5.1. Keberadaan Jentik Aedes aegypti
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan proporsi keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan Bagan Deli Belawan , dari 100 responden dijumpai jentik di rumah responden sebesar 33 rumah responden (33%), dan 67 rumah responden (67%) tidak dijumpai jentik. Jentik – jentik banyak ditemui pada bak air di dalam rumah sebanyak 20 responden (60,6%), dan yang paling sedikit pada wadah minum hewan peliharaan sebanyak 3 responden (3%). House Indeks yang didapat sebesar 33 %, angka ini menunjukkan angka yang tinggi, sedangkan menurut Depkes 2007 harus dibawah 1% untuk daerah Buffer. HI yang tinggi merupakan indikator adanya nyamuk dewasa Aedes aegypti, dan akan bisa menyebabkan penyakit DBD di daerah tersebut. House Indeks yang tinggi disebabkan karena masih kurangnya partisipasi masyarakat dalam melaksanakan pengendalian DBD dengan melakukan modifikasi lingkungan, manipulasi lingkungan, pengendalian secara fisik, pengendalian secara biologis dan pengendalian secara kimiawi. Dukungan dari petugas kesehatan sangat mendukung masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengendalian DBD dengan melakukan program – program DBD yaitu survai jentik, abatisasi, fogging dan penyuluhan kesehatan. Koordinasi antara petugas KKP Kelas I Medan, petugas kesehatan lainnya, kelurahan dan masyarakat, akan menghasilkan Kelurahan Bagan Deli bebas jentik.
Keberadaan jentik Aedes aegypti dapat dikurangi atau ditiadakan, jika partisipasi masyarakat dalam pengendalian DBD dijalankan, pelaksanaan program pengendalian DBD oleh petugas kesehatan, koordinasi antara Instansi terkait di setiap lingkungan, dan koordinasi antara Sektor Kesehatan dengan sektor lainnya ( WHO, 2001).
5.2. Pengaruh Partisipasi Masyarakat dalam Pengendalian Penyakit DBD terhadap Keberadaan Jentik Aedes aegypti
5.2.1. Modifikasi Lingkungan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa modifikasi lingkungan (p=0.767) tidak mempunyai hubungan yang bermakna, karena nilai Chi Square p> 0.050. Hasil pengamatan peneliti bahwa masyarakat di Bagan Deli tidak mempunyai tempat penguburan barang-barang bekas, tidak merubah rawa – rawa menjadi sawah atau kolam ikan serta pemukiman penduduk, sehingga bisa menjadi tempat pembiakan jentik. Dari hasil penelitian bahwa tidak menunjukkan ada hubungan antara modifikasi lingkungan dan keberadaan jentik, hal ini bisa terjadi karena faktor yang lain yang mempengaruhinya. Faktor lain tersebut bisa saja variabel variabel lain dalam penelitian ini.yang dapat mempengaruhi keberadaan jentik di Kelurahan Bagan Deli. Dari karakteristik responden dapat dilihat bahwa pendidikan responden lebih banyak hanya tamatan SD, sehingga pengetahuan mereka tentang kesehatan terutama pengendalian DBD hanya didapat sedikit saja bila dibandingkan jika mereka tamatan SMA atau perguruan tinggi. Mereka hanya mendapatkan pengetahuan dari media massa atau dari orang tua mereka yang terdahulu. Pekerjaan responden yang lebih
banyak nelayan menambah ketidak pedulian mereka terhadap lingkungan, karena mereka pergi malam hari dan pulang pagi hari, sehingga pulang dari bekerja mereka hanya istirahat dan kurang memperhatikan lingkungan mereka.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Usman (2002 ) di Lampung dalam Wellseen (2005), Kemkes (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan menanam tanaman bakau dan memperbaiki drainase yang merupakan modifikasi lingkungan dengan keberadaan jentik Aedes aegypti , jika hal ini dilakukan dapat mengurangi tempat perindukan nyamuk. Nilai ini secara statistik yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara modifikasi lingkungan terhadap keberadaan jentik Aedes aegypti, karena dengan modifikasi lingkungan yang baik dapat mengurangi tempat perindukan nyamuk, dan tentu saja akan mengurangi keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti.
Menurut Angga (2008) dimana daerah yang penuh dengan nyamuk, seperti rawa-rawa dan lingkungan yang mempunyai seperti genangan air menyebabkan munculnya sarang nyamuk, rawa adalah semua macam secara alami, atau buat secara permanen atau sementara, termasuk daerah laut yang dalam airnya kurang dari 6
Menurut WHO (2001) menyatakan bahwa modifikasi lingkungan yaitu perubahan secara permanen lingkungan untuk mengurangi tempat perindukan nyamuk, modifikasi lingkungan ini ada beberapa cara yakni: tempat penampungan air yang kecil – kecil supaya mudah untuk membersihkannya, memperbaiki talang rumah
yang bocor, memperbaiki pipa aliran air yang bocor supaya tidak terjadi genangan air, merubah rawa – rawa menjadi perumahan atau kolam ikan, atau ditimbun untuk kegiatan lain, sehingga airnya tidak tergenang, dan dapat mengurangi tempat perindukan jentik Aedes aegypti.
5.2.2. Manipulasi Lingkungan
Berdasarkan hasil penelitian bahwa manipulasi lingkungan (p=0.041) menunjukkan ada hubungan yang bermakna, karena hasil uji Chi Squarep<0.05.
Hasil pengamatan peneliti bahwa masih banyak barang – barang bekas yang dapat menampung air berserakan dan dibiarkan saja bertumpuk di sekitar rumah penduduk, dan wadah – wadah penampungan air yang dibiarkan tanpa penutup. Masyarakat juga kurang memperhatikan penggantian air pada pot bunga, air dispenser dan air sisa kulkas, yang seharusnya dibuang setiap hari atau seminggu sekali. Semua keadaan ini sangat mendukung adanya keberadaan jentik Aedes aegypti di kelurahan Bagan Deli. Informasi partisipasi masyarakat dalam hal manipulasi lingkungan tidak didapat dari petugas kesehatan, akan tetapi informasi didapat dari orang tua mereka dan dari media massa.
Berdasarkan dari karakteristik responden dapat dilihat bahwa pendidikan responden lebih banyak hanya tamatan SD, sehingga pengetahuan mereka tentang kesehatan terutama pengendalian DBD secara manipulasi lingkungan hanya didapat sedikit saja bila dibandingkan jika mereka tamatan SMA atau perguruan tinggi. Mereka hanya mendapatkan pengetahuan dari media massa atau dari orang tua mereka yang terdahulu. Pekerjaan responden yang lebih banyak nelayan menambah
ketidak pedulian mereka terhadap lingkungan, karena mereka pergi malam hari dan pulang pagi hari, sehingga pulang dari bekerja mereka hanya istirahat dan kurang memperhatikan kebersihan lingkungan mereka.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Lilik Irianto Hadisaputro (2008)yang menyatakan bahwa ada hubungan kebiasaan membersihkan TPA dan kebiasaan menutup TPA yang merupakan manipulasi lingkungan dengan keberadaan jentik di desa Katekan Kabupaten Grobogan tahun 2008, dan Damyanti (2008) di Kelurahan Genuksari Semarang, bahwa kebersihan lingkungan dengan melakukan 3M, yang merupakan manipulasi lingkungan berhubungan dengan keberadaan jentik Aedes aegypti, akan tetapi bertentangan dengan penelitian yang dilakukan wahidin (2003) dan Kusdi (2003) dalam Nawar (2005), menjelaskan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara faktor kebersihan halaman rumah dari sampah yang dapat menampung air seperti botol bekas, tempurung dan lain lain yang merupakan bagian dari manipulasi lingkungan dengan keberadaan jentik Aedes aegypti.
Manurut Sukana Bambang (1993), pengelolaan lingkungan dengan cara manipulasi lingkungan dapat dilakukan dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang pada dasarnya ialah pemberantasan jentik atau mencegah agar nyamuk tidak dapat berkembang biak. PSN ini dilakukan dengan cara menguras bak mandi dan tempat – tempat penampungan air lain sekurang – kurangnya seminggu sekali. Ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa telur menjadi nyamuk selama 7 – 10 hari, menutup rapat tempat penampungan air seperti tempayan, drum dan tempat air lain, mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung sekurang – kurangnya
seminggu sekali, membersihkan pekarangan dan halaman rumah dari barang – barang bekas seperti kaleng bekas dan botol pecah sehingga tidak menjadi sarang nyamuk, menutup lubang – lubang pada bambu pagar dan lubang pohon dengan tanah, dan membersihkan air yang tergenang di atap rumah.
5.2.3. Pengendalian Secara Fisik
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pengendalian secara fisik
(p=0.037) dengan uji chi squarep<0.05 ada hubungan yang bermakna dengan keberadaan jentik Aedes aegypti.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti bahwa masyarakat di kelurahan Bagan Deli
kurang melakukan pengendalian secara fisik, hal ini terlihat dari rumah rumah mereka yang
hanya sebagian kecil saja yang menggunakan kawat kasa nyamuk, banyak pakaian – pakaian
yang tergantung, serta sedikit sekali dari mereka yang melakukan scrining nyamuk, hal ini
disebabkan karena kurangnya perhatian mereka terhadap penyakit DBD dan kurangnya
informasi yang didapat tentang pengendalian DBD. Masyarakat ini di Kelurahan Bagan Deli
banyak juga masyarakat menghindari gigitan nyamuk dengan menggunakan kipas angin
ketika mereka tidur, selain udara menjadi sejuk dan mereka bebas dari gigitan nyamuk.
Pengendalian secara fisik untuk mengurangi atau menghindari gigitan nyamuk atau
gangguan nyamuk dilakukan dengan pemasangan kawat kasa (kawat nyamuk) pada semua
lubang yang ada di rumah, seperi lubang angin, jendela, pintu dan lainnya. Cara ini sangat
baik dan bersifat permanen, walaupun dalam pembuatannya diperlukan biaya yang mahal.
Tidur menggunakan kelambu sangat dianjurkan untuk mengurangi gigitan nyamuk waktu
Pengendalian secara fisik pada penelitian ini adalah yang dilakukan untuk mencegah
dan mengendalikan DBD dengan penggunaan raket elektrik, kelambu dan kawat kasa.
Pengendalian secara fisik untuk mengurangi nyamuk Aedes aegypti. Banyak cara yang bisa
dilakukan secara fisik, selain cara diatas, diharapkan partisipasi masyarakat untuk
pengendalian secara fisik ini dengan melakukan scrining nyamuk setiap hari di tempat -
tempat yang disukai oleh nyamuk yaitu daerah yang gelap dan bertumpuknya barang –
barang bekas yang dapat menampung air, dan pakaian yang tergantung. Pengendalian
secara fisik ini jika dilakukan dengan baik dapat mengurangi kepadatan nyamuk jentik Aedes
aegytpi dan tentu saja akan mengurangi kepadatan jentik Aedes aegytpi(WHO, 2001).
Pengendalian secara fisik adalah pengendalian untuk menghilangkan perindukan
vektor. Ada beberapa cara pengendalian secara fisik yaitu dengan menggunakan pakaian
pelindung, menggunakan raket elektrik, kelambu, gorden dan kawat kasa nyamuk,
(Aggraeny, 2011). Menurut Achmadi (2008), bahwa pengendalian vektor yang merupakan simpul II sangat penting dalam pengendalian suatu penyakit yang dalam hal ini adalah
nyamuk Aedes aegypti.
5.2.4. Pengendalian Secara Kimiawi
Hasil penelitan menunjukkan bahwa pengendalian secara kimiawi (p=0.030) ada hubungan yang bermakna karena hasil uji Chi Squarep<0.05.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Warsito (2006) di Kelurahan Sekejati Kota Bandung, penelitian Widiastuti (2010) di Kota Semarang yang
menyatakan bahwa pemberian abate dan fogging dapat menurunkan angka bebas jentik.
Masyarakat di kelurahan Bagan Deli banyak menggunakan lotion oles untuk menghindari mereka dari gigitan nyamuk, dan sebagian kecil saja yang menggunakan obat nyamuk bakar, dan semprot sebagai pengendalian secara kimiawi. Masyarakat juga ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan fogging yaitu dengan mengijinkan petugas melaksanakan fogging di lingkungan mereka dan sebagian ada juga yang menjadi kader foging. Masyarakat juga berpartisipasi dalam pemberian abate pada tempat penampungan air mereka. Akan tetapi jika persediaan abate habis mereka tidak memintanya kembali kepada petugas kesehatan atau petugas kelurahan, sehingga keberadaan jentik masih tinggi. KKP Kelas I Medan sudah berkoordinasi dengan kepala lingkungan mereka dengan menyediakan abate, mungkin saja masih kurang informasi kepada masyarakat tentang bahaya DBD, sehingga mereka tidak begitu peduli dengan keberadaan jentik Aedes aegypti. Pendidikan responden yang kebanyakan tamatan SD dan kesibukan mereka sebagia nelayan memungkinkan bahwa mereka kurang mengerti dan perduli akan kesehatan terutama bahaya keberadaan jentik Aedes aegypti di rumah mereka yang bisa menyebabkan penyakit DBD.
Pengendalian secara kimiawi dilakukan untuk nyamuk dewasa maupun larva. Untuk nyamuk dewasa dilakukan dengan cara pengasapan (thermal fogging) atau pengabutan (cold fogging = Ultra Low Volume). Pemberantasan nyamuk dewasa dilakukan pada benda – benda yang tergantung, seperti pada kelambu dan pakaian
tergantung. Untuk pemakaian di rumah tangga dipergunakan berbagai jenis insektisida yang disemprotkan di dalam kamar – kamar atau ruangan misalnya, golongan organophospat atau pyrethroid synthetic. Untuk pemberantasan larva dapat digunakan abate 1% SG. Cara ini biasanya digunakan dengan menaburkan Abate ke dalam bejana tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum dapat mencegah adanya jentik selama 2 -3 bulan. ( Sukana Bambang, 1993).
Menurut Depkes (2007), bahwa pemberantasan secara kimia yaitu pengendalian DBD dengan menggunakan bahan kimia dan dapat ditempuh dengan cara pengasapan (fogging), pemberantasan larva nyamuk dengan zat kimia seperti Abate, dan pemberantasan secara kimia yang berupa bahan insektisida yang digunakan oleh masyarakat seperti obat nyamuk bakar, semprotan piretrum, aerosol, dan obat nyamuk yang dioleskan ke bagian tubuh, merupakan cara pengendalian nyamuk.
5.2.5. Pengendalian Secara Biologis/ Hayati
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan menyatakan bahwa pengendalian secara biologis (p=0.902) tidak ada hubungan yang bermakna, karena nilai Chi Square p> 0.050, hal ini tidak sejalan dengan dengan penelitian Widiastuti (2010) di Semarang , Setyawijayati (2009) di Kelurahan Genuksari Semarang yang menyatakan bahwa pengendalian DBD secara biologi ada hubungan antara pemeliharaan ikan yang merupakan salah satu pengendalian DBD terhadap keberadaan jentik Aedes aegypti di kota Semarang.
Hasil pengamatan peneliti bahwa banyak masyarakat yang tidak mengetahui pengendalian DBD secara biologis, sehingga hanya sebagian kecil dari masyarakat yang melakukannya dengan hanya memelihara ikan untuk pengendalian secara biologis.
Berdasarkan dari karakteristik responden dapat dilihat bahwa pendidikan responden lebih banyak hanya tamatan SD, sehingga pengetahuan mereka tentang kesehatan terutama pengendalian DBD secara biologis hanya didapat sedikit saja bila dibandingkan jika mereka tamatan SMA atau perguruan tinggi. Pekerjaan responden yang lebih banyak nelayan menambah ketidak pedulian mereka terhadap lingkungan, karena mereka pergi malam hari dan pulang pada pagi hari, sehingga pulang dari bekerja mereka hanya istirahat, sehingga mereka tidak mendapatkan informasi bahwa pengendalian secara biologis. Masyarakat mendapat informasi pengendalian DBD secara biologis dari peneliti, terutama tentang tumbuh – tumbuhan yang tidak disukai oleh nyamuk, sehingga kedepannya mereka akan menanam tanaman yang tidak disukai nyamuk, seperti kincung, serai wangi dan lavender.
Anggraeni (2010) menyatakan pengendalian larva Aedes aegypti secara biologi atau hayati menggunakan organisme yang dalam pengendalian secara hayati umumnya bersifat predator, parasitik atau patogenik.
Beberapa agen hayati yang digunakan untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti seperti, ikan air tawar, Toxorhynchites sp, Mesostoma sp., Libellula, Tomanomermis iyengari, Bacillus thuringiensis dan tanaman yang menimbulkan bau yang tidak disukai oleh nyamuk Aedes aegypti seperti, akar wangi (vertiver
zizanoides), Zodia, Geranium, Lavender, bunga Rosemary, serai wangi, dan kecombrang, Citrosa mosquito, dapat mengusir nyamuk dengan bau yang tidak disukai oleh nyamuk. (Admin, 2012).
5.3. Pengaruh Program Pengendalian DBD yang Dilakukan oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan terhadap Keberadaan Jentik
Aedes aegypti
5.3.1. Program Survai Jentik
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa program survai jentik (p=0.877) tidak ada hubungan yang bermakna dengan keberadaan jentik Aedes aegypti karena uji Chi Square p > 0.050. Hal ini mungkin di pengaruhi oleh hal lain, walaupun survai jentik sudah dilakukan oleh petugas, akan tetapi partisipasi masyarakat dalam pengendalian DBD yang dilakukan dengan cara modifikasi lingkungan, manipulasi lingkungan, pengendalian secara fisik, pengendalian secara kimiawi dan pengendalian secara biologis, maka program survai jentik yang dilakukan tidak akan berhasil.
Berdasarkan dari jawaban petugas didapat hasil bahwa petugas sudah melaksanakan tugasnya dengan benar. Pelaksanaan survai jentik yang dilaksanakan oleh KKP Kelas I Medan rutin dilakukan setiap bulan yang dilaksanakan oleh petugas Bidang Pengendalian Risiko Lingkungan berkoordinasi dengan kepala lingkungan di Kelurahan Bagan Deli dan Adpel (Administrasi Pelabuhan), akan tetapi daerah pengamatan jentik yang berada di daerah perimeter dan buffer pelabuhan masih ditemukan adanya jentik Aedes aegypti pada kontainer-kontainer yang ada dirumah penduduk. Keberadaan jentik bisa diatasi jika masyarakat ikut dan aktif serta
berpartisipasi dalam pemberantasan jentik dan mendukung program survai jentik yang dilakukan oleh KKP Kelas I Medan. Petugas juga sudah mendapat bimbingan/ pelatihan dari Ditjen PP & PL Kemenkes RI dalam melakukan survai jentik.
Survai jentik biasanya dilakukan dengan cara pemetaan dan pengumpulan data penduduk, rumah/bangunan dan lingkungan oleh pukesmas atau petugas kesehatan lainnya. Survai jentik dilakukan dengan cara memeriksa bak mandi/WC, tempayan, drum dan tempat – tempat penampungan air lainnya. Jentik akan muncul kepermukaan air untuk bernafas ± 0,5 – 1 menit untuk bernafas, jika tidak kelihatan ditunggu dengan rentang waktu seperti tersebut. Pemeriksaan di tempat yang gelap digunakan senter untuk melihat jentik tersebut. Tempat – tempat yang lain juga diperiksa seperti : talang/ saluran air yang rusak/ tidak lancar, lubang-lubang pada potongan bambu, pohon dan tempat – tempat lain yang memungkinkan air tergenang, seperti rumah kosong, pemakaman, dan lain – lain. Hasil dari survai jentik dibuat laporannya, yang digunakan untuk mengetahui kepadatan jentik dan selanjutnya melakukan tindakan pemberantasan jentik Aedes aegypti, ( Depkes, 2007).
5.3.2. Pelaksanaan Program Abatisasi
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara program abatisasi (p= 0.021) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti, karena uji Chi Square nilai p < 0.050. Penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Respati dan Keman (2006) di Kecamatan Tambaksari di kota Surabaya.
KKP Kelas I Medan berkoordinasi dengan kelurahan melalui kepala lingkungannya masing – masing dalam hal ketersediaan Abate. KKP Kelas I Medan
mengharapkan masyarakat meminta kepada kepala lingkungan masing – masing jika persediaan Abate mereka habis, akan tetapi masyarakat tidak meminta Abate jika persediaan mereka habis, sehingga keberadaan jentik masih tinggi di daerah mereka. KKP Kelas I Medan mengajurkan kepada kepala lingkungan untuk tetap membagi - bagikan Abate kepada masyarakat, walaupun masyarakat tidak memintanya. Keberadaan jentik bisa berkurang dengan melakukan abatisasi serta masyarakat juga harus tetap menjaga kebersihan lingkungan mereka dengan melakukan Pemberantasan Sarang nyamuk di lingkungan mereka masing – masing. Berdasarkan dari data karakteristik petugas dapat dilihat bahwa petugas rata-rata sudah bekerja lebih dari 5 tahun, sehingga dapat dipastikan bahwa petugas sudah bisa melakukan survai jentik dengan baik.
Pemberantasan jentik Aedes aegypti dengan menggunakan Abate dengan dosis yang dianjurkan yaitu 10 gram Abate dalam 100 liter air (Kemkes RI, 2010 ). Larvasida adalah menaburkan bubuk pembunuh jentik ke dalam tempat – tempat
penampungan air. Bila menggunakan Abate disebut dengan Abatisasi, (Depkes, 2007).
5.3.3. Pelaksanaan Program Fogging
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara program fogging ( p=0.021) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti, karena uji Chi Square nilai p < 0.050. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Riyanto (1996) yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakan antara pelaksanaan fogging dengan angka bebas jentik Aedes aegypti.
Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan melakukan fogging terhadap nyamuk Aedes aegypti ke rumah-rumah penduduk yang berada di wilayah pelabuhan sebanyak 3 (tiga) kali dalam setahun. Walaupun sudah dilakukan fogging, masih ditemukan juga jentik nyamuk Aedes aegypti di daerah Buffer dan perimeter pelabuhan. Hasil wawancara dengan petugas menyatakan bahwa ada 2 orang petugas yang menjawab tidak memeriksa dan memperbaiki peralatan fogging yang rusak sebelum mereka melaksanakan fogging, hal ini bisa saja terjadi karena responden laki – laki ada 4 orang dan 2 orang adalah pegawai baru yang belum mendapatkan pelatihan fogging. KKP Kelas I Medan berkoordinasi dengan kepala lingkungan, Adpel dan kader fogging yaitu masyarakat yang telah di latih dalam melakukan fogging.
Pengasapan (fogging), yaitu suatu teknik yang digunakan untuk mengendalikan DBD dengan menggunakan senyawa kimia malathion dan fenthion, yang berguna untuk mengurangi penularan sampai batas waktu tertentu (Anggraeni, 2010).
Nyamuk Aedes aegypti dapat diberantas dengan fogging (pengasapan) racun serangga termasuk racun serangga yang dipergunakan sehari-hari di rumah tangga. Melakukan pengasapan saja tidak cukup, karena dengan pengasapan itu yang mati hanya nyamuk dewasa saja. Jentik nyamuk Aedes aegypti harus dibasmi, jika tidak setiap hari akan muncul nyamuk yang baru menetas dari tempat perkembang biakannya, (Depkes, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara program sosialisasi/ penyuluhan (p= 0.010) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti, karena uji Chi Square nilai p < 0.050. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Misnar Mourbas (2000) di Pelabuhan Teluk Bayur Padang yang menyatakan ada hubungan antara penyuluhan dengan perilaku terhadap pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue.
Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan sudah melakukan penyuluhan DBD dengan kegiatan – kegiatan yang berbeda setiap tahunnya. Beberapa kegiatan yang sudah dilakukan adalah koordinasi dengan Adpel dan Kelurahan dalam memberikan penyuluhan DBD dan pembagian brosur tentang bahaya DBD dan pelatihan kader jumantik. KKP Kelas I Medan kedepannya akan melakukan penyuluhan tentang DBD, di sekolah – sekolah, dan tempat – tempat ibadah, dengan melakukan pendekatan dengan tokoh – tokoh masyarakat dan tokoh – tokoh agama. Penyuluhan dengan cara seperti ini diharapkan akan mendapatkan hasil yang lebih maksimal.
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat ialah bagian dari usaha kesehatan pokok yang menjadi beban tugas puskesmas yang bertujuan untuk memberikan ketrampilan kepada seseorang atau masyarakat dengan jalan mempengaruhi intelektual, psikologi, dan sosialnya. Masyarakat yang memiliki pengetahuan dan kesadaran serta bertingkah laku yang positif, dapat memanfaatkan secara optimal segala hal yang yang terdapat di lingkungan (alam) guna memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan serta derajat kesejahteraan hidup. Penyuluhan kesehatan masyarakat
bertujuan menjadikan cara-cara hidup sehat sebagai kebiasaan hidup sehari-hari, menggerakkan perseorangan, kelompok dan masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas serta pelayanan kesehatan yang tersedia. Berperan serta dalam usaha-usaha kesehatan, terutama dalam program-program kesehatan yang telah ditentukan sebagai program prioritas (Adi, 1995).
Langkah penting dalam upaya pemberantasan DBD melalui upaya PSN dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat secara intensif. Pokok-pokok pesan penyuluhan yang disampaikan meliputi pengenalan tanda-tanda, gejala-gejala DBD, dan cara pencegahan penularannya di rumah dan lingkungan masing-masing