• Tidak ada hasil yang ditemukan

6.1. Persepsi Masyarakat terhadap Pembangunan Hutan Rakyat Pola Kemitraan

Persepsi petani hutan rakyat terhadap kegiatan hutan rakyat pola kemitraan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembangunan hutan rakyat yang dijalankan selama ini. Persepsi yang rendah berpengaruh negatif dan akan menghambat pelaksanaan pembangunan hutan rakyat yang dijalankan, sebaliknya persepsi yang tinggi berpengaruh positif dan merupakan dukungan yang menunjang pencapaian keberhasilan pelaksanaan pembangunan hutan rakyat dengan pola kemitraan itu sendiri.

Tabel 8 Persepsi Responden terhadap Pembangunan Hutan Rakyat Pola Kemitraan

Kategori N % Rata -rata

> 37 (tinggi) 68 45,6

26 – 37 (sedang) 76 51 36,98

< 26 (rendah) 5 3,4

Berdasarkan hasil penelitian, persepsi responden terhadap pembangunan hutan rakyat pola kemitraan, sebanyak 45,6 % responden memiliki tingkat persepsi yang termasuk pada kategori tinggi. Tingkat persepsi ini menunjukkan bahwa pembangunan hutan rakyat pola kemitraan yang berjalan selama ini memberikan keuntungan atau manfaat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Persepsi ini sangat menguntungkan, karena akan menunjang dalam pencapaian keberhasilan pembangunan hutan rakyat.

Hutan rakyat yang dibangun belum memberikan hasil kayu karena kegiatan penjarangan dan pemanenan belum dilaksanakan. Sesuai dengan perencanaan, pemanenan perdana baru akan dilakukan pada tahun 2007 terhadap tanaman tahun 1996/1997. Meskipun demikian masyarakat sudah dapat merasakan keuntungan atau manfaat dari adanya hutan rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung Hal ini sesuai dengan pendapat Sugiyanto (1996) bahwa persepsi merupakan penilaian atau tanggapan seseorang terhadap obyek atau kegiatan

tertentu. Persepsi seseorang terhadap sesuatu obyek akan positif apabila sesuai dengan kebutuhannya, sebaliknya akan negatif apabila bertentangan dengan kebutuhan orang tersebut. Adanya keuntungan atau manfaat dari hutan rakyat ini menimbulkan persepsi yang positif dari masyarakat terhadap hutan rakyat yang dibangun dengan pola kemitraan.

Persepsi responden yang termasuk pada kategori sedang merupakan jumlah yang mendominasi dari penilaian terhadap pembangunan hutan rakyat pola kemitraan ini. 51 % responden memiliki tingkat persepsi sedang. P ersepsi kategori sedang, posisinya masih meragukan. Pada kondisi tertentu dapat bersifat menghambat dan pada kondisi lain dapat pula bersifat mendukung kegiatan pembangunan hutan rakyat. Persepsi ini disebabkan responden hanya dapat merasakan manfaat sebag ian dampak positifnya. Petani dapat merasakan keuntungan adanya hutan rakyat yaitu dengan terlibatnya sebagai tenaga kerja sehingga memperoleh tambahan pemasukkan dari upah kerja, tetapi dengan keterbatasan wawasan dan pengetahuan tidak merasakan manfaat lainnya yang tidak diperoleh secara langsung.

Sebanyak 3,4 % dari jumlah responden memiliki tingkat persepsi rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan hutan rakyat yang berjalan selama ini tidak sesuai dengan keinginan masyarakat dan dipandang tidak memberikan manfaat bagi pemilik lahan, bahkan masyarakat merasa dirugikan dengan adanya hutan rakyat. Ini terjadi pada beberapa lokasi yang tanaman hutan rakyatnya dinilai masyarakat gagal karena jumlah tanaman yang tumbuh per hektarnya sangat sedikit. Dalam jangka waktu terikat perjanjian kerjasama, lahan milik petani yang dikerjasamakan tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh pemilik lahan. Sebaliknya apabila ditunggu sampai berakhirnya perjanjian kerjasama hasil kayunya tidak memberikan hasil yang nyata.

Persepsi masyarakat terhadap pembangunan hutan rakyat pola kemitraan ini diukur berdasarkan penilaian yang diberikan responden terkait dengan penilaian terhadap lahan yang dipakai untuk hutan rakyat, penilaian terhadap manfaat hutan rakyat dan penilaian terhadap jenis tanaman yang dipilih untuk hutan rakyat serta penilaian terhadap pola kemitraan pada pembangunan hutan rakyat.

Persepsi Masyarakat terhadap Lahan yang Dimanfaatkan untuk Hutan Rakyat

Lahan pertanian merupakan sumber penghidupan utama bagi petani di pedesaan yang diupayakan dan diolah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apabila lahan pertanian yang mereka miliki diupayakan untuk hutan rakyat dengan penanaman tanaman kayu -kayuan dalam jangka panjang tentu akan berpengaruh pada kehidupan petani tersebut. Hutan rakyat baru dapat memberikan kontribusi pendapatan kepada pemiliknya pada akhir daur. Untuk itu pemiliknya harus memiliki lahan lain seperti pekarangan atau sawah yang dapat memberikan pendapatan untuk membiayai kebutuhan keluarga sehari-hari. Lahan pekarangan biasanya diusahakan untuk tanaman pertanian atau tanaman semusim. Penghasilan dari lahan pekarangan inilah yang diandalkan untuk membiayai kebutuhan keluarga sehari-hari.

Tabel 9. Persepsi Responden terhadap Lahan yang Dimanfaatkan untuk Hutan Rakyat

Kategori N % Rata -rata

> 9 (tinggi) 63 42,3

7 – 9 (sedang) 77 51,7 9,26

< 7 (rendah) 9 6

Penilaian responden terhadap lahan yang dimanfaatkan untuk hutan rakyat pola kemitraan ini memberikan nilai persepsi dengan kategori tinggi, dengan nilai rata-rata 9,26. Persepsi ini menunjukkan betapa pentingnya pembangunan hutan rakyat yang dilaksanakan selama ini terhadap lahan milik mereka yang antara lain dapat meningkatkan kesuburan lahan, meningkatkan produktivitas lahan dan pemahaman bahwa hutan rakyat merupakan investasi jangka panjang sehingga mereka bersedia mengusahakan sebagaian lahan yang mereka miliki untuk hutan rakyat dengan ditanami tanaman kayu-kayuan.

Menurut Prabowo (2000), penanaman lahan dengan tanaman berkayu merupakan pilihan terakhir yang dapat dilakukan petani, sebab lahan tersebut tidak memungkinkan lagi untuk ditanami tanaman pertanian. Keberadaan hutan rakyat dipengaruhi oleh kualitas lahan, dimana semakin marjinal kualitas lahan

cenderung semakin besar untuk menjadi hutan rakyat (Hardjanto 2000) dalam (Suharjito 2000). Lahan yang menjadi sasaran kegiatan hutan rakyat dengan pola kemitraan sebagian besar adalah lahan olah milik transmigran yang tidak atau belum dimanfaatkan untuk tanaman pertanian. Petani hutan rakyat yang terlibat dalam pola kemitraan adalah penduduk asli dan masyarakat transmigran yang umumnya memiliki lahan pekarangan, lahan olah I dan lahan olah II yang cukup luas. Lahan olah I dan II umumnya terlantar karena tidak diusahakan. Hal ini disebabkan karena lokasinya jauh dari rumah tinggal, keterbatasan modal dan keterbatasan tenaga kerja keluarga, sehingga apabila diusahakan dengan jenis tanaman pertanian atau semusim seperti padi atau sayuran mempunyai peluang gagal relatif besar, karena dalam mengusahakan lahan olah I dan II untuk tanaman semusim memerlukan alokasi waktu dan tenaga yang lebih banyak.

Lahan yang ditelantarkan tersebut umumnya tidak diharapkan dapat memberikan kontribusi pendapatan terhadap pemiliknya. Oleh karena itu apabila lahan yang ditelantarkan tersebut diusahakan untuk hutan rakyat dengan jenis tanaman kayu -kayuan yang tidak terlalu memerlukan pemeliharaan dan pengamanan yang intensif masyarakat petani sangat mendukung. Masyarakat menilai dengan diusahakannya lahan olah I dan II yang terlantar sebagai hutan rakyat akan lebih menguntungkan karena lahan miliknya dapat diharapkan memberikan kontribusi pendapatan bagi petani meskipun dalam jangka waktu yang panjang.

Persepsi Masyarakat terhadap Manfaat Hutan Rakyat

Berdasarkan hasil penelitian, penilaian responden menunjukkan bahwa pembangunan hutan rakyat dengan pola kemitraan ini dapat memberikan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Manfaat hasil dari pembangunan hutan rakyat dapat dirasakan masyarakat secar a langsung maupun secara tidak langsung. Manfaat yang langsung dapat diperoleh dari hutan rakyat pada umumnya adalah manfaat yang terkait dengan manfaat ekonomi, sedangkan manfaat tidak langsung adalah manfaat yang terkait dengan manfaat lingkungan.

Tabel 10. Persepsi Responden terhadap Manfaat Hutan Rakyat

Kategori N % Rata -rata

> 9 (tinggi) 61 40,9

7 – 9 (sedang) 71 47,7 8,93

< 7 (rendah) 17 11,4

Hutan rakyat yang dilaksanakan selama ini memberikan manfaat yang langsung dapat dirasakan oleh petani yaitu dengan dilibatkannya sebagai tenaga kerja. Dengan dilibatkan sebagai tenaga kerja dalam pelaksanaan pembangunan hutan rakyat, walaupun yang diolah adalah lahan milik sendiri petani tetap menerima upah kerja karena prioritas yang dijadikan sebagai tenaga kerja adalah pemilik lahan atau petani peserta kemitraan hutan rakyat.

Selain keterlibatannya sebagai tenaga kerja manfaat langsung yang diperoleh adalah hasil kayu dari tanaman hutan rakyat yang diperoleh melalui kegiatan penjarangan tan aman pada umur 5 dan 7 tahun dan melalui kegiatan pemanenan pada tanaman yang telah berumur 11 tahun. Walaupun hasil kayu dari hutan rakyat belum pernah dirasakan petani, tetapi karena sudah mendapat kepastian pemasaran, keuntungan penjualan kayu hasil dari hutan rakyat sudah dapat diprediksikan oleh petani peserta pola kemitraan hutan rakyat. Apabila panen total hutan rakyat dilakukan pada umur 11 tahun sebagaiman jangka waktu yang ditentukan dalam pengembalian Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR), maka rata-rata per pohon memiliki 0,5 m3. Jumlah pohon per hektar 1000 pohon, sehingga volumenya 500 m3 per Ha. Dan dengan harga Rp.400.000 per m3 berarti nilainya Rp. 200 juta per ha. Meskipun yang menjadi hak dari petani hanya sebagian (50%) dari nilai aset setelah dikurangi pengembalian kredit, jumlah sebesar itu merupakan simpanan kekayaan bagi petani dari nilai tegakan.

Sedangkan manfaat tidak langsung dalam pembangunan hutan rakyat adalah pertimbangan dampak lingkungan yang positif terutama pada aspek hidroorologis. Petani menilai tanaman pulai yang berumur 3 tahun ke atas tajuknya mulai rimbun sehingga lahan -lahan yang asalnya alang-alang/ semak belukar menjadi areal yang tertutup tajuk pohon. Adanya penutupan lahan oleh pohon dapat mengurangi aliran permukaan dan mengurangi erosi terhadap permukaan tanah.

Persepsi Masyarakat terhadap Jenis Tanaman Hutan Rakyat

Dalam pembangunan hutan rakyat jenis tanaman yang dikembangkan harus dikaitkan dengan rencana industri yang butuh bahan baku sehingga dapat terjamin pemasarannya (Widiarti et al. 1998). Pemilihan jenis tanaman harus jenis yang sesuai dengan kondisi lahan setempat (Awang 2002). Jenis tanaman yang dikembangkan dalam pembangunan hutan rakyat pola kemitraan adalah jenis pulai gading (Alstonia scholaris) dan pulai darat (Alstonia angustiloba). Pemilihan jenis tanaman pulai ini dalam pembangunan hutan rakyat berdasarkan pada pertimbangan teknis (PT. XIP 1996):

(1) Bentuk batang lurus dan kayunya mempunyai sifat fisik dan mekanik cukup baik untuk kayu pertukangan dan bahan baku industri termasuk bahan baku pensil

(2) Serat kayu lurus dengan permukaan mengkilap, warna kayu gubal dan teras serupa, berwarna coklat muda

(3) Mempunyai pertumbuhan cepat dan secara agroklimat sesuai dengan wilayah Kabupaten Musi Rawas.

(4) Mempunyai adaptasi dan prosentase tumbuh yang tinggi

Di Kabupaten Musi Rawas terdapat 2 jenis pulai yang dikenal masyarakat yaitu Pulai Gading dan Pulai Darat. Keduanya jenis tersebut kualitas kayunya memenuhi stadar sebagai bahan baku untuk industri slat pensil. Dalam pembangunan hutan rakyat pembibitan dan penanaman kedua jenis tersebut dikembangkan bersama. Tetapi sejak tahun 2000 dalam pelaksanaan pembangunan hutan rakyat bibit yang dikembangkan hanya jenis pulai darat, karena pulai darat mempunyai pertumbuhan relatif lebih baik daripada pulai gading. Meskipun pada penampakan luar jenis pulai darat mempunyai kulit kayu yang lebih gelap dibandingkan pulai gading, tetapi sifat kayu kedua jenis tersebut hampir sama.

Tabel 11. Persepsi Responden terhadap Jenis Tanaman Hutan Rakyat

Kategori N % Rata -rata

> 9 (tinggi) 70 47

7 – 9 (sedang) 74 49,6 9,39

< 7 (rendah) 5 3,4

Berdasarkan hasil penelitian, persepsi responden terhadap pulai sebagai jenis tanaman hutan rakyat menunjukkan nilai rata-rata 9,39, nilai yang masuk kategori tinggi. Hal ini dijelaskan karena petani pada umumnya sudah mengenal jenis tanaman pulai, karena pulai merupakan salah satu komoditi tanaman kayu-kayuan pilihan disamping karet. Tanaman ini banyak dijumpai di Kabupaten Musi Rawas yang tumbuh pada lahanlahan milik masyarakat diantara tanaman -tanaman pertanian.

Masyarakat mengenal pulai sebagai jenis tanaman yang mudah dan cepat tumbuh, sesuai dengan kondisi iklim dan tanah di Kabupaten Musi Rawas, bahkan tanaman yang telah ditebang, tidak memerlukan perawatan khusus akan tumbuh trubus dengan kualitas kayu yang hampir sama dengan tanaman induknya. Kayu pulai mudah dipasarkan dan harga kayunya relatif stabil. Harga kayu berkisar antara Rp. 400.000 – Rp. 600.000 per m3, harga yang dipandang cukup menarik. Kayu pulai merupakan jenis bahan baku utama untuk industri slat pensil PT. Xylo Indah Pratama yang kebutuhan bahan bakunya semakin meningkat sesuai dengan kenaikan kapasitas industrinya. Sebelum tanaman hutan rakyat menghasilkan, PT. Xylo Indah Pratama untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industrinya berusaha dengan mencari tegakan pulai yang tumbuh di lahan-lahan milik masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan jenis pulai sebagai tanaman hutan rakyat dapat menjamin kepastian pemasaran.

Persepsi Masyarakat terhadap Pola Kemitraan

Pola kemitraan merupakan salah satu alternatif dalam menunjang keberhasilan pembangunan hutan rakyat yang lestari yaitu dengan cara membentuk kerjasama antara petani pemilik lahan dengan PT. Xylo Indah Pratama sebagai perusahaan mitra. Dalam kerjasama ini petani menjaminkan

adanya lahan, sedangkan perusahaan yang menjamin pembiayaan pelaksanaan kegiatan pembangunan hutan rakyat mulai dari pengadaan bibit, penanaman dan pemeliharaan sampai pemanenan, menjamin pembinaan teknis dalam pelaksanaan hutan rakyat dan menjamin kepastian pemasaran.

Tabel 12. Persepsi Responden terhadap Pola Kemitraan

Kategori N % Rata -rata

> 9 (tinggi) 68 45,6

7 – 9 (sedang) 68 45,6 9,41

< 7 (rendah) 13 8,8

Persepsi responden terhadap pola kemitraan pada pembangunan hutan rakyat menunjukkan nilai rata-rata 9,41, nilai yang masuk kategori tinggi. Penilaian yang tinggi ini menunjukkan bahwa dengan pola kemitraan yang dilaksanakan pada pembangunan hutan rakyat selama ini dapat diterima masyarakat. Hal ini disebabkan dengan pola kemitraan, dalam pembangunan hutan rakyat ini petani mendapatkan jaminan adanya kepastian pembiayaan, kepastian bimbingan teknis dan kepastian pemasaran sehingga menimbulkan persepsi petani hutan rakyat terhadap pola kemitraan pada pembangunan hutan rakyat masuk kategori tinggi. Menurut Widiarti (1998), model kemitraan adalah model yang sesuai dalam pengembangan hutan rakyat, karena dengan kemitraan ada perusahaan yang menjamin dalam pemasaran hasil.

Semua biaya dalam pembangunan hutan rakyat sejak dari pembibitan, penanaman dan pemeliharaan sampai dengan pemanenan ditanggung oleh PT. Xylo Indah Pratama selaku perusahaan mitra, baik menggunakan dana perusahaan maupun bantuan kredit usah a hutan rakyat yang dikucurkan oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan. Apabila petani terlibat dalam kegiatan pembangunan hutan rakyat sebagai tenaga kerja walaupun mereka bekerja pada lahan milik sendiri tetap akan memperoleh upah kerja.

Kegiatan pembangunan hutan rakyat dimulai dari kegiatan pembibitan, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan sampai dengan pemanenan. Rangkaian kegiatan yang volume dan variasinya besar tersebut masing-masing memerlukan variasi dan jumlah keahlian serta keterampila n yang tinggi pula.

Sementara itu para petani umumnya memiliki keterbatasan pengetahuan dan ketarampilan teknis dalam pembangunan kegiatan hutan rakyat. Oleh karena itu, maka dalam kegiatan fisik di lapangan pelaksaanaannya dilaksanakan sendiri oleh PT. Xylo Indah Pratama. Dalam pembangunan hutan rakyat di lahan milik petani, apabila petani hutan rakyat terlibat sebagi tenaga kerja maka mereka akan selalu mendapat pengawasan dan pembinaan teknis dari perusahaan mitra tersebut.

Keberhasilan pembangunan hutan rakyat tidak hanya diukur oleh tingkat keberhasilan pembangunan tanamannya, tetapi juga diukur oleh adanya kepastian pasar bagi kayu hasil hutan rakyat, sehingga dari hutan rakyat dapat memberikan kontribusi pendapatan bagi petani pemilik lahan. Adany a perusahaan mitra, PT. Xylo Indah Pratama, yang memerlukan bahan baku kayu untuk memenuhi kebutuhan industri slat pensil merupakan jaminan kepastian pemasaran, karena kayu hasil hutan rakyat yang diusahakan akan langsung dibeli oleh perusahaan mitra dengan harga sesuai dengan harga pasaran. Hal ini merupakan daya tarik ekonomi karena tanaman hutan rakyat yang diusahakan tersebut dijamin akan mampu memberikan kontribusi tambahan pendapatan bagi petani.

6.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Masyarakat

Persepsi masyarakat terhadap kegiatan pembangunan hutan rakyat dengan pola kemitraan merupakan fungsi dari berbagai variabel yang mempengaruhi secara bersama-sama menimbulkan persepsi. Untuk melihat pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel tak bebas (persepsi masyarakat terhadap kegiatan pembangunan hutan rakyat pola kemitraan) dilakukan dengan menggunakan analisis regresi berganda.

Variabel yang dianalisis mencakup faktor-faktor persepsi yang dianggap bisa mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap pemb angunan hutan rakyat pola kemitraan. Variabel tersebut adalah X1.1 (Umur), X1.2 (Pendidikan), X1.3 (Penyuluhan), X1.4 (Pengalaman), X1.5 (Ekonomi) dan X1.6 (Pemahaman Program).

Pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel tak bebas (persepsi masyarakat terhadap kegiatan pembangunan hutan rakyat pola kemitraan) secara bersama-sama dapat dilihat pada Tabel 13 berikut :

Tabel 13. Analisa Ragam Faktor-Faktor Persepsi Keragaman Derajat Bebas Jumlah

Kuadrat Jumlah Kuadrat Rata-Rata F Hitung Regresi 4 2832,217 708,054 47,407 Residual 144 2150,723 14,936 Total 148 4982,940

Dari uji analisa ragam pada Tabel 13 di atas diperoleh nilai F hitung 47,407 dengan tingkat signifikansi 0,000. Oleh karena probabilitas 0,00 lebih kecil dari 0,05 (taraf nyata uji 5 %), maka faktor-faktor persepsi secara bersama-sama berpengaruh terhadap persepsi.

Dengan nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh sebesar 0,568 hal ini berarti model regresi yang diperoleh dapat menjelaskan keragaman data yang diteliti sebanyak 56,8 %. Sedangkan sisanya sebanyak 43,2 % diterangkan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam model ini.

Seberapa besar pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas (persepsi) dilakukan analisis lanjutan dengan tahapan memasukkan semua variabel bebas, kemudian dilakukan analisis dan variabel yang tidak layak masuk dalam regresi dikeluarkan satu persatu. Berdasarkan hasil uji statistik memberi petunjuk bahwa tidak semua variabel bebas menunjukkan peran yang nyata sebagai penduga variabel tak bebas . Variabel X1.4 (Pengalaman), dan X1.5 (Ekonomi) dinyatakan sebagai variabel yang tidak mempunyai peranan nyata dalam mempengaruhi persepsi responden. Sebaliknya variabel X1.1 (Umur), X1.2 (Pendidikan), X1.3 (Penyuluhan), dan X1.6 (Pemahaman Program) dinyatakan sebagai variabel yang berperan dalam mempengaruhi persepsi responden.

Dari variabel-variabel yang mempengaruhi persepsi responden tersebut didapat persamaan regresi sebagai berikut :

Dimana :

Y

1

= Persepsi Petani

X

1.1 = Umur

X

1.2 = Pendidikan

X

1.3 = Penyuluhan

X

1.6 = Pemahaman Program

Dari analisis di atas besarnya pengaruh faktor-faktor persepsi sebagai variabel bebas terhadap persepsi masyarakat terhadap pembangunan hutan rakyat pola kemitraan sebagai variabel tak bebas dapat dijelaskan sebagai berikut :

Pengaruh Umur (X1.1) terhadap Tingkat Persepsi

Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa umur petani hutan rakyat berpengaruh nyata terhadap tingkat persepsi. Umur yang semakin tua tingkat persepsinya semakin rendah, sedangkan persepsi tinggi dijumpai pada petani yang masih muda.

Umur merupakan karakteristik individu yang menggambarkan pengalaman dalam diri individu tersebut, semakin tua seorang petani, semakin sulit menerima suatu perubahan atau dengan kata lain sudah puas dengan kondisi yang dicapai. Pola kemitraan merupakan hal baru bagi petani hutan rakyat, sehingga walaupun sejak tahap awal pembangunan hutan rakyat yaitu sejak tahap sosialisasi responden mendapat penjelasan tentang pola kemitraan, tetapi karena faktor umur mengakibatkan responden sebagai kepala keluarga berusia lanjut kurang memahami kegiatan pembangunan hutan rakyat. Hal ini sejalan dengan pendapat Soekartawi (1988) yang menyatakan bahwa petani yang lebih muda umumnya lebih terbuka dan responsible pada inovasi.

Dalam perjanjian kerjasama, yang menandatangani perjanjiannya adalah responden sebagai kepala keluarga tetapi karena faktor umur yang tua responden tidak melib atkan diri secara langsung dalam kegiatan hutan rakyat pola kemitraan tersebut. Semua kegiatan pembangunan hutan rakyat ini diwakilkan kepada anak -anaknya atau anggota keluarga lainnya.

Kondisi tersebut di atas menyebabkan adanya kecenderungan semakin tua umur petani, persepsi terhadap pembangunan hutan rakyat pola kemitraan

semakin rendah. Sebaliknya persepsi yang tinggi cenderung diberikan oleh petani yang masih muda.

Pengaruh Pendidikan (

X

1.2 ) terhadap Tingkat Persepsi

Tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti kepala keluarga yang menjadi responden dalam penelitian adalah 32,21 % responden tidak sekolah dan tidak tamat sekolah dasar, 58,39 % dari jumlah responden berpendidikan tamat SD dan tamat SMP, dan selebihnya (9,4 %) berpendidikan SMU ke at as.

Dari hasil uji statistik diketahui bahwa tingkat pendidikan formal petani hutan rakyat berpengaruh nyata terhadap tingkat persepsi. Semakin tinggi tingkat pendidikan terdapat kecenderungan semakin meningkatnya persepsi.

Terbatasnya pendidikan yang pernah dicapai mengakibatkan kemampuan dan wawasan berpikir petani hutan rakyat relatif terbatas. Petani berpendidikan rendah, tidak sekolah atau tidak tamat SD, cenderung sulit menerima pola kemitraan yang merupakan gagasan baru dalam program pembangunan hutan rakyat. Sebaliknya petani yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi, tamat SMP atau tamat SMU mempunyai wawasan dan pengetahuannya lebih tinggi. Dengan semakin luasnya wawasan dan pengetahuan petani mengakibatkan relatif lebih cepat melihat adanya kesempatan atau peluang dalam peningkatan ekonomi. Adanya gagasan baru yaitu adanya pola kemitraan dalam pembangunan hutan rakyat yang memberikan kesempatan dalam peningkatan ekonomi akan lebih cepat diterima oleh orang yang mempunyai pendidikan lebih tin ggi, karena persepsi terhadap gagasan baru yaitu pola kemitraan dalam pembangunan hutan rakyat lebih tinggi.

Demikian pula dalam hal yang berkaitan dengan manfaat hutan rakyat, khususnya manfaat tidak langsung, yaitu manfaat yang berkaitan dengan perbaikan lingkungan. Petani yang tidak sekolah atau tidak tamat SD, cenderung sulit menghubungkan antara keberadaan hutan rakyat dengan dampak lingkungan Sebaliknya petani yang mempunyai pendidikan tamat SMP atau tamat SMU relatif lebih memahami dampak dari pembangunan hutan rakyat bagi lingkungan yang antara lain memperbaiki sifat fisik tanah, mengurangi aliran permukaan dan memperbaiki iklim mikro. Hal ini sejalan dengan penelitian Abdussamad (1993)

bahwa ada hubungan nyata antara pendidikan dan persepsi, karena pendidikan yang lebih tinggi mempunyai kemapuan yang lebih tinggi di dalam menerima dan menyaring informasi yang diterimanya.

Berkaitan dengan tingginya persepsi dengan tingkat pendidikan, sebagai implikasi untuk meningkatkan persepsi maka tingkat pendidikan harus ditingkatkan, tetapi karena tidak memungkinkan lagi untuk mengikuti pendidikan formal, maka kursus atau pelatihan petani yang relevan perlu diberikan. Dari hasil penelitian sebagian responden belum pernah mengikuti pelatihan hutan rakyat.

Pengaruh Penyuluhan (

X

1.3 ) terhadap Tingkat Persepsi

Penyuluhan adalah kegiatan pembinaan dan penyampaian informasi yang bertujuan mengubah pengetahuan, sikap dan pandangan masyarakat. Indikator

Dokumen terkait