• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Hasil Penelitian

Kultur embrio kelapa kopyor (Cocos nucifera L.) dilakukan melalui beberapa tahapan media yaitu tahap perkecambahan embrio dan tahap pertumbuhan planlet. Untuk melalui kedua tahapan tersebut, kultur embrio kelapa kopyor dikulturkan selama 6 bulan.

Embrio kelapa kopyor yang ditanam pada media dalam berbagai kombinasi zat pengatur tumbuh dan bahan aditif air kelapa menunjukkan respon yang berbeda-beda. Respon embrio kelapa kopyor tampak dari tahapan pengkulturan yang berhasil dilaluinya dan waktu yang diperlukan untuk tumbuh. Hal tersebut merupakan indikator dari efektif atau tidaknya kombinasi zat pengatur tumbuh dan bahan aditif air kelapa dalam meningkatkan pertumbuhan embrio kelapa kopyor.

1. Per tumbuhan Embr io pada Tahap Perk ecambaha n

Ada berbagai bentuk respon embrio setelah embrio dikulturkan pada media dengan penambahan kombinasi zat pengatur tumbuh dan bahan aditif air kelapa, yaitu (1) embrio segera membesar dan berkecambah (Gambar 1.a), (2) embrio membesar tetapi tidak menunjukkan kemajuan pertumbuhan kearah perkecambahan, kemungkinan embrio masih dapat berkecambah jika dilakukan subkultur ke media baru (Gambar 1.b). Respon (3) embrio tidak menunjukkan pertumbuhan apapun, kemungkinan embrio tidak viabel atau mati (Gambar 1.c).

Gambar 1. Respon Berbagai Embrio Kelapa Kopyor pada Media Kultur Tahap Perkecambahan (a.) Embrio yang Berkecambah Tumbuh Bakal Tunas dan Akar, (b.) Embrio yang Hanya Membesar tetapi Tidak Menunjukkan Kemajuan Pertumbuhan Kearah Perkecambahan, (c.) Embrio Tidak Viabel

Embrio yang diinokulasi dalam berbagai perlakuan kombinasi ZPT dan bahan aditif air kelapa mengalami pertumbuhan. Awalnya embrio mengalami pembesaran sel dan diikuti dengan bertambahnya panjang serta pada akhirnya embrio berkecambah. Perkecambahan ditandai dengan munculnya tonjolan pada bagian proksimal embrio yaitu bakal akar primer dan bakal primodium daun.

Selama tahap perkecambahan, kultur diletakkan pada ruang gelap selama 4 – 6 minggu. Ruang gelap pada awal pengkulturan berfungsi menghambat browning pada media maupun eksplan. Rata-rata embrio kelapa kopyor selama tahap perkecambahan tidak mengalami browning. Pada tahap perkecambahan, embrio kelapa kopyor diinokulasi pada 2 set percobaan.

a. Per cobaan I. Per anan BAP + IAA dan Air Kelapa pada Per tumbuhan Embr io Kelapa Kopyor Fase Per kecambahan

Keberhasilan fase perkecambahan adalah terjadinya pertumbuhan embrio yang ditandai dengan bertambahnya panjang setelah diinokulasi. Rata-rata panjang embrio dalam berbagai perlakuan ZPT dan bahan aditif air kelapa pada umur 14 HSI, 28 HSI dan 42 HSI secara detail disajikan pada Tabel 3.

c b

a tunas

Tabel 3. Rata-rata Panjang Embrio pada Berbagai Media Perlakuan Umur 14 HSI, 28 HSI, dan 42 HSI pada Tahap Perkecambahan

Perlakuan

Rata-rata Panjang Embrio (cm) Pada Umur

14 HSI 28 HSI 42 HSI

Kontrol 0.375 0.775 0.958

Air Kelapa 150 ml/l 0.369 0.792 1.050

BAP 2,5 mg/l 0.408 0.950 1.175

BAP 2,5 mg/l + Air Kelapa 150 ml/l 0.333 0.709 1.055

BAP 2,5 mg/l + IAA 2 mg/l + Air Kelapa 150 ml/l 0.358 0.833 1.067

BNT 5 % tn tn tn

Keterangan : tn = tidak nyata

Hasil analisis statistik diatas menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p = 0.05) terhadap rata-rata panjang embrio dalam berbagai media perlakuan selama tahap perkecambahan. Pola pertumbuhan embrio menunjukkan pola linear dimana laju pertumbuhan terus meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Meskipun secara statistik tidak berbeda nyata, embrio yang dikulturkan pada media dengan perlakuan BAP 2,5 mg/l menghasilkan rata-rata panjang embrio cenderung lebih panjang dibandingkan dengan perlakuan lainnya pada umur 14 HSI sampai 42 HSI (Gambar 2).

Gambar 2. Grafik Pola Pertumbuhan Panjang Embrio Kelapa Kopyor pada Umur 14 HSI sampai 42 HSI

Setelah embrio mengalami pertumbuhan panjang dengan ukuran tertentu, pada akhirnya embrio berkecambah. Embrio yang dikulturkan pada berbagai perlakuan ZPT dan bahan aditif air kelapa menunjukkan tanggapan berkecambah yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat pada persentase perkecambahan munculnya bakal tunas + akar dan bakal tunas yang telah dicapai (Tabel 4). Tabel 4. Rata-rata Persentase Embrio Kelapa Kopyor yang Berkecambah

Membentuk Bakal Tunas dan Akar (Planlet Lengkap) dan Bakal Tunas pada Media yang Mengandung Berbagai Perlakuan

Macam Perlakuan % Perkecambahan Muncul Total (%) Tunas dan Tunas Akar Kontrol 66.67 8.33 75.00 Air Kelapa 150 ml/l 16.67 41.67 58.34 BAP 2,5 mg/l 41.67 33.33 75.00

BAP 2,5 mg/l + Air kelapa 150 ml/l 8.33 66.77 75.00

BAP 2,5 mg/l + IAA 2mg/l + Air kelapa 150 ml/l 33.33 41.67 75.00

Tabel 4 diatas merupakan hasil rata-rata persentase embrio kelapa kopyor yang berhasil berkecambah dengan persentase 50% - 75% pada berbagai perlakuan ZPT dan bahan aditif air kelapa. Embrio yang dikulturkan pada perlakuan kontrol memberikan rata-rata persentase perkecambahan yang sama dengan perlakuan kombinasi ZPT dan bahan aditif air kelapa yaitu 75%. Sementara itu, pada perlakuan air kelapa 150 ml/l memberikan rata-rata persentase perkecambahan lebih rendah yaitu 58,34%.

Pada tahap perkecambahan, embrio kelapa kopyor pada berbagai media perlakuan berkecambah dengan sempurna yaitu membentuk tunas dan akar (Gambar 3.c, 3.d, 3.e). Namun, tidak semua embrio yang ditanam pada berbagai

media perlakuan dapat tumbuh sempurna, sebagian embrio hanya tumbuh membentuk tunas atau akar terlebih dahulu (Gambar 3.a dan 3.b).

Gambar 3. Pertumbuhan Embrio Kelapa Kopyor dalam Media Perlakuan (a.) Kontrol, (b.) Air Kelapa 150 ml/l, (c.) BAP 2,5 mg/l, (d.) BAP 2,5 mg/l + Air Kelapa 150 ml/l, (e.) BAP 2,5 mg/l + IAA 2 mg/l + Air Kelapa 150 ml/l pada Tahap Perkecambahan

b. Per cobaan II. Per anan BAP + 2,4-D dan Air Kelapa pada Per tumbuhan Embr io Kelapa Kopyor Fase Per kecambahan

Keberhasilan fase perkecambahan adalah terjadinya pertumbuhan embrio yang ditandai dengan bertambahnya panjang setelah diinokulasi. Rata-rata panjang embrio dalam berbagai perlakuan ZPT dan bahan aditif air kelapa pada umur 14 HSI, 28 HSI dan 42 HSI secara detail disajikan pada Tabel 5.

a b d e c tunas akar akar tunas tunas akar akar tunas

Tabel 5. Rata-rata Panjang Embrio pada Berbagai Media Perlakuan Umur 14 HSI, 28 HSI, dan 42 HSI pada Tahap Perkecambahan

Perlakuan

Rata-rata Panjang Embrio (cm) Pada Umur

14 HSI 28 HSI 42 HSI

Air Kelapa 150 ml/l 0.277 a 0.708 0.950

BAP 5 mg/l 0.283 a 0.782 1.055

2,4-D 2,5 mg/l 0.383 bc 0.717 0.967

BAP 5 mg/l + 2,4-D 2,5 mg/l 0.417 c 0.808 1.050

BAP 5 mg/l + 2,4-D 2,5 mg/l + Air Kelapa 150 ml/l 0.317 ab 0.800 1.136

BNT 5 % 0.075 tn tn

Keterangan : Angka didampingi dengan huruf berbeda sangat nyata pada uji BNT 5 %, tn = tidak nyata

Hasil analisis statistik diatas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (p = 0.01) terhadap rata-rata panjang embrio dalam berbagai perlakuan dengan hasil lebih baik yaitu BAP 5 mg/l + 2,4-D 2,5 mg/l pada umur 14 HSI. Meskipun hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata, namun pola pertumbuhan menunjukkan laju yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Embrio yang dikulturkan pada perlakuan BAP 5 mg/l + 2,4-D 2,5 mg/l + Air Kelapa 150 ml/l cenderung mengalami peningkatan panjang dibandingkan dengan perlakuan yang lain pada umur 42 HSI (Gambar 4).

Setelah embrio mengalami pertumbuhan dengan bertambahnya panjang dengan ukuran tertentu, pada akhirnya embrio berkecambah. Masing-masing embrio dalam perlakuan berbagai macam ZPT dan bahan aditif air kelapa menunjukkan tanggapan berkecambah yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat pada persentase perkecambahan munculnya bakal tunas + akar dan bakal tunas yang telah dicapai (Tabel 6).

Tabel 6. Rata-rata Persentase Embrio Kelapa Kopyor yang Berkecambah Menjadi Bakal Tunas dan Akar (Planlet Lengkap) dan Bakal Tunas pada Media yang Mengandung Berbagai Perlakuan

Macam Perlakuan % Perkecambahan Muncul Total (%) Tunas & Tunas Akar Air Kelapa 150 ml/l 41.67 33.33 75.00 BAP 5 mg/l 25.00 33.33 58.33 2,4-D 2,5 mg/l 8.33 66.77 75.10 BAP 5 mg/l + 2,4-D 2,5 mg/l 33.33 25.00 58.33

BAP 5 mg/l + 2,4-D 2,5 mg/l + Air kelapa 150 ml/l 41.67 50.00 91.67

Tabel 6 diatas merupakan hasil rata-rata persentase embrio yang berhasil berkecambah pada berbagai perlakuan ZPT dan bahan aditif air kelapa. Efektifitas pemberian berbagai perlakuan ZPT dan bahan aditif air kelapa dapat meningkatkan persentase perkecambahan yaitu antara 50% - 90%. Perlakuan BAP 5 mg/l + 2,4-D 2,5 mg/l + Air Kelapa 150 ml/l memberikan rata-rata persentase perkecambahan yang paling tinggi yaitu sebesar 91,67%. Sementara itu, pada media perlakuan mengandung air kelapa 150 ml/l dan 2,4-D 2,5 mg/l atau BAP 5 mg/l dan BAP 5 mg/l + 2,4-D 2,5 mg/l persentase perkecambahan rata-rata 50% - 75%.

Pada tahap perkecambahan, embrio kelapa kopyor berkecambah dengan sempurna yaitu membentuk tunas dan akar pada berbagai media perlakuan (Gambar 5). Namun, tidak semua embrio yang dikulturkan pada berbagai perlakuan dapat tumbuh sempurna yaitu tumbuh membentuk tunas atau akar terlebih dahulu.

Gambar 5. Pertumbuhan Embrio Kelapa Kopyor dalam Media Perlakuan (a.) Air Kelapa 150 ml/l, (b.) BAP 5 mg/l, (c.) 2,4-D 2,5 mg/l, (d.) BAP 5 mg/l+2,4-D 2,5 mg/l, (e.) BAP 5 mg/l+2,4-D 2,5 mg/l+Air Kelapa 150 ml/l pada Tahap Perkecambahan

2. Per tumbuhan Embr io pada Tahap Per tumbuhan Planlet

Setelah melewati tahap perkecambahan, embrio dipindah ke media baru dengan komposisi media perlakuan yang sama dengan tahap sebelumnya. Pada tahap pembentukan planlet, embrio mengalami pertumbuhan dimana tonjolan yang terbentuk pada tahap perkecambahan akan berkembang dan tumbuh membentuk tunas dan akar. Pada tahap ini, embrio berkecambah dibelah untuk

a b c d e tunas akar tunas tunas tunas tunas akar akar

memperoleh planlet dua lebih banyak dan ada yang dibiarkan utuh. Guna melihat pengaruh berbagai macam media perlakuan pada 2 set percobaan terhadap pertumbuhan embrio fase pertumbuhan planlet akan disajikan sebagai berikut. a. Per cobaan I. Per anan BAP + IAA dan Air Kelapa pada Per tumbuhan

Planlet Kelapa Kopyor Asal Embr io Utuh

Keberhasilan pembentukan tunas kelapa kopyor dapat diketahui dengan mengukur panjang planlet, jumlah daun dan lebar daun. Namun, sampai tahap pertumbuhan planlet, tunas mengalami pertumbuhan yang lambat sehingga pengukuran jumlah daun dan lebar daun tidak dapat disajikan. Hasil analisis ragam pada parameter panjang tunas pada umur 23 sampai 31 MSI menunjukkan terdapat perbedaan nyata (disajikan pada tabel lampiran 24 - 33). Pada umur 23 MSI sampai 31 MSI terjadi perbedaan nyata dengan hasil lebih baik pada perlakuan kontrol. Sementara itu, analisis ragam pada umur 13 MSI sampai 21 MSI menunjukkan tidak berbeda nyata (disajikan pada tabel lampiran 14 - 23). Pengaruh perlakuan terhadap rata-rata panjang tunas dengan interval pengamatan setiap 2 minggu sekali, secara detail disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8.

Tabel 7. Rata-rata Panjang Tunas pada Berbagai Media Perlakuan Umur 13 - 21 MSI (Minggu Setelah Inokulasi)

Perlakuan

Rata-rata Panjang Tunas (cm) Pada Umur

13 MSI 15 MSI 17 MSI 19 MSI 21 MSI

Kontrol 0.613 0.640 0.707 0.720 0.733

Air Kelapa 150 ml/l 0.520 0.580 0.607 0.607 0.636

BAP 2,5 mg/l 0.580 0.646 0.715 0.738 0.738

BAP 2,5 mg/l + Air Kelapa 150 ml/l 0.507 0.503 0.587 0.620 0.620

BAP 2,5 mg/l + IAA 2 mg/l + 0.621 0.708 0.708 0.731 0.754

Air Kelapa 150 ml/l

BNT 5% tn tn tn tn tn

Tabel 8. Rata-rata Panjang Tunas pada Berbagai Media Perlakuan umur 23 – 31 MSI (Minggu Setelah Inokulasi)

Perlakuan

Rata-rata Panjang Tunas (cm) Pada Umur

23 MSI 25 MSI 27 MSI 29 MSI 31 MSI

Kontrol 0.946 b 0.975 b 0.975 b 1.033 b 1.050 b

Air Kelapa 150 ml/l 0.617 a 0.609 a 0.645 a 0.609 a 0.710 a

BAP 2,5 mg/l 0.869 a 0.969 ab 0.969 ab 0.992 ab 0.992 ab

BAP 2,5 mg/l + Air Kelapa 150 ml/l 0.607 a 0.615 a 0.615 a 0.669 a 0.677 a

BAP 2,5 mg/l + IAA 2 mg/l + 0.782 a 0.809 a 0.809 a 0.845 a 0.855 a

Air Kelapa 150 ml/l

BNT 5% 0.33 0.32 0.31 0.36 0.36

Keterangan : Angka-angka yang didampingi huruf yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji BNT 5%

Gambar 6 menunjukkan bahwa perlakuan kontrol berpengaruh nyata (p = 0.05) terhadap pertumbuhan panjang tunas. Sampai akhir pengamatan, perlakuan kontrol memberikan panjang tunas terpanjang yaitu 1,050 cm, diikuti oleh perlakuan BAP 2,5 mg/l yaitu 0.992 cm. Perlakuan BAP 2,5 mg/l + Air Kelapa 150 ml/l menghasilkan panjan tunas terendah yaitu hanya 0.677 cm.

Gambar 6. Grafik Pengaruh Peranan BAP + IAA dan Bahan Aditif Air Kelapa terhadap Pola Pertumbuhan Panjang Tunas Planlet Kelapa Kopyor

Gambar 7. Pertumbuhan Asal Embrio Utuh dalam Media Perlakuan (a.) Kontrol, (b.) Air Kelapa 150 ml/l, (c.) BAP 2,5 mg/l, (d.) BAP 2,5 mg/l + Air Kelapa 150 ml/l, (e.) BAP 2,5 mg/l + IAA 2 mg/l + Air Kelapa 150 ml/l pada Tahap Pembentukan Planlet

Gambar 6 memperlihatkan pertumbuhan planlet kelapa kopyor pada perlakuan kontrol dan BAP 2,5 mg/l planlet membentuk tunas dan akar dengan sempurna (Gambar 7.a dan 7.c). Sementara itu, pertumbuhan planlet pada perlakuan BAP 2,5 mg/l + IAA 2 mg/l + Air Kelapa 150 ml/l memperlihatkan pertumbuhan tunas yang baik tetapi tidak pada pertumbuhan akar yang cenderung lebih pendek jika dibandingkan dengan pertumbuhan akar pada media perlakuan kontrol dan BAP 2,5 mg/l (Gambar 7.e). Pada perlakuan Air Kelapa 150 m/l dan BAP 2,5 mg/l + Air Kelapa 150 ml/l embrio cenderung hanya membentuk tunas saja sedangkan pembentukan akar pada dua media perlakuan tersebut, masih berupa tonjolan (Gambar 7.b dan 7.d).

a b c d Akar Tunas e Tunas Tunas Tunas Akar Akar Tunas Akar Akar

b. Per cobaan II. Per anan BAP + 2,4-D dan Air Kelapa pada Per tumbuhan Planlet Kelapa Kopyor Asal Embr io Ber kecambah yang Dibelah

Keberhasilan pertumbuhan planlet kelapa kopyor dapat diketahui dengan mengukur persentase keluar tunas, persentase keluar akar dan persentase keluar tunas dan akar yang secara detail disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Rata-rata Persentase Embrio dibelah yang Tumbuh Menjadi Tunas dan Akar (Planlet Lengkap) atau Tunas atau Akar saja pada Berbagai Media Perlakuan Perlakuan % Muncul Total (%) Tunas dan Tunas Akar Akar Air Kelapa 150 ml/l 9.38 56.25 0.00 65.63 BAP 5 mg/l 3.13 46.88 3.13 53.14 2,4-D 2,5 mg/l 3.13 37.50 0.00 40.63 BAP 5 mg/l + 2,4-D 2,5 mg/l 18.75 37.50 0.00 56.25

BAP 5 mg/l + 2,4-D 2,5 mg/l + Air Kelapa 150 ml/l 15.63 40.63 0.00 56.26

Berdasarkan Tabel 9 diatas, teknik pembelahan embrio pada tahap pembentukan planlet, ternyata masing-masing belahan embrio masih dapat tumbuh membentuk tunas dan akar atau hanya membentuk salah satu dari keduanya walaupun dengan persentase rata-rata masih dibawah 100 %. Persentase terendah terlihat pada perlakuan mengandung 2,4-D 2,5 mg/l dengan keberhasilan tumbuh hanya 40,63% yang terdiri dari 37,50% tumbuh tunas dan sisanya 3,13% tumbuh tunas dan akar. Sementara itu, persentase tertinggi terlihat pada perlakuan mengandung air kelapa 150 ml/l yang berhasil tumbuh mencapai 65,63% yang terdiri dari 56,25% tumbuh tunas dan sisanya 9,38% tumbuh tunas dan akar.

Gambar 8. Proses Renegerasi Kelapa Kopyor dari Embrio yang Dibelah Sampai Menjadi Planlet Sempurna (a.) Embrio yang Dibelah Mulai Tumbuh, (b.) Embrio yang Dibelah Mulai Menampakkan Warna Hijau Pupus, (c.) Embrio yang Dibelah Membentuk Daun Baru, (d.) Muncul Calon Daun Berikutnya dan Warna Semakin Hijau Daun, (e.) Daun Baru Mengalami Pertumbuhan Panjang, (f.) Embrio Dibelah Menjadi Planlet Sempurna

Pada tahap pertumbuhan planlet, embrio yang berkecambah kemudian dibelah secara longitudinal sehingga diperoleh 2 belahan eksplan yang berasal dari 1 eksplan. Namun, teknik pembelahan tersebut tidak seluruhnya berkembang dan tumbuh dengan sempurna membentuk tunas dan akar. Proses regenerasi planlet kelapa kopyor dari pembelahan tahap demi tahap adalah muncul tunas dan akar tidak berklorofil (Gambar 8.a), tunas mulai berklorofil (Gambar 8.b) sekitar 6 minggu setelah dipindah ke tempat yang diberi pencahayaan lampu. Planlet mulai membentuk daun baru setelah 3 bulan (Gambar 8.d) dan menjadi planlet yang sempurna. a b c d e f Tunas Daun Calon Daun Daun Tunas

3. Per tumbuhan Embr io dan Planlet yang Br owning dan Abnor mal Rendahnya persentase embrio berkecambah yang dibelah tidak mampu membentuk palnlet selama tahap pertumbuhan planlet, diduga disebabkan oleh planlet mengalami browning, stagnasi dan mati. Guna melihat lebih detail persentase planlet yang mengalami browning, stagnasi dan mati disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Persentase Planlet Kelapa Kopyor yang Mengalami Browning, Stagnasi, dan Planlet Mati Fase Pertumbuhan Planlet di Berbagai Media Perlakuan

Perlakuan

Persentase (%)

Total (%)

Browning Stagnasi Mati

Air Kelapa 150 ml/l 15.63 9.38 9.38 34.39

BAP 5 mg/l 9.38 15.63 21.88 46.89

2,4-D 2,5 mg/l 21.88 28.13 9.38 59.39

BAP 5 mg/l + 2,4-D 2,5 mg/l 6.25 25.00 15.63 46.88

BAP 5 mg/l + 2,4-D 2,5 mg/l + Air Kelapa 150 ml/l 18.75 18.75 6.25 43.75

Tabel 10 menunjukkan bahwa pada media perlakuan 2,4-D 2,5 mg/l, planlet mengalami browning dengan tingkat persentase paling tinggi 21,88%. Sementara itu, pada media perlakuan 2,4-D 2,5 mg/l, planlet juga mengalami stagnasi dengan tingkat persentase paling tinggi 28,13%.

Browning terjadi akibat oksidasi senyawa-senyawa polyphenol yang ada di dalam eksplan (Gambar 9.a). Senyawa ini kemudian menyebar ke dalam media menyebabkan pertumbuhan eksplan terhambat dan mengalami stagnasi (Gambar 9.b). Selain terdapat planlet yang browning dan stagnasi, juga terdapat embrio yang mengalami pertumbuhan abnormal. Embrio ini mengalami pembesaran pada bagian haustoriumnya dan tidak membentuk tunas. Dengan berjalannya waktu,

haustorium tersebut terus membesar dan pada akhirnya planlet mampu membentuk akar saja (Gambar 9.c).

Gambar 9. Berbagai Kondisi (a.) Planlet Mengalami Stagnasi pada Embrio Utuh dan Dibelah, (b.) Planlet Browning pada Embrio Utuh dan Dibelah, (c.) Planlet Abnormal pada Embrio Utuh dan Dibelah Selama Tahap Pertumbuhan Planlet a b c Akar Akar

B. Pembahasan

1. Per tumbuhan Embr io pada Tahap Per kecambahan

Pertumbuhan embrio pada tahap perkecambahan mula-mula ditandai dengan bertambahnya panjang dan akhirnya berkecambah dengan sempurna yaitu membentuk tunas dan akar. Proses perkecambahan embrio kelapa kopyor diawali dengan imbibisi yaitu penyerapan air oleh embrio (haustorium) lalu terjadi peningkatan laju respirasi dan aktifnya enzim-enzim untuk merombak makanan menjadi bentuk yang cepat larut dan ditranslokasikan ke titik-titik tumbuh. Selanjutnya terjadi asimilasi dari bahan-bahan yang telah diuraikan pada daerah meristematik untuk menghasilkan energi baru bagi kegiatan pembentukan sel-sel baru pada titik tumbuh sehingga terbentuk plumula yang merupakan bakal batang dan daun serta radikula yaitu bakal akar. Kedua bagian ini akan bertambah besar sehingga akhirnya embrio berkecambah (Sutopo, 1998).

Hasil penelitian dengan 2 set percobaan perlakuan ZPT dan bahan aditif air kelapa pada tahap perkecambahan menunjukkan bahwa BAP 5 mg/l + 2,4-D 2,5 mg/l merupakan perlakuan yang terbaik untuk pertumbuhan panjang embrio (Tabel 4). Hal disebabkan karena BAP berperan merangsang pertumbuhan sel dalam jaringan dan untuk induksi tunas serta multiplikasi tunas pada berbagai tanaman sedangkan 2,4-D berperan merangsang pembelahan dan pembesaran sel yang terdapat pada pucuk tanaman dan menyebabkan pertumbuhan pucuk-pucuk baru (Wetherell, 1982). Peranan sitokinin sering dipengaruhi oleh keberadaan auksin. Peran keduanya sangat penting dalam pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, kombinasi keduanya, 2,4-D dan BAP, sering ditambahkan pada media kultur

jaringan untuk merangsang pembelahan sel dan pemanjangan sel (Fauzi, 2010). Namun, hasil analisis statistik menujukkan tidak terdapat perbedaan nyata terhadap panjang embrio pada umur 28 dan 42 HSI. Diduga pada umur 28 dan 42 HSI, penambahan ZPT dan bahan aditif air kelapa berperan mendorong perkecambahan. Wattimena (1988) mengemukakan sitokinin mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi akar serta mendorong perkecambahan.

Sementara itu, BAP 5 mg/l + 2,4-D 2,5 mg/l + Air Kelapa 150 ml/l merupakan perlakuan yang terbaik untuk persentase perkecambahan. Hal ini didukung oleh peran sitokinin dan auksin dalam pertumbuhan tanaman yaitu merangsang pertumbuhan sel-sel baru menjadi tunas dan akar. Adanya bahan aditif air kelapa yang dikombinasikan dengan ZPT juga mampu meningkatkan persentase perkecambahan. Nazir, dkk (1990) mengemukakan bahwa air kelapa dalam media kultur in vitro mempunyai kandungan sitokinin yang berperan untuk menginduksi tunas sedangkan karbohidrat berperan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan jaringan dan sebagai bahan pembentuk sel-sel baru.

2. Per tumbuhan Embr io pada Tahap Per tumbuhan Planlet

Tahap Pertumbuhan merupakan tahap lanjutan dari tahap perkecambahan kultur embrio kelapa kopyor. Keberhasilan pertumbuhan embrio kelapa kopyor selanjutnya dipengaruhi oleh tahap sebelumnya yaitu tahap perkecambahan. Fase pertumbuhan embrio meliputi pembentukan tunas.

a. Per cobaan I. Per anan BAP + IAA dan Air Kelapa pada Per tumbuhan Planlet Kelapa Kopyor Asal Embr io Utuh

Fase pembentukan tunas tingkat keberhasilannya dapat dilihat dari rata-rata panjang tunas. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa peranan ZPT dan bahan aditif air kelapa tidak berpengaruh terhadap panjang tunas dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Embrio berkecambah yang ditanam pada media perlakuan kontrol telah mendapatkan apa yang diperlukannya untuk tumbuh sehingga eksplan tersebut dapat tumbuh menjadi plantlet dengan panjang tunas lebih panjang. Dugaan sementara adalah sumber eksplan yaitu embrio kelapa kopyor yang diperoleh terkandung hormon endogen yang kadarnya cukup untuk melanjutkan pertumbuhan pada tahap berikutnya.

Keseragaman ukuran dan cara pengambilan eksplan kemungkinan besar tidak diikuti dengan keseragaman hormon endogen tanaman sehingga penambahan hormon eksogen ke dalam media kultur akan menimbulkan respon yang bervariasi dibandingkan dengan tanpa penambahan hormon ataupun bahan aditif air kelapa. Menurut Santoso dan Nursandi (2004), arah perkembangan kultur ditentukan oleh interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diproduksi oleh sel tanaman secara endogen, sebab di dalam eksplan itu sendiri sebenarnya sudah ada zat pengatur tumbuh endogen, tapi dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara in vitro zat pengatur tumbuh eksogen masih dapat ditambahkan.

Perlakuan yang mengandung ZPT dan bahan aditif kepala tidak berpengaruh nyata terhadap rata-rata panjang tunas dibandingkan dengan perlakuan kontrol, kemungkinan lain penambahan ZPT tersebut dapat menghambat kerja sel untuk

membentuk organ. Menurut Intania (2005) melaporkan bahwa BAP sangat mempengaruhi tunas Alocasia suhirmaniana, tetapi terdapat titik jenuh dalam merespon BAP yaitu pada konsentrasi 2 mg/l (8.88 µM) yang menyebabkan daya multiplikasi menjadi berkurang.

b. Per cobaan II. Per anan BAP + 2,4-D dan Air Kelapa pada

Per tumbuhan Planlet Kelapa Kopyor Asal Embr io Berkecambah yang Dibelah

Pada penelitian ini, embrio yang telah berkecambah membentuk bakal tunas dan akar dijadikan sumber eksplan untuk dibelah secara longitudinal menjadi dua bagian. Kemudian bagian haustorium dipotong dan dibuang. Masing-masing potongan kecambah ini ditanam pada media perlakuan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, teknik pembelahan meristem apikal menghasilkan masing-masing belahan kecambah yang dapat tumbuh dengan baik. Lebih dari 50% eksplan belahan kecambah dapat tumbuh pada media perlakuan mengandung air kelapa 150 ml/l, BAP 5 mg/l, BAP 5 mg/l + 2,4-D 2,5 mg/l dan BAP 5 mg/l + 2,4-D 2,5 mg/l + air kelapa 150 ml/l. Namun, pada perlakuan air kelapa 150 ml/l memberikan hasil lebih baik untuk pertumbuhan planlet asal embrio yang dibelah dengan perolehan persentase sebesar 65,63%. Menurut Staden dan Drews, 1974 dalam Widiastoeti, et al. (1997) air kelapa mengandung zeatin yang diketahui termasuk dalam sitokinin. Sitokinin mempunyai kemampuan untuk mendorong terjadinya pembelahan sel dan diferensiasi sel.

Planlet asal embrio kecambah yang dibelah pada perlakuan BAP 5 mg/l tumbuh hanya membentuk akar sekitar 3,13 %. Hasil penelitian Andaryani (2010) bahwa perlakuan BAP 1 ppm tanpa pemberian 2,4-D telah mampu memunculkan

akar pada tanaman jarak pagar secara in vitro. Pada penelitian tersebut, pembentukan akar hanya terjadi pada kombinasi perlakuan B2D1 (BAP 1 ppm, 2,4-D 0 ppm) umur 9 HST.

Eksplan belahan kecambah yang tumbuh semakin menurun terlihat pada

Dokumen terkait