polifenol pada sorgum adalah tanin. Kandungan polifenol yang tinggi pada sorgum dicirikan dengan perikarp berwarna coklat dan kulit biji yang berwarna, pada jenis sorgum dengan perikarp berwarna merah dan tidak memiliki kulit biji kandungan polifenolnya cukup signifikan sedangkan pada biji sorgum yang tidak berwarna kandungan polifenol sangat rendah. Keterkaitan antara pigmentasi biji sorgum dengan kandungan tanin yang dimiliki biji sorgum masih belum dapat dipastikan (Dogget 1988).

Sitophilus zeamais (Motsch.)

Serangga hama gudang merupakan faktor biologis yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan selama penyimpanan (Ileleji et al. 2007). Sitophilus zeamais adalah serangga hama gudang yang bersifat polifag (keberadaannya terdeteksi hampir di seluruh komoditas di gudang) (Throne 1986). Kumbang ini tergolong hama penting dan hama primer. Menurut Rees (2004), biologi hama ini termasuk kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Coleoptera, famili Curculionidae, genus Sitophilus, spesies Sitophilus zeamais Motschulky.

Serangga hama ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) dari fase telur sampai menjadi imago (Subramanyam dan Hagstrum 1996). Imago betina meletakkan telur pada biji yang telah dilubangi dengan moncongnya dan tiap lubang diisi satu butir telur lalu ditutup dengan gelatinous egg plug. Fase telur berlangsung sekitar 6 hari. Imago betina meletakkan telur hingga 300-400 butir selama hidup mereka (Sauer 1992).

(18)

7  

rongga dalam biji pada suhu optimum 25 0C (Subramanyam dan Hagstrum 1996). Ukuran serangga ini bergantung pada tempat serangga berkembang biak. Bila hidup pada jagung, ukurannya lebih besar daripada bila hidup pada beras (Sunjaya dan Widayanti 2006).

Gambar 2 Sitophilus zeamais Motschulky

Panjang imago bervariasi mulai 2-5 mm tergantung pada kemampuan makan larva, tetapi pada umumnya S. oryzae berukuran 2-3.5 mm dan S. zeamais 3-3.5 mm (Kalshoven 1981). Satu butir beras hanya dapat ditempati oleh satu larva kumbang ini sedangkan pada biji yang lebih besar seperti jagung, satu butirnya dapat ditempati oleh dua larva S. zeamais.

Di Indonesia S. zeamais lebih banyak ditemukan daripada S. oryzae (Pranata 1979). Sitophilus zeamais merupakan serangga yang dapat berkembang biak dengan cepat, yaitu selama satu tahun dapat menghasilkan 5-7 generasi. Kumbang betina akan mengunyah lubang kecil di dalam inti biji, kemudian memasukkan satu telur ke dalamnya kemudian lubang ditutup kembali dengan zat seperti gelatin yang berfungsi sebagai sumbat telur atau egg plug (Haines 1991).

(19)

tidak menyatu satu sama lain (Fachry 2005). Selama masa perkembangan serangga pada biji tertentu tidak dapat dideteksi dengan kasat mata hingga kemunculan imago kumbang ini akan tetapi pada jagung dan beras keberadaaan larva dan pupa kumbang ini terkadang dapat terlihat pada bagian perikarp (Sauer 1992).

Imago dapat bertahan hidup cukup lama yaitu dengan makan sekitar 5-8 bulan (Sauer 1992). Serangga ini digolongkan ke dalam hama primer (internal feeder), yaitu hama menyerang dan mampu berkembang dengan baik pada komoditas yang masih utuh dengan cara menggerek (Sunjaya dan Widayanti 2006). Perkembangan, aktivitas, dan kopulasi serangga ini dilakukan pada siang hari dan berlangsung lebih lama dibandingkan dengan masa kopulasi hama gudang lainnya (Surtikanti 2004).

Mekanisme Resistensi dan Faktor yang Memengaruhi

Definisi dari resistensi tanaman terhadap serangga sangat banyak dan bervariasi. Dalam arti luas, resistensi tanaman didefinisikan sebagai sifat yang diwariskan oleh tetuanya yang menghasilkan tanaman yang relatif resisten (kerusakan berkurang) dibandingkan tanaman yang rentan dengan jumlah OPT yang menyerang sama. Dalam pengertian praktis tanaman resisten adalah tanaman yang tahan dan mengalami lebih sedikit kerusakan jika terserang hama tertentu. Resistensi tanaman adalah relatif dan didasarkan pada perbandingan dengan tanaman kurang memiliki karakter perlawanan, yaitu tanaman rentan.

Kultivar tanaman tahan serangan hama dapat menekan kelimpahan hama serangga atau menurunkan tingkat kerusakan tanaman. Dengan kata lain, tanaman tahan hama dapat mengubah hubungan hama serangga dengan tanaman inang. Hubungan antara serangga dan tanaman tergantung pada jenis mekanisme resistensi, misalnya antibiosis, antixenosis (non-preferensi), atau toleransi.

(20)

9  

menyebabkan kematian meningkat atau panjang umur berkurang dan penurunan reproduksi serangga.

Mekanisme antixenosis memengaruhi perilaku hama serangga dan biasanya dinyatakan sebagai non-preferensi serangga pada tanaman tahan dibandingkan dengan tanaman rentan.

Toleransi adalah respon tanaman terhadap hama serangga. Mekanisme toleransi terjadi di mana tanaman yang mampu bertahan atau pulih dari kerusakan yang disebabkan oleh serangan serangga hama dengan kerusakan awal yang sama dengan tanaman tanpa karakter resistensi (rentan). Dengan demikian, mekanisme resistensi dengan dasar toleransi berbeda dengan antibiosis dan antixenosis dalam pengaruhnya terhadap hubungan serangga dan tanaman. Mekanisme antibiosis dan antixenosis menyebabkan respon serangga saat serangga mencoba untuk menggunakan tanaman tahan untuk makanan, oviposisi, atau tempat tinggal (Teetes 2009).

Menurut Chandrashekar dan Satyanarayana (2006), daya resistensi sorgum terhadap hama dan patogen dipengaruhi komposisi struktur fisik dan kimia dari biji. Struktur fisik biji seperti ketebalan komposisi lapisan perikarp, tekstur endosperm, dan bermacam-macam komponen kimia seperti asam hidroksinamat, asam ferulat, dan bermacam-macam protein endosperm memiliki daya antagonis terhadap hama dan patogen, sehingga berperan sebagai pertahanan biji.

(21)

Gambar 3 Struktur kimia tanin (Hagerman et al. 1997)

Tanin merupakan salah satu senyawa dari golongan polifenol dan memiliki peranan biologis yang kompleks. Fungsi tanin diantaranya dapat menghelat protein dan logam. Selain itu, tanin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis (Hagerman et al. 1997).

(22)

   

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Entomologi, SEAMEO BIOTROP, Tajur, Bogor. Penelitian berlangsung dari Februari hingga September 2012.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5 varietas sorgum yaitu Numbu, Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan B-76, fluon, dan fosfin tablet. Alat yang digunakan diantaranya alat pengukur kadar air biji, sample divider, ayakan besi ukuran 2 mm, ayakan plastik, nampan plastik, stoples plastik bervolume 1000 ml, kuas, termohygrometer, hardness tester, timbangan sartorius, plastik zipper, label, pensil, spidol, dan kamera.

Tahap Persiapan Penyediaan Pakan Serangga Uji

Biji sorgum didapatkan dari pertanaman sorgum di lingkungan SEAMEO BIOTROP. Biji sorgum yang digunakan yaitu varietas Numbu. Biji sorgum yang digunakan sebagai pakan sebelumnya difumigasi dengan fosfin tablet (1.5 tablet/m3).

Penyediaan Sorgum Uji

Sorgum yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan langsung dari lapangan meliputi Wonogiri (Lokal Wonogiri), Tangerang (Numbu), Bandung (Lokal Bandung), dan Bogor (CTY-33 dan B-76). Pada setiap panen dilakukan pemotongan bagian malai sorgum, selanjutnya malai dikeringkan dengan dijemur (terkena sinar matahari langsung) selama 2 minggu. Setelah dikeringkan malai sorgum dirontokkan baik secara manual atau dengan alat perontok, selanjutnya dilakukan pengayakan untuk memisahkan biji dengan bagian malai yang terbawa.

(23)

Numbu berasal dari pertanaman petani di daerah Tangerang, varietas B-76 berasal dari pertanaman di lingkungan SEAMEO BIOTROP, dan varietas CTY-33 berasal dari pertanaman di daerah Jonggol. Varietas B-76, CTY-33, dan Numbu merupakan hasil pemuliaan BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional).

Gambar 4 Penampakan fisik lima varietas sorgum yang diuji

Pengembangbiakan Serangga Uji

Serangga uji yang digunakan adalah imago S. zeamais yang berasal dari koloni koleksi laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP. Serangga uji diperbanyak pada 400 gram sorgum varietas Numbu dengan menginfestasi imago S. zeamais sebanyak 1000 ekor per wadah (stoples). Pengembangbiakan serangga uji dilakukan sebanyak 10 wadah, setelah itu dilakukan inkubasi selama 2 minggu, selanjutnya imago indukan dikeluarkan dan sorgum kembali diinkubasikan hingga hari ke-30. Mulai hari ke-31 imago S. zeamais yang muncul dipanen setiap harinya dan dipisahkan berdasarkan tanggal panen untuk mengetahui umur serangga tersebut.

Uji Resistensi

(24)

13  

sorgum yang digunakan juga telah disamakan tingkat kadar airnya yang diukur dengan alat pengukur kadar air biji. Selanjutnya 40 ekor imago S. zeamais berumur seragam (1-14 hari) dimasukkan ke dalam stoples plastik bevolume 1000 ml yang berisi 100 gram biji sorgum, di bagian atas permukaan dalam wadah plastik diolesi dengan “fluon” untuk mencegah imago S. zeamais ke luar dari dalam wadah. Inkubasi dilakukan selama 2 minggu setelah itu seluruh imago dikeluarkan dari wadah (Dobie 1977 dalam Siwale et al. 2009).

Pada hari ke 31 imago turunan pertama (F1) yang muncul dikeluarkan dan dihitung setiap harinya hingga 50 hari dengan asumsi seluruh imago F1 telah menetas secara keseluruhan (Bamaiyi 2007). Inkubasi dilakukan pada ruangan dengan suhu 26-30 0C dan kelembapan relatif 50-70 %.

Gambar 5 Stoples berisi serangga uji dan sorgum selama inkubasi

(25)

Analisis dan Pengukuran Karakter Fisik dan Kimia Biji Sorgum Analisis Kekerasan Biji

Analisis kekerasan biji dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Institut Pertanian Bogor dengan alat Hardness Tester. Pengukuran dilakukan sebanyak 10 kali ulangan tiap varietas sorgum (Gambar 6).

Gambar 6 Alat Hardness Tester

Pengukuran Karakteristik Fisik Biji Sorgum

Pengukuran panjang, lebar, dan tebal biji dilakukan di Laboratorium Entomologi, SEAMEO BIOTROP dengan menggunakan alat Electronic Digital Caliper (jangka sorong elektronik). Pengukuran diulang sebanyak 10 kali untuk setiap varietas sorgum.

Analisis Kadar Tanin

Analisis kadar tanin dilakukan di Laboratorium PT. Saraswati Indo Gentech, Bogor dengan menggunakan metode Spektrofotometri (Shetty et al. 1995).

Analisis Kadar Total Fenol

(26)

15  

Rancangan Penelitian

Penelitian terdiri dari 1 faktor yaitu varietas sorgum yang terdiri atas 5 taraf, perlakuan diulang sebanyak 10 kali ulangan dan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan parameter yang diamati adalah nilai kehilangan hasil (weight loss) dan jumlah imago S. zeamais generasi pertama (F1) yang muncul.

Pada pengamatan kehilangan hasil dilakukan dengan mengambil sampel sebanyak 25 gram dari setiap perlakuan. Nilai kehilangan hasil dilakukan dengan rumus sebagai berkut:

Nilai kehilangan hasil

Nilai kehilangan hasil sorgum selama penyimpanan, dihitung menggunakan formula Adams (Adams 1976), yaitu dengan rumus:

Dimana :

U = Bobot biji utuh Nu = Jumlah biji utuh D = Bobot biji berlubang Nd = Jumlah biji berlubang

N = Jumlah biji utuh + jumlah biji berlubang

Laju perkembangan intrinsik (Rm), dihitung dengan formula:

Keterangan :

R = F1/No No = Jumlah serangga yang diinfestasikan Dm = Periode perkembangan dalam satuan minggu

(27)

Keterangan:

F1 = jumlah S. zeamais generasi pertama (generasi F1) yang muncul setelah 31 hari inkubasi

D = Nilai tengah dari waktu peletakkan telur (oviposition periode) hingga 50% imago F1 muncul.

Analisis Data

(28)

   

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berbagai galur sorgum banyak dikembangkan saat ini mengingat sorgum memiliki banyak manfaat. Berbagai kriteria ditetapkan untuk mendapatkan varietas unggul yang diinginkan. Kriteria yang diinginkan bergantung tujuan dari penggunaan tanaman sorgum itu sendiri karena sorgum dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan diantaranya pangan, pakan, energi, serat, dan pupuk. Beberapa jenis kriteria yang disyaratkan untuk biji sorgum yang digunakan sebagai bahan pangan diantaranya memiliki biji dengan ukuran besar dan memiliki kandungan nutrisi yang seimbang, akan tetapi pada proses penyimpanan serangan hama gudang dirasakan sangat merugikan sehingga kriteria biji sorgum tahan serangan hama gudang diperlukan.

Lima varietas sorgum yang diuji dalam penelitian ini diantaranya Numbu, Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan B-76. Untuk membedakan varietas Lokal Wonogiri dengan varietas lainnya cukup mudah karena varietas ini memiliki biji yang berwarna merah sedangkan 4 varietas lain memiliki warna biji krem. Varietas CTY-33 dan Lokal Bandung memiliki ukuran biji yang relatif besar, untuk membedakan keduanya varietas CTY-33 memiliki warna yang lebih terang dibandingkan varietas Lokal Bandung. Varietas Numbu memiliki ciri khas warna yang agak kusam dibandingkan varietas lainnya. Varietas B-76 memiliki ukuran biji yang terkecil dibandingkan 4 varietas lainnya dan warna biji sorgum varietas ini putih kusam. Diantara kelima jenis sorgum yang diuji yang sudah banyak dikenal adalah varietas Numbu karena varietas ini telah resmi dilepas oleh Kementrian Pertanian Indonesia.

Parameter Resistensi Biji Sorgum terhadap S. zeamais

(29)

muncul pada varietas B-76 dan Lokal Bandung berbeda nyata dengan jumlah imago yang muncul pada varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu (Tabel 2).

Jumlah imago S. zeamais yang muncul paling banyak ditunjukkan oleh varietas B-76 dan Lokal Bandung dibandingkan dengan 3 varietas lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu lebih resisten terhadap serangan S. zeamais dibandingkan varietas Lokal Bandung dan B-76.

Tabel 2 Rata-rata jumlah imago F1 S. zeamais yang muncul pada lima varietas sorgum

Varietas Jumlah F1 yang muncul (individu)

Numbu 247.00b

Lokal Bandung 352.40a

Lokal Wonogiri 233.30b

CTY-33 213.50b B-76 361.20a Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji

Duncan pada p=0.05).

Rendahnya jumlah imago S. zeamais yang muncul pada varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu diduga karena terdapat kandungan tanin yang cukup tinggi pada biji. Kandungan fenol yang cukup tinggi diperkirakan juga memperanguhi jumlah imago S. zeamais yang muncul. Tingginya jumlah imago S. zeamais yang muncul pada varietas Lokal Bandung dan B-76 diperkirakan karena kandungan tanin yang cukup rendah.

(30)

19  

Pada gambar 7 terlihat pola pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais pada lima varitas sorgum yang diuji. Terlihat bahwa kecenderungan pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais terbagi menjadi 2 kelompok. Hal ini sesuai dengan hasil uji beda nyata pada jumlah imago F1 S. zeamais pada Tabel 2 yang menjukkan terdapat 2 kelompok yaitu kelompok Numbu, CTY-33, dan Lokal Wonogiri serta kelompok Lokal Bandung dan B-76.

Gambar 7 Grafik pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais pada lima varietas sorgum

(31)

Median waktu perkembangan adalah lamanya hari dari pertengahan waktu peletakkan telur (oviposisi) hingga 50% imago dari turunan pertama (F1) S. zeamais muncul (Dobie 1977 dalam Siwale et al. 2009). Median waktu perkembangan menggambarkan lamanya waktu perkembangan dari serangga S. zeamais untuk berkembang di dalam biji.

Hasil pengamatan menunjukkan nilai yang berbeda nyata antara varietas Numbu dengan 4 varietas lainnya (Tabel 3). Varietas Numbu memiliki nilai median waktu perkembangan yang lebih panjang dibandingkan dengan 4 varietas lainnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa waktu perkembangan yang dibutuhkan S. zeamais pada varietas Numbu lebih lama dibandingkan di 4 varietas lainnya.

Tabel 3 Rata-rata median waktu perkembangan S. zeamais pada lima varietas sorgum

Varietas Median waktu perkembangan (hari)

Numbu 34.0a

Lokal Bandung 33.1b

Lokal Wonogiri 33.1b

CTY-33 33.0b B-76 32.8b Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji

Duncan pada p = 0.05).

Pada empat varietas lainnya; Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan B-76 memiliki nilai median waktu perkembangan yang tidak berbeda nyata satu sama lain. Hal ini menyatakan bahwa rata-rata waktu perkembangan yang dibutuhkan S. zeamais untuk berkembang pada 4 varietas ini lebih cepat dibandingkan dengan varietas Numbu. Pada varietas Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan B-76 memiliki nilai median waktu perkembangan yang hampir sama hal ini menunjukkan kesesuaian 4 varietas ini dengan serangga S. zeamais yang sama.

(32)

21  

inang tersebut dapat dikatakan lebih resisten dibandingkan dengan inang lain yang sejenis. Varietas Numbu memiliki median waktu perkembangan yang paling panjang dapat diasosiasikan dengan jumlah imago yang muncul pada varietas tersebut rendah sedangkan pada varietas B-76 memiliki nilai median waktu perkembangan paling pendek berhubungan dengan jumlah imago F1 yang muncul pada varietas B-76 paling tinggi.

Konstanta laju perkembangan intrinsik adalah konstanta yang menggambarkan dinamika perkembangan suatu populasi serangga. Hal ini erat kaitannya dengan resistensi varietas karena konstanta laju intrinsik dapat memperlihatkan kesesuaian suatu habitat dan makanan bagi perkembangan serangga, jika suatu serangga di suatu varietas memiliki nilai konstanta laju intrinsik yang semakin rendah maka dapat diasumsikan varietas tersebut relatif resisten dibandingkan varietas lainnya. Besaran konstanta laju perkembangan intrinsik yang semakin tinggi maka habitat atau makanan tersebut semakin sesuai untuk perkembangan hidup serangga (Tarmudji 2008).

Terlihat pada Tabel 4 nilai rata-rata laju perkembangan intrinsik pada varietas Lokal Bandung dan B-76 berbeda nyata dengan varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu. Varietas B-76 adalah varietas yang memiliki konstanta laju perkembangan intrinsik paling tinggi yang artinya sorgum varietas B-76 sangat sesuai untuk perkembangan S. zeamais dibandingkan dengan empat varietas lainnya. Varietas CTY-33 memiliki konstanta laju intrinsik yang paling kecil artinya varietas CTY-33 adalah varietas yang paling tidak sesuai untuk perkembangan S. zeamais. Kesesuaian habitat atau makanan untuk perkembangan serangga memiliki keterkaitan dengan kandungan fisik ataupun kimia dari habitat atau makanan tersebut.

(33)

maka semakin rendah konstanta laju perkembangan intrinsik begitu pula sebaliknya.

Tabel 4 Rata-rata nilai laju perkembangan intrinsik S. zeamais pada lima varietas sorgum

Varietas Laju perkembangan intrinsik

Numbu 0.16b

Lokal Bandung 0.31a

Lokal Wonogiri 0.15b

CTY-33 0.12b B-76 0.32a Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji

Duncan pada p = 0.05).

Pengukuran tingkat resistensi biji terhadap serangan hama gudang dapat dilakukan dengan menghitung nilai Indeks Kerentanan Dobie (IKD). Nilai IKD menggambarkan tingkat kerentanan biji sehingga semakin tinggi nilai IKD suatu biji maka biji tersebut semakin rentan sedangkan jika nilai IKDnya semakin rendah maka biji tersebut semakin resisten terhadap serangan hama gudang. Komponen yang dimasukkan ke dalam formula IKD adalah jumlah imago F1 yang keluar dan median waktu perkembangan (Dobie 1977 dalam Siwale et al. 2009).

(34)

23  

Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan pada p = 0.05).

Gambar 8 Grafik rata-rata nilai Indeks Kerentanan Dobie lima varietas sorgum

Korelasi positif sangat signifikan terlihat pada besarnya jumlah imago F1 S. zeamais yang muncul dengan nilai IKD sedangkan nilai median waktu perkembangan dan konstanta laju perkembangan intrinsik memiliki hubungan korelasi negatif sangat signifikan dengan nilai IKD (Lampiran 12). Korelasi positif sangat signifikan antara jumlah imago F1 S. zeamais dengan nilai IKD memiliki arti semakin tinggi jumlah imago F1 S. zeamais maka nilai IKD semakin tinggi, sementara korelasi negatif sangat signifikan antara nilai IKD dengan nilai median waktu perkembangan dan konstanta laju perkembangan intrinsik berarti semakin besarnya nilai median waktu perkembangan dan konstanta laju perkembangan maka nilai IKD akan semakin rendah.

Menurut Horber (1988), nilai IKD yang tinggi dapat diasumsikan bahwa semakin banyak jumlah imago F1 yang muncul dan semakin pendeknya median waktu perkembangan maka biji tersebut semakin rentan terhadap serangan hama gudang tertentu. Besarnya nilai IKD dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor fisik maupun kimia dari biji. Hal ini dikarenakan faktor-faktor tersebut dinilai dapat memengaruhi kemampuan akses makan dari serangga.

(35)

komoditas. Nilai kehilangan hasil dihitung menggunakan formula Adams (1976) dengan menghitung biji rusak dan biji tidak rusak serta membandingkan berat keduanya.

Nilai kehilangan hasil pada seluruh varietas berbeda nyata. Nilai kehilangan hasil dinyatakan dalam satuan %, pada lima varietas nilai kehilangan hasil berkisar antara 2.8-4.6 %. Nilai kehilangan hasil dari tertinggi hingga terendah yaitu varietas Lokal Bandung, B-76, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu. Kehilangan hasil pada varietas Lokal Bandung berbeda nyata dengan varietas Numbu, Lokal Wonogiri, dan CTY-33 serta tidak berbeda nyata dengan varietas B-76.

Tabel 5 Rata-rata nilai kehilangan hasil akibat serangan S. zeamais pada lima varietas sorgum

Varietas Kehilangan hasil (%)

Numbu 2.85c

Lokal Bandung 4.57a

Lokal Wonogiri 3.50bc

CTY-33 3.01c B-76 4.28ab Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji

Duncan pada p = 0.05).

Pada hasil uji korelasi (Lampiran 12) terlihat terdapat korelasi positif signifikan dengan jumlah imago F1 S. zeamais, nilai IKD, dan konstanta laju perkembangan intrinsik serta berkorelasi negatif sangat signifikan dengan median waktu perkembangan. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya nilai kehilangan hasil disertai dengan peningkatan jumlah imago F1 S. zeamais, nilai IKD, dan konstanta laju perkembangan intrinsik sedangkatnya nilai kehilangan hasil akan menurun dengan meningkatnya panjang median waktu perkembangan.

(36)

25  

regresi dapat menggambarkan model yang dapat menjabarkan formulasi populasi serangga dengan nilai kehilangan hasilnya. Pada kurva regresi (Gambar 9) terlihat garis linier memiliki persamaan y = 0.60 + 0.11x dengan R2 = 0.69.

Gambar 9 Grafik regresi hubungan antara jumlah imago F1 S. zeamais dan kehilangan hasil pada lima varietas sorgum

Persamaan garis tersebut dapat diartikan setiap penambahan 1 individu S. zeamais maka nilai kehilangan hasil akan bertambah sebanyak 0.11 %. Persamaan garis ini berdasarkan jumlah imago S. zeamais dari 100 ekor hingga 500 ekor dan nilai kehilangan hasil dari 2-7.5 %.

Karakteristik Fisik dan Kimia Biji Sorgum

Untuk mendapatkan biji sorgum yang memiliki ketahanan terhadap serangan hama gudang diperlukan informasi mengenai faktor-faktor yang dapat menyebabkan resistensi biji sorgum terhadap serangan hama gudang. Berbagai karakteristik kimia dan fisik lima varietas sorgum diuji dan dilihat korelasinya dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan tingkat resistensi lima varietas sorgum terhadap serangan S. zeamais.

(37)

satu karakteristik fisik yang diukur karena kekerasan biji memengaruhi seberapa mudah biji tersebut digerek oleh hama gudang (Sauer 1992).

Tabel 6 Karakteristik fisik lima varietas sorgum

Varietas Kekerasan biji (kg)

Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan pada p = 0.05).

Pengukuran karekteristik fisik lainnya yaitu dimensi biji (panjang, lebar, dan tebal). Dimensi biji menggambarkan seberapa besar ukuran biji. Ukuran biji paling besar hingga paling kecil yaitu varietas Lokal Bandung, CTY-33, Numbu, Lokal Wonogori, dan B-76. Varietas Lokal Bandung dan CTY-33 memiliki ukuran biji yang tidak berbeda nyata atau dapat diartikan memiliki ukuran yang hampir sama. Dimensi biji dijadikan salah satu indikator yang diukur karena ukuran biji dapat memengaruhi perkembangan larva S. zeamais selama hidup di dalam biji (Sunjaya dan Widayanti 2006).

Menurut Kalshoven (1981), panjang imago S. zeamais berkisar 3-3,5 mm, hal tersebut jika dikaitkan dengan dimensi biji sorgum, semua varietas biji sorgum yang diuji memiliki ukuran yang cocok untuk perkembangan serangga ini sehingga ukuran biji kelima varietas biji tidak memengaruhi perkembangan serangga ini. Perbedaan ukuran biji sorgum hanya akan mempengarhi ukuran besar atau kecilnya imago serangga yang muncul.

(38)

27  

golongan senyawa metabolit sekunder yang berada di dalam tanaman. Pada seluruh jenis serealia, sorgum adalah satu-satunya jenis serealia yang memiliki kandungan fenolik tertinggi hingga mencapai 6% pada beberapa varietas (Dicko et al. 2005). Hampir seluruh jenis unsur fenolik ditemukan pada sorgum (Awika dan Rooney 2004).

Perbedaan kandungan kimia biji sorgum pada setiap varietas Disebabkan oleh genotipe dan pengaruh lingkungan selama perkembangan sorgum di lapangan. Senyawa fenolik yang menyusun komponen fenolik diantaranya simple phenols, hydroxybenzoic acids, hydroxycinnamic acids, flavonoids (flavanols, flavones, flavanones, isoflavones and anthocyanins), chalcones, aurones (hispidol), hydroxycoumarins, lignans, hydroxystilbenes and polyflavans (proanthocyanidins and prodeoxyanthocyanidins) (Krueger et al. 2003).

Hasil analisis (Tabel 3) menujukkan kadar fenol total dan tanin memiliki korelasi yang kuat, kadar tanin dan fenol dari tertinggi hingga terendah yaitu varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, B-76, Lokal Bandung, dan Numbu. Varietas Lokal Wonogiri memiliki kandungan tanin dan fenol tertinggi diperlihatkan secara fisik dengan warna merah kecoklatan pada kulit biji.

Tabel 7 Karakteristik kimia lima varietas sorgum

Varietas Kadar tanin (%) Kadar fenol (mg/1000g)

Numbu 4.79 268.90

Lokal Bandung 5.09 278.02

Lokal Wonogiri 6.59 949.04

CTY-33 5.39 480.31

B-76 4.86 342.58

(39)

Korelasi Parameter Resistensi dengan Faktor-faktor yang Memengaruhi Hubungan antara karakteristik kimia dan fisik biji dengan parameter resistensi dijabarkan pada Tabel 8. Terlihat korelasi negatif signifikan antara kadar fenol dan tanin dengan jumlah imago F1 S. zeamais dan konstanta laju perkembangan intrinsik, yang artinya semakin tinggi nilai kadar fenol total dan tanin biji sorgum maka semakin rendah jumlah imago F1 S. zeamais dan konstanta laju perkembangan intrinsik. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara kandungan fenol dan tanin di dalam biji sorgum dengan jumlah imago S. zeamais yang muncul dan kesesuaian S. zeamais dengan varietas sorgum. Secara empirik data kandungan tanin dan fenol memang tidak terlihat berkorelasi dengan tingkat resistensi varietas (varietas Numbu yang paling resisten tidak memiliki kandungan tanin dan fenol total tertinggi) (Tabel 2, Tabel 4, dan Tabel 7), namun secara statistik terlihat adanya korelasi cukup kuat antar keduanya (−0.25>koefisien korelasi>−0.5) dan signifikan pada nilai p≤0.05. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika nilai kadar tanin sorgum semakin tinggi maka semakin rendah jumlah F1 yang muncul atau konstanta laju intrinsik yang dimiliki dan hal ini terjadi pula sebaliknya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, dimana Ramputh et al. (1999) menyatakan terdapat korelasi negatif antara jumlah serangan Sitophillus sp. dengan jumlah komponen fenolik pada sorgum.

Kandungan kimia non nutrisi pada biji khususnya unsur kimia yang termasuk golongan polifenol menjadi salah satu faktor penentu pada resistensi biji terhadap serangan S. zeamais (Serratos et al. 1987). Unsur kimia golongan fenol berperan sebagai faktor resistensi yang keberadaaannya banyak terdapat pada lapisan luar biji (kulit), hal ini juga memungkinkan adanya keterkaitan dengan struktur komponen di dalam biji dan faktor antibiosis (Arnason et al. 1993).

(40)

29  

Tabel 8 Hasil uji korelasi parameter-parameter daya resistensi dengan kadar tanin, kadar fenol, dan kekerasan biji

Parameter daya resistensi Kadar tanin Kadar fenol total

Kekerasan biji

Jumlah F1 -0.321* -0.335* -0.257

Median waktu perkembangan -0.131 -0.133 0.206 Indeks Kerentanan Dobie -0.203 -0.216 -0.256

Laju intrinsik -0.282* -0.298* -0.242

% kehilangan hasil -0.077 -0.111 -0.117

*korelasi signifikan (p ≤ 0.05).

Berdasarkan fungsi tanin dan fenol sebagai zat antinutrisi maka mekanisme resistensi yang terjadi diantara sorgum dan S. zeamais adalah mekanisme antibiosis. Menurut Teetes (2009), mekanisme antibiosis menyebabkan penurunan kelimpahan serangga hama, dengan meningkatnya tingkat mortalitas, penurunan panjang umur dan penurunan tingkat reproduksi.

Kekerasan biji merupakan karakteristik fisik yang juga dijadikan faktor yang dapat memengaruhi resistensi. Terlihat korelasi negatif antara kekerasan biji dengan jumlah imago F1 S. zeamais dan nilai Indeks Kerentanan Dobie (koefisien korelasi<−0.25), yang artinya semakin tinggi nilai kekerasan biji maka semakin rendah nilai faktor resistensi tersebut (Tabel 8). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dikemukakan oleh Dobie (1974) dalam Tepping et al. (1988) yang menyatakan resistensi pada biji jagung terhadap serangan S. zeamais disebabkan oleh faktor fisik biji seperti kekerasan biji.

(41)

Hal ini dikarenakan dimensi atau ukuran biji sorgum lebih besar dari ukuran maksimal larva S. zeamais yang berkembang di dalam biji sorgum.

Tabel 9 Hasil uji korelasi parameter-parameter daya resistensi dengan lebar biji, panjang biji, dan tebal biji sorgum

Parameter daya resistensi Lebar biji Panjang biji Tebal biji

Jumlah F1 0.068 -0.008 0.190

Median waktu perkembangan -0.078 0.0127 0.116 Indeks Kerentanan Dobie 0.103 -0.026 0.130

Laju intrinsik 0.095 0.007 0.189

% kehilangan hasil 0.100 -0.018 0.063

Segrove (1951) dan Longstaff (1981) dalam Danho (1996) menyebutkan bahwa imago betina S. zeamais cenderung meletakkan telur pada biji dengan ukuran besar. Hasil penelitian Danho (1996) menunjukkan hasil yang bertolak belakang dengan pernyataan sebelumnya yaitu bahwa imago betina S. zeamais tidak memilih biji berdasarkan berat atau ukuran biji karena imago betina tidak dapat memperkirakan dengan pasti dimensi dan berat suatu biji. Selain itu penelitian Danho (1990) juga memperlihatkan hasil bahwa telur S. zeamais banyak diinfestasikan oleh imago betina S. zeamais pada biji dengan ukuran kecil.

Serangga S. zeamais akan berkembang menurut ukuran biji atau makanan tempat dia tinggal (Sunjaya dan Widayanti 2006). Besarnya ukuran larva akan mengikuti dengan besarnya biji tempat serangga itu berkembang dan nutrisi yang tersedia di dalamnya. Ukuran imago tentu saja bergantung dengan seberapa besar larva S. zeamais ini berkembang dan seberapa banyak larva dapat mengonsumsi makanannya. Sehingga ukuran atau dimensi biji hanya akan meengaruhi ukuran serangga tidak dengan jumlahnya. Akan tetapi ukuran biji terkadang dapat memengaruhi jumlah imago F1 yang muncul apabila besarnya biji memungkinkan untuk perkembangan 2 serangga sekaligus (ukuran biji dua kali lipat ukuran serangga) misalnya jagung (Sunjaya dan Widayanti 2006).

(42)

   

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa urut-urutan tingkat resistensi (nilai Indeks Kerentanan Dobie) varietas biji sorgum dari paling tinggi hingga terendah yaitu Numbu, CTY-33, Lokal Wonogiri, Lokal Bandung, dan paling rentan adalah B-76. Keberadaan metabolit sekunder yaitu komponen fenolik yang berada di dalam biji sorgum yaitu tanin dan fenol total serta faktor fisik biji sorgum yaitu kekerasan biji termasuk faktor yang memengaruhi resistensi biji sorgum terhadap S. zeamais sedangkan dimensi atau ukuran biji tidak termasuk faktor yang memengaruhi tingkat resistensi biji sorgum terhadap S. zeamais.

Saran

(43)

Adams. 1976. Weight loss caused by development of Sitophilus zeamais Motsch in maize. J. Stored Prod. Res. 12: 269-272.

Adesuyi SA. 1979. Relative resistance of some maize varieties to attack by Sitophilus zeamais. Nigerian Stored Products Research Institute. 14th Annual report.

Arnason JT, Lambert JDH, Gale J, Mihm J. 1993. Is Quality Protein Maize more susceptible than normal varieties to attack by the Maize Weevil, Sitophilus zeamais? Postharvest Biol. Technol. 2: 349-358.

Awika JM, Rooney LW. 2004. Sorghum phytochemicals and their potential aspects on human health. Phytochemistry. 65:1199-1221.

Bamaiyi LJ, Dike MC, Onu I. 2007. Relative susceptibility of some sorghum varieties to the rice weevil Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae). J. Entomol. 4(5): 387-392.

Chandrashekar A, Satyanarayana KV. 2006. Disease and Pest Resistance in Grains of Sorghum and Millets. Journal of Cereal Science. 44: 287–304.

Danho M, Haubruge E. 1996. Optimal clutch size andoviposition strategy for the maize weevil, Sitophilus zeamais. S. zeamais. Prosiding The 8th International Working Conference on Stored Product Protection. Gembloux(BE): Gembloux Agricultural University.

[DEPKES RI]. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta(ID): Penerbit Bhratara. 57p.

(44)

33  

Dicko MH, Gruppen H, Traore H , Voragen GJA, Berkel JWH. 2006. Phenolic Compounds and Related Enzymes as Determinants of Sorghum for Food Use. Biotechnology and Molecular Biology Review 1, 21–38.

Doggett H. 1988. Sorghum 2nd Ed. New York(AS): Longmann Scientific and Technical.

Fachry I. 2005. Keefektifan campuran ekstrak tumbuhan terhadap Sitophilus zeamais Motschulsky (Colepotera : Curculionidae) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Gujer R, Magnolato D, Self R. 1986. Glycosylated -avonoids and other phenolics from sorghum. Phytochemistry 25, 1431-1436.

Hagerman AE, Zhao Y, Johnson S. 1997. Methods for Dtermination of Condensed and Hydrosable Tanins. Washington DC(US): American Chemical Society.

Haines CP. 1991. Insects and Arachnids of Tropical Stored Product : Their Biology and Identification (A Training Manual). Central Avenue(UK): Natural Resources Institute. pp.246.

Harbone JB. 1996. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Ed ke-2. Kosasih Padmawinata dan Iwang Sudiro, penerjemah. Bandung(ID): Institut Teknologi Bandung.

Horber E. 1988. Methods to detect and evaluate resistance in maize to seed insects in the field and in storage. Towards insect resistance maize for the third world. Prosiding International Symposium on Methodologies for Developing Host Plant Resistance to Maize Insects. El Batan(ME): D.F. CYMMYT. Hlm 140-150.

Ileleji KE, Maier DE, dan Woloshuk CP. 2007. Evaluation of different temperature management strategies for suppression of Sitophilus zeamais (Motschulsky) in stored maize. J. Stored Prod. Res. 43: 480-488.

(45)

P.A. Vander Laan with the assistance of G.L.H.Rothsild. Jakarta(ID) : PT.Ikhtiar Baru-Van Hoeve.

Krueger CG, Vestling MA, Reed JD. 2003. Matrix-assisted laser desorption/ionization time-of-flight mass spectrometry of heteropolyflavan-3-ols and glucosylated heteropolyflavans in sorghum (Sorghum bicolor (L.)) Moench. J. Agric. Food Chem. 51: 538–543.

Laimeheriwa L. 1990. Teknologi Budidaya Sorgum. Irian Jaya: (ID): Balai Informasi Pertanian, Departemen Pertanian.

Nur A, Pabendon MB, Fatmawati. 2012. Ulasan penelitian dan pengembangan sorgum. Workshop The Current Status and Challenges in Sorghum Developments in Indonesia. Bogor. [25-26 September 2012]

Pranata RI. 1979. Pengantar Ilmu Hama Gudang. Bogor (ID): SEAMEO BIOTROP and Bogor Agriculture University.

Ramputh A, Teshome A, Bergvinson DJ, Nozzolillo C. 1998. Soluble phenolic content as an indicator of sorghum grain resistance to Sitophilus oryzae (Coleoptera: Curculionidae). J. Stored Prod. Res. 35(1): 57-64.

Ress D. 2004. Insect of Stored Products. Collingwood (AU): Csiro Publishing.

Russell MP. 1966. Effects of four sorghum varieties on the longevity of the rice weevil Sitophilus oryzae L. J. Stored Prod. Res. 2 : 75-79.

Sauer DB, editor. 1992. Storage of Cereal Grains and Their Products. Minnesota (US): American Association of Cereal Chemicals, Inc.

Semple RL. 1985. Problems relative to pest control and use of pesticides in grain storage, the current situation in ASEAN and future requirement. Proceeding og International Seminar on Pesticides and Humid Tropical Grain Storage Systems. Canberra (AU): ACIAR.

(46)

35  

Shetty K, Curbs OR, Levin RE, Witkowsky R, Ang W. 1995. Prevention of vitrification with in vitro shoot culture of oregano (Origanum vulgare) by Pseudomonas sp. J Plant Physiol. 147: 447-451.

Siwale J, Mbata K, Mcrobert J, Lungu D. 2009. Comparative resistance of improved maize genotypes and landracesto maize weevil. African Crop Sci J. 17(1): 1-16.

Subramanyam B, Hagstrum DW. 2006. Fundamental of Stored-Product Entomology. Minnesota(US): AACC International.

Sunjaya, Widayanti S. 2006. Pengenalan serangga hama gudang. Di dalam Prijono D, Dharmaputra OS, Widayanti S, editor. Pengelolaan Hama Gudang Terpadu. Bogor(ID): KLH, UNIDO, SEAMEO BIOTROP. hlm 44-45

Suprapto, Mudjisihono R. 1987. Budidaya dan Pengolahan Sorgum. Jakarta (ID): PT. Penebar Swadaya.

Supriyanto. 2012. Pengembangan sorgum (Sorghum bicolor) untuk menunjang kebutuhan pangan, pakan, energi, dan serat. Workshop The Current Status and Challenges in Sorghum Developments in Indonesia. Bogor. [25-26 September 2012]

Surtikanti. 2004. Kumbang bubuk Sitophilus zeamais Motsch. (Coleoptera: Curculionidae) dan strategi pengendaliannya. Maros (ID): Balai Penelitian Tanaman Serealia.

Suswono (Menteri Pertanian). 2011. The Indonesian food security in the perspective of global economy and national sovereignity. International Seminar the Future of Global Food and Safety. Bogor. [27 October 2011].

Tarmudji WM. 2008. Kajian resistensi biji sorgum dari lima varietas terhadap serangan Sitophilus zeamais Motsch [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(47)

pericarp surface relief on the resistance of the maize weevil. Journal Kansas Entomol. Soc. 61: 237-241.

Throne JE. 1986. A bibliography of maize weevils, Sitophilus zeamais Motschulsky (Coleoptera: Curculionidae). USDA-ARS, ARS-58, Springfield, VA.

(48)

   

(49)

waktu perkembangan, konstanta laju perkembangan intrinsik, nilai Indeks Kerentanan Dobie, kekerasan biji, panjang biji, lebar biji, tebal biji, dan kehilangan hasil lima varietas sorgum

Sum of Within Groups 259650.6 45 5770.013

(50)

39  

Lampiran 2 Uji Duncan jumlah imago F1 S. zeamais

Varietas

N

Pengelompokan pada alpha = 0.05

1 2

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Lampiran 3 Uji Duncan median waktu perkembangan

Varietas

N

Pengelompokan pada alpha = 0.05

1 2

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Lampiran 4 Uji Duncan konstanta laju perkembangan intrinsik

Varietas

N

Pengelompokan pada alpha = 0.05

1 2

(51)

Varietas

N

Pengelompokan pada alpha = 0.05

1 2

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Lampiran 6 Uji Duncan kekerasan biji sorgum

Varietas

N

Pengelompokan pada alpha = 0.05

1 2 3 4

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Lampiran 7Uji Duncan panjang biji sorgum

Varietas

N

Pengelompokan pada alpha = 0.05

1 2 3

B-76 10 3.62200 Lokal Wonogiri 10 3.63200

Numbu 10 4.11100 CTY-33 10 4.18100

Lokal Bandung 10 4.63600

Sig. .934 .564 1.000

(52)

41  

Lampiran 8 Uji Duncan lebar biji sorgum

Varietas

N

Pengelompokan pada alpha = 0.05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Lampiran 9Uji Duncan tebal biji sorgum

Varietas

N

Pengelompokan pada alpha = 0.05

1 2 3 4

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Lampiran 10Uji Duncan nilai kehilangan hasil

Varietas

N

Pengelompokan pada alpha = 0.05

1 2 3

Numbu 10 2.84767 CTY-33 10 3.00911

Lokal Wonogiri 10 3.49895 3.49895

B-76 10 4.28269 4.28269 Lokal Bandung 10 4.57482

Sig. .216 .116 .554

(53)

kehilangan hasil

a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: WL

Model Summaryb

a. Predictors: (Constant), F1 b. Dependent Variable: WL

ANOVAb

a. Predictors: (Constant), F1 b. Dependent Variable: WL

Coefficientsa

(54)

43  

Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N

Predicted Value 2.04668 6.38615 3.64265 1.042585 50

Residual

-1.422056E 0

1.635013 .000000 .699494 50

Std. Predicted Value -1.531 2.631 .000 1.000 50 Std. Residual -2.012 2.313 .000 .990 50 a. Dependent Variable: WL

kehilanganhasil = 0.5966 +0.0108 jumlahimago

N     

(55)

Lampiran 12 Uji korelasi parameter-parameter daya resistensi sorgum terhadap S.

intrinsik WL Tannin Fenol KB

(56)

45  

Parameter

resistensi IKD F1 D

Laju

intrinsik WL Tannin Fenol KB

Lebar

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed). PC = Pearson Correlation

Sig. = Sig. (2-tailed)

IKD = nilai Indeks Kerentanan Dobie F1 = jumlah F1 S. zeamais yang muncul D = median waktu perkembangan Laju intrinsik = konstanta laju intrinsik WL (weight loss) = nilai kehilangan hasil Tanin = kadar tanin

(57)

ABSTRAK

SAGITA PHINANTHIE. Kajian Resistensi Lima Varietas Sorgum Terhadap Sitophilus zeamais (Motsch.) (Coleoptera: Curculionidae). Dibimbing oleh IDHAM SAKTI HARAHAP.

Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki banyak manfaat diantaranya sebagai pangan, pakan, serat, pupuk, dan bioenergi. Pada penyimpanan sorgum banyak mengalami masalah yang disebabkan oleh hama gudang salah satunya Sitophilus zeamais (Motsch.). Kehilangan hasil yang disebabkan aktifitas hama ini mencapai 26-29 % (Semple 1985). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui resistensi lima varietas sorgum terhadap serangan S. zeamais selama masa penyimpanan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP dari bulan Februari hingga September 2012. Serangga yang digunakan adalah imago S. zeamais berasal dari SEAMEO BIOTROP. Uji resistensi dilakukan menurut metode Baimaiyi (2007) dengan menginfestasi 40 ekor imago S. zeamais ke dalam stoples plastik bervolume 1000 ml yang berisi 100 gr sorgum. Lima varietas sorgum yang diujikan yaitu Numbu, Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan B-76. Imago S. zeamais diinkubasi selama 14 hari lalu dikeluarkan seluruhnya, penghitungan imago F1 S. zeamais yang muncul dilakukan setiap hari dimulai pada hari ke-30 hingga hari ke-80 (Bamaiyi 2007). Penghitungan nilai kehilangan hasil dilakukan pada hari ke-80 dengan menggunakan metode Adams (1976). Tingkat resistensi sorgum dihitung dengan Indeks Kerentanan Dobie (IKD). Varietas yang paling resisten adalah varietas Numbu dengan nilai IKD 6.99. Hasil uji korelasi menunjukkan faktor kadar tanin, fenol, dan kekerasan biji berkorelasi negatif dengan jumlah imago F1 S. zeamais, nilai IKD, dan konstanta laju intrinsik sedangkan untuk dimensi biji tidak berkorelasi dengan seluruh parameter resistensi.

(58)

   

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan beras di Indonesia dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan penduduk. Peningkatan jumlah penduduk terus berlangsung secara signifikan sehingga peningkatan kebutuhan beras juga terus terjadi. Pada tahun 2014 Pemerintah Indonesia telah menargetkan produksi beras sebanyak 75.7 ton gabah kering giling (Suswono 2011). Produksi beras di Indonesia selama ini bergantung pada hasil produksi padi sawah, sementara itu luas areal tanaman padi sawah akhir-akhir ini terus menurun akibat terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Situasi ini tentu menghambat peningkatan produksi beras, sebagai alternatif dilakukan diversifikasi budidaya tanaman penghasil karbohidrat sebagai sumber pangan utama non-beras di lahan kering.

Sorgum merupakan tanaman serealia yang berpotensi dikembangkan di Indonesia. Sorgum adalah salah satu jenis tanaman pangan yang lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan tanaman pangan lainnya (Laimheriwa 1990). Banyaknya lahan marjinal di Indonesia juga menjadi salah satu potensi yang mendorong untuk pengembangan sorgum di Indonesia. Sorgum juga merupakan tanaman yang mudah dibudidayakan karena tanaman ini tidak terlalu banyak membutuhkan input dari luar dan dapat diratun beberapa kali (Nur et al. 2012).

Sorgum dapat digunakan sebagai bahan pangan, pakan ternak, serat, pupuk, dan bioenergi (bioetanol) (Supriyanto 2012). Hasil olahan sorgum untuk bahan pangan dapat berupa bubur, kue kering, mie, dan roti. Sorgum merupakan salah satu sumber karbohidrat penting karena memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi, diantaranya kandungan protein dan vitamin B1 yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras, jagung, dan singkong. Kandungan nutrisi lainnya di dalam biji sorgum juga tinggi dan tidak jauh berbeda dengan kandungan nutrisi beras, jagung, dan singkong (DEPKES 1992).

(59)

banyak peneliti baik dari balai penelitian maupun perguruan tinggi untuk menghasilkan varietas sorgum yang unggul. Kriteria dari varietas unggul dicirikan oleh beberapa komponen, salah satunya adalah resisten terhadap hama atau penyakit yang menyerang tanaman tersebut.

Di tempat penyimpanan terdapat banyak hama dan patogen yang menyerang biji sorgum yang dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang cukup berarti. Serangga hama gudang yang banyak menyerang biji sorgum diantaranya Rhyzoperta dominica, Sitophilus zaemais, Sitotroga cerealella, dan Ephestia cautella (Wall 1970). Hama yang menyebabkan nilai kehilangan hasil paling tinggi yaitu R. dominica dan S. zeamais. Kumbang Sitophilus zeamais merupakan hama pasca panen yang penting pada berbagai komoditas biji-bijian di negara tropis. Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama ini di Indonesia diperkirakan mencapai 26-29% pada berbagai komoditas di penyimpanan (Semple 1985).

Kerugian yang ditimbulkan akibat serangan S. zeamais yaitu biji yang diserang menjadi berlubang-lubang dan menghasilkan banyak serbuk hasil gerekan. Faktor yang memengaruhi resistensi biji sorgum terhadap serangan S. zeamais perlu diketahui dan pedoman untuk menetapkan indeks resistensi (Indeks Kerentanan Dobie) biji sorgum terhadap serangan hama gudang S. zeamais diperlukan sebagai acuan untuk pemuliaan biji sorgum di masa mendatang. Oleh karena itu, kajian resistensi biji sorgum terhadap S. zeamais perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menilai resistensi lima varietas sorgum terhadap serangan S. zeamais selama masa penyimpanan dan faktor-faktor yang memengaruhinya.

Manfaat Penelitian

(60)

   

TINJAUAN PUSTAKA

Sorgum (Sorghum bicolor (L.)) Taksonomi

Tanaman sorgum termasuk famili Graminae atau rerumputan. Tanaman lain yang termasuk dalam famili Graminae diantaranya adalah padi, jagung, dan tebu. Taksonomi tanaman sorgum adalah sebagai berikut:

Kelas : Monocotyledon Famili : Gramineae Genus : Sorghum

Spesies : Sorghum bicolor (L.) Holchus Sorghum (L.) Andropogan sorghum (L.) Sorghum Vulgare (L.)

Berbagai nama lokal untuk sorgum adalah Great Millet, guinea Cora (Afrika Barat); Kafir Corn (Afrika Selatan); Milo Sorgo (Amerika Serikat); Kaoliang (Cina); Durra (Sudan); Mtama (Afrika Barat); cantel (Jawa Tengah dan Jawa Timur); Chotam (India); jagung cantrik (Jawa Barat) (Suprapto 1987).

Morfologi dan fisiologi

Sifat ikatan kulit biji pada biji sorgum yaitu diantara kulit biji dan daging biji dilapisi oleh lapisan testa danaleuron, lapisan testa termasuk bagian kulit biji, dan lapisan aleuron termasuk bagian daging biji. Jaringan kulit biji terikat erat oleh daging biji, melalui lapisan tipis yang disebut lapisan semen. Pada proses penggilingan, ikatan kulit biji dengan daging biji ini sulit dipisahkan (Laimheriwa 1990).

(61)

Gambar 1 Penampang membujur biji sorgum (Laimeheriwa 1990)

Kulit biji sorgum ada yang berwarna putih, merah atau cokelat. Sorgum putih disebut sorgum kafir dan yang berwarna merah atau cokelat biasanya termasuk varietas Feterita. Warna biji ini merupakan salah satu kriteria untuk menentukan kegunaannya. Varietas yang berwarna lebih terang akan menghasilkan tepung yang lebih putih dan tepung ini cocok untuk digunakan sebagai makanan lunak, roti dan lain-lainnya. Sedangkan varietas yang berwarna gelap akan menghasilkan tepung yang berwarna gelap dan rasanya lebih pahit. Tepung jenis ini cocok untuk bahan dasar pembuatan minuman. Untuk memperbaiki warna biji ini, biasanya digunakan larutan asam tamarand atau bekas cucian beras yang telah difermentasikan dan kemudian digiling menjadi pasta tepung (Laimeheriwa 1990).

(62)

5  

bijinya. Kehilangan tanin ini akibat terkelupasnya kulit biji dan hilangnya lapisan testa selama perlakuan. Dengan hilangnya senyawa tanin ini, warna tepung menjadi lebih putih, dapat menghilangkan rasa pahit, dan yang terpenting dapat menghilangkan zat anti nutrisi tanin dalam biji sorgum (Suprapto 1987).

Kandungan nutrisi

Sebagai sumber karbohidrat sorgum kaya akan nutrisi. Kandungan nutrisi pada sorgum juga lebih baik dibandingkan dengan beras. Hal tersebut bisa dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan kandungan nutrisi sorgum dengan berbagai jenis sumber karbohidrat lainnya  

Sumber: Departemen Kesehatan 1992.

Kandungan kimia biji sorgum

(63)

ditemukan paling banyak pada lapisan perikarp, testa, dan aleuron (Dicko et al. 2006).

Tanin pada sorgum biasanya dikaitkan dengan dengan kandungan protein yang rendah. Seluruh jenis tanin termasuk dalam polifenol akan tetapi tidak semua polifenol pada sorgum adalah tanin. Kandungan polifenol yang tinggi pada sorgum dicirikan dengan perikarp berwarna coklat dan kulit biji yang berwarna, pada jenis sorgum dengan perikarp berwarna merah dan tidak memiliki kulit biji kandungan polifenolnya cukup signifikan sedangkan pada biji sorgum yang tidak berwarna kandungan polifenol sangat rendah. Keterkaitan antara pigmentasi biji sorgum dengan kandungan tanin yang dimiliki biji sorgum masih belum dapat dipastikan (Dogget 1988).

Sitophilus zeamais (Motsch.)

Serangga hama gudang merupakan faktor biologis yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan selama penyimpanan (Ileleji et al. 2007). Sitophilus zeamais adalah serangga hama gudang yang bersifat polifag (keberadaannya terdeteksi hampir di seluruh komoditas di gudang) (Throne 1986). Kumbang ini tergolong hama penting dan hama primer. Menurut Rees (2004), biologi hama ini termasuk kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Coleoptera, famili Curculionidae, genus Sitophilus, spesies Sitophilus zeamais Motschulky.

Serangga hama ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) dari fase telur sampai menjadi imago (Subramanyam dan Hagstrum 1996). Imago betina meletakkan telur pada biji yang telah dilubangi dengan moncongnya dan tiap lubang diisi satu butir telur lalu ditutup dengan gelatinous egg plug. Fase telur berlangsung sekitar 6 hari. Imago betina meletakkan telur hingga 300-400 butir selama hidup mereka (Sauer 1992).

Gambar

Gambar 1  Penampang membujur biji sorgum (Laimeheriwa 1990)
Tabel 1     Perbandingan kandungan nutrisi sorgum dengan berbagai jenis sumber
Gambar 3  Struktur kimia tanin (Hagerman et al. 1997)
Gambar 4  Penampakan fisik lima varietas sorgum yang diuji
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil observasi lapangan Pasar Segiri Samarinda menggunakan system pengangkutan tidak langsung yaitu pengumpulan sampah dilakukan dengan gerobak berukuran 1m x 0,5 m

In this paper, we study the complementarity problem from a modeling perspective with emphasis on economic examples, show how to model such problems within the GAMS modeling

Pertempuran Laut Karang atau Laut Koral merupakan pertempuran laut besar di medan Perang Pasifik yang berlangsung pada 4 Mei sampai 8 Mei 1942 antara Angkatan Laut

Untuk itu, auditor melakukan berbagai prosedur audit guna membuktikan; keberadaan kas yang bersangkutan dan keterjadian transaksi yang berkaitan dengan kas,

Penelitian in memiliki 2 (dua) variable yang terdiri dari variable independen (variable bebas) adalah variable dapat mempengaruhi variable lain dengan simbol (X) yaitu harga

Sesuai dengan masalah yang diteliti tentang kontrol sosial keluarga dalam mencegah perilaku menyimpang remaja di Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima maka dapat di lihat

Ketika tidak memenuhi syarat, tekanan darah biasanaya mengacu pada tekanan pembuluh arteri yang ada di tangan, yaitu dalam pembuluh darah utama pada lengan kiri atau

to get out of the text, (3) Read: read the text while looking for answers to the previously formulated questions, (4) Recite: reprocess the silent points of the text through