• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Kesimpulan ... 41 5.2 Saran ... 41

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Inflamasi paru pada penderita PPOK... 4 Gambar 2 Sistem Pernafasan... 4 Gambar 3 Struktur Cefotaxime ... 14 Gambar 4 Rantai dinding sel... 15 Gambar 5 Struktur Deksametason ... 16

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada tanggal

20 November 2008... 22 Tabel 2. Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada tanggal

22 November 2008... 23 Tabel 3. Terapi PPOK pada hari pertama ... 25 Tabel 4. Terapi PPOK pada hari kedua... 32 Tabel 5 Terapi PPOK pada hari ketiga... 33 Tabel 6. Terapi PPOK pada hari keempat... 36 Tabel 7. Terapi PPOK pada hari kelima.dan keenam... 37 Tabel 8 Terapi PPOK pada hari ketujuh ... 37 Tabel 9. Terapi PPOK pada hari kedelapan... 38 Tabel 10. Terapi PPOK rawat jalan ... 39

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pengobatan eksaserbasi PPOK dengan antibiotika ...44 (GOLD 2006)

Lampiran 2. Tabel Hasil Diagnosa Dan Terapi Pasien

(19 November s/d 27 November 2008)………45

Lampiran 3. Tinjauan Umum Tentang Obat………47

Lampiran 4 Tabel Farmakokinetik Obat……….51

RINGKASAN

Pelaksanaan studi kasus di Rawat Inap Terpadu (Ruang Melati) dilaksanakan dengan mengikuti kegiatan visite terhadap pasien sebagai pendekatan peranan farmasi klinis. Studi kasus ini merupakan bagian dari Praktek Kerja Profesi (PKP) Apoteker di rumah sakit. Studi Kasus secara umum dilaksanakan pada tanggal 17 November 2008–28 November 2008. Studi kasus ini dilaksanakan di Rawat Inap Terpadu (Ruang Melati) dengan melakukan visite pada pasien yang menderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Pasien adalah pasien dengan status Jamkesmas. Visite dilaksanakan setiap hari, pada pagi hari. Kegiatan visite meliputi pelayanan informasi obat dan konseling terhadap pasien, monitoring efek samping obat (MESO), dan pemantauan dan pengkajian penggunaan obat.

Dengan pelaksanaan studi kasus ini diharapkan agar para calon Apoteker memiliki wawasan dan pengetahuan yang lebih luas mengenai studi kasus secara klinis yang terjadi di rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari produk obat kepada pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care). Kegiatan pelayanan kefarmasian ini yang semula berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Dengan begitu, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain pemberian informasi obat, pemantauan penggunaan obat dan monitoring efek samping obat.

Peranan farmasi atau apoteker sangat diperlukan untuk pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada kebutuhan pasien. Apoteker diharapkan tidak hanya dalam perbekalan saja, tetapi juga menjamin ketersediaan obat yang berkualitas, mempunyai efikasi, jumlah yang cukup, nyaman bagi pengguna dan harga yang wajar serta pada penyerahannya disertai informasi yang cukup memadai dan diikuti pemantauan penggunaan obat dan evaluasinya.

Seluruh profesi kesehatan saling berkaitan dalam mewujudkan mutu pelayanan kesehatan, sehingga semua profesi merupakan satu kemitraan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, kerjasama seluruh profesi kesehatan sangat mendukung tercapainya mutu pelayanan kesehatan.

1.2Tujuan

Latihan kerja profesi di rumah sakit merupakan salah satu program dalam pendidikan profesi Apoteker yang bertujuan untuk mengetahui dan melihat secara langsung peranan dan tugas farmasi atau apoteker di rumah sakit, sehingga kelak mampu melaksanakan tugas dan fungsi sebagai Apoteker yang profesional sesuai dengan kode etik serta undang-undang yang berlaku dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau disebut Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara di dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, biasanya disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh partikel atau gas berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik. Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan partikel gas berbahaya (Dipiro, 2005).

Proses inflamasi paru ini menyebabkan terjadinya kombinasi penyakit saluran napas kecil (small airway disease), bronchitis kronis dan destruksi parenkim (emfisema). Bronchitis kronis adalah suatu definisi klinis yaitu ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomi paru-paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara disertai kerusakan diding alveolus.

Obstruksi saluran napas ini memberikan gejala-gejala asma seperti batuk, mengi, dan sesak napas. Penyempitan saluran napas dapat terjadi secara bertahap, perlahan-lahan dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi dapat pula terjadi mendadak sehingga menimbulkan kesulitan bernapas yang akut. Derajat obstruksi

ditentukan oleh diameter lumen saluran napas, edema dinding bronkus, produksi mukus, kontraksi dan hipertropi otot polos bronkus. (Sundaru, 2003).

Inflamasi paru pada penderita PPOK dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini:

Gambar 1. Inflamasi paru pada penderita PPOK

Gambar 2.Sistem Pernafasan

Keterangan: A. menunjukkan lokasi dari susunan respirasi dalam tubuh.

B. menunjukkan suatu kerusakan yang membesar dari aliran udara, alveoli, dan pembuluh kapiler

C. menunjukkan lokasi dari pertukaran gas antara pembuluh kapiler dan alveoli.

2.2 Etiologi

Menghisap rokok merupakan faktor resiko yang dapat menyebabkan perkembangan PPOK; bagaimanapun juga, penyakit ini dapat dihubungkan pada kombinasi faktor resiko yang dihasilkan dari luka paru dan kerusakan jaringan. Faktor resiko yang berhubungan dengan perkembangan PPOK dapat dibagi menjadi faktor host (tuan rumah) dan faktor lingkungan dan secara umum, interaksi antara faktor ini menuju pada tanda dari penyakit ini. Faktor host, seperti predisposisi genetik, mungkin tidak dapat dimodifikasi tapi penting untuk mengidentifikasi pasien pada resiko tinggi dari perkembangan penyakit ini. Faktor lingkungan, seperti menghisap tembakau dan bahaya debu dan zat kimia, adalah faktor yang dapat dimodifikasi, yaitu jika dihindari, mungkin mengurangi resiko perkembangan penyakit ini.

Tekanan lingkungan yang berhubungan dengan PPOK adalah partikel yang dihirup oleh individual dan menghasilkan inflamasi dan luka sel. Keterbukaan pada toksin lingkungan yang bermacam-macam meningkatkan resiko PPOK. Dalam kasus seperti ini, sangat membantu jika mengkaji beban total individu dari partikel yang terhirup. Sebagai contoh, individu yang merokok dan bekerja pada pabrik tekstil memiliki beban total lebih tinggi dari partikel yang dihirup daripada individu yang merokok dan tidak memiliki resiko tekanan lingkungan (Dipiro, 2005).

2.3 Epidemiologi

Prevalensi dan mortalitas akibat PPOK terus mengalami peningkatan, bahkan di negara maju sekalipun.Organisasi Kesehatan Dunia memprediksi, pada 2020 angka kejadian PPOK akan meningkat dari posisi 12 sebagai penyakit terbanyak di dunia menjadi peringkat 5, dan dari posisi 6 sebagai penyebab kematian terbanyak menjadi posisi 3. Alasan peningkatan dramatis ini adalah adanya penurunan penyakit kardiovaskuler di negara-negara industri dan penyakit infeksi di negara berkembang, bersamaan dengan meningkatnya jumlah perokok dan polusi lingkungan di negara-negara berkembang.

Survey kesehatan rumah tangga Departemen Kesehatan RI tahun 1995 menyimpulkan, PPOK dan asma menduduki peringkat ke 5 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Prof. Faisal Yunus tahun 1997 melakukan penelitian di Bagian Pulmonologi RS Persahabatan dan menemukan, PPOK menduduki peringkat ke-5 dari jumlah pasien yang dirawat. Diprediksi angka ini akan terus meningkat, karena paparan secara terus menerus terhadap faktor risiko PPOK, seperti merokok dan polusi serta semakin meningkatnya jumlah orang berusia lanjut, yang disebabkan semakin meningkatnya usia harapan hidup orang di Indonesia (Ethical Digest, 2007).

Data dari Survey Nasional kesehatan di tahun 2001 mengindikasikan bahwa 12,1 milyar orang diatas 25 tahun di Amerika Serikat menderita PPOK. PPOK menempati peringkat k-4 penyebab kematian di Amerika Serikat setelah kanker, jantung, dan penyakit stroke. Di tahun 2000, lebih dari 119.000 orang meninggal di Amerika Serikat dan 2,74 milyar orang meninggal di seluruh dunia

akibat PPOK. Pada umumnya, tingkat kematian lebih tinggi terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita. Tingkat kematian lebih tinggi pada orang berkulit putih dibandingkan orang kulit hitam. Merokok merupakan penyebab utama dari (Ethical Digest, 2007).

2.4 Patofisiologi

PPOK ditandai dengan perubahan inflamasi kronik yang menuju pada perubahan yang merusak dan perkembangan dari keterbatasan aliran udara kronik. Pada bronchitis kronik maupuun emfisema terjadi penyempitan saluran nafas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak.

Pada bronchitis kronik, saluran pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit. Penyempitan saluran nafas disebabkan oleh karena sekresi mukus yang mengental. Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru.

Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang ,sehingga saluran-saluran pernafasan bagian bawah paru akan tertutup. Pada penderita bronchitis kronik dan emfisema, saluran-saluran pernafasan tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak tertutup. Akibat cepatnya saluran pernafasan tertutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi tidak seimbang..

2.5 Diagnosa

Gejala dan tanda PPOK, di antaranya adalah: sesak napas, batuk kronik, produksi sputum, dengan riwayat pajanan gas/partikel berbahaya, disertai dengan pemeriksaan faal paru. Indikator diagnosis PPOK adalah penderita di atas usia 40

tahun, dengan sesak napas yang progresif (memburuk) dengan aktivitas, batuk kronik, produksi sputum kronik, riwayat pajanan rokok, asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja atau rumah.

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2006, PPOK dibagi atas 4 derajat:

1. PPOK Ringan: biasanya tanpa gejala, faal paru FEV1/FVC < 70%

Dicirikan dengan keterbatasan aliran udara (FEV1/FVC <0,70; diperkirakan FEV1 ≥ 80%). FEV1 (Forced Expiratory Volume pada detik pertama) merupakan suatu cara penilaian fungsi pulmonari berdasarkan volume udara yang dipaksa keluar pada satu detik setelah mengambil nafas panjang. Gejala-gejala berupa batuk kronis dan produksi sputum dapat terjadi, tapi tidak selalu. Pada stadium ini, individu bersangkutan biasanya tidak menyadari abnormalitas fungsi paru-parunya.

2. PPOK Sedang: FEV 1/FVC < 70%, atau 50% ≤ FEV 1 < 80% prediksi

Dicirikan dengan memburuknya keterbatasan aliran nafas ( diperkirakan FEV1/FVC< 0,70; 50% ≤ FEV1< 80%). Ditandai dengan sesak nafas dan batuk, serta produksi sputum kadang-kadang dapat terjadi. Pada stadium ini, pasien biasanya mencari bantuan medis karena gejala-gejala pernafasan kronis atau terjadi eksaserbasi.

3. PPOK Berat: FEV 1/FVC < 70%, atau 30% ≤ FEV 1<50% prediksi

(diperkirakan FEV1/FVC < 0,70 ; 30 % ≤ FEV1 < 50 %), sesak nafas hebat, menurunnya kapasitas kemampuan olah raga, kelelahan dan eksaserbasi berulang, yang berdampak pada kualitas hidup pasien.

4. PPOK Sangat Parah: FEV 1/FVC < 70% atau FEV1 <30% atau FEV 1<50% disertai gagal napas kronik. Dicirikan dengan keterbatasan aliran nafas

Gagal pernafasan didefenisikan sebagai tekanan arterial parsial O2 (PaO2) kurang dari 8,0 kPa (60 mmHg), dengan atau tanpa tekanan parsial CO2 (PaCO2) lebih besar dari 6,7 kPa ( 50 mmHg) saat bernafas pada ketinggian permukaan laut. Gagal pernafasan dapat berdampak pada jantung seperti cor pulmonale (gagal jantung bagian kanan). Tanda-tanda cor pulmonale termasuk peningkatan tekanan vena jugular.

2. 6 Tinjauan Pengobatan

Tujuan Penatalaksanaan PPOK meliputi: 1. Mencegah progresivitas penyakit, 2. Mengurangi gejala

3. Meningkatkan toleransi latihan 4. Mencegah dan mengobati komplikasi

5. Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang 6. Mencegah atau meminimalkan efek samping obat 7. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru 8. Meningkatkan kualitas hidup penderita

Penatalaksanaan PPOK meliputi 4 program tatalaksana: 1. Evaluasi dan monitor penyakit

2. Menurunkan faktor risiko 3. Tatalaksana PPOK stabil 4. Tatalaksana PPOK eksaserbasi

Penatalaksanaan menurut derajat PPOK di antaranya adalah:

1. Berhenti merokok atau mencegah pajanan gas/partikel berbahaya 2. Menghindari faktor pencetus

3. Vaksinasi Influenza 4. Rehabilitasi paru

5. Pengobatan/medikamentosa di antaranya penggunaan bronkodilator kerja singkat (antikolinergik kerja singkat), penggunaan bronkodilator kerja lama (antikolinergik kerja lama), dan obat simptomatik. Pemberian kortikosteroid dapat digunakan berdasarkan derajat PPOK.

6. Pada PPOK derajat sangat berat diberikan terapi oksigen.

7.Reduksi volume paru secara pembedahan (LVRS) atau endoskopi (transbronkial) (BLVR).

Terapi farmakologis digunakan untuk mencegah dan mengendalikan gejala, mengurangi kekerapan dan keparahan eksaserbasi, meningkatkan kesehatan dan toleransi olah raga. Tidak ada dari obat yang ada saat ini untuk PPOK, yang mampu memodifikasi penurunan jangka panjang fungsi paru yang merupakan tanda penyakit ini. Namun, hal ini tidak mengurangi usaha menggunakan pengobatan untuk mengendalikan gejala. PPOK biasanya bersifat

progresif, oleh karena itu pengobatan farmakologis untuk PPOK direkomendasi berdasarkan GOLD 2006, sebagai berikut :

• Pengobatan cenderung kumulatif dan membutuhkan lebih banyak obat, ketika kondisi penyakit memburuk.

• Pengobatan reguler harus dipertahankan dalam jangka waktu lama, kecuali efek samping terjadi atau penyakit memburuk.

• Individu yang memiliki respon yang berbeda terhadap pengobatan dan terhadap efek samping, dilaporkan selama terapi.

Di bawah ini pengobatan yang diberikan untuk kasus penderita PPOK:

1. Bronkodilator

Obat ini meningkatkan FEV1 biasanya dengan mengubah tonus otot halus saluran nafas. Obat-obat ini memperbaiki pengosongan paru-paru, cenderung untuk mengurangi hiperinflasi dinamis saat istirahat dan saat olahraga. Penggunaan bronkodilator secara reguler, tidak memodifkasi penurunan fungsi atau prognosis penyakit. Terapi bronkodilator adalah inti manajemen simptomatik PPOK.

Obat ini diberikan bila diperlukan untuk melegakan gejala atau pemburukkan gejala, atau secara rutin untuk mencegah dan mengurangi gejala. Efek samping bronkodilator begantung pada dosis pemberian dan jarang terjadi atau hilang segera saat pengobatan dihentikan. Kebutuhan bronkodilator tergantung beratnya penyakit penderita. Pengobatan reguler bronkodilator aksi panjang lebih efektif dan nyaman dibandingkan pengobatan dengan bronkodilator

aksi pendek. Pengobatan dengan obat antikolinergik hirup aksi panjang, mengurangi frekuensi eksaserbasi dan meningkatkan rehabilitasi pulmonari.

a. Antikolinergik

Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara sistim adrenergik dan sistim kolinergik. Bila karena sesuatu sebab reseptor 2 dari sistim adrenergik terhambat, maka sistim kolinergik akan berkuasa dengan akibat bronkokonstriksi. Antikolinergik memblok reseptor muskarin dari saraf-saraf kolinergik di otot polos bronki, hingga aktivitas dari saraf adrenergik menjadi dominan dengan efek bronkodilatasi. Efek samping yang tidak dikehendaki adalah sifatnya yang mengentalkan dahak dan takikardia yang dapat menganggu terapi. Contoh : ipratropium, deptropin.

b. Metilaksantin

Daya bronkorelaksasinya diperkirakan berdasarkan blokade reseptor adenosin. Theopilin efektif pada PPOK, tetapi karena toksisitasnya, bronkodilator hirup lebih diutamakan. Contohnya aminopilin, theopillin. Aminopillin dan theopilin saat ini dianggap sebagai terapi intravena lini kedua dan digunakan jika respon tidak memuasakan terhadap bronkodilator aksi pendek.

2. Kortikosteroid

Kortikosteroid bersifat meniadakan efek mediator, seperti peradangan dan gatal-gatal. Daya anti radang berdasarkan blokade enzim fosfolipase-A2 ,sehingga pembentukkan mediator peradangan prostaglandin dan leukotrien dari asam arakidonat tidak terjadi, juga dapat meningkatkan kepekaan reseptor 2 sehingga

efek beta mimetika diperkuat. Penggunaan oral untuk jangka lama hendaknya dihindari, karena menekan fungsi anak ginjal.

Pengobatan secara reguler dengan kortikosteroid hirup tidak memodifikasi penurunan FEV1 jangka panjang pada penderita PPOK. Pengobatan dengan kortikosteroid hirup dapat menurunkan frekuensi eksaserbasi dan meningkatkan kualitas hidup. Penghentian pengobatan dapat menyebabkan eksaserbasi pada beberapa pasien. Keuntungan penggunaan kortikosteroid hirup dibandingkan dengan oral adalah efek lokalnya yang langsung tanpa diserap ke dalam darah sehingga tidak menimbulkan efek samping sistemis seperti osteoporosis, tukak dan perdarahan lambung, hipertensi, diabetes dan lain-lain. Apabila dikombinasi dengan -2 agonis aksi panjang akan lebih efektif dibandingkan terapi tunggal.

3. Antibiotika

Ada tiga gejala yang dapat menentukan beratnya eksaserbasi yang dialami pasien yaitu peningkatan dispnea, peningkatan sputum dan peningkatan purulensi sputum. Jika ketiga gejala ini ada, pasien masuk pada tipe 1. Jika ada dua dari tiga gejala, masuk tipe 2, sedangkan jika yang tampak hanya ada salah satu gejala maka pasien masuk tipe 3.

Indikasinya kalau pasien masuk tipe 3, mungkin pasien perlu antibiotik. Kalau tipe 1, maka pasien harus diberi antibiotik. Pemberian antibiotik sangat berpengaruh pada kesembuhan pasien. Pasien tipe 1 yang diberi antibiotik memiliki kesembuhan lebih baik dibanding yang tidak diberi antibiotik. Sedangkan pasien tipe 3 yang diberi antibiotik dan tidak diberi antibiotik, hasilnya tidak berbeda bermakna. Karena ini tidak ada anjuran untuk memberi antibiotik

pada pasien tipe 3. Menurut GOLD (2006), pengobatan eksaserbasi PPOK dengan antibiotika dapat dilihat pada lampiran 1.

4. Terapi Oksigen

Terapi oksigen adalah dasar pengobatan eksaserbasi PPOK di rumah sakit. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sesitivitas terhadap CO2.

5. Rehabilitasi

Pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.

Rehabilitasi untuk pasien PPOK adalah : fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan

2.7. Tinjauan Obat a. Cefotaxime

Cefotaxime merupakan senyawa antibiotik turunan sefalosporin generasi ketiga yang memiliki aktivitas antibakteri. Aktivitas ini dilakukan dengan menghambat pertumbuhan bakteri melalui penghambatan sintesa dinding sel bakteri . Secara struktural, cefotaxime dapat ditunjukkan pada Gambar 3.

Rangka penunjang dinding sel bakteri tersusun atas murein (suatu glikopeptida heteropolimer), rantainya saling berkaitan sedemikian rupa. Struktur penyusun murein adalah asetil-glukosamin dan eter asam laktat, asam N-asetilmuramat, secara berselang-seling membentuk suatu rantai polisakarida. Rantai dinding sel ini mengandung pentapeptida dengan residu D-alanil-D-Alanin pada ujungnya yang terikat pada gugus laktil dari asam N-asetilmuramat. Masing-masing untai glikopeptida disambung silang dengan jembatan pentaglisin. D-Alanin dibebaskan pada pembentukan jaringan. Penyambungan silang dikatalis oleh suatu reaksi transpeptidase.

Cefotaxime mempunyai cincin -laktam (Gambar 3) yang strukturnya mirip dengan struktur residu D-Alanil-D-Alanin. Sehingga terjadi ikatan kovalen antara protein dan -laktam sebagai substrat palsu pada transpeptidase. Akibatnya katalisis yang dilakukan oleh reaksi transpeptidase akan merubah ujung alanin menjadi bentuk sambung silang dengan peptida yang tidak jauh berbeda, dan struktur dinding sel menjadi kaku. Setelah -laktam berikatan kovalen dengan protein, maka reaksi transpeptidase akan dihambat, sintesa peptidoglikan juga dihambat dan sel mati. (Schunack, 1990)

Cefotaksim diindikasikan untuk pengobatan penderita dengan infeksi yang disebabkan oleh bakteri spektrum luas pada penyakit infeksi saluran pernapasan bawah, infeksi saluran kemih, infeksi kulit, dan infeksi abdominal yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus sp, Staphylococcus, Pseudomonas sp dan Enterobacter sp. (Schunack, 1990; Katzung, 2004)

b. Deksametasone

Deksametason merupakan suatu kortikosteroid golongan glukokortikoid. Secara struktural dexametasone dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Struktur Deksametason

Glukokortikoid ini digunakan untuk menurunkan atau mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi pada penyakit asma bronkial karena itu menurunkan gejala inflamasi tanpa dipengaruhi penyebabnya. (Anonim, 2005)

Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada lokasi inflamasi. Glukokortikoid juga menghambat fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan beberapa mediator kimia inflamasi melalui blokade faktor penghambat makrofag (MIF). Penghambatan lokalisasi makrofag mengakibatkan terjadi reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler, dan meningkatkan sintesis lipomodulin (macrocortin), yang merupakan inhibitor fosfolipase A2 yang berperan untuk melepaskan asam arakidonat (mediator inflamsi seperti prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien) dari membran fosfolipid (Neal, 2005).

c. Eritromisin

Eritromisin merupakan antibiotika dari kelompok makrolida. Eritromisin bekerja melalui pengikatan reversibel pada ribosom bakteri, sehingga síntesis proteinnya dirintangi. Bila digunakan terlalu lama dapat terjadi resistensi. Absorpsinya tidak teratur, sering menimbulkan efek samping lambung-usus,sedangkan waktu paruhnya singkat, maka perlu diberikan 4 x sehari.Eritromisin merupakan antibiotik pilihan pertama pada khususnya infeksi paru-paru (Tjay,2002).

Bioavaibilitasnya tergantung dari formulasi, bentuk garam atau ester. Makanan memperburuk absorpsinya, maka sebaiknya diminum pada saat perut kosong. Efek smping berupa diare, nyeri perut, nausea dan kadang-kadang muntah akibat penguraianya oleh asam lambung. Pada dosis tinggi dapat menimbulkan ketulian reversibel akibat pengaruhnya terhadap sistem saraf pusat.

Dosis lazimnya: 1-2 gram/sehari digunakan 3-4 kali sehari selama 7 sampai 14 hari.

d. Gliseril Guiayakolat

Merupakan derivat-guaiyakol yang banyak digunakan sebagai ekspektorans dalam bermacam-macam sediaan batuk popular. Gunanya untuk mengurangi kekentalan dahak. Pada dosis tinggi bekerja merelaksasi otot. Dosis pada dewasa 24 tablet tiap 4 jam, maksimal 24 tablet/hari. Efek samping jarang terjadi seperti mual dan mengantuk.

e. Furosemid

Furosemid merupakan diuretis kuat yang bekerja di lengkungan Henle bagian menaik dan sangat efektif pada keadaan udem di otak dan paru-paru yang akut. Kerjanya dengan menghambat reabsorpsi Na+/K+/Cl-. Mulai kerjanya pesat, oral dalam 0,5- 1 jam dan bertahan 4-6 jam, intravena dalam beberapa menit dan 2,5 jam lamanya.

Resorpsi dari usus hanya lebih kurang 50%, PP-nya 97%, plasma t ½- nya 30-60 menit, eksresinya melalui kemih secara utuh,pada dosis tinggi juga lewat empedu. Efek samping umum pada injeksi intravena yangt terlalu cepat dapat terjadi ketulian, hipokalemia reversibel dan hipotensi. Dosis pada udema ; oral 40-80 mg pagi setelah makan dan untuk injeksi intravena perlahan 20-40 mg.

f. Ranitidin

Ranitidin merupakan zat yang menghambat sekresi asam yang termasuk kelompok H2- bloker. Kerjanya dengan menempati receptor histamin- H2 secara selektif dipermukaan sel-sel parietal, sehingga sekresi asam lambung dan pepsin

dikurangi. Ranitidin menghambat sekresi asam lambung lebih kuat dibandingkan dengan simetidin tetapi lebih ringan dibandingkan penghambat pompa proton (omeprazol, dll). Tidak merintangi perombakkan oksidatif dari obat-obat lain, sehingga tidak mengakibatkan interaksi yang tidak diinginkan. Selain digunakan pada gastritis dan asam lambung juga digunakan selama penggunaan obat-obat kortikosteroid guna menghindari keluhan lambung. Dosis 1 kali sehari 300 mg sesudah makan malam selama 4-8 minggu, sebagai pencegah 1 kali sehari 150mg, intravena 50 mg sekali.

Dokumen terkait