• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI HUBUNGAN OBESITAS DAN STRESS DEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SKRIPSI HUBUNGAN OBESITAS DAN STRESS DEN"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

www.ngecrot.com

Minggu, 29 April 2012

SKRIPSI HUBUNGAN OBESITAS DAN STRESS DENGAN KADAR GULA

DARAH ACAK PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE II DI

PUSKESMAS KARANGBINANGUN LAMONGAN

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Sejalan dengan perkembangan jaman dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi,

maka semakin banyak pula penyakit infeksi dan menular yang mampu diteliti dan diatasi.

Namun tidak demikian dengan penyakit-penyakit degeneratif, penyakit degeneratif sudah ada di

negara-negara besar seperti Amerika serikat, negara Eropa, Rusia atau Jepang dan sekarang telah

merambah ke negara yang sedang berkembang di dunia termasuk India, Afrika dan Indonesia.

Adapun penyakit degeneratif contohnya Diabetes Mellitus (DM), Diabetes mellitus (DM)

merupakan salah satu penyakit yang tidak ditularkan dan sering ditemukan di masyarakat seluruh

dunia (Hikmat Permana, 2009).

Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menjelaskan dalam Haris Fadilah 2005, penyakit DM

sangat mengancam produktifitas seseorang sehingga penyakit ini perlu diantisipasi sejak dini

sehingga tidak menjadi penyakit yang kronis. Namun beberapa penelitian terakhir disebutkan

bahwa setiap tahunnya penderita diabetes mellitus bukannya semakin berkurang justru semakin

(2)

disebabkan oleh semakin banyaknya penderita obesitas dunia, ditambah lagi dengan tingkat

stress yang cenderung semakin tinggi karena peralihan ke pekerjaan kantoran. Diprediksi angka

tersebut terus bertambah menjadi 350 juta jiwa pada tahun 2020 (Dahlia Irawati, 2008).

Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilakukan di Indonesia kekerapan

diabetes mellitus adalah berkisar antara 1,4 – 1,6% (Aru W Sudoyo, 2006). Sedangkan penderita

diabetes melitus (DM) di wilayah Surabaya terus meningkat, bisa dikatakan pengidap DM saat

ini mencapai 180.000 orang yaitu 6% dari masyarakat daerah itu. Berdasar data yang dihimpun

di RSU dr Soetomo, RSUD dr Soewandhie, RSU Haji, dan RS Al-Irsyad, angka penderita DM

dalam dua tahun terakhir meningkat. Di instalasi rawat jalan RSU dr Sotemo, misalnya, jumlah

kunjungan pasien DM sampai Oktober 2008 menempati posisi ketiga di antara 40 poli yang ada

jumlahnya adalah 25.435 orang. Jumlah penderita DM hanya kalah dari pasien di poli jantung

31.272 pasien dan onkologi 30.055 pasien (Nur dan Ayi, 2008).

Menurut Syaifudin dalam Febrianto 2008, sekitar 200.000 atau 12 persen dari penduduk

Lamongan diduga terkena penyakit DM (penyakit gula). Dan saat ini penyakit itu masuk

golongan penyebab kematian terbesar. Berdasarkan study pendahuluan yang dilakukan peneliti

pada instansi puskesmas Karangbinangun kabupaten Lamongan pada bulan Juni 2009,

didapatkan bahwa diabetes mellitus pada tahun 2007 adalah 134 orang sedangkan pada tahun

2008 adalah sebesar 214 orang, jadi terdapat peningkatan sebesar 27,2% atau 80 kasus baru

diabetes mellitus. Jumlah kunjungan setiap bulannya adalah sekitar 30 orang, pada kasus baru

sekitar 7 orang dan kasus lama 18 orang. Maka masalah penelitian ini adalah peningkatan

kejadian Diabetes Mellitus.

Menurut Wardati (2006) menyatakan banyak faktor yang diduga menjadi timbulnya

(3)

ketegangan (stress), nutrisi, sosial ekonomi, status rural urban dan kelainan ginekologis. Faktor

yang pertama adalah faktor keturunan, menurut penelitian diabetes mellitus merupakan penyakit

keturunan, jika orang tua mengidap penyakit ini maka anak telah mempunyai 40 % resiko

terkena penyakit ini juga (Faiz Akhadiyat T, 2009)

Faktor ke dua adalah lanjut usia , Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan

meningkatnya umur maka intoleransi terhadap glukosa juga meningkat. Intoleransi glukosa pada

lanjut usia ini sering dikaitkan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa

otot, adanya penyakit penyerta dan penggunaan obat, disamping itu pada orang lanjut usia sudah

terjadi penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin. Resiko terkena penyakit diabetes tipe 2

meningkat dengan penuaan, para ahli sepakat mulai usia 45 tahun ke atas (Arief, 2008).

Faktor ke tiga yaitu nutrisi, Menurut Ayu Bulan FKD (2009) bahwa “Diabetes mellitus

merupakan salah satu penyakit degeneratif yang prevalensinya kian meningkat. Penyakit ini

sangat erat kaitannya dengan pola makan. Tingginya kadar gula dalam darah akibat asupan kalori

dan karbohidrat yang berlebih merupakan penyebab utama penyakit tersebut”.

Faktor yang ke empat adalah faktor ekonomi. Semakin tinggi status ekonomi dari

seseorang semakin mudah seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, hal ini

akan minimbulkan penurunan pemakaian kalori sehingga glukosa tidak terpakai, lama kelamaan

akan timbul obesitas dan akhirnya terjadi resistensi insulin, diabetes tipe 2 lebih sering terjadi

pada orang yang mengalami obesitas atau kegemukan akibat gaya hidup yang dijalaninya. Trend

penyakit yang terkait dengan lifestyle atau gaya hidup cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Salah satunya adalah diabetes melitus (Herman, 2009).

Status rural urban adalah faktor selanjutnya. Cara hidup masyarakat urban yang sibuk

(4)

duduk di belakang meja, menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah

raga. Hasil penelitian di beberapa daerah urban di Indonesia memang terdapat peningkatan

(Herman, 2009).

Dari semua faktor resiko diabetes mellitus ada dua faktor yang dominan yaitu obesitas

dan stress. Obesitas adalah salah satu faktor resiko lingkungan yang sangat penting dalam

pathogenesis diabetes mellitus tipe II (Robbin, 2007). Obesitas memiliki peran yang kurang baik

dalam hal ini yaitu meningkatkan resistensi insulin oleh tubuh, sehingga glukosa yang ada di

dalam darah tidak mampu di metabolisme dengan baik oleh sel dan akhirnya terjadi peningkatan

glukosa dalam darah, memang resistensi insulin berkaitan dengan obesitas (Brunner and

Suddarth, 2002).

Stress dapat meningkatkan kandungan glukosa darah karena stress menstimulus organ

endokrin untuk mengeluarkan ephinefrin, ephinefrin mempunyai efek yang sangat kuat dalam

menyebabkan timbulnya proses glikoneogenesis di dalam hati sehingga akan melepaskan

sejumlah besar glukosa ke dalam darah dalam beberapa menit (Guyton and Hall, 2007). Hal

inilah yang menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah pada saat stress atau tegang.

Mengingat penyakit ini hanya dapat dikendalikan saja tanpa bisa diobati dan komplikasi yang

ditimbulkan juga sangat besar seperti penyakit jantung, stroke, disfungsi ereksi, gagal ginjal dan

kerusakan sistem syaraf (Dhania, 2009).

Dari faktor tersebut yang dapat dilakukan pembenahan adalah faktor yang dapat diubah.

Faktor-faktor yang dapat diubah adalah meliputi obesitas, diet nutrisi, aktivitas, asupan lemak,

merokok dan minum alkohol, ketegangan(stress) dan tingkat sosial ekonomi. Upaya pembenahan

meliputi perubahan terhadap faktor yang disebutkan di atas yaitu mengontrol berat badan agar

(5)

bermanfaat terutama olah raga, membatasi makanan yang mengandung banyak lemak, tidak

merokok dan minum alkohol, meminimalkan stress atau ketegangan yang ada dipikiran dan tidak

meniru gaya hidup kebarat-baratan. Kebanyakan pasien diabetes mellitus memiliki tubuh yang

kurang proporsional dalam arti gemuk atau obesitas, hal ini senada dengan pernyataan “DM tipe

II paling sering ditemukan pada individu yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas” (Brunner

and Suddarth, 2002) selain itu penyakit DM lebih banyak ditemukan pada orang yang memiliki

pekerjaan diam dan berfikir, selain tingkat aktivitas yang rendah tingkat stress yang tinggi juga

berpengaruh.

Untuk itu penulis tertarik dan ingin melakukan penelitian yang berkaitan dengan

“Hubungan Obesitas dan Stress dengan Kadar Gula Darah Acak (GDA) pada pasien Diabetes

Mellitus Tipe II Di Puskesmas Karangbinangun”.

1.2

Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana tingkat obesitas pasien diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun

Lamongan.

2. Bagaimana tingkat stress pasien diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Karangbinangun

Lamongan.

3. Bagaimana kadar Gula Darah Acak pasien diabetes mellitus tipe II di puskesmas

(6)

4. Adakah hubungan Obesitas dengan Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus tipe II di

Puskesmas Karangbinangun Kabupaten Lamongan.

5. Adakah hubungan Stress dengan Gula Darah Acak pada pasien diabetes mellitus tipe II di

Puskesmas Karangbinangun Kabupaten Lamongan.

1.3

Tujuan

1.3.1 Tujuan umum :

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis hubungan obesitas dan stress

dengan kadar glukosa darah acak pada pasien Diabetes Mellitus di Puskesmas Karang Binangun

Kabupaten Lamongan

1.3.2 Tujuan khusus :

1. Mengidentifikasi tingkat obesitas pada penderita Diabetes Mellitus tipe II di Puskesmas

Karangbinangun Kabupaten Lamongan.

2. Mengidentifikasi tingkat stress pada orang yang mengalami Diabetes Mellitus tipe II di

Puskesmas Karangbinangun Kabupaten Lamongan.

3. Mengidentifikasi kadar glukosa darah acak pasien diabetes mellitus tipe II di Puskesmas

Karangbinangun Kabupaten Lamongan.

4. Menganalisis hubungan obesitas dengan kadar glukosa darah acak pada pasien Diabetes Mellitus

tipe II di Puskesmas Karang Binangun Kabupaten Lamongan.

5. Menganalisis hubungan stress dengan kadar glukosa darah acak pada pasien Diabetes Mellitus

tipe II di Puskesmas Karang Binangun Kabupaten Lamongan.

1.4

Manfaat

(7)

1.

Profesi

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menerapkan

pengetahuan tentang diabetes mellitus tipe II dan faktor yang apa saja yang mempengaruhinya.

Sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan sebagai

pendukung teori yang sudah ada.

2. Akademik

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menerapkan

pengetahuan tentang diabetes mellitus tipe II dan faktor yang apa saja yang mempengaruhinya.

Sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan sebagai

pendukung teori yang sudah ada.

1.4.2

Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna, khususnya

bagi :

1. Pihak Puskesmas

Jika tingkat pengetahuan tentang diabetes mellitus pada penderita diabetes mellitus

rendah, pihak Puskesmas atau dokter dapat memberikan atau melakukan sosialisasi kepada

pasien, keluarga dan masyarakat mengenai segala sesuatu tentang diabetes mellitus. Dan dapat

menurunkan faktor resiko diabetes mellitus sehingga diharapkan angka kejadian diabetes

mellitus tidak meningkat tajam.

2. Masyarakat

Dengan pengetahuan tentang faktor resiko diharapkan penderita diabetes mellitus lebih

(8)

lanjut. Selain itu, juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat pada umumnya

(9)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1

Konsep Diabetes Mellitus

Tipe II

2.1.1

Pengertian

Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk

heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price and Wilson, 2005).

Diabetes mellitus adalah gangguan kronis metabolisme karbohidrat, lemak dan protein

(Robbin, 2007).

Diabetes merupakan penyakit kronis, yang terjadi ketika pankreas tidak memproduksi

insulin yang cukup, atau jika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang

diperbuatnya (WHO1, 2009).

Diabetes mellitus tipe II yaitu diabetes yang tidak tergantung insulin (Brunner and

Suddarth, 2002). Diabetes mellitus tipe II terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin

atau akibat penurunan jumlah produksi insulin. Diabetes mellitus tipe II merupakan jenis

diabetes mellitus yang paling sering dijumpai, diperkirakan sekitar 90% dari semua penderita

diabetes mellitus dan penderita diabetes yang ada di indonesia (Jhon MF Adam, 2000). Penderita

penyakit diabetes mellitus tipe II lebih banyak menyerang seseorang di atas usia 30 tahun

(10)

2.1.2

Etiologi

1. Diabetes Mellitus tipe II

Menurut Wardati (2006) faktor resiko terjadinya diabetes mellitus meliputi faktor

keturunan, lanjut usia , kegemukan (obesitas), ketegangan (stress), nutrisi, sosial ekonomi, status

rural urban dan kelainan genekologis.

1) Keturunan / riwayat keluarga

Menurut penelitian yang telah dilakukan, penyakit diabetes mellitus merupakan penyakit

keturunan, jika orang tua mengidap penyakit ini maka anak telah mempunyai 40% resiko terkena

penyakit ini juga (Faiz Akhadiyat T, 2009).

2) Usia lajut

Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur maka intoleransi terhadap

glukosa juga meningkat. Intoleransi glukosa pada lanjut usia ini sering dikaitkan dengan

obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa otot, adanya penyakit penyerta dan

penggunaan obat, disamping itu pada orang lanjut usia sudah terjadi penurunan sekresi insulin

dan resistensi insulin. Resiko terkena penyakit diabetes tipe 2 meningkat dengan penuaan, para

ahli sepakat mulai usia 45 tahun ke atas (Arief, 2008)

3) Obesitas

Obesitas adalah salah satu faktor resiko lingkungan yang sangat penting dalam

pathogenesis diabetes mellitus tipe II (Robbin, 2007). Obesitas memiliki peran yang kurang baik

dalam hal ini yaitu meningkatkan resistensi insulin oleh tubuh, sehingga glukosa yang ada di

dalam darah tidak mampu di metabolisme dengan baik oleh sel dan akhirnya terjadi peningkatan

glukosa dalam darah, memang resistensi insulin berkaitan dengan obesitas (Brunner and

Suddarth, 2002).

(11)

Stress dapat meningkatkan kandungan glukosa darah karena stress menstimulus organ

endokrin untuk mengeluarkan ephinefrin, ephinefrin mempunyai efek yang sangat kuat dalam

menyebabkan timbulnya proses glikoneogenesis di dalam hati sehingga akan melepaskan

sejumlah besar glukosa ke dalam darah dalam beberapa menit (Guyton and Hall, 2007).

Sistem simpatis umumnya bersifat katabolik, mengeluarkan energi (flight or flight)

sistem ini meningkatkan frekuensi jantung, mendilatasi bronki, dan mengurangi sekresi.

Glikogen dan lipid dipecah dan glukosa disintesis untuk energi. Motilitas saluran pencernaan dan

sekresi menurun serta urin ditahan (Olson J, 2003).

5) Diet nutrisi

Menurut Ayu Bulan FKD (2009) dijelaskan bahwa Diabetes mellitus merupakan salah

satu penyakit degeneratif yang prevalensinya semakin meningkat. Penyakit ini sangat erat

kaitannya dengan pola makan. Tingginya kadar gula dalam darah akibat asupan kalori dan

karbohidrat yang berlebih merupakan penyebab utama penyakit tersebut.

6) Ekonomi

Hal ini berkaitan dengan gaya hidup, semakin tinggi status ekonomi dari seseorang

semakin mudah seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Tanpa harus

mengeluarkan banyak tenaga barang yang diinginkannya akan dimilikinya, hal ini akan

minimbulkan penurunan pemakaian kalori sehingga glukosa tidak terpakai dan akan diubah oleh

hati menjadi glikogen atau disimpan di bawah kulit berupa lemak, lama kelamaan akan timbul

obesitas dan akhirnya terjadi resistensi insulin, diabetes tipe 2 lebih sering terjadi pada orang

yang mengalami obesitas akibat gaya hidup yang dijalaninya. Trend penyakit yang terkait

dengan lifestyle atau gaya hidup cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Salah satunya adalah

(12)

7) Status urban

Cara hidup masyarakat urban yang sibuk dengan pekerjaan dari pagi hingga sore bahkan

kadang-kadang sampai malam hari dan hanya duduk di belakang meja, menyebabkan tidak

adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah raga. Apalagi hapir setiap hari harus lunch dan

dinner dengan para mitranya, makanan yang dimakan adalah makanan barat yang aduhai. Pola

hidup beresiko inilah yang menyebabkan tingginya kekerapan penyakit PJK, diabetes mellitus

dan lainnya. Hasil penelitian di beberapa daerah urban di Indonesia memang terdapat

peningkatan (Herman, 2009).

8) Kelainan genekologis

Beberapa kelainan genekologis juga dapat memperparah atau bahkan menyebabkan

penyakit diabetes mellitus ini (Brunner and Suddarth, 2002).

2.1.3

Patogenesis

Menurut Robbin, 2007 perjalanan normal tubuh dan penyakit diabetes mellitus adalah

sebagai berikut :

1. Fisiologi Insulin Normal

Gen insulin yang diekskresikan pada sel beta pankreas, disimpan dalam granula sebelum

diekskresikan. Pengeluaran dari sel beta berlangsung dalam suatu proses yang melibatkan dua

simpanan insulin. Peningkatan kadar glukosa darah mendorong pelepasan insulin, yang

diperkirakan dari simpanan pada granula sel beta.

Insulin adalah hormon anabolik utama, insulin diperlukan untuk (1) Pengangkutan

(13)

rangka, (3) Perubahan glukosa menjadi trigliserida, (4) Sintesis asam nukleat, dan (5) Sintesis

protein. Fungsi metabolik utamanya adalah meningkatkan laju pemasukan glukosa ke dalam sel

tertentu di tubuh. Sel tersebut adalah sel otot berserat lintang, termasuk sel miokardium,

fibroblast dan sel lemak, yang secara kolektif mewakili sekitar dua per tiga dari seluruh berat

badan tubuh.

Insulin berinteraksi dengan sel sasarannya mula-mula berikatan dengan reseptor insulin,

jumlah dan fungsi dari reseptor ini penting untuk mengendalikan kerja insulin. Reseptor insulin

adalah suatu tirosin kinase yang memicu sejumlah respon intrasel yang mengarah jalur

metabolisme. Salah satu respon dini yang penting adalah terhadap insulin adalah translokasi

glucose transport unit (GLUTs, yang memiliki banyak tipe spesifik jaringan) dan aparatus golgi

ke membran plasma, yang mempermudah penyerapan glukosa oleh sel. Oleh karena itu, hasil

akhir utama kerja insulin adalah membersihkan glukosa dari sirkulasi.

Gambaran terpenting dari penyakit diabetes mellitus adalah gangguan toleransi glukosa.

Hal ini dapat terungkap dengan uji coba toleransi glukosa oral yang memeriksakan kadar glukosa

darah setelah puasa semalam, dan kemudian beberapa menit sampai jam setelah pemberian

glukosa per oral. Pada orang normal, kadar glukosa darah hanya sedikit meningkat, dan respon

insulin oleh pankreas berlangsung cepat yang memastikan pulihnya kadar ke tingkat

normoglikemik dalam satu jam. Pada pengidap diabetes dan pada mereka yang berada dalam

stadium praklinik, glukosa darah meningkat ke kadar yang terlalu tinggi secara berkepanjangan.

Hal ini dapat terjadi akibat kekurangan mutlak insulin yang dikeluarkan dari pankreas atau akibat

gangguan respon jaringan sasaran terhadap insulin, atau keduanya.

(14)

1) Konsentrasi glukosa plasma vena puasa (semalam) 126 mg/dL atau lebih pada lebih dari satu

kali pemeriksaan

2) Gejala klinis diabetes dan kadar glukosa sewaktu 200 mg / dL atau lebih

3) Setelah ingesti 75 gr glukosa, konsentrasi glukosa vena 2 jam 200 mg / dL atau lebih.

2. Patogenesis Diabetes Mellitus Tipe II

Patogenesis dari diabetes mellitus tipe 2 jauh lebih sedikit diketahui meskipun tipe ini

merupakan yang tersering ditemukan. Tidak ada bukti bahwa mekanisme autoimun berperan.

Gaya hidup tentu berperan dalam hal ini terutama obesitas dan stress. Dua defek metabolik yang

menandai diabetes mellitus tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin pada sel beta dan

ketidakmampuan jaringan perifer berespon terhadap insulin (Resistensi insulin).

1) Gangguan sekresi insulin pada sel beta

Pada kenyataannya, pada awal perjalanan penyakit kadar insulin bahkan mungkin

meningkat untuk mengkompensasi insulin. Begitu juga dengan sekresi insulin tampaknya normal

dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Fase pertama sekresi insulin (yang cepat) akan

mengakibatkan glukosa menurun.

Namun pada perjalanan berikutnya terjadi defisiensi absolut insulin yang ringan hingga

sedang. Penyebabnya defesiensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2 ini masih belum jelas, data

mengenai hewan percobaan dengan diabetes tipe 2, diperkirakan mula-mula resistensi sinsulin

menyebabkan peningkatan masa dan produksi insulinnya. Lambat laun akan terjadi kehilangan

sel beta 20% hingga 50% karena keadaan diatas, tetapi jumlah ini masih belum menyebabkan

kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh gukosa. Hal ini tampaknya akan

menyebabkan gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta.

(15)

Bukti yang ada menunjukkan bahwa resistensi insulin merupakan faktor utama dalam

timbulnya diabets mellitus tipe 2. Sejak permulaan, perlu dicatat bahwa resistensi insulin adalah

suatu fenomena komplek yang tidak terbatas pada sindrom diabetes. Pada kegemukan dan

kehamilan sensitivitas insulin jaringan sasaran menurun (meskipun tidak terdapat diabetes), dan

kadar insulin serum mungkin meningkat untuk mengkompensasi resistensi insulin tersebut.

Dasar seluler dan molekular belum sepenuhnya dimengerti.

Terdapat tiga sasaran utama kerja insulin : jaringan lemak dan otot; dikedua jaringan

tersebut insulin meningkatkan penyerapan glukosa, dan hati, tempat insulin menekan produksi

glukosa. Insulin bekerja pada sasaran pertama-tama dengan berikatan pada reseptornya.

Pengaktifan reseptor insulin memicu serangkaian respon intrasel yang mempengaruhi jalur

metabolisme sehingga terjadi translokasi unit transpor glukosa ke membran sel yang

memudahkan penyerapan glukosa. Pada prinsipnya, resistensi insulin dapat terjadi di tingkat

reseptor insulin atau salah satu pasca reseptor yang diaktifkan oleh pengikatan insulin ke

reseptornya.

2.1.4

Tanda Dan Gejala Diabetes Mellitus

Manifestasi klinis dari penyakit diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi

metabolik defesiensi insulin. Pasien-pasien dengan dengan defesiensi insulin tidak dapat

mempertahankan kadar glukosa plasma puasa normal atau toleransi glukosa setelah makan

karbohidrat. Tanda dan gejala fisik yang muncul sebagai manifestasi dari hiperglikemi atau

defesiensi insulin banyak sekali, tetapi beberapa gejala yang terkenal yaitu poliuri, polidipsi dan

polifagi :

(16)

Glukosuria ini akan mengakibatkan deurisis osmotik sehingga meningkatkan pengeluaran

urin.

2. Polidipsia

Polidipsi adalah rasa haus. Hal ini disebabkan oleh gejala lain yaitu poliuri atau banyak

pengeluaran urin, sehingga untuk mengkompensasi hal tersebut tubuh akan memberikan sinyal

ke otak bahwa homeostasis tidak stabil, akhirnya rasa haus akan muncul sebagai kompensasi

tubuh.

3. Polifagia

Karena glukosa glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan

kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar mengakibatkan banyak

makan (polifagia).

Manifestasi klinis yang lain akan muncul juga seperti :

1. Glukosuria. Hal ini terjadi ketika kadar glukosa darah mengalami peningkatan yang sangat

tinggi (hiperglikemi) dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka akan timbul glukosuria

atau kencing manis.

2. Turunnya berat badan.

3. Lemah / somnolent

4. Jika sakit berat bisa terjadi ketoasidosis dan dapat meninggal bila tidak dilakukan tindakan

segera.

5. Kesemutan atau gatal.

(17)

7. Disfungsi ereksi pada laki-laki dan pruritus vulva pada wanita.

Menurut Price and Wilson (2005), terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol

metabolisme dan pada umumnya penderita peka terhadap insulin. Sebaliknya pasien dengan

diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosa hanya

dibuat berdasarkan pemeriksaan di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada

hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut menderita polidipsi, poliuri, lemah dan

somnolent. Biasanya mereka tidak mengalami ketoassidosis karena pasien ini tidak defisiensi

insulin secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup

utnuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespon terhadap

terapi diet, atau terhadap obat-obat hipoglikemi oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk

menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas

perifer terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau

malahan tinggi,tetapi tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal.

Penderita juga resisten terhadap insulin eksogen.

2.1.5

Diagnosis

Secara epidemiologi diabetes seringkali tidak terdekteksi dan dikatakan onset atau mulai

terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan. Sehingga morbiditas dan

mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Diagnosis diabetes mellitus

ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakan dengan

glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis diabetes mellitus harus diperhatikan asal bahan

dasar darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan

yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma

(18)

blood), vena atau kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda

sesuai pembakuan darah oleh WHO (Sidartawan Soegondo, 2004)

Tabel 2.1 Kadar glukosa sewaktu dan puasa

Pemeriksaan Rendah Sedang Tinggi Kadar gula darah Plasma vena <110 110-199 ≥200

Sewaktu (mg/dl) Darah kapiler <90 90-199 ≥200 Kadar gula darah Plasma vena <110 110-125 ≥126 Puasa (mg/dl) Darah kapiler <90 90-109 ≥110 (Aru W Sudoyo, 2007)

Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM. hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru

satu kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus.

Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar

glukosa darah puasa ≥126 mg/dl pada hari yang lain, kadar gula sewaktu ≥200 mg/dl pada hari

yang lain, atau dari hasil tes toleransi guloksa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah

pasca pembebanan ≥200. Berikut ini adalah cara penatalaksanaan pemeriksaan TTGO :

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup). Kegiatan jasmani

seperti yang biasa dilakukan.

2. Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih

diperbolehkan.

3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa.

4. Diberikan glukosa 75 gr (orang dewasa) atau 1,75 gr/kkBB (anak-anak), dilarutkan dalam air

250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.

5. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa.

(19)

Selain pemeriksaan kadar glukosa di atas, terdapat diagnosis dan klasifikasi yang lain

yaitu Indeks Tambahan. Indeks tambahan dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu :

1. Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta

Hal ini dapat dilakukan dengan melkaukan pemeriksaan kadar insulin, pro-insulin dan

sekresi peptida penghubung (C-peptide). Nilai-nilai “Glycosilated hemoglobin” (WHO memakai

istilah “Glyclated hemoglobin”), nilai derajat glikosilasi dari protein lain dan tingkat gangguan

toleransi glukosa juga bermanfaat untuk penilaian kerusakan ini.

2. Indeks proses diabetogenik

Untuk penilaian proses diabetogenik pada saat ini telah dilakukan penentuan tipe dan sub

tipe HLA, adanya tipe dan titer antibodi dalam sirkulasi yang ditujukan pada pulau-pulau

langerhand (islet cell antibodies), anti GAD (glutamic acid decarboxylase) dan sel endokrin

lainnya adanya cell-mediated immunity terhadap pankreas ditemukan susunan DNA spesifik

pada genom manusia dan ditemukannya penyakit lain pada pankreas dan penyakit endokrin

lainnya.

2.1.6

Pengobatan

Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan

kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi vaskular serta

neuropati. Tujuan terapi pada setiap tipe adalah mencapai kadar glukosa darah normal

(euglikemia) tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien.

Secara garis besar penatalaksanaan penyakit diabetes mellitus ada 2 yaitu terapi

farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi farmakologis adalah terapi dengan

menggunakan obat atau insulin. Sedangkan terapi non farmakologis terapi tanpa menggunakan

(20)

1. Diet

Prinsip umum diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksaan

diabetes. Tujuan terapi diabetes mellitus adalah sebagai berikut :

1) Memberikan semua unsur makanan esensial (vitamin, mineral).

2) Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai.

3) Memenuhi kebutuhan energi.

4) Mencegah fluktasi kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan

praktis.

5) Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat.

Standar yang dianjurkan oleh Sidartawan Soegondo adalah makanan dengan komposisi

yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi yang

baik sebagai berikut : Karbohidrat (60 – 70%); Protein (10 – 15 %); Lemak (20 – 25 %).

Sedangkan menurut Perhimpunan Diabetes Amerika dan Persatuan Diabetik Amerika

merekomendasikan bahwa semua asupan kalori, 50 – 60 % kalori berasal dari karbohidrat, 20 –

30 % dari lemak dan 12 – 20% lainnya protein. Rekomendasi ini juga konsisten dengan

rekomendasi Assosiate Cancer Sosiety dan The American Hearth Assosiation.

2. Latihan

Pada klien dengan penyakit diabetes mellitus dianjurkan untuk melakukan latihan

jasmani secara teratur (3 – 4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit, sedapat mungkin

mencapai zona sasaran 75 -85% denyut jantung maksimal (220-umur), disesuaikan dengan

kemampuan dan kondisi penyakit penyerta.

(21)

Pemantauan ini ditujukan untuk pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri. Cara ini

memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemia, dan berperan dalam

menentukan kadar glukosa normal yang kemungkinan akan mengurangi komplikasi jangka

panjang. Pemeriksaan ini dianjurkan bagi pasien diabetes mellitus dengan :

1) Penyakit diabetes yang tidak stabil.

2) Kecenderungan untuk mengalami ketoasidosis berat atau hipoglikemia.

3) Hipoglikemia tanpa gejala peringatan

4) Ambang glukosa renal yang abnormal.

Frekuensi pemantauan mandiri glukosa darah dilakukan bagi sebagian besar pasien yang

memerlukan insulin, pemeriksaan kadar glukosa darah sebanyak dua hingga empat kali sehari

sebelum makan dan pada saat akan tidur malam. Bagi pasien dengan insulin sebelum makan,

diperlukan sedikitnya tiga kali pemeriksaan untuk menentukan dosis yang aman. Sedangkan

untuk klien tanpa insulin dapat memeriksa diri tiga hingga empat kali seminggu.

Interpretasi hasil pemantauan mandiri. Klien harus diberi tahu agar menyimpan hasil

pemeriksaan gula darah dalam buku catatan atau log book sehingga klien dapat mengetahui pola

dari kenaikan dan penurunan glukosa darahnya.

4. Pendidikan dan penyuluhan

Dalam beberapa tahun ini telah terjadi peningkatan program pendidikan dan pelatihan

diabetes bagi pasien-pasien rawat jalan. Informasi yang diberika haruslah menyangkut beberapa

hal ini

1) Patofisiologi sederhana yang berisis tentang : definisi diabetes mellitus (dengan kadar glukosa

yang tinggi); batas-batas kadar glukosa yng normal; efek terapi insulin dan latihan; efek

(22)

2) Cara-cara terapi, meliputi hal – hal sebagai berikut : pemberian insulin; dasar-dasar diet; dan

pemantauan kadar glukosa darah dan keton urine.

3) Pengenalan, penanganan dan pencegahan komplikasi akut yaitu : hipoglikemia dan

hiperglikemia.

4) Informasi yang pragmatis yaitu : di mana membeli dan menyimpan insulin, semprit, alat-alat

untuk memantau kadar glukosa darah; kapan dan bagaimana cara menghubungi dokter.

5. Terapi farmakologis

Sarana pengobatan untuk penyakit diabetes mellitus terdiri atas dua macam obat, yaitu

obat hipoglikemia oral dan pemberian injeksi insulin.

1) Obat hipoglikemi oral

Obat hipoglikemmi oral memiliki dua fungsi, fungsi yang pertama adalah sebagai pemicu

sekresi insulin. Contohnya adalah Sulfonilurea, obat golongan ini sudah dipakai sejak tahun

1957. Obat golongan ini memiliki efek menstimulus sel beta pankreas untuk memproduksi

insulin yang tersimpan, oleh karena itu obat ini hanya bermanfaat untuk orang yang masih

memiliki kemampuan untuk mensekresi insulin. Mekanisme kerja dari obat golongan ini adalah :

menstimulus pelepasan insulin yang tersimpan; menurunkan ambang sekresi insulin;

meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa. Contoh obat lainnya adalah

Glinid”, Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan obat

Sulfonilurea.

Fungsi yang kedua adalah menambah sensitivitas terhadap insulin. Contoh dari golongan

ini adalah obat Biguanis, Tiazolidindion, glukosidase alfaobat. Biguanis, obat ini mampu

(23)

Efek samping yang tidak diinginkan adalah terjadinya asidosis laktat, meskipun sangat kecil

yaitu 0,01 – 0,08 dari semua pengguan obat ini. Obat baru yang memiliki efek untuk

meningkatkan sensitifitas insulin adalah Tiazolidindion, obat ini diharapkan dapat lebih tepat

bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin. Obat penghambat glukosidase alfa obat

memiliki efek menghambat kerja dari enzim glukosidase alfa di dalam saluran cerna sehingga

dapat menurunkan penyerapan glukosa dan dapat menurunkan glukosa postprandial.

2) Insulin

Secara keseluruhan sebanyak 20 – 25% pasien diabetes mellitus tipe 2 kemudian akan

memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Penyerapan insulin yang

paling cepat adalah pada daerah abdomen yang kemudian diikuti oleh daerah lengan, paha

bagian atas dan bokong. Bila disuntikan secara intramuskular maka penyerapannya akan lebih

cepat dan masa kerjanya akan lebih singkat.

2.1.7

Komplikasi

Terdapat tiga komplikasi akut pada diabetes mellitus yang penting dan berhubungan

dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek. Ketiga komplikasi tersebut

adalah hipoglikemia, ketosidosis diabetik dan sindrom HHNK / HONK (hiperglikemik

hiperosmolar nonketotik / hiperosmolar nonketotik).

1. Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah kadar glukosa yang abnormal rendah. Hal ini terjadi bila kadar

glukosa turun hingga 50 hingga 60 mg/dl (2,7 hingga 3,3 mmol/l) (Brunner and Suddarth, 2002).

(24)

makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas yang berat. Gejala yang nampak pada kasus

hipoglikemia ada tiga macam yaitu :

1) Hipoglikemia ringan

Ketika kadar glukosa darah menurun, sistem syaraf simpatik akan terangsang.

Pelimpahan adrenalin ke dalam darah akan menyebabkan gejala seperti : tremor, takhicardi,

palpitasi, kegelisahan dan lapar.

2) Hipoglikemia sedang

Penurunan glukosa darah menyebabkan sel-sel otak tidak memperoleh cukup bahan bakar

untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan fungsi pada sistem syaraf mencakup ketidak

mampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, kofusi, penurunan daya ingat, patirasa di daerah

bibir dan lidah, bicara pelo, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku yang

tidak rasional, penglihatan ganda dan perasaan ingin pingsan.

3) Hipoglikemia berat

Fungsi sistem syaraf pusat mengalami gangguan yang sangat berat sehingga pasien

memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi hipoglikemi yang dideritanya. Gejala dapat

mencakup perilaku disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan dari tidur atau bahkan

kehilangan kesadaran.

Penanganan kasus segera diberikan bila terjadi hipoglikemia. Rekomendasi biasanya

berupa pemberian 10 hingga 15 gram gula yang bekerja cepet peroral :

(25)

(2) 4 – 6 ons sari buah atau teh yang manis

(3) 6 – 10 butir permen khusus atau permen manis lainnya

(4) 2 – 3 sendok teh sirup atau madu

Apabila gejala bertahan lebih dari 10 menit hingga 15 menit sesudah terapi pendahuluan,

ulangi terapi tersebut. Setelah gejala berkurang berikan makan camilan yang mengandung

protein dan pati (seperti cracer dengan keju atau susu) kecuali jika pasien berencana untuk

makan atau makan camilan dalam waktu 30 menit hingga 60 menit menurut jadwal makan.

Pasien juga harus diberitahukan agar tidak mengkonsumsi makanan penutup mulut yang tinggi

kalori dan tinggi lemak (kue-kue kering, tarcis, cakes donat, es krim) utnuk mengatasi

hipoglikemia yang dialaminya. Karena dapat menghambat penyerapan glukosa ke dalam tubuh.

Pada kasus yang berat pasien tidak sadarkan diri, tidak mampu menelan atau menolak

terapi maka pemberian preparat glukogon 1 mg per intramuskuler atau subcutan bisa diberikan,

tetapi preparat glukagon harus dilarutkan dahulu dengan pelarutnya.

2. Ketoasidosis diabetic

Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah

insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein

dan lemak. Gambaran klinik dari diabetas ketoasidosis adalah : dehidrasi, kehilangan elektrolit

dan asidosis. Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan

berkurang juga. Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali. Kedua faktor

ini akan menimbulkan hiperglikemia. Dalam upaya menghilangkan glukosa yang berlebih dalam

tubuh ginjal akan mengekskresikan glukosa melalui air dan elektrolit (Na, K). Deurisis osmotik

di tandai dengan poliuri ini akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Penderita

(26)

Na, K serta Cl selama preode waktu 24 jam. Akibatnya lemak menjadi asam-asam lemak bebas

dan gliserol. Asam lemak diubah hati menjadi badan keton yang berlebih sebagai akibat dari

kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya keadaan itu. Badan keton akan

menimbulkan asidosis metabolik.

Gejala yang ditimbulkan pada kasus diabetes ketoasidosis adalah poliuri, polidipsi (haus),

penglihatan kabur, lemah dan sakit kepala. Selain itu dapat juga terjadi hipotensi ortostatik,

denyut nadi lemah dan cepat. Ketosis dan asidosis menimbulkan gejala gastrointestinal berupa

anoreksia, mual, muntah dan nyeri abdomen, nafas berbau keton (bau manis seperti buah),

hiperventilasi hingga kussmaul. Perubahan mental pada ketoasidosis bervariasi. Nilai

laboratorium kadar glukosa darah dapat bervariasi dari 300 – 800 mg/dl, bisa lebih tinggi hingga

1000 mg/dl atau lebih rendah.

Ada penyebab utama diabetes ketoasidosis yaitu :

1) Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi.

2) Keadaan sakit atau infeksi.

3) Manifestasi pertama dari penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati.

Terapi yang dilakukan diarahkan pada perbaikan tiga masalah yaitu :

1) Dehidrasi

Pada rehidrasi yang diperlukan sekitar 6 -10 liter cairan infus untuk menghilangkan cairan yang

hilang karena poliuri, hiperventilasi dan muntah

(27)

Penggantian cairan elektrolit ditujukan untuk mengantikan kalium yang hilang.

3) Asidosis

Asidosis dapat ditangani dengan pemberian insulin karena insulin memiliki efek untuk

menghambat pemecahan lemak sehingga menggantikan senyawa yang bersifat asam.

3. Hiperglikemik hiperosmolar nonketotik (HHNK)

Sindrom hiperglikemia hiperosmolar non ketotik merupakan keadaan yang didominasi

oleh hiperosmolar dan hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran. Pada saat yang

sama tidak ada atau terjadi ketosis ringan. Kelainan dasar biokimia pada sindrom ini berupa

kekurangan insulin efektif. Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik

sehingga kehilangan cairan dan elektrolit, cairan akan berpindah dari intrasel ke ekstrasel.

Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi akan dijumpai hipernatremia dan peningkatan

osmolaritas. Perbedaan dengan diabetes ketoasidosis tidak adanya badan keton yang diproduksi.

Gambaran klinis dari Sindrom hiperglikemia hiperosmolar non ketotik adalah hipotensi,

dehidrasi berat (membran mukosa kering, turgor kulit jelek), takhikardi, dan gejala neurologis

yang bervariasi (perubahan sensori, kejang-kejang, hemiparesis). Keadaan ini makin serius

dengan angka mortalitas yang sekitar 5% - 30% dan biasanya berhubungan dengan penyakit

yang mendasarinya. Terapi yang dilakukan adalah sama seperti pada kasus diabetes ketoasidosis,

EKG mungkin diperlukan untuk melihat hearth reat.

2.2

Konsep Obesitas

2.2.1

Pengertian

Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial, yang terjadi akibat akumulasi jaringan

(28)

sel lemak bertambah pada tubuh seseorang. Bila seseorang bertanbah berat badanya maka ukuran

sel lemak akan bertambah besar dan kemudian bertambah banyak (Aru W Sudoyo, 2006).

Menurut Mayer, 1973 dalam Sholihin Pudjiadi (2000). Obesitas merupakan keadaan

patologis dengan terdapatnya penimbunan lemak yang berlebihan daripada yang diperlukan

untuk fungsi tubuh.

Kegemukan didefinisikan sebagai abnormal atau akumulasi lemak yang berlebihan yang

menyajikan risiko untuk kesehatan (WHO2, 2009).

2.2.2

Etiologi Obesitas

Menurut beberapa teori ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan obesitas, yaitu :

1. Faktor Genetik

Obesitas dapat disebabkan oleh banyak faktor, berat badan seseorang 40 – 70%

ditentukan secara genetik (Aru W S, 2006). Faktor resiko terkuat terjadinya obesitas pada anak

dan remaja adalah mempunyai orang tua yang juga penderita obesitas. Baik obesitas terjadi pada

ibu atau ayah, hal ini tidak membawa banyak perbedaan. Diduga, mempunyai orang tua yang

keduanya penderita obesitas akan membawa faktor risiko yang lebih besar daripada hanya salah

satu saja yang menderita obesitas (Rudolph, 2006 ).

(29)

Menurut Zainun Mutadin (2002) faktor lingkungan ternyata juga mempengaruhi

seseorang untuk menjadi gemuk. Jika seseroang dibesarkan dalam lingkungan yang menganggap

gemuk adalah simbol kemakmuran dan keindahan maka orang tersebut akan cenderung untuk

menjadi gemuk. Selama pandangan tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal maka orang

yang obesitas tidak akan mengalami masalah-masalah psikologis sehubungan dengan

kegemukan.

3. Kebiasaan makan

Menurut Zainun Mutadin (2002) Orang yang kegemukan lebih responsif dibanding

dengan orang berberat badan normal terhadap isyarat lapar eksternal, seperti rasa dan bau

makanan, atau saatnya waktu makan. Orang yang gemuk cenderung makan bila ia merasa ingin

makan, bukan makan pada saat ia lapar. Pola makan berlebih inilah yang menyebabkan mereka

sulit untuk keluar dari kegemukan jika sang individu tidak memiliki kontrol diri dan motivasi

yang kuat untuk mengurangi berat badan.

4. Kurangnya kegiatan fisik

Menurut Zainun Mutadin (2002) tingkat pengeluaran energi tubuh sangat peka terhadap

pengendalian berat tubuh. Pengeluaran energi tergantung dari dua faktor : 1) tingkat aktivitas dan

olah raga secara umum 2) angka metabolisme basal atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk

mempertahankan fungsi minimal tubuh. Dari kedua faktor tersebut metabolisme basal memiliki

tanggung jawab dua pertiga dari pengeluaran energi orang normal. Meski aktivitas fisik hanya

mempengaruhi satu pertiga pengeluaran energi seseorang dengan berat normal, tapi bagi orang

yang memiliki kelebihan berat badan aktivitas fisik memiliki peran yang sangat penting.

(30)

Semakin tinggi status ekonomi dari seseorang semakin mudah seseorang untuk

mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga barang

yang diinginkannya akan dimilikinya, hal ini akan minimbulkan penurunan pemakaian kalori

sehingga glukosa tidak terpakai dan akan diubah oleh hati menjadi glikogen atau disimpan di

bawah kulit berupa lemak, lama kelamaan akan timbul obesitas. Di Amerika Serikat, sudah

terbukti bahwa obesitas berkaitan dengan status sosial-ekonomi (Rudolph, 2006).

2.2.3

Penentuan Obesitas

Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengukur pengganti

dipakai body mass index (BMI) atau indeks masa tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan

lebih dan obesitas pada orang dewasa. IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan

dan praktis untuk mngukur tingkat populasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa.

Saat ini IMT menjadi indikator paling bermanfaat untuk menentukan barat badan lebih atau

obesitas. Orang yang lebih besar tinggi dan gemuk akan lebih berat dari orang yang lebih kecil.

Meta-analisa beberapa kelompok etnik berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia

dan gender yang sama , menunjukkan Etnik Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi

1,3 kg/m2 dan etnik Polanesia memiliki IMT lebih tinggi 4,5 kg/m2 dibandingkan dengan Etnik

Kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT pada bangsa China, Ethiopia, Indonesia dan Thailand adalah 1,9

; 4,6 ; 3,2 dan 2,9 kg/m2 lebih rendah daripada Etnik Kaukasia.

Tabel 2.2 Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa berdasarkan IMT menurut WHO

Klasifikasi IMT (kg/m2)

(31)

Kisaran normal 18,5 – 24,9

Tabel 2.3 Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar perut menurut kriterais Asia Pasifik

Klasifikasi IMT (kg/m2)

Resiko Ko-Morbiditas Lingkar perut

< 90 cm (laki-laki) ≥ 90 cm (laki-laki) < 80 cm (perempuan) ≥ 80 cm (perempuan)

Berat badan kurang < 18,5 Rendah (resiko meningkatpada masalah klinis lain) Sedang

Kisaran normal 18,5-22,9 Sedang Meningkat

obesitas. Penurunan berat badan sebesar 5 – 10% dari berat awal mengakibatkan perbaikan

kesehatan secara signifikan. Walaupun belum ada penelitian yang menunjukkan perubahan pada

angka kematian dengan penurunan berat badan pada pasien obesitas, dengan penurunan berat

badan, pengurangan pada faktor resiko ini dianggap akan menurunkan perkembangan diabetes

(32)

Terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi empat pilar, yaitu diet rendah kalori,

aktivitas fisik, perubahan perilaku dan obat-obatan / bedah.

1. Terapi diet

Pada program manajemen berat badan, terapi diet perancanaan berdasarkan individu.

Terapi diet ini harus dimasukkan ke dalam status pasien overweight. Hal ini bertujuan untuk

membuat defisit 500 hingga 1000 Kcal/hari menjadi bagian yang tak terpisahkan dari program

penurunan berat badan apapun.

Disamping pengurangan lemak jenuh, total lemak seharusnya kurang dan sama dengan

30% dari total kalori. Penggunaan prosentase lemak dalam menu sehari-hari saja tidak dapat

menyebabkan penurunan berat badan kecuali total kalori juga berkurang. Ketika asupan lemak

dikurangi, prioritas harus diberikan untuk mengurangi lemak jenuh. Hal tersebut bermaksud

untuk menurunkan kadar kolesterol-LDL

2. Aktivitas fisik

Peningkatan fisik merupakan komponen penting dari penurunan berat badan, walaupun

aktivitas fisik tidak dapat menyebabkan penurunan berat badan lebih banyak dalam jangka waktu

enam bulan. Kebanyakan penurunan berat badan terjadi karena penurunan asupan kalori.

Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada pencegahan peningkatan berat badan.

Keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah terjadi pengurangan resiko kardiovaskular dan

diabetes mellitus lebih banyak dibandingkan dengan pengurangan berat badan tanpa aktivitas.

Aktivitas fisik yang berdasarkan gaya hidup cenderung lebih berhasil menurunkan berat

(33)

Untuk pasien obesitas, terapi harus dimulai secara perlahan dan intensitasnya sebaiknya

ditingkatkan secara bertahap. Latihan dapat dilakukan seluruhnya pada satu saat atau secara

bertahap sepanjang hari.

Pasien dapat mulai antifitas fisik dengan berjalan selama 30 menit dengan jangka waktu 3

kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali

seminggu. Dengan regimen ini, pengeluaran energi tambahan sebanyak 100 hingga 200 kalori

per hari dapat dicapai.

Regimen ini dapat diadaptasi ke dalam berbagai bentuk aktivitas fisik lain, tetapi jalan

kaki lebih menarik karena keamanan dan kemudahannya. Pasien harus dimotivasi untuk

meningkatkan aktivitas sehari-hari seperti naik tangga daripada naik lift. Seiring waktu, pasien

dapat melakkukan aktivitas yang lebih berat.

Strategi lain untuk meningkatkan aktifitas fisik adalah mengurangi waktu santai

(sedentary) dengan cara melakukan aktivitas fisik rutin lain dengan resiko cedera rendah.

3. Terapi perilaku

Untuk mencapai punurunan berat badan dan mempertahankannya, diperlukan suatu

strategi untuk mengatasi hambatan yang muncul pada saat terapi diet dan aktivitas fisik. Strategi

yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan aktivitas fisik,

manajemen stress, stimulus control, pemecahan masalah dan dukungan sosial.

4. Farmakoterapi

Farmakoterapi merupakan salah satu komponen penting dalam program manajemen berat

badan. Sibutramine dan Orlistat merupakan obat-obat penurun berat badan yang telah disetujui

oleh FDA di Amerika serikat, untuk penggunaan jangka panjang. Pada pasien dengan indikasi

(34)

Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti efektif menurunkan

berat badan dan mempertahankannya. Dengan pemberian sibutramine dapat muncul peningkatan

tekanan darah dan denyut jantung. Sibutramine sebaiknya tidak diberikan pada pasien gagal

jantung, jantung koroner, aritmia dan riwayat stroke.

Orsitat menghambat absorbsi lemak sebanyak 30%. Dengan pemberian orsitat,

dibutuhkan penggantian vitamin larut lemak karena terjadi malabsorbsi parsial. Semua pasien

harus dipantau efek samping yang timbul. Pengawasan secara berkelanjutan oleh dokter

dibutuhkan untuk mengawasi tingkat efisiensi dan keamanan.

5. Pembedahan

Terapi bedah merupakn salah satu pilihan untuk menurunkan berat badan. Terapi ini

hanya diberikan kepada pasien obesitas berat secara klinis dengan BMI≥40 atau ≥35 dengan

kondisi komorbid. Terapi bedah ini harus dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk pasien yang

gagal farmakoterapi dan menderita komplikasi obesitas yang ekstream.

Bedah gastrointestinal (retriksi gastrik atau bypass gastric) adalah suatu intervensi

penurunan berat badan pada subyek yang termotivasi dengan resiko operasi rendah.

Suatu program yang terintegrasi harus dilakukan baik sebelum maupun sesudah untuk

memberikan panduan diet, aktivitas fisik dan perubahan perilaku serta dukungan.

2.2.5

Dampak Obesitas

Dampak dari obesitas merupakan penyakit-penyakit yang banyak memakan korban

meniggal dunia. Termasuk jantung coroner dan diabetes mellitus yang saai ini telah banyak

dibicarakn oleh dunia kesehatan tentang penanganannya.

(35)

Mereka dengan IMT paling sedikit 30 mempunyai 50-100% peningkatan risiko kematian

dibandingkan mereka dengan IMT 20-25. Obesitas tipe buah apel mempunyai resiko hampir 3

kali untuk menderita penyakit jantung dibandingkan dengan BB normal. Meningkatnya lemak

pada daerah perut secara spesifik dihubungkan dengan kekakuan pembuluh darah aorta, yaitu

pembuluh darah arteri utama yang memberikan darah ke organ-organ tubuh.

2. Tekanan darah tinggi

Hubungan antara obesitas dan hipertensi adalah kompleks dan mungkin menggambarkan

interaksi faktor genetik, demografi dan biologik. Berbagai penelitian telah melaporkan bahwa

penurunan BB bermanfaat untuk mengurangi tekanan darah.

3. Gagal jantung

Suatu penelitian tahun 2002 melaporkan bahwa obesitas mungkin bertanggung jawab

terhadap 11% gagal jantung pada pria dan 14 % pada wanita. Tetapi mekanismenya masih belum

jelas.

4. Gangguan lemak darah (Dislipidemia)

Efek obesitas pada kadar kolesterol adalah kompleks. Walaupun obesitas tidak

mempunyai hubungan yang kuat dengan kadar kolesterol, tetapi kadar Trigliserida (TG)

biasanya tinggi sedang Kolesterol baik (HDL) cenderung menurun yang keduanya menyebabkan

penyakit jantung.

5. Resistensi insulin dan DM tipe2

Kebanyakan penderita DM tipe 2 adalah obesitas dan pada kenyataannya memberikan

kesan yang kuat bahwa penurunan BB dapat menjadi kunci di dalam mengontrol terhadap DM

tipe 2, yang mempunyai kelainan berupa ketidakmampuan menggunakan insulin di dalam

(36)

Keadaan ini sering disebut dengan resistensi insulin dan juga dihubungkan dengan

hipertensi dan kelainan pembekuan darah. Walaupun mekanisme yang tepat hubungan antara

obesitas dan DM tipe 2 sama sekali belum jelas, tetapi sel2 lemak dapat melepaskan zat kimia

tertentu yang menghambat kepekaan tubuh terhadap insulin.

6. Sindroma metabolik (sindroma X)

Terdiri dari obesitas yang ditandai dengan penumpukan lemak pada daerah perut,

gangguan kolesterol, hipertensi, dan resistensi insulin. Tampaknya faktor genetik berperanan,

walaupun obesitas dan makan yang cepat memegang peranan penting di dalam perkembangan

sindroma ini. Sindroma metabolik secara signifikan dihubungkan dengan penyakit jantung dan

angka kematian yang lebih tinggi.

2.3

Konsep Stress

2.3.1

Pengertian Stress

Menurut Selye dalam buku Fundamental Keperawatan volume 1, stress adalah segala

situasi dimana tuntutan non-spesifik mengharuskan individu untuk berespon atau melakukan

tindakan (Potter and Perry, 2005).

Menurut Dadang Hawari dalam buku psikologi untuk keperawatan, stress adalah reaksi

atau respon tubuh terhadap stressor psikososial (Sunaryo, 2004).

Ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional dan

spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat mempengaruhi kesehatn fisik manusia tersebut

(National Safety Council, 2004).

(37)

Karena respon tubuh terhadap stress akan terasang sistem syaraf simpatis, sering dikatakan

bahwa tujuan sistem simpatis adalah untuk mengadakan penggiatan tambahan dari tubuh dalam

keadaan stress. Ini sering disebut reaksi stress simpatis. Sisten simpatis juga sangat digiatkan

dalam banyak keadaan emosional. Misalnya dalam keadaan merah, yang terutama ditimbulkan

oleh perangsangan hipotalamus, ini menyebabkan terangsangnya saraf simpatis atau lebih

dikenal dengan istilah reaksi alaram simpatis (Guyton and Hall, 2007)

Secara fisiologis sistem syaraf simpatis akan miningkatkan kegiatan metabolisme dalam

tubuh, secara khusus menyebabkan beberapa hal dibawah ini :

1. Peningkatan tekanan arteri (tekanan darah).

2. Peningkatan aliran darah ke otot-otot aktif berbarengan dengan penurunan aliran darah ke

organ-organ yang tidak penting untuk kegiatan cepat.

3. Peningkatan kecepatan metabolisme sel di seluruh tubuh.

4. Peningkatan glikolisis di dalam otot.

5. Peningkatan kekuatan otot.

6. Peningkatan konsentrasi glukosa darah.

7. Peningkatan kegiatan mental.

Stress dapat meningkatkan kandungan glukosa darah karena stress menstimulus organ

endokrin untuk mengeluarkan ephinefrin mempunyai efek yang sangat kuat dalam

menyebabkan timbulnya proses glikoneogenesis di dalam hati sehingga akan melepaskan

sejumlah besar glukosa ke dalam darah dalam beberapa menit (Guyton and Hall, 2007).

2.3.3

Penyebab Stress dan Stressor psikosal

Menurut Iyus Yosep (2007) stressor psikosal adalah setiap keadaan atau peristiwa yang

(38)

itu terpaksa mengadakan adaptasi atau menanggulangi stressor yang timbul. Namun, tidak semua

mampu mengadakan adaptasi dan mampu menanggulanginya, sehingga timbulah

keluhan-keluhan kejiwaan, antara lain depresi. Pada umumnya jenis stressor psikosal dapat digolongakn

sebagai berikut :

1. Perkawinan

Berbagai permasalahan perkawinan perkawinan merupakan sumber stress yang dialami

seseorang : misalnya pertengkaran, perpisahan (separation), perceraian, kematian salah satu

pasangan, ketidaksetiaan dan lain sebagainya. Stressor perkawinan ini dapat menyebabkan

seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan.

2. Problem Orang Tua

Permasalahan yang hadapi orang tua misalnya tidak punya anak, kebanyakan anak,

kenakalan anak, anak sakit, hubungan yang tidak baik dengan mertua, ipar, besan dan lain

sebagainya. Permasalahan tersebut di atas merupakan sumber stress yang pada gilirannya

seseorang dapat jatuh dalam depresi dan kecemasan.

3. Hubungan Interpersonal (Antarpribadi)

Gangguan ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat yang mengalami konflik,

konflik dengan kekasih, antar atasan dan bawahan, dan lain sebagainya. Konflik hubungan

interpersonal ini dapat merupakan sumber stress bagi seseorang dan yang bersangkutan dapat

mengalami depresi dan kecemasan karenanya.

4. Pekerjaan

Masalah pekerjaan merupakan sumber stress kedua setelah masalah perkawinan. Banyak

(39)

banyak, pekerjaan tidak cocok, mutasi, jabatan, kenaikan pangkat, pensiun, kehilangan pekerjaan

(PHK) dan lain sebagainya.

5. Lingkungan Hidup

Kondisi lingkungan hidup yang buruk besar pengaruhnya bagi kesehatan seseorang.

Misalnya soal perumahan, pindah tempat tinggal, penggusuran, hidup dalam lingkungan yang

rawan (kriminalitas) dan sebagainya. Rasa tercekam dan tidak merasa aman ini sangat

mengganggu ketenagan dan ketentraman hidup, sehingga tidak jarang orang jatuh ke dalam

depresi dak kecemasan.

6. Keuangan

Masalah keuangan (kondisi social ekonomi) yang tidak sehat, misalnya pendapatan jauh

lebih rendah dari pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan usaha, soal warisan, dan lain

sebaggainya. Problem keuangan amat berpengaruh pada kesehatan jiwa seseorang dan seringkali

masalah keuangan ini merupakan faktor yang membuat seseorang jatuh dalam depresi dan

kecemasan.

7. Hukum

Keterlibatan seseorang dalam masalah hukum dapat merupakan stress pula, misalnya

tuntutan hukum, pengadilan, penjara dan lain-lain. Stress di bidang hukum ini dapat

menyebabkan seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan

8. Perkembangan

Yang dimaksud disini adalah masalah perkembangn baik fisik maupun mental seseorang,

misalnya masa remaja, masa dewasa, menopause, usia lanjut, dan lain sebagainya. Kondisi setiap

perubahan fase-fase tersebut di atas, untuk sebagian individu dapat menyebabkan depresi dan

(40)

menurut penelitan terbaru, pada umur 40 tahun kinerja otak kita mulai menurun. Ini berkaitan

dengan selubung mielin (myelin sheath), salah satu bagian yang penting dari sel saraf otak. Di

atas umur 40, tubuh kita mulai kehilangan kemampuan untuk terus-menerus memperbaharui

selubung itu, sehinga menyebabkan berbagai gejala kognitif yang dikaitkan dengan penuaan

(Catshade, 2009).

9. Penyakit Fisik dan Cidera

Sumber stress dapat menimbulkan depresi dan kecemasan di sini antara lain penyakit,

kecelakaan, operasi / pembedahan, aborsi, dan lain sebagainya. Dalam hal ini penyakit yang

banyak menimbulkan depresi dan kecemasan adalah penyakit kronis, jantung, kanker dan

sebagainya.

10. Faktor Keluarga

Yang dimaksud disini adalah faktor stress yang dialami oleh anak dan remaja yang

disebabkan kondisi keluarga yang tidakbaik (yaitu sikap orang tua) misalnya:

1) Hubungan kedua orang tua yang dingin atau penuh ketegangan atau acuh tak acuh.

2) Kedua orang tua jarang di rumah dan tidak ada waktu untuk bersama dengan anak-anak.

3) Komunikasi antara orang tua dan anak yang tidak baik.

4) Kedua orang tua berpisah dan bercerai.

5) Salah satu orang tua menderita gangguan jiwa / kepribdian

6) Orang tua dalam pendidikan anak kurang sabar, pemarah, keras, dan otoriter dan lain

sebagainya.

(41)

Stressor kehidupan lainnya juga dapat menimbulakan depresi dan kecemasan adalah antara

lain bencana alam, perkosaan, kehamilan di luar nikah dan lain sebagainya.

2.3.4

Model-Model Stress

Asal dan efek stress dapat diperiksa dalam istilah kedokteran dan model teoritis perilaku.

Model stress digunakan untuk mengidentifikasi stressor bagi individu tertentu dan memprediksi

respon individu tersebut terhadap stressor. Setiap model menekankan aspek stress yang berbeda.

Perawat menggunakan model stress untuk membantu klien mengatasi respon yang tidak

sehat, non-produktif. Dengan modifikasi, model ini dapat membantu perawat berespon dalam

merawat dengan cara yang menunjukkan individualisasi bagi klien.

1. Model Stress Berdasarkan Respon

Model ini mengidentifikasi stress sebagai respon induvidu terhadap stressor yang

diterima. Selye (1982) menjelaskan stress sebagai respon non spesifik yang timbul terhadap

tuntunan lingkungan, respon umun ini disebut sebagai general adaptasi sindrom (GAS) dan

dibagi menjadi tiga fase yaitu : fase sinyal, fase perlawanan dan fase keletihan (Iyus Yosep ,

2007).

1) Reaksi alaram / sinyal

Merupakan respon siaga (flight or flight), yang termasuk disini adalah efek aktivasi

sistem syaraf autonom dan mempunyai karakteristik adanya penurunan resistensi tubuh terhadap

stress. Medula adrenal sebaliknya mensekresi adrenalin dan nonadrenalin. Hormon

adrenokortikotropik (ACTH) dihasilkan oleh glandula hipofisis, yang menstimulus korteks

adrenal untuk melepaskan glikokortikotiroid. Dapat terjadi peningkatan emosi dan ketegangan

(Niven Neil, 2000).

(42)

Hipofisis terus mengeluarkan ACTH, yang kemudian merangsang korteks adrenal untuk

mensekresi glukokortikoid, yang penting untuk resistensi terhadap stress karena glukokortikoid

merangsang konversi lemak dan protein menjadi glukosa yang menghasilkan energi untuk

mengatasi stress. Selama tahap ini, resistensi terhadap stress yang khusus meningkat dan

kemudian respon yang sifatnya sama akan hilang. Banyak penyakit yang berhubungan dengan

stress timbul pada tahap resistensi. Beberapa mungkin berhubungan dengan efek dari hormon

glukokortikoid yang menghambat pembentukan antibodi, dan menurunkan pembentukan sel

darah putih. Bagian lain dari tahap resistensi GAS adalah penekanan dari banyak fungsi tubuh

yang berhubungan dengan perlaku seksual dan reproduksi. Pada pria, produksi sperma menurun,

karena penurunan sekresi hormon seksual pria; pada wanita siklus menstruasi terganggu atau

tertekan (Niven Neil, 2000).

3) Tahap kelelahan / keletihan

Jika stress yang khusus tersebut terus berlanjut, kemampuan tubuh untuk menahannya

dan untuk menghindari stress yang lain pada akhirnya akan gagal (Niven Neil, 2000).

2. Model Berdasar Stimulus

Model stimulus berdasarkan pada analogi sederhana dengan hukum elastisitas, Hooke

menjelaskan hukum elastisitas untuk menguraikan bagaimana beban dapat menimbulkan

kerusakan. Jika strain yang dihasilkan oleh stress yang diberikan berada pada batas elastisitas

dari material tersebut akan kembali ke kondisi semula, tetapi jika strain yang dihasilkan

Gambar

Tabel 2.1 Kadar glukosa sewaktu dan puasa
Tabel 2.3 Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar perut menurut kriteraisAsia Pasifik
Table 2.4 skala
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Keadaan Obesitas pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe IIBulan Nopember Tahun 2009
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pembelajaran Bahasa Arab, muhadatsah merupakan salah satu cara agar siswa mampu bercakap-cakap (berbicara) sehari-hari dengan menggunakan Bahasa Arab.. Untuk

Berdasarkan masalah-masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian adalah untuk mendapatkan data yang tepat (sahih, benar, valid) dan dapat dipercaya (reliable)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang pemberian wewenang kepada Bidan Praktik Mandiri dalam melakukan pemasangan IUD di Kota Yogyakarta, pandangan

While in the implementation of lesson plan designed by the lecturer, the students were provided with the strategy of learning that enabled them to be autonomous learners.

Also, because each vertex buffer contains vertices of varying sizes (for example, the source might use Building a Morphed Mesh through Manipulation.. normals whereas the

para wisatawan untuk menikmati bentuk- bentuk wisata yang berbeda dari biasanya. Dalam konteks ini wisata yang dilakukan memiliki bagian yang tidak terpisahkan dalam

Judul keseluruhannya diketik dengan huruf besar, satu spasi yang disusun secara piramida terbalik (bila lebih dari satu baris), dan dicantumkan secara lengkap

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia yang teregistrasi pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dan memenuhi persyaratan sebagai berikut :5. Bentuk :