Pembahasan
4.2.1
Obesitas
Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa hampir setengah pasien diabetes mellitus tipe
II mengalami obesitas 1 dan tidak obesitas yaitu sebesar 33,33%. Hal ini dapat disebabkan oleh
faktor yang mempengaruhi obesitas yaitu aktivitas, karena berdasarkan data karakteristik
reponden pada jenis pekerjaan didapatkan bahwa 33,3% adalah tidak bekerja.
Menurut Zainun Mutadin (2002) tingkat pengeluaran energi tubuh sangat peka terhadap
pengendalian berat tubuh. Pengeluaran energi tergantung dari dua faktor : 1) tingkat aktivitas dan
olah raga secara umum 2) angka metabolisme basal atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan fungsi minimal tubuh. Dari kedua faktor tersebut metabolisme basal memiliki
tanggung jawab dua pertiga dari pengeluaran energi orang normal. Meski aktivitas fisik hanya
mempengaruhi satu pertiga pengeluaran energi seseorang dengan berat normal, tapi bagi orang
yang memiliki kelebihan berat badan aktivitas fisik memiliki peran yang sangat penting.
Dari hasil penelitian tersebut dapat ditafsirkan bahwa aktivitas memang berpengaruh
obesitas, dan sebaliknya semakin sedikit tingkat aktivitas seseorang semakin tinggi resiko
terjadinya obesitas. Meskipun demikian responden yang bekerja juga banyak yang mengalami
obesitas, hal tersebut dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor lainnya, seperti lingkungan sekitar
yang saat ini bergaya kebarat-baratan dengan segala macam kenikmatan tanpa harus banyak
mengeluarkan tenaga, itu juga mempengaruhi tingkat obesitas seseorang. Faktor ekonomi juga
berpengaruh, semakin tinggi tingkat kemakmuran seseorang semakin mudah mendapatkan
sesuatu yang diinginkan, maka semakin rendah juga aktivitas yang dilakukan sehingga angka
obesitas meningkat pula.
4.2.2
Stress
Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa hampir setengah pasien diabetes mellitus tipe
II mengalami stress ringan yaitu 5 (41,67%). Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang meliputi perkawinan, masalah orang tua, hubungan interpersonal (Antarpribadi), pekerjaan,
lingkungan hidup, keuangan, hukum, perkembangan, penyakit fisik atau cidera dan faktor
keluarga.
Masalah pekerjaan merupakan sumber stress kedua setelah masalah perkawinan. Banyak
orang menderita depresi dan kecemasan karena masalah pekerjaan ini, misalnya pekerjaan terlalu
banyak, pekerjaan tidak cocok, mutasi, jabatan, kenaikan pangkat, pensiun, kehilangan pekerjaan
(PHK) dan lain sebagainya (Iyus Yosep, 2007).
Berdasarkan data karakteristik reponden pada jenis pekerjaan didapatkan bahwa 33,3%
adalah tidak bekerja. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pekerjaan tidak mempengaruhi
tingkat stress. Dalam hasil penelitian ini data tentang status pekerjaan dibagi secara terpisah-
pisah, sehingga yang nanpak tertinggi adalah yang tidak bekerja, padahal jika jenis pekerjaan
banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian obesitas, sehingga faktor pekerjaan menjadi
samar. Ketika seseorang bekerja maka akan memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaannya,
semakin tinggi tanggung jawab seseorang maka semakin banyak pula beban yang harus
dipikirkannya, sehingga tidak jarang terjadi stress bila kondisi tersebut berlangsung dalam waktu
yang lama. Tetapi bila seseorang tidak bekerja maka banyak juga hal yang dipikirkannya,
termasuk perekonomian keluarga dan lain sebagainya. Kedua hal tersebut akan menimbulkan
keadaan stress.
Sesuai dengan karateristik data berdasarkan usia, didapatkan bahwa 41% adalah
kelompok usia 30-39. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa hampir setengah dari
responden yang terbanyak adalah kelompok usia 30-39, tetapi jika dilihat menurut proporsi
tingkat stressnya, maka kebanyakan kelompok usia 30-39 mengalami stress ringan sedangkan
stress tingkat sedang dan berat adalah kelompok usia 40-49 dan diatas 60 tahun.
Perkembangan baik fisik maupun mental seseorang, misalnya masa remaja, masa dewasa,
menopause, usia lanjut, dan lain sebagainya. Kondisi setiap perubahan fase-fase tersebut di atas,
untuk sebagian individu dapat menyebabkan depresi dan kecemasan terutama pada mereka yang
mengalami menopause dan usia lanjut (Iyus Yosep, 2007). Sedangkan menurut penelitan terbaru,
pada umur empat puluh tahun kinerja otak kita mulai menurun. Ini berkaitan dengan selubung
mielin (myelin sheath), salah satu bagian yang penting dari sel saraf otak. Di atas umur 40, tubuh
kita mulai kehilangan kemampuan untuk terus-menerus memperbaharui selubung itu, sehinga
menyebabkan berbagai gejala kognitif yang dikaitkan dengan penuaan (Catshade, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat diartikan bahwa kematangan
mempengaruhi tingkat stress seseorang. Dalam alur hidup manusia terdapat masa perkembangan
perkembangan itu terdapat masalah yang harus dihadapi oleh masing-masing individu dan yang
terberat adalah pada usia sekitar 40 tahun dan lanjut usia. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
perubahan yang terjadi pada masa menopause sehingga banyak orang mengeluh, terutama bagi
kaum perempuan yang mengeluh tentang keadaan tubuhnya, selain itu juga usia sekitar 40 tahun
terjadi penurunan fungsi berfikir otak. Pada usia lanjut seseorang sudah menyiapkan dirinya
untuk meninggal dunia, jadi lansia akan lebih giat beribadah untuk bekal dikehidupan
selanjutnya, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa manusia takut akan kematian. Stress ternyata
memberikan dampak tidak baik terhadap tubuh, stress mengaktifkan system syaraf simpatis yang
akan bermuara pada pemecahan glikogen dalam hati, sehingga glukosa darah akan meningkat.
Dari hasil pengisian kuesioner stress yang diserahkan kepada 12 responden di dapatkan
hasil bahwa seluruh responden mengalami penyakit atau tersinggung yaitu 100% atau 12
responden.
Sumber stress dapat menimbulkan depresi dan kecemasan di sini antara lain penyakit,
kecelakaan, operasi / pembedahan, aborsi, dan lain sebagainya. Dalam hal ini penyakit yang
banyak menimbulkan depresi dan kecemasan adalah penyakit kronis, jantung, kanker dan
sebagainya (Iyus Yosep, 2007).
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa penyakit yang diderita seseorang dapat
menjadi sumber stress, hal ini dapat disebabkan oleh tingkat pemahaman tetang penyakit,
sehingga orang yang menderita penyakit menjadi takut dan akhirnya timbul stress. Penyakit
merupakan keadaan yang mengancam nyawa seseorang dan hal itu telah diketahui oleh semua
orang, bahwa dalam keadaan normal sebelum seseorang meninggal dunia akan sakit terlebih
itu penyakit sering menjadi sumber stress yang sangat tinggi, apalagi orang yang sedang
menderita suatu penyakit itu kurang memahami apa yang dialami dan pengobatannya.
4.2.3
Kadar Gula Darah A
cak (GDA)Pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar pasien diabetes mellitus dengan kadar
Gula Darah Acak (GDA) tinggi yaitu sebanyak 9 orang (75%). Dan dari data responden
berdasarkan usia hampir setengah dari pasien diabetes mellitus tipe II adalah berusia 30-39 tahun
yaitu 5 orang (41%).
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur maka intoleransi terhadap
glukosa juga meningkat. Intoleransi glukosa pada lanjut usia ini sering dikaitkan dengan
obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa otot, adanya penyakit penyerta dan
penggunaan obat, disamping itu pada orang lanjut usia sudah terjadi penurunan sekresi insulin
dan resistensi insulin. Resiko terkena penyakit diabetes tipe 2 meningkat dengan penuaan, para
ahli sepakat mulai usia 45 tahun ke atas (Arief, 2008).
Berdasarkan data diatas kelompok usia yang tertinggi adalah usia 30-39 tahun, jadi dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara usia dengan tingginya kadar glukosa darah.
Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor lain yang juga mempengaruhinya.
Pergeseran gaya hidup yang berkembang ke arah dunia barat telah menimbulkan dampak yang
sangat besar, dalam hal ini termasuk makanan fast food dan penggunaan teknologi modern yang
membuat orang jadi kurang beraktivitas, sedangakan aktivitas dan gaya hidup mempengaruhi
keadaan gula darah seseorang.