• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sorgum sangat potensial untuk diangkat menjadi komoditas agroindustri karena mempunyai keunggulan seperti dapat tumbuh di lahan kering pada musim kemarau, resiko kegagalan kecil dan pembiayaan (input) usaha taninya relatif rendah. Peluang pengembangan sorgum pada lahan kering cukup luas, baik pada wilayah beriklim basah (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua) maupun wilayah beriklim kering (Nusa tenggara, Sulawesi tenggara, sebagian Sumatera dan Jawa). Total luas lahan kering di Indonesia berdasarkan data BPS sekitar 66.63 juta hektar. Sekitar 11.34 juta hektar merupakan lahan yang sementara tidak diusahakan berada di pulau Jawa 53 ribu hektar (0,47%) dan luar pulau Jawa 11.29 juta hektar atau sekitar 99.53% (Dirjentanpan 2006).

Komoditas sorgum perlu dikembangkan di Indonesia karena mempunyai manfaat sangat luas sebagai bahan baku industri makanan dan minuman, bahan baku etanol, bahan baku untuk media jamur merang dan pakan ternak. Biji sorgum sebagai pangan fungsional sumber karbohidrat dan serat pangan merupakan sumber energi yang potensial untuk memenuhi kebutuhan kalori penduduk Indonesia. Kandungan nutrisi, serat dan senywa bioaktif yang terdapat pada sorgum lebih tinggi dari beras, sehingga memungkinkan sebagai pangan pengganti beras dalam upaya diversifikasi pangan yang digalakkan pemerintah Indonesia (Dirjentanpan 2006).

Pengenalan sorgum di Indonesia sebagai pangan fungsional terkait dengan potensinya dalam meningkatkan kesehatan tubuh merupakan strategi pengembangan sorgum agar diminati oleh masyarakat. Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa sorgum yang disosoh selama 20 detik dapat diterima oleh konsumen. Tepung sorgum dapat meningkatkan aktivitas antioksidan dan sistem imun secara in vitro dan in vivo (Yanuar 2009; Puspawati 2009). Tepung sorgum telah dilaporkan meningkatkan aktivitas enzim antioksidan pada hati tikus secara in vivo, namun belum dikaji aktivitas penghambatannya pada kanker kolon. Oleh karena itu penelitian ini difokuskan untuk mengetahui peran ekstrak dan tepung sorgum dalam penghambatan kanker secara in vitro dan in vivo pada

mencit BALB/c yang diinduksi karsinogen azoksimetan (AOM) dan dekstran sodium sulfat (DSS).

Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa sorgum mempunyai komposisi kimia yang sangat diperlukan oleh tubuh. Komponen kimia seperti protein, lemak, mineral, dan serat pangan terkandung dalam sorgum berbeda berdasarkan tingkat penyosohan. Semakin kecil derajat penyosohan maka semakin tinggi komponen kimianya. Kandungan karbohidrat yang tinggi menunjukkan bahwa sorgum sangat dimungkinkan sebagai bahan pangan utama pengganti sumber energi yang selama ini hanya didapatkan dari beras.

Tepung sorgum diekstraksi berdasarkan tingkat kepolaran pelarut menunjukkan hasil yang berbeda sesuai tingkat kelarutan komponen bioaktif atau fitokimia yang terlarut. Nilai rendemen tertinggi pada ekstrak sorgum dengan pelarut etanol > pelarut etil asetat > pelarut heksana. Ekstrak sorgum yang berasal dari biji sorgum utuh (S0) lebih tinggi nilai rendemennya dari ekstrak yang berasal dari biji sorgum yang telah disosoh 50% (S50) dan 100% (S100).

Hasil pengujian komponen bioaktif menunjukkan bahwa ekstrak dan tepung sorgum mengandung senyawa fitokimia, seperti flavonoid, fenol hidrokuinon, sterol, dan tanin. Perbedaan tingkat penyosohan dan tingkat kepolaran pelarut menentukan perbedaan kandungan senyawa fitokimia. Pelarut heksana dapat melarutkan komponen non polar yang terdapat pada sorgum seperti lemak, waxy, minyak atsiri dan vitamin larut lemak. Etil asetat bersifat semi polar dapat mengekstrak senyawa alkaloid, aglikon, glikosida, sterol, dan triperpenoid (Houghton & Raman 1998, Cowan 1999). Etanol bersifat polar dapat melarutkan senyawa gula, asam amino, glikosida, fenolik denganberat molekul rendah dengan tingkat kepolaran sedang, antosianin, terpenoid, saponin, tannin, flavon, dan polifenol (Houghton & Raman 1998; Cowan 1999; Dehkharghanian et al. 2010).

Hasil uji total fenol dan aktivitas antioksidan mendukung uji fitokimia, dimana kadar total fenol ekstrak etil asetat > ekstrak etanol > ekstrak heksana. Total fenol berkorelasi dengan aktivitas antioksidan scavenger radikal bebas DPPH didukung oleh Mohamed et al. 2009. Dalam penelitian ini, ekstrak sorgum

dengan pelarut etil asetat mempunyai aktivitas antioksidan lebih tinggi dibandingkan ekstrak dengan pelarut etanol dan heksana.

Total fenol dan aktivitas antioksidan DPPH lebih terkonsentrasi pada sorgum utuh (S0) dibandingkan dengan sorgum yang telah disosoh 50% (S50). Hal ini sejalan dengan laporan Yanuar (2009) yang menginformasikan bahwa total fenol berkorelasi positif dengan aktivitas antioksidannya.

Senyawa fitokimia dan aktivitas antioksidan melatarbelakangi pengujian bioaktivitas ekstrak sorgum terhadap penghambatan proliferasi beberapa alur sel kanker. Pengujian sitotoksik ketiga ekstrak sorgum diuji terhadap larva udang

Artemia salina Leach untuk mendapatkan informasi dosis atau konsentrasi yang tepat yang masih memungkinkan sel mampu bertahan hidup. Konsentrasi ekstrak yang mematikan 50% larva udang (LC50) menjadi acuan konsentrasi yang akan

digunakan pada pengujian sel limfosit dan sel kanker secara in vitro. Konsentrasi ekstrak setara dengan konsumsi sekitar 10 – 750 gram biji sorgum.

Limfosit merupakan sel normal yang bersifat suspensi sehingga bersifat lebih rentan. Ekstrak sorgum yang diuji aktivitasnya terhadap proliferasi sel limfosit menunjukkan bahwa ketiga ekstrak mampu meningkatkan proliferasi sel limfosit limpa tikus (splenosit). Ekstrak etanol yang diekstraksi dari sorgum utuh menunjukkan aktivitas proliferasi yang lebih tinggi dibandingkan pelarut lainnya. Ekstrak etanol dan etil asetat yang diekstraksi dari sorgum penyosohan 50% (S50) menunjukkan hasil yang signifikan meningkatkan proliferasi sel limfosit tikus. Peningkatan proliferasi sel limfosit mengindikasikan kemampuan sorgum dalam meningkatkan respon imun dan aman untuk dikonsumsi.

Penghambatan ketiga ekstrak sorgum terhadap proliferasi sel kanker umumnya menunjukkan hasil positif, meskipun penghambatannya sangat kecil pada ekstrak heksana. Pada alur sel kanker limfoma Raji menunjukkan penghambatan proliferasi yang lebih tinggi dari alur sel kanker monolayer (A549, Hela, dan HCT 116). Aktivitas antioksidan berkorelasi terhadap penghambatan proliferasi sel kanker (Awika et al. 2009). 3-deoksiantosianin yang terdapat pada sorgum berperan menghambat proliferasi sel kanker kolon dan esophagus (Yang

et al. 2009). Senyawa fitokimia yang terekstrak terdapat dalam biji sorgum utuh (S0) dan S50 dapat menghambat proliferasi sel kanker.

Untuk pemanfaatan yang lebih realistis, yaitu dengan mempertimbangkan tidak saja pada sifat antioksidan dan antiproliferasi sel kanker namun juga pada kelayakan ekonomisnya, maka pemanfaatannya dalam bentuk tepung sorgum yang disosoh 50% lebih baik daripada dalam bentuk ekstrak. Ekstraksi, semipurifikasi dan isolasi merupakan proses yang membutuhkan sumberdaya yang besar.

Dilaporkan oleh Yanuar (2009) tepung sorgum yang disosoh 20 detik memberikan hasil berupa produk yang dapat diterima oleh konsumen dan tidak berbeda nyata dengan produk komersil yang disukai masyarakat. Oleh karena itu dalam bentuk tepung sorgum yang disosoh 20 detik (DS 50%) digunakan untuk pengujian secara in vivo. Peran tepung sorgum dalam menghambat karsinogenesis kanker diuji pada mencit BALB/c yang diinduksi karsinogen azoksimetana (AOM) dan dekstran sodium sulfat (DSS). Pada kelompok yang diberi ransum sorgum konsumsi ransum dan kenaikan bobot badan rata-rata lebih tinggi dari kelompok yang tidak diberi sorgum (B). Secara visual terlihat tingkah laku kelompok A (kontrol negatif), C dan D terlihat normal, lincah, dan pernafasan normal. Perbedaan sangat nyata terlihat pada kelompok yang tidak diberi sorgum (kelompok B) karena ditemukan gejala kakeksia akibat induksi karsinogen AOM dan DSS. Hal ini didukung oleh pengujian secara mikroskopis dengan patologi anatomi dan histopatologi HE dan IHK yang memperlihatkan sel pada jaringan masih seragam dengan inti sel yang sama pada kelompok A, C, dan D. Epitel mukosa kolon masih normal dan hanya terlihat sedikit infiltrasi sel radang pada mencit yang diberi sorgum 100% dan 50%. Perbedaan yang nyata terlihat pada kelompok B yang tidak diberi sorgum dan diinduksi AOM dan DSS. Pada kelompok ini terlihat kerusakan sel dengan infitrasi sel radang akut dan ekspresi COX-2 yang lebih tinggi dari kelompok yang diberi sorgum 50% dan 100%. Dilaporkan COX-2 tertampil pada beberapa tumor dan dalam perkembangannya akan menyebabkan kanker kolon (Simmons & Moore 2000).

Penghambatan kanker oleh ekstrak maupun tepung sorgum diduga dari tiga mekanisme yang berbeda. Mekanisme pertama bersumber dari komponen bioaktif polifenol seperti 3-deoksiantosianin, tanin, dan flavonoid yang terdapat pada sorgum. Secara in vitro komponen tersebut mungkin menyebabkan kematian

sel melalui apoptosis atau menghambat program cell cycle progression menuju

cell cycle arrest atau cell cycle delay (Bandele et al. 2008; Shih et al. 2005;Yang

et al. 2009). Kemampuan polifenol sebagai antioksidan, menghambat reaksi pembentukan radikal bebas melalui kemampuannya mendonorkan hidrogen atau elektron kepada radikal metil yang terbentuk akibat induksi karsinogen azoksimetan secara in vivo (Amic et al. 2003; Tapas et al. 2008; Mohamed et al.

2009). Mekanisme ketiga bersumber dari serat pangan dan pati resisten yang terdapat pada tepung sorgum mampu memodulasi mikrobiota penghasil SCFA yang merupakan sumber energi utama bagi sel-sel kolon dan dilaporkan memiliki kemampuan menghambat sel kanker (Gibson & Roberfroid 1995; Davie 2003; Le-Leu et al. 2002).

Dokumen terkait