• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi dan derajat infeksi (TCPGT) sapi PO dan Limousin yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, umur dan ras. Berdasarkan hasil penelitian dari 100 sampel yang berasal dari sampel feses sapi PO dan Limousin yang diambil dari Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan didapatkan sebanyak 27 sampel positif pada sapi PO dan sebanyak 32 sampel positif pada sapi Limousin.

Pada hasil pemeriksaan ditemukan lima jenis telur cacing yang sesuai ciri- ciri berasal dari kelas Nematoda dan satu jenis dari kelas Cestoda. Jenis telur cacing yang berhasil diidentifikasi adalah Oesophagustomum spp., Bunostomum

spp., Mecistocirrus spp., Trichostrongylus spp., dan Trichuris spp., dari kelas

Nematoda, Moniezia benedini dari kelas Cestoda. Telur Oesophagustomum spp.

yang ditemukan berukuran 78,7×43,3 µm dan berbentuk oval. Telur Bunostomum

spp. yang ditemukan berukuran 89,5×48,5 µm, telur Bunostomum spp. berukuran

lebih besar dari telur Oesophagustomum spp. dan tampak tumpul. Telur Mecistocirrus spp. yang ditemukan berukuran 121,1×61,0 µm. Telur Trichostrogylus spp. yang ditemukan berukuran 99,0×46,7 µm dan salah satu

ujungnya lancip. Telur Trichuris spp. yang ditemukan berukuran 72,7×37,0 µm

dan berbentuk seperti buah lemon. Telur Moniezia benedini yang ditemukan

berukuran 63,8×60,0 µm dan berbentuk segiempat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Subekti (2010), yang menyatakan bahwa Telur Oesophagustomum

yang dikeluarkan sudah mengandung 8-16 sel dan berukuran 73-89 x 34-45 µm. Telur Bunostomum spp. mempunyai ukuran telur 79-97 x 47-50 µm. Bentuk bulat

lonjong dengan ujung tumpul dan berisi sel embrio. Telur Mecistocirrus spp.

berukuran 95-120 x 56-60 µm. Telur ini berwarna lebih gelap dari Haemonchus. Telur Trichostrongylus spp. berukuran 79-101 x 39-47 µm, telur berbentuk oval

dan bersegmen pada waktu dikeluarkan bersama feses. Telur Trichuris spp.

berwarna coklat berbentuk seperti tong dengan kedua ujungnya mempunyai sumbat transparan, telur berukuran 70-80 x 30-42 µm. Telur Moniezia benedini

berbentuk segiempat dan mengandung pyriform aparantus serta mempunyai ukuran 56 – 57 µm.

Telur cacing yang paling banyak ditemukan pada pemeriksaan feses sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan berasal dari kelas Nematoda, hal ini bisa disebabkan karena siklus hidup cacing Nematoda pada umumnya cepat, terutama pada suhu yang sesuai dan tidak memerlukan induk semang perantara dalam siklus hidupnya (Subekti dkk., 2007). Infeksi cacing terbesar pada hasil penelitian ini adalah infeksi cacing Oesophagustomum spp.,

hal ini sangat wajar dikarenakan cacing Oesophagustomum spp. banyak terdapat

di negara-negara Asia seperti Indonesia yang beriklim tropis dan prevalensinya akan tinggi pada musim penghujan (Koesdarto dkk., 2007). Hasil tersebut sesuai dengan beberapa penelitian di daerah Jawa Timur yaitu Bojonegoro dan Lamongan yang dilakukan oleh Pertiwi (2012) dan Khozin (2012) bahwa infeksi cacing terbesar pada hasil penelitian adalah infeksi cacing Oesophagustomum

Timur sudah terkontaminasi oleh telur Oesophagustomum spp. Hasil penelitian

Dargantes et al. (1998) juga menunjukkan banyaknya infeksi Oesophagustomum

spp. di Philipina yang merupakan negara tropis. Infeksi dari cacing ini perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan keradangan pada saluran pencernaan yang bisa berakibat fatal pada ternak (Levine, 1990). Parasit cacing yang terdapat dalam saluran pencernaaan akan menghisap zat gizi, menghisap darah atau cairan tubuh dan bahkan memakan jaringan tubuh. Parasit cacing akan menurunkan bobot badan dan menghambat pertumbuhan badan, serta menurunkan daya tahan tubuh ternak terhadap penyakit lain. Sebagian besar Nematoda dapat menyebabkan sumbatan (obstruksi) saluran dalam usus (Imbang, 2003).

Infeksi terbesar selanjutnya dari kelas Nematoda adalah infeksi dari

Bunostomum spp. dan Mecistocirrus spp. yang masing-masing menginfeksi 5

sampel. Cacing Bunostomum spp. menginfeksi usus halus ruminansia, larva

infektif akan masuk dalam tubuh induk semang melalui pakan, minum dan penetrasi melalui kulit serta menyebabkan edema dibawah kulit intermandibula yang disebut dengan bottle jaw (Subekti dkk., 2011). Cacing Mecistocirrus spp.

sering menginfeksi abomasum sapi, kerbau, zebu, lambung babi dan pernah dilaporkan pada manusia di Amerika Tengah (Soulsby, 1986; Roberts, 1990). Menurut Dunn (1978) Mecistocirrus spp. banyak dijumpai di abomasum sapi dan

kerbau di daerah tropis.

Infeksi paling sedikit dari kelas Nematoda adalah infeksi dari

Trichostrongylus spp. dan Trichuris spp. yang masing-masing menginfeksi 3

tropis seperti Indonesia. Infeksi cacing ini berbahaya pada ternak karena larvanya dapat menembus usus halus sehingga menimbulkan reaksi keradangan yang disertai perdarahan dan anemia (Koesdarto dkk., 2007). Adanya infeksi dari cacing Trichuris spp. juga perlu diwaspadai karena infeksi cacing Trichuris spp.

dewasa dapat menimbulkan radang mukosa sekum, nekrosis, haemoragi dan edema mukosa sekum dewasa (Soulsby, 1986). Telur cacing Trichuris spp. juga

merupakan telur yang sangat resisten terhadap kondisi lingkungan dan diperkirakan dapat hidup beberapa tahun (Levine, 1990).

Pada kelas Cestoda, didapatkan infeksi cacing Moniezia benedini

sebanyak empat sampel positif. Infeksi dari Moniezia benedini dapat dikarenakan

ternak memakan rumput yang terdapat mites (tungau) yang mengandung sistiserkoid yang infektif (Koesdarto dkk., 2007), hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan di Kecamatan Tikung cocok untuk perkembangan mites yang merupakan inang antara dari cacing Moniezia benedini.

Kejadian infeksi campuran juga ditemukan pada sapi PO dan Limousin. Pada sapi PO ditemukan telur cacing Oesophagustomum spp. dan Bunostomum

spp. sebanyak satu (2%) sampel positif, Oesophagustomum spp. dan Mecistocirrus spp. sebanyak satu (2%) sampel positif, Oesophagustomum spp.

dan Trichostrogylus spp. sebanyak dua (4%) sampel positif, Oesophagustomum

spp. dan Trichuris spp. sebanyak satu (2%) sampel positif, dan Oesophagustomum

spp. dan Moniezia benedini sebanyak satu (2%) sampel positif. Kejadian infeksi

campuran pada sapi Limousin ditemukan telur cacing Oesophagustomum spp. dan Bunostomum spp. sebanyak satu (2%) sampel positif, Oesophagustomum spp. dan

Mecistocirrus spp. sebanyak satu (2%) sampel positif, Bunostomum spp. dan Mecistocirrus spp. sebanyak satu (2%) sampel positif, Oesophagustomum spp., Trichostrogylus spp., dan Moniezia benedini sebanyak satu (2%) sampel positif, Oesophagustomum spp., Trichuris spp., dan Moniezia benedini sebanyak satu

(2%) sampel positif, dan Oesophagustomum spp., Mecistocirrus spp., Trichuris

spp., dan Moniezia benedini sebanyak satu (2%) sampel positif. Menurut Levine

(1990), infeksi campuran atau tunggal sering terjadi pada sapi, sehingga sulit untuk mengetahui pengaruh khusus yang ditimbulkan. Infeksi yang terjadi biasanya dilakukan oleh bermacam-macam jenis cacing yang terjadi baik pada abomasum, usus dan organ lain, sehingga pengaruhnya berupa kombinasi atau campuran dari parasit yang ada.

Berdasarkan analisis regresi pohon dari hasil pemeriksaan 100 sampel feses, diperoleh 59 sampel positif terinfeksi telur cacing saluran pencernaan dengan angka prevalensi 59%. Angka ini bisa dikatakan tinggi jika dibandingan dengan penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Khozin (2012) di Kabupaten Lamongan yang menunjukkan angka prevalensi sebesar 47%. Pengambilan sampel untuk penelitian ini dilakukan pada bulan Januari yang termasuk pada musim penghujan. Pada musim penghujan, air waduk di Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan sering meluap dan membanjiri wilayah Kecamatan Tikung, sehingga tanah kandang dalam kondisi yang lembab dan becek, oleh karena itu wajar bila ditemukan infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan. Daerah yang lembab merupakan kondisi yang cocok untuk pertumbuhan berbagai jenis cacing,

sehingga sangat memungkinkan berbagai jenis cacing untuk melanjutkan siklus hidupnya (Purwantan dkk., 2006).

Prevalensi cacing saluran pencernaan pada sapi PO dan Limousin berdasarkan umur sapi menunjukkan bahwa sapi yang berumur 0-1 tahun memiliki prevalensi lebih tinggi (87,6%) bila dibandingkan dengan sapi umur 1-2 tahun dan lebih dari dua tahun (47,1%) dan sapi yang berumur 1-2 tahun memiliki prevalensi lebih tinggi (55%) daripada sapi yang berumur lebih dari dua tahun (36,7%). Koesdarto dkk. (2007) mengatakan bahwa umur sapi berpengaruh pada infeksi cacing. Sapi muda terutama yang berumur satu sampai tiga bulan rentan terinfeksi cacing, karena kolostrum dari induk tidak memberikan perlindungan untuk melawan infeksi terhadap cacing tersebut. Levine (1990) juga mengatakan bahwa reaksi daya tahan tubuh terhadap infeksi cacing pada sapi dewasa lebih baik daripada sapi muda. Pedet lebih peka terhadap infeksi daripada hewan dewasa, biasanya sapi dewasa merupakan sumber infeksi bagi yang muda, hal ini mungkin karena adanya kekebalan yang terbentuk pada hewan sebagai infeksi yang dialami pada waktu muda. Hasil penelitian Susanto (2003) dan Setiyono (2007) yang menyatakan bahwa faktor umur berpengaruh nyata terhadap infeksi cacing pada sapi potong.

Sapi yang berumur 0-1 tahun dipengaruhi oleh faktor ras, sapi yang berumur 0-1 tahun pada sapi Limousin memiliki prevalensi cacing lebih tinggi (100%) apabila dibandingkan dengan sapi PO (73,3%), namun faktor ras belum tentu mempengaruhi kejadian infeksi cacing saluran pencernaan apabila dilihat dari sistem manejemen kandang yang berbeda antara sapi PO dan Limousin di

Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan. Manejemen kandang di Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan pada sapi PO lebih baik daripada sapi Limousin. Sapi PO dipelihara dengan sistem peternakan dalam satu kandang dengan tipe kandang yang sudah permanen yaitu dinding tembok terbuka, lantai kandang yang telah diplester, tempat pakan dan minum berbentuk cor bata yang sudah permanen, beratap asbes, dan sanitasi teratur serta terdapat saluran pembuangan feses dan urin. Sedangkan sapi Limousin sebagian besar dipelihara dengan cara tradisional oleh para petani peternak yaitu dinding berasal dari kayu atau bambu, lantai yang sebagian besar masih tanah, tempat pakan dan minum dari kayu atau bambu, dan sanitasi yang belum teratur serta belum terdapat saluran pembuangan feses dan urin. Hal ini sesuai menurut Andrade et al. (2001) bahwa infeksi cacing

dapat dipengaruhi oleh sanitasi dan kondisi lingkungan yang kurang baik.

Berdasarkan analisis regresi pohon faktor jenis kelamin sama sekali tidak berpengaruh terhadap kejadian infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi. Pada tabel 4.1 dan 4.2 diketahui bahwa, sapi PO yang berjenis kelamin betina lebih banyak terinfeksi (21 sampel) daripada yang berjenis kelamin jantan (6 sampel), sedangkan pada sapi Limousin yang berjenis kelamin jantan lebih banyak terinfeksi (25 sampel) daripada sapi yang berjenis kelamin betina (7 sampel). Sampai sejauh ini masih belum bisa dipastikan pengaruh jenis kelamin terhadap infeksi cacing. Infeksi cacing saluran pencernaan lebih tinggi pada host betina dibandingkan jantan dilaporkan oleh sebagian besar peneliti (Komoin et al., 1999;

Valcarcel and Romero, 1999; Farooq, 2009). Sedangkan Gulland and Fox (1992) melaporkan bahwa prevalensi dan derajat infeksi lebih tinggi pada host jantan

daripada betina. Para peneliti tersebut mengungkapkan bahwa pengaruh jenis kelamin terhadap infeksi cacing saluran pencernaan adalah karena faktor stres proses reproduksi yaitu saat host betina bunting dan melahirkan, sedangkan infeksi cacing pada host jantan dapat lebih tinggi dari pada host betina yaitu terjadi ketika diluar periode bunting dan melahirkan.

Hasil perhitungan TCPGT juga tidak menunjukkan pengaruh terhadap kejadian infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi, sehingga kejadian infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan tergolong derajat infeksi yang ringan dengan rentangan 0- 500 EPG. Berdasarkan hasil perhitungan TCPGT ini perlu diadakan pengendalian atau pengobatan pada sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan bila hasil telur cacing per gram tinja mencapai 300-600 EPG (Levine,1990). Menurut Soulsby (1986), hasil perhitungan derajat infeksi digolongkan dalam tiga tingkatan, yaitu: derajat infeksi ringan bila TCPGT berkisar antara 0 sampai 500, derajat infeksi sedang bila TCPGT antara 501 sampai 1000 dan derajat infeksi berat bila TCPGT lebih dari 1000 (Soulsby, 1986).

Dokumen terkait