• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini menggunakan tiga puluh gigi premolar pertama mandibula yang dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced dengan sistem adhesif total etsa ditambah self cure activator, kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced dengan sistem adhesif total etsa dan kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced tanpa sistem adhesif. Gigi premolar mandibula digunakan karena relatif mudah diperoleh dan memiliki satu saluran akar yang cukup lebar untuk dipasangkan pasak. Beberapa kriteria ditentukan untuk mengontrol keadaan seluruh sampel yaitu tidak terdapat karies pada akar, panjang akar tidak bervariasi terlalu ekstrim serta konfigurasi anatomi yang berbentuk bulat. Seluruh sampel yang telah dikumpulkan kemudian direndam dalam larutan saline untuk menghindari kehilangan kelembaban dentin.

Keberhasilan restorasi pasca perawatan endodonti dengan menggunakan sistem pasak adhesif dipengaruhi oleh bentuk dan tipe pasak, adaptasi pasak terhadap dentin intraradikular, dan retensi semen luting. Adaptasi pasak terhadap dentin intraradikular dipengaruhi oleh keberadaan smear layer, pembentukan hybrid layer, dan sealer. Perlekatan yang tidak sempurna antara semen luting dan dentin saluran akar dapat menimbulkan suatu celah mikro.

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengukur dan mengamati celah mikro diantaranya metode penetrasi dye, metode filtrasi cairan, serta metode ekstraksi dye. Metode penetrasi dye merupakan metode yang paling sering digunakan karena proses kerjanya mudah, sederhana, dan relatif murah. Pada metode ini, fenomena kapilaritas merupakan hal yang sangat penting, dimana gigi dicelupkan ke dalam dye yang selanjutnya terjadi penetrasi dye. Penetrasi dye kemudian dicatat dengan skor 0-4 sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Simonetti dkk setelah dilakukan pemotongan sampel secara horizontal ke dalam 3 bagian, yaitu coronal, middle, dan apical.36

Hasil penelitian menunjukkan skor celah mikro yang bervariasi. Pada kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced tanpa sistem adhesif memiliki skor yang lebih besar daripada kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced dengan sistem adhesif total etsa dan pasak pita polyethylene fiber reinforced dengan sistem adhesif total etsa ditambah dengan self cure activator. Hal ini terlihat dari beberapa sampel pada kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced tanpa sistem adhesif yang mengalami celah mikro dengan skor paling besar, yaitu skor 3. Sedangkan pada kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced dengan sistem adhesif total etsa dan kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced dengan sistem adhesif total etsa ditambah dengan self cure activator pada bagian coronal mengalami celah mikro dengan skor tertinggi 2. Kemudian pada kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced dengan sistem adhesif total etsa pada bagian middle mengalami celah mikro dengan skor tertinggi 1, sedangkan pada kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced dengan sistem adhesif total etsa ditambah dengan self cure activator pada bagian middle tidak terdapat celah mikro. Dan pada kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced dengan sistem adhesif total etsa dan kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced dengan sistem adhesif total etsa ditambah dengan self cure activator pada bagian apical tidak terdapat celah mikro.

Hasil uji statistik Kruskal-Wallis Test menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara ketiga kelompok perlakuan terhadap celah mikro (p<0.05). Hal ini disebabkan karena kontraksi polimerisasi dari semen luting resin yang besar. Kontraksi polimerisasi akan menimbulkan tegangan diantara semen luting resin dan dentin saluran akar, yang dapat menimbulkan celah mikro. Tegangan kontraksi ini dipengaruhi oleh C-faktor yaitu perbandingan antara permukaan semen luting resin yang berikatan dan permukaan semen luting resin yang tidak berikatan, sehingga semakin luas permukaan yang terikat maka kontraksi yang terjadi semakin membesar.38 Bouillaguet dkk pada penelitiannya menyatakan bahwa pada restorasi pasak dalam saluran akar C-faktor dapat mencapai 1:200, dimana pada restorasi bagian coronal hanya 1:5. Pada penelitian yang sama kekuatan perlekatan dentin saluran akar secara signifikan lebih rendah dari permukaan dentin yang rata. Hal ini

disebabkan oleh C-faktor yang tinggi dan high polymerization shrinkage stress yang dapat menyebabkan detachment semen resin dari dentin.3

Hasil uji statistik Mann-Whitney Test dari penelitian menujukkan bahwa pada bagian coronal, middle dan apical antara kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced dengan sistem adhesif total etsa dan kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced dengan sistem adhesif total etsa ditambah dengan self cure activator tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap celah mikro (p>0.05). Perbedaan yang signifikan terdapat pada bagian coronal, middle dan apical antara kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced dengan sistem adhesif total etsa dan kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced tanpa sistem adhesif, serta antara kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced dengan sistem adhesif total etsa ditambah dengan self cure activator dan kelompok pasak pita polyethylene fiber reinforced tanpa sistem adhesif (p<0.05).

Hasil penelitian ini menolak hipotesis penelitian yang menunjukkan tidak ada pengaruh penambahan self cure activator pada sistem adhesif total etsa terhadap celah mikro pada pasak customized pita polyethylene fiber reinforced. Hasil penelitian ini sama seperti hasil penelitian Farie-e-Silva, Cavalcanti dan Rathke yang juga menyatakan bahwa penambahan aktivator tidak mempengaruhi kekuatan perlekatan dengan dentin saluran akar. Namun celah mikro pada gigi yang telah dilakukan perawatan endodonti ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh adhesif pasak dan dentin saluran akar tetapi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat berinteraksi dan mempengaruhi kekuatan perlekatan pasak dengan dentin saluran akar. Hal inilah yang mungkin mempengaruhi hasil penelitian sehingga tidak diperoleh pengaruh celah mikro yang signifikan meskipun telah digunakan aktivator sebagai bahan adhesi pasak terhadap dentin saluran akar.

Pada kelompok perlakuan yang menggunakan sistem adhesif tingkat kebocoran mikro lebih kecil dibandingkan kelompok perlakuan tanpa sistem adhesif. Hal ini disebabkan oleh penggunaan resin berbahan dasar komposit. Stress yang terjadi akibat kontraksi polimerisasi dari komposit resin dapat menyebabkan integritas tepi tambalan menjadi terganggu yang dapat menyebabkan terbentuknya

celah mikro. Adanya kebocoran mikro dapat memicu terjadinya karies sekunder, hipersensitivitas pulpa dan diskolorasi margin. Penggunaan bahan perekat seperti sistem adhesif, sebagai bonding agent antara struktur gigi dengan bahan restorasi diharapkan dapat meminimalkan celah mikro.39

Umumnya tingkat kebocoran mikro pada kelompok dengan sistem adhesif total etsa lebih kecil dikarenakan sistem adhesif total etsa mengandung tahap etsa asam yang dapat menghasilkan adhesi (perlekatan) secara mikromekanik pada email. Kemampuan etsa dengan asam fosfat, selain dapat mengangkat smear layer pada permukaan email juga menghasilkan mikro porositas yang banyak, sehingga penetrasi bahan bonding secara retensi mikromekanik menjadi lebih baik dan dapat menghasilkan interaksi kimia dan interlocking yang cukup besar.39 Pendapat ini didukung oleh penelitian Van Landuyt dkk menyatakan bahwa resin tag yang terbentuk dari sistem adhesif total etch (etsa asam fosfat) lebih besar, mencapai 2µm, dibandingkan self etch (primer monomer asam) yang hanya 1µm.40

Pada prinsipnya sistem adhesif total etsa yang mengandung 35 % asam phosphor mampu menghilangkan smear layer pada permukaan dentin, tubulus dentin dan menyebabkan terbukanya serat kolagen. Sifat asamnya dapat melarutkan kristal hidroksiapatit pada daerah peritubular dan intertubular dentin dan kemudian terjadinya demineralisasi pada daerah tersebut. Kedalaman demineralisasi dentin dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain pH, konsentrasi, viskositas dan lamanya waktu pengetsaan. Selanjutnya adalah pengaplikasian bahan bonding ke dalam saluran akar, bahan bonding akan masuk ke dalam tubulus yang terbuka dan di sekitar serabut kolagen yang terekspos. Resin akan berpenetrasi ke dalam jaringan kolagen yang akan menghasilkan mechanical interlocking dengan dentin dan membentuk hybrid layer yang penting untuk membentuk ikatan yang kuat antara resin dan dentin.4

Meskipun di antara ketiga kelompok menggunakan jenis pasak yang sama, tetapi hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap celah mikro antara kelompok perlakuan tanpa sistem adhesif dan kelompok perlakuan dengan sistem adhesif. Hal ini disebabkan karena pada kelompok perlakuan tanpa

sistem adhesif tidak menggunakan sistem adhesif sebagai bahan perekat sehingga mengakibatkan ukuran ruang pasak yang tersedia lebih besar dibandingkan pada kelompok perlakuan dengan sistem adhesif. Bagian yang kosong tersebut akan digantikan oleh semen luting. Tingginya volume semen luting akan meningkatkan kontraksi polimerisasi sehingga shrinkage yang terjadi juga semakin besar dan dapat menyebabkan terjadinya celah mikro diantara dentin dan semen luting. Pada saluran akar yang melebar, inner portion dari dentin berkurang dan digantikan oleh semen resin dan pasak, sehingga permukaan bonding antara semen resin dan dentin pada dentin saluran akar menjadi less-stressful absorbing. Peningkatan polimerisasi shrinkage yang diakibatkan oleh peningkatan volume semen resin, konfigurasi C- faktor yang tinggi dan kapasitas unfavorable stress-absorbing dari bagian terluar dentin saluran akar dapat mempengaruhi adhesive bonding pada saluran akar yang melebar.

Sementara itu, pada kelompok perlakuan dengan sistem adhesif total etsa dan kelompok perlakuan dengan sistem adhesif total etsa ditambah self cure activator tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dari adhesive degree of conversion dan kualitas dari adhesive layer. Sistem adhesif yang diaplikasikan dapat mengalir ke bagian apical dan mengurangi ketebalan adhesive layer pada bagian coronal. Evaporasi dari pelarut dapat menyebabkan semakin berkurangnya ketebalan dari adhesive layer. Self cure activator hanya mengandung 2 % chemical co-initiator dan sisanya adalah pelarut (ethanol dan acetone). Penggunaan self cure activator dapat meningkatkan konten pelarut dan menghasilkan adhesive layer yang lebih tipis. Pada adhesive layer yang tipis, blisters dapat terbentuk dan mengurangi kekuatan perlekatan. Proses pencucian etsa dengan air menyebabkan retensi dari sejumlah besar air pada tubulus dentin yang telah terbuka akibat proses pengetsaan. Air tersebut tidak akan terbersihkan secara sempurna dengan penggunaan paper point dan dapat menyebabkan terbentuknya droplet cairan pada adhesive layer. Droplet cairan ini akan meningkatkan stress dan mengurangi retensi pasak.13

Pasak polyethylene fiber reinforced dipilih sebagai bahan untuk merestorasi gigi karena memiliki bentuk seperti pita anyaman yang dapat dibentuk mengikuti morfologi saluran akar, akan tetapi pada bagian coronal tidak semua pasak pita polyethylene dapat mengikuti ruangan pasak yang telah tersedia, sehingga hal tersebut diisi oleh semen luting. Besarnya volume semen resin yang terbentuk meningkatkan resiko terjadinya celah mikro pada bagian tersebut.

Ketebalan dentin saluran akar juga dapat mempengaruhi terbentuknya celah mikro. Hal ini dikarenakan dentin mengandung komponen organik, anorganik dan air yang berperan penting dalam menjaga sifat mekanis dentin. Air berperan dalam menjaga serat kolagen untuk tetap lembut dan longgar sehingga mempermudah infiltrasi bahan adhesif. Air yang mengisi tubulus dentin juga berperan dalam memfasilitasi distribusi tekanan pada tubulus dentin. Kehilangan air menyebabkan infiltrasi bahan adhesif ke dalam tubulus dentin menjadi terhambat dan tidak dapat berikatan secara mikromekanis dengan serat kolagen untuk membentuk hybrid layers yang sangat penting meningkatkan retensi pasak dalam saluran akar.

Pasak polyethylene fiber reinforced juga memiliki modulus elastisitas menyerupai dentin.21 Beberapa penelitian menyatakan pasak dengan modulus elastisitas mendekati dentin kurang merusak struktur dentin yang tersisa. Adhesi pasak dengan dentin saluran akar dibantu oleh semen resin dual cure dengan sistem adhesif. Sistem adhesif berfungsi untuk membantu meningkatkan kekuatan perlekatan diantara pasak dan semen resin dengan dentin saluran akar.6 Perlekatan yang erat diantara komponen sangat penting untuk membentuk suatu komponen yang homogen yang dapat berfungsi sebagai unit yang fungsional. Pasak - semen resin - dentin memiliki modulus elastisitas yang sama dan saling merekat satu sama lain sehingga dapat mengurangi terbentuknya celah mikro.30

Pada penelitian ini semen resin dual cure digunakan untuk proses sementasi pasak polyethylene fiber reinforced sekaligus sebagai pembentuk inti (core). Semen resin mampu melekat secara mekanis dan kimiawi dengan struktur gigi. Modulus elastisitas semen resin yang mendekati dentin memberikan keuntungan karena membentuk lapisan semen yang berikatan dengan struktur intraradikular sehingga

memiliki potensi memperkuat saluran akar. Insersi semen resin dual cure menggunakan delivery tip berbentuk jarum disarankan untuk meminimalkan void atau udara yang terperangkap di dalam saluran akar. Namun karena keterbatasan alat dalam penelitian ini maka digunakan lentulo spiral yang digerakkan mesin untuk memasukkan semen resin dual cure ke dalam saluran akar. Hal ini memungkinkan terbentuknya celah diantara permukaan semen resin dengan dentin saluran akar.

Sistem adhesif total etsa jenis simplified adhesive dipilih digunakan dalam proses sementasi pasak polyethylene fiber reinforced karena tahapan prosedur aplikasi yang lebih mudah dan relatif cepat. De Moraez menyatakan sementasi pasak fiber dengan sistem adhesif total etsa menghasilkan kekuatan perlekatan yang sangat potensial dibandingkan dengan menggunakan sistem adhesif self etch.41 Prosedur etsa asam melarutkan smear layer yang terbentuk setelah preparasi saluran akar dan menyebabkan demineralisasi tubulus dentin sehingga serat kolagen dentin terekspos. Infiltrasi bahan bonding ke dalam tubulus dentin menjadi lebih mudah untuk kemudian membentuk resin tags dan zona resin - dentin interdiffusion atau hybrid layers.7,18 Kualitas perlekatan yang baik diperoleh apabila terbentuk continuous hybrid layer dan resin tags yang padat dalam saluran akar.17 Semakin banyak tubulus dentin yang terdemineralisasi dan semakin padat resin tags yang terbentuk menyebabkan kekuatan perlekatan yang maksimal akan diperoleh.4

Pada kelompok yang tidak menggunakan sistem adhesif, permukaan dentin tidak diaplikasi etsa asam sehingga masih terkontaminasi smear layer hasil preparasi saluran akar. Resin tags dan hybrid layers di dalam tubulus dentin juga tidak terbentuk karena tidak ada aplikasi bahan bonding. Hal inilah yang mungkin menyebabkan celah mikro pada kelompok pasak tanpa sistem adhesif ini menjadi lebih besar karena ikatan mikromekanis dengan serat kolagen tidak terbentuk. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Farie-e-Silva yang juga menemukan bahwa kelompok yang tidak menggunakan sistem adhesif memiliki celah mikro lebih besar dibandingkan kelompok yang menggunakan sistem adhesif.13

Secara statistik kelompok yang menggunakan sistem adhesif total etsa dan sistem adhesif total etsa ditambah self cure activator tidak memiliki perbedaan yang

signifikan terhadap celah mikro. Sistem total etsa merupakan teknik yang sensitif karena membutuhkan kondisi dentin yang lembab untuk menghasilkan adhesi yang baik. Disamping itu minimnya keterampilan operator juga mempengaruhi kemampuan untuk mengontrol kelembaban dan mempengaruhi kemampuan prosedur aplikasi bahan adhesif pada saluran akar.

Prosedur aplikasi etsa asam selain melarutkan smear layer juga menyebabkan demineralisasi tubulus dentin sehingga serat kolagen terekspos dan kolaps. Serat kolagen yang terekspos harus dikembalikan (re-expansion) dan dijaga untuk tetap longgar. Air merupakan salah satu bahan penting untuk menjaga dan mencegah kolapsnya serat kolagen tersebut. Sejumlah komponen air yang mengisi tubulus dentin juga berperan dalam proses infiltrasi bahan primer dan bonding dari sistem adhesif. Hal ini dikarenakan bahan primer yang bersifat hidrofilik akan mudah infiltrasi ke dalam tubulus dentin yang mengandung air. Bahan primer akan menjaga wettability dentin dan membantu pertukaran komponen air dari dalam tubulus dentin dengan monomer resin. Sementara itu bahan bonding yang bersifat hidrofobik akan membantu infiltrasi semen resin ke dalam tubulus dentin untuk kemudian membentuk resin tags dan berikatan mikromekanis dengan serat kolagen membentuk hybrid layers.7 Ikatan mikromekanis tersebut membantu meningkatkan retensi pasak dengan dentin saluran akar. Namun permukaan substrat yang terlalu basah juga mempengaruhi perlekatan dengan dentin.7,42 Kondisi permukaan dentin yang over- wet karena tidak adekuatnya pengeringan dapat menyebabkan pemisahan komponen hidrofobik dan hidrofilik dari sistem adhesif. Hal ini menyebabkan terbentuknya blisters dan globule-like voids pada permukaan antara dentin dengan semen resin. Kondisi dentin yang terlalu lembab juga menyebabkan rendahnya degree of conversion monomer resin (bahan bonding) sehingga mengurangi sifat mekanis dari lapisan adhesif. Kondisi dentin over-dry juga harus dihindari selama prosedur pengaplikasian sistem adhesif.42 Serat kolagen yang kering bersifat rapuh dan kaku. Serat kolagen dentin terdiri dari microfibrills yang dipisahkan oleh ruangan yang berisi air. Dehidrasi pada serat kolagen dentin dapat menyebabkan hilangnya interfibrillar dan penyusutan diameter fibrils. Dehidrasi menyebabkan serat kolagen

menjadi kolaps sehingga mencegah infiltrasi bahan bonding ke dalam tubulus dentin untuk membentuk resin tags. Kolapsnya serat kolagen juga mencegah infiltrasi bahan bonding untuk berikatan dengan serta kolagen membentuk hybrid layers.7

Kekurangan pada penelitian ini yaitu jumlah aplikasi bahan bonding ke dalam saluran akar tidak dikendalikan pada semua sampel. Rathke dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa variasi selama prosedur bonding merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kekuatan perlekatan.11 Variasi jumlah aplikasi bahan bonding mungkin menyebabkan infiltrasi bahan tidak homogen dengan tubulus dentin sehingga resin tags dan ikatan mikromekanis yang terbentuk tidak merata. Malyk menyatakan karena aplikasi etsa asam melarutkan smear layers sehingga menghasilkan akses yang baik untuk infiltrasi bahan adhesif secara penuh ke dalam tubulus dentin. Sementara aktivator meningkatkan kontinuitas dan menyempurnakan resin tags yang terbentuk.17

Bahan bonding dari sistem total etsa memiliki kandungan pelarut organik yang cukup tinggi di dalamnya. Evaporasi bahan pelarut mungkin terjadi sehingga menyebabkan lapisan adhesif yang terbentuk sedikit lebih tipis. Sementara self cure activator yang digunakan dalam penelititan ini juga mengandung pelarut organik berupa acetone yang cukup tinggi. Penggabungan kedua bahan meningkatkan kandungan pelarut dan proses evaporasi berjalan lebih cepat menyebabkan lapisan adhesif yang terbentuk semakin bertambah menipis.14 Proses penyinaran yang kemudian dilakukan pada bahan adhesif menimbulkan tekanan osmotik yang tinggi sehingga lapisan adhesif bertindak menjadi membran semipermeabel.11-13 Membran semipermeabel mengakibatkan proses difusi cairan dentin yang sangat cepat. Difusi cairan dimulai dari tubulus dentin membentuk struktur honeycomb-like resin. Droplet cairan tersebut kemudian membentuk water blisters yang akan bertindak sebagai pembentuk celah (gap). Akibatnya resiko celah mikro tetap ada meskipun telah digunakan self cure activator.11-13

Penggabungan kedua bahan adhesif dinyatakan masih tetap menghasilkan residu pelarut di dalam saluran akar, meskipun telah dilakukan pengeringan.14 Residu pelarut menghambat pembentukan free-radical polymerization yang dihasilkan baik

melalui sinar maupun menggunakan aromatic sodium sulfinate salt dari self cure activator. Radikal bebas yang dihasilkan oleh self cure activator tersebut sangat berperan penting dalam proses inisiasi polimerisasi semen resin dual cure.11-14 Namun karena proses polimerisasi yang kurang optimal menyebabkan retensi pasak polyethylene fiber reinforced di dalam saluran akar menjadi berkurang.

Proses obturasi pada penelitian ini menggunakan sealer berbasis resin dan guttaperca dengan teknik kondensasi lateral. Sealer berbasis resin dipilih untuk menghindari sealer berbasis eugenol yang dapat menghambat polimerisasi resin. Namun kelemahan pada penelitian ini adalah tidak dilakukannya rontgen foto untuk mengetahui kepadatan hasil obturasi pada saluran akar. Pembuangan sealer dan guttaperca dari saluran akar mungkin tidak berhasil dilakukan secara optimal oleh peneliti. Sisa sealer menutupi tubulus dentin dan menyebabkan bahan bonding tidak dapat infiltrasi secara penuh sehingga resin tags dan hybrid layers tidak terbentuk secara sempurna di dalam saluran akar. Disamping itu semen resin dual cure yang digunakan juga memliki teknik yang paling sensitif dibandingkan dengan semen jenis lainnya. Kontaminasi sealer pada permukaan dentin akan mempengaruhi proses polimerisasi semen resin dual resin.43 Hal inilah yang mungkin menyebabkan masih terdapat celah mikro pada pasak polyethylene fiber reinforced di dalam saluran akar meskipun telah digunakan self cure activator.

Penelitian ini merupakan penelitian in-vitro yang menggunakan gigi nonvital. Lamanya jangka waktu pencabutan dan usia gigi tidak dapat dikendalikan oleh peneliti. Sampel pada penelitian ini telah banyak kehilangan kandungan air sehingga mempengaruhi kekuatan fisik struktur gigi yang tersisa. Namun perendaman sampel di dalam larutan saline dilakukan sebagai upaya mengurangi hilangnya air yang berlebih dari dalam dentin.37 Komponen air di dalam tubulus dentin memiliki kemampuan untuk mendistribusikan tekanan pada gigi. Kehilangan cairan dari tubulus dentin menyebabkan kekakuan (stiffness) dentin menjadi semakin meningkat dan serat kolagen menjadi kering. Serat kolagen yang kering menyebabkan infiltrasi bahan bonding menjadi sulit ke dalam tubulus dentin sehingga mempengaruhi kekuatan perlekatan dan retensi pasak dengan dentin. Usia juga mempengaruhi

struktur dentin karena meningkatnya usia akan meningkatkan proses mineralisasi. Semakin banyak komponen mineral yang menggantikan air maka jaringan keras akan semakin kaku.Faktor tersebut yang mungkin mempengaruhi celah mikro pada sampel sehingga tidak diperoleh pengaruh signifikan meskipun telah digunakan self cure

Dokumen terkait