• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOGOR

2012

PENDAHULUAN

Sorgum merupakan serealia yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat dan telah dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan pokok ke-5 di dunia setelah gandum, beras, jagung dan barley (FAO 2005). Sorgum merupakan bahan pangan pokok di negara semi tropis baik di Afrika maupun Asia. Konsumen sorgum sering diidentikkan dengan masyarakat marginal. Sifat inferior ini berimplikasi pada kurang berkembangnya komoditas sorgum. Perhatian pemerintah masih kurang dalam pengembangan sorgum di Indonesia, padahal sorgum berpotensi sebagai sumber karbohidrat alternatif pengganti beras yang dapat menunjang program diversifikasi pangan. Tepung sorgum dapat sebagai pendamping tepung beras dan terigu, diolah menjadi aneka pangan tradisional, aneka cake dan cookies. Sorgum sosoh dapat dikonsumsi sebagai mana layaknya nasi dan aneka produk bentuk butiran (brondong/pop sorghum, renginang, tape, wajik). Tepung sorgum dapat sebagai pendamping tepung beras dan terigu, diolah menjadi aneka pangan tradisional, aneka cake dan cookies. Saat ini sudah dikembangkan produk sorgum instan seperti nasi sorgum instan, bubur dan sereal sarapan (Widowati 2010).

Sorgum mempunyai prospek yang sangat baik untuk dikembangkan secara komersial di Indonesia, karena didukung oleh kondisi agroekologi dan ketersediaan lahan yang cukup luas. Luas lahan kering mencapai 23.3 juta hektar yang tersebar di pulau Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan belum dimanfaatkan sekitar 39% (Direktorat Serealia 2004).

Analisis komponen kimia merupakan analisis yang diterapkan untuk mengetahui nutrisi yang terkandung dalam suatu bahan pangan. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam senyawa non polar. Secara umum ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai dengan pelarut non polar (n-heksana), lalu pelarut kepolarannya menengah atau semi polar (etilasetat) kemudian pelarut bersifat polar (etanol) (Harborne 1996).

Metode ekstraksi yang umum digunakan adalah maserasi (penggunaan pelarut organik). Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut

organik dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan dalam temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan karena perendaman akan mengakibatkan pemecahan membran sel akibat perbedaaan tekanan antara di dalam sel dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik.

Komposisi kimia dan senyawa fitokimia terdistribusi dengan kadar yang berbeda pada setiap bagian. Perbedaan komposisi kimia dan kadar fitokimia pada biji atau buah sangat dipengaruhi oleh tingkat ketuaan atau kematangan, kondisi tanah, kondisi lingkungan dan cara pengolahan (Chludil et al. 2008).

Perbedaan distribusi komponen kimia dan senyawa fitokimia pada sorgum serta perbedaan kelarutan dalam berbagai pelarut mendasari dilakukannya analisis kimia dan pengujian keberadaan senyawa fitokimia. Pemilihan ekstraksi dengan pelarut berdasarkan tingkat kepolaran diharapkan mampu mengekstrak secara maksimal komponen bioaktif yang terdapat pada sorgum. Komponen bioaktif yang terlarut dalam ekstrak diharapkan dapat berfungsi menghambat sel kanker melalui aktivitas biologisnya.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan mulai Januari – Maret 2010 di Laboratorium Kimia SEAFAST Center dan Departemen Ilmu & Teknologi Pangan IPB.

Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah sorgum varietas kawali dari daerah gunung kidul, Yogyakarta. Bahan kimia untuk analisis, terdiri dari n-heksan, etil asetat, etanol, Folin Ciocalteu Fenol, asam galat, asam askorbat, enzim termamyl, dan 1,1-difenil-2-pikrilhidrasil (DPPH). Peralatan antara lain : satake polisher, dismill, evaporator, spektrofotometer dan alat penunjang lainnya.

Metode Penelitian

Proses penyosohan dan penepungan biji sorgum

Sorgum yang digunakan adalah varietas Kawali karena banyak dibudidayakan petani di Indonesia dan telah digunakan oleh peneliti sebelumnya. Pembersihan biji sorgum dari material selain biji sorgum, seperti potongan batang, daun, sorgum yang tidak sehat (kecil, keriput, dan pecah), batu-batuan, dll. Selanjutnya biji sorgum yang telah bersih tersebut disosoh dengan alat satake polisher berdasarkan waktu penyosohan 10, 20, 30, 40, 50, 60 detik. Kulit akan terpisah selama proses penyosohan. Rendemen hasil sosohan dihitung sebagai persen bobot hasil dari bobot awal sebelum disosoh. Dari tahapan di atas, diperoleh sorgum sosohan. Biji sorgum hasil penyosohan selanjutnya dibuat tepung dengan menggunakan alat dishmill menjadi tepung sorgum dengan ukuran partikel 60 mesh.

DS (%) = ∑produk sampingan hasil sosoh biji serealia waktu sosoh tertentu x 100%

∑produk sampingan hasil sosoh biji serealia waktu sosoh sempurna

RS (%) = ∑ biji serealia waktu sosoh tertentu x 100%

∑ biji serealia utuh

Keterangan : DS = derajat sosoh (%)

RS = rendemen biji serealia tersosoh (%)

Komposisi Kimia Sorgum

Analisis komponen kimia tepung biji sorgum non sosoh, DS 50% dan DS 100% dilakukan dengan metode AOAC (2004). Analisis proksimat biji sorgum yang dilakukan meliputi kadar air (metode oven), kadar abu (metode tanur), kadar lemak (metode ekstraksi soxhlet), protein (metode mikro-kjeldahl), dan karbohidrat (by difference).

Kadar air (AOAC 2004). Tepung sorgum ditentukan kadar airnya dengan

metode gravimetrik. Tepung sorgum sebanyak 2 g dimasukkan dalam wadah kosong yang sudah diketahui beratnya. Sampel dikeringkan dalam oven vakum suhu 70oC selama 24 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Selisih berat sampel setelah pemanasan merupakan jumlah kadar air yang terkandung dalam sampel.

Kadar abu metode tanur (AOAC 2004). Tepung sorgum sebanyak 5 g

dimasukkan dalam wadah kosong yang sudah diketahui beratnya. Sampel dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 300oC selama 1 jam, kemudian suhu tanur dinaikkan hingga 450oC selama 6 jam. Sampel didinginkan ke dalam desikator selama 15 menit, lalu ditimbang apabila beratnya sudah konstan.

Kadar protein total metode Kjeldahl (AOAC 2004). Penentuan protein

berdasarkan oksidasi bahan-bahan berkarbon dan konversi nitrogen menjadi amonia. Tepung sorgum ±5 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. Kemudian ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 2 ± 0.1 mL H2SO4 serta

ditambahkan beberapa butir batu didih. Sampel dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Selanjutnya didinginkan, setelah dingin ditambahkan air perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Setelah dingin, isi labu dipindahkan ke alat distilasi. Labu dibilas 5-6 kali dengan air 1-2 ml air. Air bilasan ini dipindahkan ke alat distilasi. Di bawah kondensor diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran

metilen merah dan metilen biru). Ujung tabung kondensor terendam di bawah larutan H3BO3. Pada alat distilasi ditambahkan 8-10 mL larutan NaOH-Na2S2O3,

kemudian dilakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml distilat dalam erlenmeyer. Distilasi dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Hal ini juga dilakukan terhadap blanko.

Persentase kadar nitrogen dalam sampel dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

N (%) = (mL HCl sampel-mL HCl blanko) x normalitas HCl x 14.007 x 100

mg sampel

Penentuan Kadar Serat Pangan ( Asp et al.1983)

Tepung sorgum ± 5 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Erlemeyer. Ditambahkan 25 ml buffer natrium fosfat 0.1 M pH 6 sambil diaduk. Enzim termamyl ditambahkan 0.1 ml. Labu erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil dan diinkubasi dalam penangas air suhu 100oC selama 15 menit. Dibiarkan dingin kemudian ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 1.5 dengan HCl. Ditambahkan 100 mg enzim pepsin, labu erlenmeyer ditutup dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40oC selama 60 menit. Kemudian ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 6.8 menggunakan NaOH. Enzim pankreatin ditambahkan 100 mg, labu erlenmeyer ditutup dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40oC selama 60 menit. pH diatur menjadi 4.5 menggunakan HCl. Dilakukan penyaringan dengan menggunakan Crucible (porosity 2) yang telah diketahui beratnya dan mengandung 0,5 celite kering. Dilakukan pencucian 2 x 10 ml air destilata. Selanjutnya antara residu dan filtrat dipisahkan untuk analisis lebih lanjut.

Residu (analisis serat pangan tidak larut). Residu ditambahkan 2 x 10 ml

etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Dikeringkan pada suhu 105oC sampai mencapai berat konstan (semalam). Ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Kemudian diabukan pada suhu 550oC selama 5 jam. Ditimbang setelah didinginkan dalam desikator.

Filtrat (analisis serat pangan yang larut). Filtrat (100ml) ditambahkan

400 ml etanol 95% dalam keadaan hangat (suhu 60oC). Biarkan mengendap selama 1 jam. Dilakukan penyaringan menggunakan crucible (porosity 2) yang telah diketahui beratnya dan mengandung 0.5 gram celite. Cuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Dikeringkan pada suhu 105oC selama semalam. Ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D2).

Diabukan pada suhu 555oC selama 5 jam. Ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I2). Blanko dibuat sesuai dengan prosedur diatas tetapi tanpa sampel

D1-I1-B1

% Serat pangan tidak larut = --- x 100 W

D2-I2-B2

% Serat pangan larut = --- x 100 W

Keterangan :

W = berat sampel (gram)

D = berat setelah pengeringan (gram) I = berat setelah pengabuan (gram) B = berat blanko bebas abu (gram)

Kadar Pati (AOAC 2004)

Tepung sorgum sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam labu erlemeyer, ditambahkan 200 ml larutan HCl 3% dan dipanaskan pada pendingin balik tegak. Setelah dingin dan dinetralkan dengan NaOH 10%. Larutan diencerkan sampai 500 ml di dalam labu takar, kemudian disaring. Sebanyak 10 ml larutan (filtrat) dipipet dan dimasukkan ke dalam labu erlemeyer 250 ml dan ditambahkan 25 ml larutan luff Schoorl, 15 ml air suling dan beberapa batu didih.

Larutan dipanaskan pada pendingin balik tegak. Pemanas diatur sehingga isi labu erlemeyer mendidih dalam waktu kurang lebih 3 menit dan dipertahankan selama 10 menit. Kemudian didinginkan secara cepat pada air mengalir serta ditambahkan 10 ml KI 30% dan 25 ml H2SO4 25% secara perlahan. Setelah reaksi

selesai dititrasi dengan larutan tiosulfat 0,1 N yang telah distandarisasi (a ml). Larutan kanji digunakan sebagai petunjuk. Blanko dibuat seperti diatas (b ml).

A x F x 0.9

Kadar pati (%) = --- x 100% mg

dimana :

A = angka tabel Luff Schoorl, berdasarkan selisih ml titrasi (b-a) F = faktor pengenceran

mg = bobot contoh (mg) 0.9 = angka perbandingan

Ekstraksi tepung sorgum metode maserasi (Houghton & Raman 1998). Ekstraksi tepung sorgum utuh (S0), sorgum derajat sosoh 50% (DS50), sorgum derajat sosoh 100% (DS100) berdasarkan tingkat kepolaran pelarut, yaitu heksana (nonpolar), etil asetat (semipolar), dan etanol (polar). Tepung sorgum 100 gram dimaserasi dengan pelarut heksana 400 ml pada suhu ruang selama 24 jam. Perbandingan tepung dengan pelarut 1:4 (b/v). Campuran tersebut disaring menggunakan saringan vakum. Filtrat heksana diuapkan dengan rotavapor pada suhu 40oC dan sisa pelarut heksana dihembuskan dengan gas nitrogen sampai bobot tetap. Substrat heksana berupa padatan yang tidak lolos dalam filterisasi kemudian digunakan sebagai sampel untuk ekstraksi dengan pelarut etil asetat. Ekstraksi dengan pelarut etil asetat diulangi lagi seperti prosedur ekstraksi heksana. Substrat etil asetat berupa padatan yang tidak lolos dalam filterisasi kemudian digunakan sebagai sampel untuk ekstraksi dengan pelarut etanol. Ekstraksi dengan pelarut etanol diulangi lagi seperti prosedur ekstraksi heksana. Rendemen ekstrak dihitung sebagai persentase bobot ekstrak kering (tanpa pelarut) dengan bobot tepung awal.

Analisis fitokimia kualitatif

Analisis fitokimia dilakukan untuk mengetahui keberadaan alkaloid, flavonoid, sterol, triterpenoid, fenol hidrokuinon, saponin, dan tannin dalam ekstrak sorgum (Harborne 1996).

Analisis Flavonoid dan Fenolik. Penentuan adanya flavonoid dan

senyawa fenolik dilakukan dengan melarutkan 0.1 g sampel dengan metanol sampai semua sampel terendam, kemudian dipanaskan. Larutan dipipet dan diteteskan pada 2 spot plate masing-masing 5 tetes. Pada spot plate pertama ditambahkan NaOH 10% (b/v), timbulnya warna merah menandakan positif senyawa fenol hidrokuinon. Pada spot plate kedua ditambahkan 1 tetes H2SO4

pekat, timbulnya warna merah menandakan positif senyawa flavonoid .

Analisis Triterpenoid dan Sterol. Penentuan adanya triterpenoid dan

lalu disaring. Filtrat diuapkan dan ditambahkan eter. Lapisan eter yang terbentuk dipipet dan diteteskan pada spot plate lalu ditambahkan pereaksi LB (3 tetes asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4). Adanya triterpenoid ditandai dengan timbulnya

warna merah atau ungu, sedangkan adanya sterol ditandai dengan adanya warna hijau.

Analisis Flavonoid, Saponin dan Tanin. Penentuan adanya flavonoid,

saponin dan tanin dilakukan dengan memasukkan 0.1 g sampel dalam gelas piala, lalu ditambahkan 10 mL air panas dan didihkan selama 5 menit. Kemudian dimasukkan masing-masing 3 mL larutan ke dalam 2 tabung reaksi. Pada tabung pertama dimasukkan serbuk mg dan beberapa tetes HCl pekat dan amil alkohol. Campuran dikocok dan dibiarkan memisah, adanya flavonoid ditunjukkan adanya warna merah coklat pada lapisan amil alkohol. Pada tabung reaksi kedua dilakukan pengocokan secara vertikal selama 10 detik dan dibiarkan selama 10 menit. Adanya busa yang stabil menunjukkan adanya saponin, sedangkan sisa campuran didihkan lagi selama 10 menit lalu disaring. Filtrat ditambahkan dengan beberapa mL larutan FeCl3 1% (b/v). Timbulnya warna biru atau hijau kehitaman

menunjukkan adanya tanin.

Analisis total fenol (Sahreen et al. 2010).

Total fenol dari ekstrak sorgum ditentukan dengan metode spektrometri. Ekstrak sorgum (± 1000 mg/ml) sebanyak 1 ml ditambahkan 4 ml larutan natrium karbonat (75 g/l) kemudian dikocok. Pereaksi Folin-Ciocalteu fenol sebanyak 0.2 mL ditambahkan dan dikocok lagi. Setelah homogen ditambahkan akuades hingga 10 ml dan dikocok kembali. Campuran dibiarkan pada suhu kamar selama 1 jam dan diukur 725 nm. Total fenol ditentukan dengan menggunakan larutan standar asam gallat. Hasil yang diperoleh dinyatakan dengan ekuivalen asam gallat (GAE).

Analisis kemampuan menangkap radikal bebas DPPH (Sahreen et al. 2010)

Aktifitas antioksidan dianalisa berdasarkan kemampuannya menangkap radikal bebas (radical scavenging activity) DPPH. Larutan ekstrak (± 1000 mg/ml) sebanyak 1 ml ditambahkan 3 ml larutan pereaksi DPPH (60 µM) dan

metanol hingga 10 ml. Ketika radikal DPPH bereaksi dengan senyawa antioksidan maka kemampuan senyawa ini mendonorkan hidrogen berkurang. Penurunan kemampuan absorbansi diukur pada panjang gelombang 517 nm setelah 30 menit diinkubasi. Kemampuan menghambat radikal bebas DPPH dinyatakan dengan % penghambatan = [(A0– At)/A0] x 100%, dimana A0 adalah absorbansi kontrol saat

t = 0 detik dan At adalah absorbansi antioksidan pada saat t. Aktivitas antioksidan

ditentukan dengan menggunakan larutan standar asam askorbat konsentrasi 21.6, 43.2, 86.4, 129.6, 172.8, 216 mg/ml sehingga hasil yang diperoleh dinyatakan dengan ekuivalen asam askorbat (AEAC).

Analisis Data

Data penelitian dinyatakan sebagai rata-rata ± SD dari dua pengukuran secara paralel. Semua data dianalisis dengan prosedur sidik ragam (ANOVA) dengan bantuan program SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) versi 17. Apabila hasil analisis sidik ragam menunjukkan ada perbedaan maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan New Multiple Range Test/DMRT) pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Derajat Sosoh terhadap Komposisi Kimia

Sorgum utuh (whole sorghum) terdiri dari lapisan perikarp, endosperm, dan lembaga. Proses penyosohan biji sorgum utuh (whole grain) menjadi sorgum sosoh merupakan proses awal sebelum pengolahan lebih lanjut menjadi produk- produk pangan berbahan baku sorgum. Penyosohan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan penerimaan konsumen karena penampakan dan rasa yang kurang disukai (sepet). Sorgum utuh apabila dikonsumsi akan menimbulkan rasa agak getir di lidah karena mempunyai tekstur yang lebih kasar.

Penyosohan secara mekanis biasa disebut dengan dehulling atau

decortication bertujuan memisahkan lapisan perikarp dan lapisan testa dari endosperma biji sorgum (Awika et al. 2005). Mesin penyosoh sorgum yang

digunakan adalah mesin tipe abrasif. Prinsip abrasif didasarkan pada gesekan antara biji sorgum dengan batu gerinda, biji sorgum dengan rumah batu gerinda dan juga antara masing-masing biji, sehingga menyebabkan kulit biji terabrasi dengan cepat mulai dari arah luar hingga permukaan endosperma. Oleh karena itu derajat sosoh dengan metode ini dapat diukur dengan lama penyosohan (Mudjisihono & Suprapto, 1987). Proses penyosohan biji sorgum menghasilkan dedak (bran), lembaga, dan endosperm. Dedak merupakan hasil samping dari proses penggilingan yang terdiri dari lapisan luar butiran sorgum (perikarp) dan sejumlah lembaga.

Derajat sosoh merupakan istilah yang menunjukkan seberapa banyak bagian perikarp yang dipisahkan dari endosperm. Penentuan derajat sosoh berdasarkan perbandingan jumlah produk sampingan hasil sosoh biji sorgum waktu sosoh tertentu dan jumlah produk sampingan hasil sosoh biji sorgum tersosoh sempurna (Tabel 4).

Proses penyosohan berdasarkan waktu penyosohan, merupakan metode konvensional yang paling mudah, murah dan hingga saat ini masih digunakan di beberapa negara penghasil sorgum. Hasil menunjukkan semakin lama waktu penyosohan maka semakin susut bobot biji sorgum karena terjadi pelepasan/kehilangan lapisan kulit perikarp (bran).

Tabel 4 Penentuan derajat sosoh biji sorgum

TS(s) WA(g) WS (g) WD(g) WH(g) RS (%) DS(%) 0 170 0 0 0 0 0 10 170 149.79 18.21 2 88.11 34.21 20 170 140.14 26.86 3 82.44 50.46 30 170 131.77 36.23 2 77.51 68.06 40 170 122.72 43.28 4 72.19 81.31 50 170 117.72 49.28 3 69.25 92.58 60 170 112.77 53.23 4 66.34 100 Keterangan: TS(s) : waktu sosoh , WA(g): Bobot awal, WS (g): Bobot biji sosoh, WD(g):

Bobot produk sampingan, WH(g): bobot yang hilang, RS (%): Rendemen biji sosoh, DS(%): Derajat sosoh

Penghitungan rendemen hasil penyosohan biji sorgum bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kehilangan lapisan luar (perikarp) akibat proses

penyosohan. Derajat sosoh (DS) mempengaruhi rendemen sorgum akibat perlakuan waktu penyosohan. Semakin tinggi waktu penyosohan maka rendemen semakin kecil.

Gambar 12 Biji sorgum berdasarkan tingkat penyosohan

Komposisi kimia sorgum berbeda-beda tergantung pada varietas dan waktu penyosohan. Biji sorgum utuh/whole sorghum (S0) dan sorgum sosoh hasil penyosohan dengan derajat sosoh 50% (S50) dan derajat sosoh 100% (S100) dipilih untuk dianalisis komponen kimianya.

Tabel 5 Komposisi kimia sorgum

Komposisi kimia Kadar *

S0 S50 S100 Air (%) 12.53b 12.42ab 12.03a Protein (%) 8.91b 8.59b 7.49a Lemak (%) 4.14c 1.98b 1.61a Abu (%) 1.36b 0.83ab 0.28a Karbohidrat(by difference) 73.06c 76.18b 78.58a Serat pangan:

a. Serat pangan larut (%) 2.39a 2.52b 2.59b b.Serat pangan tidak larut (%) 6.44c 4.23b 3.53a c. Serat pangan total (%) 8.83c 6.75b 6.12a Pati (%) 64.23a 69.43b

72.47c *

Konsentrasi dinyatakan dalam basis kering, kecuali kadar air dalam basis basah a-c

huruf superskrip menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf 5%

S0 = tepung sorgum utuh, S50 = tepung sorgum DS 50%, S100 = tepung sorgum DS 100%.

Biji sorgum memiliki kadar karbohidrat yang tinggi dibandingkan dengan komposisi kimia lainnya (Tabel 5). Hal ini menunjukkan sorgum dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat pengganti beras sehingga dapat menunjang program diversifikasi pangan. Sebagian besar karbohidrat sorgum adalah pati (67% - 72%) yang tersimpan dalam bentuk granula. Pati sorgum mengandung amilosa sekitar 12 - 22 g/100 g bobot basah dan amilopektin sekitar 45 – 55 g/100 g bobot basah. Energi yang dihasilkan dari tepung biji sorgum utuh sekitar 356 kkal/100 g (Dicko

et al. 2006).

Komposisi kimia tepung sorgum ketiga kelompok penyosohan berbeda secara signifikan (p<0.05). Abrasi yang sangat cepat menyebabkan sebagian endosperma ikut terkikis, sehingga biji sorgum sosoh yang dihasilkan tidak utuh. Penyosohan menyebabkan penurunan beberapa kandungan zat gizi protein, serat, vitamin serta mineral.

Protein yang terdapat pada biji sorgum 8.91 %, sedangkan pada sorgum yang disosoh sebagian (S50) sebesar 8.59 % dan sorgum yang disosoh 100% (S100) sebesar 7.49 %. Hal ini berarti sekitar 4 - 16 % protein terdapat dalam dedak (bran) yang terpisah dari biji sorgum saat penyosohan. Kadar protein S50 lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Yanuar (2009). Kadar protein sorgum yang disosoh 20 detik dilaporkan 6.23% bk dan 60 detik 5.91% bk. Kandungan protein endosperma, lembaga dan perikarp sorgum berturut-turut 80 %, 16 %, dan 3 % (Rooney 2001). Protein sebagai komponen gizi terbesar kedua setara dengan terigu atau lebih tinggi dibandingkan dengan beras. Protein biji sorgum terdiri dari 4 fraksi yaitu prolamin (larut dalam alkohol), glutenin (larut dalam alkali), albumin (larut dalam air) dan globulin (protein larut dalam garam). Prolamin merupakan fraksi protein terbesar yaitu 27 - 43.1 %, diikuti oleh glutenin 26.1 - 39.6 %, globulin 12.9 - 16 %, dan albumin 2 - 9 % dari kandungan protein biji sorgum (FAO, 1995).

Proses penyosohan menurunkan kandungan lemak biji sorgum sekitar 52 - 61%. Kandungan lemak sorgum lebih tinggi dibandingkan dengan beras (0,5- 1,5%) dan terigu (2%). Komposisi lemak sorgum kaya akan linoleat, oleat, palmitat, linolenat, dan stearat umumnya terdapat pada bagian lembaga (FAO 1995). Selain sebagai sumber energi dan protein, sorgum juga mengandung

berbagai unsur mineral dan vitamin. Proses penyosohan menurunkan nilai gizi secara signifikan karena mengikis lapisan kulit ari yang mengandung komponen gizi termasuk protein, lemak dan mineral. Sebagian besar mineral terdapat pada bagian dedak dan hanya sekitar 21 - 69 % yang tertinggal pada biji sorgum yang telah disosoh. Sorgum mengandung berbagai mineral esensial, seperti P, Mg, Ca, Fe, Zn, Cu, Mn, Mo dan Cr (Glew et al. 1997; Dicko et al. 2006).

Kadar serat pangan dan -glukan sorgum cukup tinggi sehingga memungkinkan sebagai sumber serat pangan. Kadar serat pangan sorgum dilaporkan cukup bervariasi 2 - 9% (Dicko et al. 2006). Serat pangan yang terdapat sorgum adalah selulosa, hemiselulosa, lignin, dan -glukan. Umumnya serat tidak larut seperti selulosa dan hemiselulosa tahan terhadap degradasi mikrobial sehingga hanya sebagian kecil yang terfermentasi. Sebaliknya hampir semua serat larut -glukan dapat dengan cepat difermentasi secara sempurna. - glukan berperan dalam bidang medis dan farmakologi karena berpotensi mencegah terjadinya penyakit degeneratif seperti hiperglikemia, hiperkolesterolemia, obesitas, penyakit kardiovaskular, kanker, dan membantu meningkatkan pertumbuhan probiotik (Laroche & Michaud, 2006)

Fermentasi serat dalam kolon menghasilkan produk berupa gas seperti gas hidrogen, metana, karbondioksida dan asam lemak rantai pendek (Short Chain Fatty Acid) seperti asam asetat, propionat dan butirat. Asam lemak rantai pendek (SCFA) diserap oleh mukosa kolon dan menghasilkan energi bagi inang sehingga serat bisa dianggap sebagai sumber kalori yang jumlahnya kira-kira 1.5 – 2.5 kkal/gram. Jumlah SCFA yang dihasilkan tergantung pada tingkat fermentasi masing-masing serat. Hubungan serat pangan dengan pencegahan penyakit degeneratif telah banyak dilaporkan. Serat pangan dapat memperpendek waktu kontak sisa pencernaan dalam usus besar sehingga mengurangi resiko terjadinya kanker kolorektal (Tungland & Meyer, 2002).

Ekstraksi Sorgum

Tepung sorgum diekstraksi secara bertahap dengan beberapa jenis pelarut dengan tingkat polaritas berbeda. Ekstraksi tepung sorgum utuh dan sosohan dilakukan untuk mengekstrak komponen bioaktif yang terdapat pada sorgum.

Pelarut heksana digunakan untuk mengekstrak komponen aktif yang larut dalam pelarut non polar. Etil asetat untuk mengekstrak komponen aktif yang larut dalam pelarut semi polar dan etanol untuk mengekstrak komponen aktif yang larut dalam pelarut polar. Rendemen merupakan perbandingan antara berat bagian bahan yang dapat dimanfaatkan dengan berat total bahan. Nilai rendemen ini berguna untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk atau bahan. Apabila nilai rendemen suatu produk atau bahan semakin tinggi, maka nilai ekonomisnya juga semakin tinggi sehingga pemanfaatannya dapat menjadi lebih efektif.

Tabel 6 Sifat fisik dan rendemen ekstrak biji sorgum

Jenis Ekstrak Fisik Ekstrak Rendemen ekstrak(%)

S0 S50 S100

Heksana Kuning kecoklatan,

kental 0.71

a

±0.28 0.67a±0.08 0.26a±1.74

Etilasetat Kuning jingga,

kental 0.42

a

±0.31 0.36a±0.03 0.11a±0.28

Etanol Jingga kecoklatan,

kental 4.55

b

±0.21 3.61b±0.06 1.47b±0.27

a-b

Huruf superskrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf 5 % S0 = tepung sorgum utuh, S50 = tepung sorgum DS 50%, S100 = tepung sorgum DS 100%.

Sifat fisik dan rendemen ekstrak sorgum pada Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil pelarutan dengan etanol paling tinggi dibandingkan dengan pelarut lainnya. Hasil menunjukkan bahwa rendemen ekstrak sorgum dipengaruhi oleh jenis pelarut. Dilaporkan oleh Yanuar (2009) tepung sorgum sosohan 20 detik yang diekstrak dengan pelarut aseton dan aquades menghasilkan rendemen ekstrak berturut-turut 2.61% dan 5.3%.

Ekstrak sorgum dengan pelarut etanol menunjukkan rendemen ekstrak tertinggi pada biji sorgum utuh (S0). Kemampuan etanol dalam mengekstrak jaringan tanaman disebabkan pelarut ini secara efektif dapat melarutkan senyawa

Dokumen terkait