• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

SODIUM SULFAT (DSS)

ABSTRAK

Ekstrak sorgum yang disosoh 50% (S50) mengandung komponen polifenol yang dapat menghambat pertumbuhan sel kanker secara in vitro. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh tepung sorgum (S50) dalam menghambat kanker kolon pada mencit BALB/c. Induksi AOM (10 mg/kg bobot badan) pada intraperitoneal mencit dan pemberian DSS 1% pada air minum mentargetkan pembentukan kanker kolon. Mencit BALB/c (n = 24) dibagi 4 kelompok masing-masing 6 ekor mencit. Kelompok A merupakan kelompok mencit kontrol negatif dengan perlakuan ransum standar menggunakan sumber karbohidrat maizena. Kelompok B merupakan kontrol positif dengan perlakuan ransum standar, kelompok C merupakan kelompok mencit perlakuan dengan sumber karbohidrat sorgum 50% dan maizena 50% dan kelompok D merupakan kelompok mencit perlakuan dengan sumber karbohidrat sorgum 100%. Kelompok B, C, dan D diinduksi AOM 10 mg/kg bobot badan dan diikuti pemberian DSS 1% selama 7 hari. Hasil menunjukkan tepung sorgum dapat menghambat karsinogenesis pada mencit yang diinduksi AOM dan DSS. Bobot badan dan konsumsi ransum kelompok mencit yang tidak diberi sorgum (B) lebih rendah dari kelompok yang diberi sorgum (C dan D). Gambaran histopatologi hati, ginjal, dan kolon memperlihatkan bahwa kelompok mencit yang diberi sorgum 100% (D) dan 50% (C) memperlihatkan profil histopatologi dengan tingkat penghambatan lebih tinggi dari kelompok yang tidak diberi sorgum (B). Hal ini didukung oleh ekspresi COX-2 hasil analisis imunohistokimia dengan pewarnaan DAB. Hal ini menunjukkan bahwa sorgum efektif untuk perlindungan terhadap kanker kolon. Kata Kunci : AOM, DSS, mencit BALB/c, sorgum, kanker kolon

ABSTRACT

Half polished sorghum extracts have been shown to contain phenolic compounds and to inhibit cancer cell lines in vitro. This study was conducted to study the effect of half polished sorghum flour in inhibiting colon cancer in BALB/c mice. Induction of AOM (10 mg/kg body weight) in mice by intraperitoneal and administration of 1% DSS in drinking water was targetted for colon cancer. BALB/c mice (n = 24) were divided into 4 groups of 6. Group A is the standard negative control diet treated with cornstarch as the carbohydrate source. Group B is the positive control treated with standard diet, C is a group treated with source of carbohydrate from 50% sorghum and 50% cornstarch and D is the group treated with 100% sorghum. Group B, C, and D were intraperitoneal injection of AOM (10 mg/kg body weight), followed by 1% (weight/volume) DSS in drinking water for 7 days. The result showed that

sorghum flour can inhibit carcinogenesis on the mice which were induced by AOM and DSS. The body weight and diet consumption of mice group B < C < D. Mice group diet with sorghum flour as 50% and 100% source of carbohydrate (C and D) showed higher levels on cancer inhibition based on the histopathological profile than the group without sorghum (B). The results were supported by the COX-2 expression that was observed by DAB immunohistochemical staining. This shows that the higher concentration of sorghum, bioactive components and fiber, is capable of preventing colon cancer. This indicate that sorghum is the effective to protection against colon cancer.

Keywords: AOM, DSS, mice BALB/c, sorghum, colon cancer

PENDAHULUAN

Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kemajuan teknologi pangan. Oleh sebab itu pangan fungsional menjadi lebih disukai dibandingkan dengan obat-obatan, karena efek psikologis yang menyehatkan dan resiko efek samping yang jauh lebih rendah. Paradigma pangan fungsional sebagai pencegah penyakit degeneratif didukung oleh para ilmuan dan berbagai institusi formal global. Bahan pangan lokal yang berlimpah di Indonesia, masih banyak yang belum diolah dan diteliti khasiat dan keamanannya, atau yang sudah diteliti belum mendapat perhatian yang cukup, sehingga pemanfaatannya oleh masyarakat masih rendah.

Sorgum merupakan pangan fungsional karena mengandung serat dan komponen fitokimia yang memberikan manfaat kesehatan disamping zat gizi yang dikandungnya. Ekstrak sorgum secara in vitro terbukti menghambat proliferasi sel kanker paru-paru A549, kanker servik Hela, sel limfoma Raji, dan kanker kolon HCT 116.

Kanker merupakan penyakit yang paling ditakuti oleh masyarakat di seluruh dunia. Colorectal cancer (CRC) menempati urutan ketiga penyakit kanker yang tingkat keganasan di dunia menyebabkan kematian. Pada tahun 2008 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal dengan tingkat mortalitas lebih dari 50% (Jemal et al. 2010). Jumlah penderita kanker kolon pada pria sekitar 9.5 %, sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9.3% dari total jumlah penderita

kanker. Faktor keganasan CRC berkembang secara spontan sebagai komplikasi akhir dari suatu kondisi inflamasi kronis. Penyebab kanker kolorektal berasal dari lingkungan (30% dikaitkan dengan rokok dan polutan), 35% dikaitkan dengan faktor makanan dengan kadar lemak tinggi dan 20% faktor risiko lain yang berhubungan dengan beberapa bentuk inflamasi kronis atau infeksi kronis (van Hogezand et al. 2002). Penyakit radang usus (IBD) merupakan pemicu meningkatkan resiko kanker kolorektal. Patogenesis CRC juga dipengaruhi oleh mutasi genetik, terutama mutasi somatik dari gen penekan tumor adenomatosis polyposis coli (APC) yang menyebabkan sindrom familial adenomatosis coli.

Penelitian patogenesis dan karsinogenesis kanker kolon menggunakan mencit percobaan telah lama dilakukan. Pengujian praklinis dengan mencit percobaan sangat membantu untuk menemukan senyawa kemopreventif atau obat kanker. Model mencit strain BALB/c mudah diinduksi azoksimetan (AOM) dan dekstran sodium sulfat (DSS) pada perkembangan CRC. Pemilihan model mencit yang diinduksi AOM dan DSS sebagai target kanker kolon melalui inflamasi kronis berkaitan dengan potensi sorgum sebagai sumber serat dan kandungan senyawa bioaktif yang terdapat sorgum. AOM banyak dipakai untuk menghasilkan kanker kolorektal sporadik (Neufert et al. 2007). AOM adalah suatu karsinogen genotoksik kolon yang digunakan untuk menginvestigasi karsinogenesis pada hewan rodensia. Polisakarida Sulfat Sintetis (DSS) merupakan karsinogen non genotoksik yang menyebabkan inflamasi (ulcerative colitis) pada hewan rodensia (Suzuki et al. 2006). Kanker kolon berhubungan dengan inflammatory bowel disease (IBD) termasuk ulcerative colitis dan penyakit Crohn. Beberapa penelitian melaporkan bahwa inflamasi mukosa kronik secara berulang menghasilkan tumorigenesis melalui berbagai mekanisme diantaranya melalui induksi mutasi, peningkatan proliferasi sel kripta, perubahan metabolisme sel kripta, perubahan sirkulasi enteropatik asam empedu dan mikroflora (Itzkowtz & Yio 2004).

Target penghambatan kanker kolon dengan induksi karsinogen AOM dan DSS dilatarbelakangi oleh potensi senyawa bioaktif dan sumber serat pangan. Hal ini menarik untuk dikaji karena konsumsi sorgum banyak dikaitkan dengan insiden penurunan kanker pada saluran pencernaan. Chen et al. (1993)

menginformasikan bahwa epidemiologi kanker esophagus lebih rendah pada daerah Saxchi (Cina) yang mengkonsumsi sorgum dibandingkan dengan daerah yang mengkonsumsi tepung gandum dan jagung sebagai makanan pokoknya. Hal serupa juga terjadi di daerah Afrika Selatan (Isaacson 2005).

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh tepung sorgum sebagai pangan fungsional dalam penghambatan kanker kolon pada mencit BALB/c yang dinduksi karsinogen AOM dan DSS.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret 2011 sampai dengan Desember 2011. Tempat pelaksanaan penelitian bertempat di laboratorium Institut Pertanian Bogor meliputi : (1) Laboratorium Biokimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fateta IPB, (2) Laboratorium Pengembangan Proses dan Produk Pangan Seafast Centre IPB, (3) Laboratorium dan Kandang Hewan Percobaan Seafast Centre IPB, (6) Laboratorium Riset Patologi FKH IPB.

Bahan dan Alat

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian adalah biji sorgum dari varietas Kawali. Bahan untuk membuat ransum terdiri dari kasein, minyak kedelei sebagai sumber lemak, tepung maizena (alpha corn starch) sebagai sumber energi, CMC sebagai sumber selulosa, Vitamin mix (Fitkom) yang pada tiap tabletnya mengandung vitamin A 1500 SI, tiamin 1 mg, riboflavin 0,5 mg, piridoksin 0,5 mg, niasin 10 mg, vitamin B 5 mg, asam folat 0,5 mg, vitamin B12

0,5 mg, vitamin C 25 mg, vitamin B5 dan vitamin D2 150 SI. Komposisi

campuran mineral (modifikasi AIN 1993) disajikan pada lampiran 5.

Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih (Mus musculus L) strain BALB/c berumur ± 8 minggu. Mencit BALB/c berasal dari Laboratorium Patologi Eksperimental, Departemen Patologi Anatomik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Bahan kimia yang digunakan untuk pengolahan jaringan adalah formalin, larutan Bouin, asam asetat glasial, paraffin, xylol, etanol 70% dan 60%, larutan PBS (phosphate buffer saline), larutan NaCl fisiologis dan neofren.

Peralatan untuk pengolahan jaringan meliputi oven, cetakan antikarat, forsep, lemari pendingin serta gelas objek.

Jaringan yang digunakan untuk HE adalah jaringan hati, ginjal dan kolon mencit BALB/c. Jaringan yang digunakan untuk IHK adalan kolon bagian distal. Bahan khusus untuk pewarnaan HE meliputi pewarna hematoksilin dan eosin. Bahan-bahan kimia untuk pewarnaan IHK pada penelitian ini menggunakan protokol imunohistokimia paraffin dari Cell Signaling Technology (2007) yang dimodifikasi. Bahan khusus untuk pewarnaan IHK meliputi antibodi antiCOX-2, antibodi sekunder antirabbit IgG HRP-linked antibody dari Cell Signaling Technology (nomor katalog 7074) dan substrat DAB (diaminobenzidine). Peralatan untuk pewarnaan IHK meliputi gelas objek dan penutupnya, kotak plastik, tisu, batang kaca, alat penghitung waktu (timer), lemari pendingin dan lembar protokol IHK.

Metode Penelitian

Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama meliputi persiapan pakan dan penanganan mencit BALB/c. Tahap kedua merupakan pengujian secara makroskopis dan mikroskopis pengaruh sorgum dalam mencegah kanker kolon pada mencit BALB/c yang diinduksi AOM dan DSS dengan pewarnaan histopatologi yang terdiri atas pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dan imunohistokimia (IHK). Pewarnaan IHK dilakukan untuk mendeteksi keberadaan COX-2 pada jaringan kolon mencit BALB/c.

Persiapan ransum mencit BALB/c

Biji sorgum dipilih dan disosoh selama 20 detik (DS 50%), dihaluskan menjadi tepung dengan alat diss mill. Tepung sorgum dianalisis proksimat untuk formula perlakuan yang digunakan sebagai sumber karbohidrat pada ransum mencit.

Ransum yang diberikan pada mencit mengacu pada pakan standar dari

America Institute of Nutrition (AIN 1993) yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan gizi mencit.

Tabel 11 Komposisi pakan mencit BALB/c (AIN 1993 yang dimodifikasi) No. Komponen Standar AIN,1993 1 Sorgum 0 2 Protein kasein 20 3 Lemak, minyak kedelei 7 4 Selulosa, CMC 5 5 Mineral mix 3.5 6 Vitamin mix 1 7 Sukrosa 10 8 Karbohidrat,meizena/sorgum Untuk membuat 100

Ransum standar menggunakan maizena sebagai sumber karbohidrat dan pakan perlakuan menggunakan tepung sorgum. Pakan perlakuan kelompok C sumber karbohidrat adalah tepung sorgum 50% dan maizena 50% dan kelompok D sumber karbohidrat adalah tepung sorgum 100%.

Tabel 12 Komposisi ransum standar dan ransum uji mencit

Komponen K negatif (A) K positif (B) Sorgum 50% (C) Sorgum 100% (D) Protein kasein 23.13 23.12 20.85 18.58 Lemak,minyak kedelai 6.84 6.84 6.67 6.51 Selulosa, CMC 5.00 5.00 2.93 0.85 Mineral mix 2.58 2.58 2.36 2.14 Vitamin mix 1.00 1.00 1.00 1.00 Air 8.94 8.94 5.31 1.69 Sukrosa 10.00 10.00 10.00 10.00 Karbohidrat (maizena) 42.51 42.51 21.25 0.00 Karbohidrat (sorgum) 0 0 29.61 59.22

Penanganan Mencit BALB/c

Desain yang digunakan adalah randomized post test control group. Populasi dan sampel yang diteliti adalah mencit galur BALB/c dengan kriteria inklusi; umur 8 minggu, berbobot ±20 gram, sehat, aktivitas dan tingkah laku.

Gambar 18 Diagram alir pengujian in vivo pada mencit BALB/c.

Mencit diadaptasikan selama seminggu bertujuan untuk menyesuaikan dengan lingkungan baru atau lingkungan laboratorium, mengamati kemampuan beradaptasi dan berprilaku normal, tidak sakit, dan menyeragamkan kondisi sebelum diberi perlakuan. Setelah dilakukan aklimatisasi selama satu minggu dengan diberi ransum standar modifikasi dari AIN (American Institute of

Nutrition) 93 dan minum secara ad libitum.

24 ekor mencit BALB/c, umur 8 minggu Kelompok D: Ransum sorgum 100% dan injeksi AOM (10 mg/kg bb) dan DSS 1% Kelompok C: Ransum50% sorgum +50% maizena dan injeksi AOM (10 mg/kg bb) dan DSS 1% Kelompok B: Ransum standar dan injeksi AOM (10 mg/kg bb) dan DSS 1% Kelompok A: Ransum standar (5 g/kg bobot badan)

Mencit @ 6 ekor diberi perlakuan selama 19 minggu. Penimbangan

ransum/hari, bobot badan (2X seminggu)

Adaptasi 1 minggu

Nekropsi

Patologi Anatomi Histopatologi

Pada akhir masa adaptasi mencit dikelompokkan ke dalam empat kelompok sebagai perlakuan terdiri dari: (1) kelompok kontrol negatif (A) yaitu yang diberi ransum dengan sumber karbohidrat standar (maizena) dan diinjeksi 0.9% salin melalui intraperitoneal, (2) kelompok kontrol positif (B) yaitu yang diberi ransum dengan sumber karbohidrat standar (maizena) dan diinjeksi AOM 10mg/kgBB melalui intraperitoneal dan pemberian DSS 1% melalui air minum, (3) kelompok (C) yaitu yang diberi ransum dengan karbohidrat dari sorgum 50% dan maizena 50%, diinduksi AOM 10 mg/kgBB dan DSS 1%, (4) kelompok (D) yaitu yang diberi ransum dengan sumber karbohidrat dari sorgum 100% dan diinduksi AOM 10 mg/kgBB dan DSS 1%.

Induksi azoksimetana (AOM) secara intraperitoneal dengan dosis 10mg/kg BB pada umur 9 minggu mencit kelompok B, C dan D. DSS 1% diberikan pada minuman (ad libitum) selama seminggu setelah induksi AOM pada mencit kelompok B, C dan D. Masa perlakuan selama 18 minggu setelah injeksi atau umur tikus sekitar 29 minggu. Ransum yang diberikan 5 gram/ekor/hari dalam bentuk bubuk mengikuti AIN 93 sudah mencukupi kebutuhan konsumsi mencit perhari dan menentukan jumlah ransum yang dikonsumsi setiap harinya. Tiap ekor mencit menempati satu kandang yang terbuat dari plastik dan ditempatkan dalam ruangan yang telah diatur siklus udara dan cahaya. Semua mencit diberi ransum secara teratur dan ditempatkan dalam ruangan suhu kamar dan dilengkapi blower untuk menjaga kelembaban lingkungan. Banyaknya ransum yang dikonsumsi dihitung tiap hari berdasarkan jumlah pakan yang tersisa.

Setelah berakhir masa perlakuan mencit diterminasi dengan cara dislokasi leher, yaitu perusakan hubungan antara tulang leher dan kepala yang menyebabkan rusaknya jaringan syaraf pengatur kesadaran.

Pengambilan Organ Mencit Balb/c

Setelah perlakuan 18 minggu, mencit diterminasi dan diambil organ hati, ginjal dan kolon untuk diindentifikasi patologi anatomi dan dilakukan pemrosesan jaringan secara histopatologi.Analisis histopatologi kolon tikus percobaan dengan

pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dan imunohistokimia (IHK) dilakukan dengan metode Kiernan (1990).

Pembuatan preparat histologi

Organ tersebut harus segera diambil untuk preparat histologis. Organ dicuci dengan 0,9% NaCl fisiologis dimasukkan dalam larutan fiksatif Bouin (dengan komposisi asam pikrat jenuh:formalin pro-analisis:asam asetat glasial=15:5:1) selama 24 jam. Setelah organ terfiksasi, larutan diganti dengan alkohol 70% yang dikenal sebagai stopping point dengan pengertian bahwa jaringan dapat disimpan lama pada larutan ini.

Proses penarikan air dari jaringan (dehidrasi) dilakukan dengan alkohol yang konsentrasinya bertingkat. Selanjutnya, jaringan dijernihkan dengan silol

(clearing) dan ditanam dalam parafin (embedding). Jaringan dalam blok parafin disayat secara serial dengan microtom rotary. Kemudian, dilekatkan pada gelas obyek disimpan dalam inkubator 40°C selama 24 jam. Setelah itu, sediaan diwarnai dengan berbagai macam prosedur pewarnaan sesuai dengan tujuan.

Prosedur proses dehidrasi dan infiltrasi

Dehidrasi adalah pengambilan air dari dalam jaringan secara perlahan-lahan dengan menggunakan alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Sampel dalam tissue basket dimasukkan ke dalam alkohol 70, 80, 90 dan 95% masing-masing selama 1 atau 2 jam sampai overnight. Sampel dimasukkan ke dalam alkohol absolut (absolut I, II, III) selama 20 menit sampai 1 jam tergantung besar-kecilnya ukuran jaringan. Sampel dijemihkan dengan merendam di dalam silol I, II dan III masing-masing selama 20 menit hingga 1 jam tergantung besar-kecilnya ukuran jaringan. Pada xilol III sampel dihangatkan pada suhu parafin cair. Sampel diinfiltrasi dengan parafin (parafin I, II, III) pada suhu 65-70°C dalam inkubator masing-masing selama 1 jam.

Pembuatan blok embedding

Sampel yang telah diinfiltrasi dapat dicetak dengan parafin melalui proses

embedding. Proses embedding diawali dengan menyiapkan cetakan yang ukurannya sesuai dengan sampel jaringan. Jaringan dari parafin diambil dan

dimasukkan pada cetakan dengan posisi bagian yang akan dipotong pada bagian. Pada satu cetakan dapat diisi beberapa jaringan. Cetakan dapat didinginkan pada cold plate untuk mencegah terjadinya pembekuan parafin bagian atas dulu. Cetakan dapat direndam dalam air dingin setelah parafin membeku sehingga blok parafin dapat dikeluarkan dari dalam cetakan. Blok parafin dapat langsung di-

triming untuk mempermudah pemotongan dengan menggunakan microtom rotary.

Prosedur triming

Triming adalah penipisan sampel untuk mendapat jaringan atau bagian organ yang benar dan bagus dalam orientasi dan memfasilitasi larutan fiksasi masuk sampai pada bagian terdalam. Prosedur triming diawali dengan mengeluarkan organ terpilih dari dalam fiksator atau larutan penyimpan. Organ dipotong pada bagian yang diinginkan dengan dua mata pisau. Ukuran ketebalan sampel + 3-5 m dengan luas permukaan + 1x1 cm2. Selanjutnya, sampel dapat diproses lebih lanjut, seperti pewarnaan HE dan IHK.

Pewarnaan Hemaksilin-eosin (HE)

Pemrosesan jaringan menjadi preparat histopatologi melalui tahapan- tahapan sebagai berikut; fiksasi jaringan, dehidrasi, clearing, infiltrasi,

embedding, trimming, sectioning, deparafinisasi dan dilanjutkan dengan staining

(pewarnaan). Fiksasi jaringan dilakukan dengan merendam sampel jaringan ke dalam larutan formaldehid. Sampel jaringan yang sudah menjadi histopat direndam ke dalam xylol I selama 5-10 menit untuk menghilangkan parafin, kemudian direndam dalam xylol II kembali untuk membilas selama 5-10 menit. Setelah itu, sampel direndam dalam alkohol. Pada tahap ini sampel berturut- turut direndam dalam alkohol yang menurun konsentrasinya secara bertingkat, yaitu: alkohol absolut (100%), alkohol 96%, kemudian alkohol 70% masing- masing 5 menit. Konsentrasi yang menurun secara berturut-turut tersebut akan membuat air memasuki sampel jaringan. Sampel kemudian direndam dalam akuades selama 5 menit dan direndam dalam larutan hematoksilin selama 5-10 menit. Hematoksilin akan mewarnai inti sel pada sampel jaringan dengan warna biru. Setelah itu, sampel dimasukkan dalam air mengalir (secara tidak langsung)

selama 5-10 menit untuk membilas. Tahap pewarnaan selanjutnya adalah pewarnaan dengan pewarna eosin selama 1-2 menit untuk mewarnai sitosol sel pada sampel jaringan. Setelah tahap ini, sampel memasuki tahap pencelupan alkohol yang meningkat konsentrasinya secara berturut-turut sebagai kebalikan dari tahap yang sebelumnya, yaitu: alkohol 70%, alkohol 96% dan alkohol absolut (100%) masing-masing sebanyak 3-4 celupan. Pada akhir tahap pewarnaan, sampel kembali direndam dengan xylol selama 5-10 menit, kemudian direndam kembali dalam xylol selama 5-10 menit. Setelah itu, sampel jaringan ditutup dengan gelas penutup dan direkatkan dengan entellan. Slide histopatologi siap diamati di bawah mikroskop dan difoto secara digital. Perubahan histopatologi yang terlihat pada jaringan dikelompokkan berdasarkan organ yang akan diamati. Tingkatan colitis mengikuti protokol (Cooper 1993, Suzuki et al. 2006). Skor 0 apabila mukosa kolon normal dan tidak terjadi infiltrasi radang. Skor 1 apabila kripta memendek (1-3 kripta) dengan sedikit infitrasi sel radang dan edema. Skor 2 apabila 2/3 kripta hilang dan terjadi infiltrasi radang. Skor 3 ditandai oleh hilangnya kripta dengan infiltrasi radang yang parah pada lamina propria tetapi masih tersisanya epitel permukaan. Skor 4 ditandai hilangnya semua kripta dan terjadi infitrasi radang yang parah pada mukosa, submukosa, dan muskularis mukosa.

Pembuatan preparat imunohistokimia (IHK) Preparasi gelas objek

Preparasi gelas objek diawali dengan menyiapkan gelas objek yang akan digunakan untuk penempelan (afixing) preparat. Gelas objek dimasukkan ke dalam staining jar yang berisi alkohol 70% sampai semua bagian terendam, kecuali bagian yang kasar tempat pelabelan. Staining jar yang berisi gelas objek tersebut kemudian dimasukkan ke dalam bak electromagnetic cleaner yang telah diisi air (sejajar dengan alkohol yang terdapat dalam staining jar).

Electromagnetic cleaner dihidupkan selama 20 menit (untuk membersihkan gelas objek dari lemak atau segala kotoran yang menempel yang dapat mengganggu dalam proses imunohistokimia). Gelas objek dimasukkan ke dalam staining jar

ulang) sebanyak 3 kali, masing-masing 20 menit, dilanjutkan perendaman staining jar yang berisi gelas objek ke dalam electromagnetic cleaner selama 20 menit.

Pelapisan (coating) gelas objek dengan gelatin (sebagai agen penempel)

Pelapisan (coating) dilakukan dengan melarutkan 2.50-3.00 g gelatin dalam 300-400 ml air panas bersuhu maksimal 60 °C, kemudian didinginkan hingga mencapai suhu ruang. Selanjutnya, kromium potasium sulfat (CrK(SO4)2) sebanyak 0,25 g dimasukkan dan diaduk. Setelah itu, ditambahkan

H2O hingga volumenya mencapai 500 ml. Gelas objek yang bersih direndam

dalam larutan tersebut selama 15-30 menit, kemudian dikeringkan pada suhu ruang. Setelah kering, gelas objek disimpan di dalam oven dengan suhu + 60°C untuk menghindari penempelan segala macam kotoran pada gelas objek.

Pembuatan irisan preparat pada gelas objek (sectioning)

Tahapan pembuatan irisan preparat meliputi beberapa tahap secara berurutan, yaitu penempatan blok embedding pada holder microtom rotary,

pemasangan pisau pemotong, penentuan ketebalan sayatan, triming dan penempelan (afixing). Preparat diiris dengan microtom rotary pada ketebalan sayatan 3-5 m.

Penempelan irisan preparat ke gelas objek (afixing)

Proses penempelan atau afiksasi dengan menggunakan air bersuhu 40°C atau dengan dimasukkan ke dalam inkubator bersuhu 39-40°C selama 24 jam. Sebelum dimasukkan ke dalam air hangat atau bersuhu 40°C dengan menggunakan gelas objek atau gelas benda, sampel sayatan jaringan dimasukkan ke dalam air bersuhu dingin terlebih dahulu. Hal ini bertujuan meregangkan jaringan (tidak mengkerut) dan lebih mempermudah afiksasi.

Persiapan preparat untuk pewarnaan imunohistokimia (IHK) Deparaffinisasi (rehidrasi)

Langkah ini diawali proses deparafinasi (rehidrasi) dengan merendam jaringan pada gelas objek dalam larutan xylol sebanyak tiga kali, masing-masing

selama 10 menit. Selanjutnya, dilanjutkan dengan merendam jaringan dalam larutan etanol pro-analysis dengan konsentrasi bertingkat, mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. Konsentrasi etanol yang digunakan adalah 100, 96, 80 dan 70%. Perendaman dalam masing-masing konsentrasi etanol dilakukan sebanyak dua kali. Masing-masing perendaman tersebut dilakukan selama 10 menit. Proses deparaffinisasi diakhiri dengan perendaman jaringan dalam akuades sebanyak dua kali, masing-masing perendaman dilakukan selama 5 menit.

Antigen unmasking

Antigen unmasking bertujuan untuk membuka epitop antigen, sehingga antigen dapat berikatan dengan antibodi. Antigen unmasking dilakukan dengan merebus jaringan dalam 10 mM larutan PBST (buffer natrium sitrat) pada suhu

sub-boiling (85°C) selama 10 menit. Buffer natrium sitrat dibuat dengan melarutkan 2,94 g C6H5Na3O7•βH2O dalam 1 L akuades. Pada tahap ini, suhu

perebusan harus dijaga agar tidak melebihi atau kurang dari 85°C. Perebusan dilakukan di dalam wadah stainless-steel yang diletakkan di atas hot-plate. Buffer natrium sitrat harus dijaga agar tidak mendidih selama proses perebusan. Selanjutnya, langkah yang dilakukan adalah proses pendinginan (cooling) jaringan. Proses pendinginan dilakukan dengan tetap merendam jaringan di dalam wadah tanpa ditutup pada suhu ruang. Pada proses ini, suhu awal dan akhir

Dokumen terkait