SKRIPSI
PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING
SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI
PERANAKAN ONGOLE (PO) DAN
LIMOUSIN DI KECAMATAN
TIKUNG KABUPATEN
LAMONGAN
Oleh:
INDAH KARTIKA SARI
061011253
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING
SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI
PERANAKAN ONGOLE (PO) DAN
LIMOUSIN DI KECAMATAN
TIKUNG KABUPATEN
LAMONGAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakutas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga
Oleh:
INDAH KARTIKA SARI
061011253
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Dr. Lucia Tri Suwanti, drh., MP.) (Dr. Suherni Susilowati, drh., M.Kes.)
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi berjudul :
PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO)
DAN LIMOUSIN DI KECAMATAN TIKUNG KABUPATEN LAMONGAN
tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga
tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh
orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Surabaya, 15 Juni 2014
Indah Kartika Sari
Telah dinilai pada Seminar Hasil Penelitian
Tanggal: 9 Juni 2014
KOMISI PENILAI SEMINAR HASIL PENELITIAN
Ketua : Dr. Kusnoto, drh., M.Si.
Sekretaris : Dr. Soeharsono, drh., M.Si.
Anggota : Agus Sunarso, drh., M.Sc.
Pembimbing I : Dr. Lucia Tri Suwanti, drh., MP.
Telah diuji pada
Tanggal: 23 Juni 2014
KOMISI PENGUJI SKRIPSI
Ketua : Dr. Kusnoto, drh., M.Si.
Anggota : Dr. Soeharsono, drh., M.Si.
Agus Sunarso, drh., M.Sc.
Dr. Lucia Tri Suwanti, drh., MP.
Dr. Suherni Susilowati, drh., M.Kes.
Surabaya, 23 Juni 2014
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
Dekan,
PREVALENCE AND DEGREES OF WORMS TRACT INFECTION IN CATTLE DIGESTION ONGOLE CROSSBREED
AND LIMOUSIN IN SUB-DISTRICT OF TIKUNG LAMONGAN REGENCY
Indah Kartika Sari
ABSTRACT
This study aims to determine the prevalence and degree of gastrointestinal worm infection in cattle Ongole Crossbreed and Limousin in Sub-district of Tikung, Lamongan Regency. The research was conducted in February 2014 with 100 samples of stool examination in the laboratory of Helmintology Airlangga University Department of Parasitology, were examined by native, sedimentation, floatation techniques, and count the number of worm eggs per gram of feces. On examination it was found some kind of worm eggs, which are: Oesophagustomum
spp., Bunostomum spp., Mecistocirrus spp., Trichostrongylus spp., Trichuris spp.,
and Moniezia benedini. The results of this study showed prevalence of
gastrointestinal worms was 59%. In the calculation of worm eggs per gram feces obtained the number of worms that infect the eggs ranges from 0-500 EPG, so mean of degree infection was light.
Key words: prevalence and degrees of worms, Ongole Crossbreed and Limousin,
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji bagi Allah, penciptaku, pelindungku, dan cahaya hatiku.
Satu-satunya Dzat yang paling mulia, yang menundukkan hatiku senantiasa berada
dijalan-Nya. Kepada-Nyalah dan satu-satu-Nyalah penulis menjadikan-Nya tujuan
hidup dalam segala urusan. Shalawat dan salam kepada Nabi mulia Muhammad
SAW sebagai pembawa cahaya agung pedoman bagi seluruh umat manusia.
Alhamdulillah, atas rahmat dan kehendak Allah pulalah penulis dapat
melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi dengan judul Prevalensi dan
Derajat Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Peranakan Ongole
(PO) dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan.
Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
setiap langkah penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini,
semoga keberkahan dan rahmat tercurah kepada mereka semua. Dengan
kerendahan hati penulis sampaikan salam dan ucapan terimakasih kepada:
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Prof. Romziah
Sidik B., drh., Ph.D., atas kesempatan mengikuti pendidikan di Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
Dr. Lucia Tri Suwanti, MP., drh. dan Dr. Suherni Susilowati, M.Kes., drh.,
selaku dosen pembimbing skripsi atas ilmu, nasehat, dan semangat yang diberikan
kepada penulis.
Dr. Kusnoto, drh., MSi., selaku ketua penguji, Dr. Soeharsono, drh., M.Si.,
selaku sekretaris penguji dan Agus Sunarso, drh., M.Sc selaku anggota penguji
M. Gandul Atik Yuliani, drh., M.Si., selaku dosen wali atas bimbingan
akademik selama menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga atas wawasan keilmuan selama mengikuti pendidikan di Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lamongan atas ijin
yang diberikan untuk melaksanakan penelitian di Kecamatan Tikung Kabupaten
Lamongan dan atas bantuannya dalam pengambilan sampel di lapangan.
Terimakasih yang terdalam kepada Abahku dan Ibuku atas cinta dan
keteladanannya serta atas kasih sayang dan doanya. Terimakasih kepada yang
tersayang seluruh keluarga besarku; saudara-saudaraku, kakek dan nenekku atas
cinta, motivasi dan doanya.
Teman-teman penelitian Itsna, Marisa, dan Pipit atas semangat dan
kerjasamanya, serta Mas Yoga atas bantuannya di Laboratorium Departemen
Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Sahabat-sahabat
tersayang Yeni, Cita, Ririn, Alim, Bastian, Vina, Ika, Mbak Cita, Dek Rinda, Mas
Faris, dan Mbak Hesty atas bantuan, semangat, doa, motivasi, dan inspirasinya.
Tidak lupa juga kepada semua teman-teman di Fakultas Kedokteran Hewan
sebagai rekan dalam menimba ilmu.
Surabaya, 2 Juni 2014
3.4. Metode Penelitian... 25
3.4.1. Pengambilan Sampel ... 25
3.4.2. Pemeriksaan Sampel ... 26
3.4.2.1. Metode Sederhana (Natif). ... 26
3.4.2.2. Metode Sedimentasi ... 26
3.4.2.3. Metode Pengapungan ... 27
3.4.2.4. Penghitungan TCPGT ... 28
3.4.2.5. Standar Keparahan Helminthiasis Berdasarkan TCPGT ... 29
3.5. Analisis Data ... 30
3.6. Skema Alir Penelitian ... 31
BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 32
BAB 5 PEMBAHASAN ... 41
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 49
6.1. Kesimpulan ... 49
6.2. Saran ... 50
RINGKASAN ... 51
DAFTAR PUSTAKA ... 54
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Sampel Feses yang Digunakan dalam
Penelitian………... 25
4.1 Jenis Telur Cacing yang Menginfeksi Sapi PO di
Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan……… 32
4.2 Jenis Telur Cacing yang Menginfeksi Sapi Limousin di
Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan……….. 33
4.3 Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi PO dan
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Telur Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi
(Sumber: Soulsby: 1986)……… 10
2.2 Penentuan Umur Sapi Dilihat dari Susunan Gigi
(Sumber: Sudarmono dan Sugeng, 2008)……….. 23
3.1 Skema Alir Penelitian……….. 31
4.1 Telur Oesophagustomum spp.
(Metode Apung; perbesaran 400×)……… 35
4.2 Telur Bunostomum spp.
(Metode Apung; perbesaran 400×)……… 35
4.3 Telur Mecistocirrus spp.
(Metode Apung; perbesaran 400×)……… 36
4.4 Telur Trichostrogylus spp.
(Metode Apung; perbesaran 400×)……… 36
4.5 Telur Trichuris spp.
(Metode Apung; perbesaran 400×)……… 37
4.6 Telur Moniezia benedini
(Metode Apung; perbesaran 400×)……… 37
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Data dan Hasil Pemeriksaan Sampel Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi PO dan Limousin di Kecamatan
Tikung Kabupaten Lamongan………....
2. Keadaan Ternak di Kecamatan Tikung, Kabupaten
Lamongan………...
3. Peta Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan……….
4. Alat yang Digunakan pada Penelitian………. 64
59
62
SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG
% = persentase
°C = derajat celcius
cm = centimeter
dkk. = dan kawan kawan
EPG = Egg Per Gram
et al. = et alii
Ha = hektar
kg = kilogram
km = kilometer
m = meter
µm = mikrometer
ml = mililiter
mm = milimeter
PCV = Packed Cell Volume
PO = Peranakan Ongole
sp. = spesies
spp. = spesiesis
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris dengan mata pencaharian penduduknya
sebagian besar pada sektor pertanian, salah satunya adalah usaha pembibitan dan
penggemukan sapi potong (Arbi, 2009). Menurut Priyanto (2011), kebutuhan akan
daging sapi di Indonesia menunjukkan trend yang meningkat setiap tahun.
Peningkatan kebutuhan sapi potong tersebut disebabkan tuntutan masyarakat
terhadap pemenuhan kebutuhan daging sapi sebagai sumber protein hewani
(Yusuf, 2010). Sementara itu laju peningkatan kebutuhan tersebut belum
diimbangi dengan peningkatan produksi sapi potong (Subagyo, 2009). Direktorat
Jenderal Peternakan menyebutkan bahwa pada tahun 2007 peningkatan populasi
sapi potong hanya sebesar 4,23%. Kondisi tersebut menyebabkan jumlah pasokan
sapi potong terhadap produksi daging nasional rendah, sehingga terjadi
kesenjangan yang signifikan antara permintaan dan produksi daging sapi
(Mersyah 2005; Santi 2008). Dalam menangani permintaan daging yang terus
meningkat pemerintah mengambil langkah kebijaksanaan, yaitu meningkatkan
produksi daging sapi dalam negeri (Bambang, 2002).
Kabupaten Lamongan merupakan salah satu sentra unggulan pengembangan
ternak sapi potong di Jawa Timur. Secara umum budidaya ternak sapi potong di
Kabupaten Lamongan dikembangkan dengan pembibitan dan penggemukan.
Salah satu Kecamatan di Kabupaten Lamongan yang memiliki populasi besar
dari total populasi di Kabupaten Lamongan 117.788 ekor pada bulan April 2013,
dengan jumlah produksi daging sapi rata-rata per tahun 235.577 kg (Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lamongan 2013).
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari usaha tersebut adalah pakan dan
pengendalian penyakit. Penyakit yang menjadi masalah menahun di negara tropis
seperti Indonesia salah satunya adalah penyakit cacing saluran pencernaan. Jenis
cacing yang sering menginfeksi adalah cacing dari kelas Trematoda, Cestoda dan
Nematoda (Raza et al., 2012). Setiyono (2007) menyatakan bahwa angka
prevalensi cacing saluran pencernaan pada sapi potong di Kabupaten Jombang
adalah 59,3%. Menurut Yulianto (2007), penyebaran infeksi cacing terjadi cukup
tinggi pada daerah tropis yang lembab dan panas, sehingga mendukung
kelangsungan hidup cacing tersebut. Menurut Raza et al. (2012), manajemen
pemeliharaan ternak terutama sanitasi kandang dan kebersihan kandang yang
kurang baik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prevalensi penyakit
cacingan. Selain itu, menurut Raza et al. (2012) sejumlah faktor intrinsik yang
juga mempengaruhi infeksi cacingan, diantaranya adalah umur, jenis kelamin, dan
bangsa sapi. Sapi muda terutama yang berumur satu sampai tiga bulan rentan
terinfeksi cacing Toxocara vitulorum, karena kolostrum dari induk tidak
memberikan perlindungan untuk melawan infeksi terhadap cacing tersebut
(Koesdarto dkk., 2007). Reaksi daya tahan tubuh terhadap infeksi cacing pada
sapi dewasa lebih baik daripada sapi muda. Selain itu, jenis crossbreed dari Bos
indicus lebih resisten terhadap paparan cacing terutama dibandingkan jenis sapi
Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan jenis sapi crossbreed yang telah
banyak dipelihara penduduk adalah sapi PO dan sapi Limousin. Sebagian besar
penduduk di Kecamatan Tikung masih memelihara sapi dengan cara tradisional,
kandang sapi potong berada di belakang rumah dengan bangunan semi permanen
dan tidak terdapat saluran pembuangan feses dan urin ternak, sehingga sanitasi
kandang tidak terjaga. Kecamatan Tikung secara geografis sebagian besar
wilayahnya dikelilingi oleh waduk, yang merupakan dataran rendah dan sering
terlanda banjir ketika musim hujan, yang mana air merupakan media
perkembangbiakan yang baik bagi cacing saluran pencernaan dan media transport
telur cacing.
Kerugian-kerugian akibat penyakit cacing saluran pencernaan, antara lain
penurunan berat badan, penurunan kualitas daging, kulit, jerohan, penurunan
produktivitas ternak, penurunan produksi susu pada ternak perah dan bahaya
penularan pada manusia atau zoonosis (Gasbarre et al., 2001). Penyakit cacing
saluran pencernaan pada hewan merupakan penyakit yang dapat mempengaruhi
produktivitas ternak dan umumnya tidak menimbulkan kematian, tetapi bersifat
menahun yang dapat mengakibatkan kekurusan, lemah dan turunnya daya
produksi. Infeksi cacing ringan sampai sedang tidak selalu menampakkan gejala
klinis yang nyata, sedangkan infeksi berat dari cacing dewasa dapat menyebabkan
gangguan pencernaan dan terhambatnya pertumbuhan pada hewan ternak muda
(Subekti dkk, 2011). Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan pencegahan dan
pemberantasan sebagai usaha pengendalian penyakit cacing saluran pencernaan
Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang
prevalensi dan derajat infeksi penyakit cacing saluran pencernaan pada sapi
potong PO dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan. Dengan
mengetahui jenis cacing yang menginfeksi maka segera dapat dilakukan
pengobatan dengan jenis obat antiparasit yang tepat, sehingga pengobatannya
menjadi lebih efektif. Data kejadian penyakit cacing yang diperoleh diharapkan
bisa dimanfaatkan dalam usaha pemberantasan penyakit cacing, dalam rangka
pengembangan peternakan sapi potong dan mengurangi kerugian yang
ditimbulkan.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
1) Jenis telur cacing apa yang menginfeksi saluran pencernaan sapi PO
dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan?
2) Berapakah prevalensi infeksi cacing saluran pencernaan sapi PO dan
Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan?
3) Apakah jenis kelamin berpengaruh terhadap infeksi cacing saluran
pencernaan pada sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung
Kabupaten Lamongan?
4) Apakah umur berpengaruh terhadap infeksi cacing saluran
pencernaan pada sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung
5) Apakah ras berpengaruh terhadap infeksi cacing saluran pencernaan
pada sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten
Lamongan?
1.3Landasan Teori
Kejadian penyakit cacing ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya kondisi lingkungan, manajemen pakan, dan iklim setempat. Menurut
Andrade et al. (2001) infeksi cacing dapat dipengaruhi oleh sanitasi dan kondisi
lingkungan yang kurang baik. Penularan penyakit yang disebabkan parasit ini
mencakup tiga faktor yaitu sumber infeksi, cara penularan dan adanya hewan
yang peka yang dapat bertindak sebagai hewan karier sehingga dapat merupakan
sumber infeksi (Brown, 1983). Menurut Galloway (1974) penyebaran penyakit
cacing dipengaruhi oleh musim, keadaan lingkungan, tata laksana dan pakan.
Sedangkan menurut Tizard (1988) menyatakan bahwa infeksi cacing dipengaruhi
oleh faktor dari dalam tubuh inang yaitu umur, jenis kelamin dan bangsa sapi.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk menekan atau mengurangi jumlah
infeksi cacing pada sapi potong yaitu dengan memperhatikan lingkungan sekitar
kandang, sehingga pakan dan minuman yang diberikan terhindar dari pencemaran
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
1) Mengetahui jenis cacing saluran pencernaan sapi PO dan Limousin di
Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan.
2) Menghitung prevalensi infeksi cacing saluran pencernaan sapi PO dan
Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan.
3) Menganalisis pengaruh jenis kelamin terhadap infeksi cacing saluran
pencernaan pada sapi PO dan sapi Limousin di Kecamatan Tikung
Kabupaten Lamongan.
4) Menganalisis pengaruh umur terhadap infeksi cacing saluran
pencernaan pada sapi PO dan sapi Limousin di Kecamatan Tikung
Kabupaten Lamongan.
5) Menganalisis pengaruh ras terhadap infeksi cacing saluran pencernaan
pada sapi PO dan sapi Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten
Lamongan.
1.4Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
prevalensi dan derajat infeksi cacing saluran pencernaan serta jenis telur cacing
yang menginfeksi sapi PO dan Limousin di Kecamaatan Tikung Kabupaten
Lamongan, sehingga bermanfaat bagi usaha pencegahan, pemberantasan dan
pengetahuan dan bahan pustaka bagi para mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan
dan semua pihak yang berkepentingan.
1.5Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penelitian ini adalah :
1) Jenis kelamin berpengaruh terhadap infeksi cacing saluran pencernaan
pada sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten
Lamongan.
2) Umur berpengaruh terhadap infeksi cacing saluran pencernaan pada
sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan.
3) Jenis ras berpengaruh terhadap infeksi cacing saluran pencernaan pada
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Cacing Saluran Pencernaan
2.1.1 Etiologi Cacing Saluran Pencernaan
Soulsby (1986) menyebutkan jenis cacing saluran pencernaan yang sering
menyerang tenak sapi berasal dari kelas Nematoda, Cestoda, dan Trematoda. Jenis
cacing yang berasal dari kelas Nematoda antara lain Bunostomum spp., Trichuris
spp., Strongyloides papillosus, Toxocara vitulorum, Gaigeria spp.,
Oesophagostomum spp. Trichostrongylus spp., Cooperia spp, dan Mecistocirrus
digitatus. Jenis cacing yang berasal dari kelas Cestoda adalah Moniezia benedini.
Sedangkan jenis cacing yang berasal dari kelas Trematoda antara lain Fasciola
spp., Paramphistomum cervi, Cotylophoron cotylophorum, Eurytrema
pancreaticum dan Gastrothylax crumenifer (Soulsby, 1986 ; Tarmuji, 1988).
2.1.2 Morfologi Telur Cacing Saluran Pencernaan
Telur Fasciola sp. berbentuk ovoid dan dilengkapi dengan operculum.
Ukuran telur 120–160 x 63–90 µm. Telur Oesophagustomum spp. mempunyai
lapisan atau selaput tipis. Bentuk permukaan telur elips. Telur yang dikeluarkan
sudah mengandung 8-16 sel dan berukuran 73-89 x 34-45 µm. Telur Bunostomum
spp. mempunyai ukuran telur 79-97 x 47-50 µm. Telur berbentuk bulat lonjong
dengan ujung tumpul dan berisi sel embrio. Warna telur lebih gelap dari genus
lain sehingga lebih mudah dibedakan dari telur cacing lainnya. Telur Gaigeria
kedua ujungnya. Telur Trichostrongylus spp. disebut juga telur lambung. Ukuran
telur 79-101 x 39-47 µm. Telur berbentuk oval dengan salah satu ujungnya
terlihat lancip. Telur Mecistocirrus spp. berukuran 95-120 x 56-60 µm. Telur ini
berwarna lebih gelap dari Haemonchus. Banyak ditemukan di Indonesia pada
ternak ruminansia besar. Telur Trichuris spp. berwarna coklat berbentuk seperti
buah lemon dengan kedua ujungnya mempunyai sumbat transparan. Panjang telur
70-80 x 30-42 µm. Telur Strongyloides papillosus memiliki panjang 40–60 × 20–
26 µm, saat dikeluarkan sudah mengandung larva dengan dinding telur yang tipis.
Telur Toxocara vitulorum berbentuk sub globular dikelilingi lapisan albumin yang
tebal dan ukurannya 75-95 x 60-75 µm. Telur Paramphistomum cervi mempunyai
operculum dan panjang 147 – 176 µm. Telur Cotylophoron cotylophorum
mempunyai ukuran panjang 123–135 × 61–68 µm. Telur Cooperia punctata yang
berbentuk elips berukuran 67–85 µm. Telur Moniezia sp. berbentuk segitiga untuk
Moniezia expansa dan berbentuk segi empat untuk Moniezia benedini dan
mengandung pyriform aparantus serta mempunyai ukuran 56–57 µm (Subekti
2.1.3 Siklus Hidup Cacing Saluran Pencernaan
2.1.3.1 Siklus Hidup Cacing Trematoda
Siklus hidup dari cacing Trematoda membutuhkan induk semang antara.
Telur yang dikeluarkan bersama tinja induk semang pada keadaan lingkungan
yang sesuai akan dikeluarkan menjadi larva mirasidium. Temperatur yang paling
baik untuk penetasan telur adalah 22°C – 26°C, sedangkan dibawah 10°C telur
Fasciola sp. tidak menetas tapi dapat bertahan lama serta dapat menetas kembali
apabila keadaan lingkungan baik (Koesdarto dkk., 2007; Hall, 1977). Di atas suhu
Gambar 2.1 Telur Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi, (A) Parampistomum cervi., (B) Strogyloides papillosus., (C) Trichuris spp., (D) Moniezia benedini., (E) Fasciola sp., (F) Trichostrogylus spp., (G) Bunostomum spp., (H) Oesophagustomum spp. dan (I) Cotyloporon cotyloporum. (Soulsby, 1986).
A
B
C
D
E
F
26°C telur Fasciola sp. menetas dalam waktu dua sampai tiga hari. Selanjutnya
mirasidium berenang mencari siput air sebagai inang perantara. Sebagai inang
perantara cacing Fasciola sp. adalah jenis siput dari genus lymnea, sedangkan
cacing famili paramphistomatidae sebagai inang perantara adalah genus Bulinus,
Indoplanorbis, Planorbis, Cleopatra (Subekti dkk., 2010). Mirasidium
mengadakan penetrasi pada tubuh siput dan berkembang menjadi sporokista
selama 12 jam untuk famili Paramphistomatidae. Tiap sporokista berkembang
menjadi lima sampai delapan redia, selanjutya redia berkembang menjadi serkaria
yang memiliki ekor yang lebih panjang dari badannya. Serkaria keluar dari tubuh
siput apabila ada rangsangan sinar dan berenang dalam air. Apabila serkaria tidak
segera mendapatkan inang definitif maka serkaria akan menempel pada rumput.
Serkaria memiliki kelenjar untuk membentuk dinding kista dan ekor serkaria
dilepaskan untuk membentuk metaserkaria. Infeksi terjadi bila induk semang
definitif memakan rumput atau minum air tercemar oleh serkaria atau
metaserkaria (Subekti dkk., 2010; Koesdarto dkk., 2007).
2.1.3.2 Siklus Hidup Cacing Nematoda
Siklus hidup cacing Nematoda terdiri dari telur, empat stadium larva, dan
dewasa (Levine, 1990). Habitat cacing Nematoda dewasa di dalam saluran
gastrointestinal inang definitif. Telur yang diproduksi oleh cacing betina dewasa
keluar bersama tinja. Telur berembrio akan menetas di luar tubuh inang menjadi
stadium larva stadium 1 (L1) yang berkembang dan ekdisis menjadi larva stadium
3 (L3) namun kutikulanya tidak dilepas setelah ekdisis sebelumnya sehingga larva
stadium 3 (L3) memiliki kutikula rangkap (Soulsby 1982, Levine 1990). Larva
infektif dapat masuk ke tubuh ruminanisia melalui beberapa cara diantaranya
yaitu lewat pakan, minum, atau penetrasi kulit. Pada genus Haemonchus,
Mecistocirrus, Trichostrongylus, Trichuris, Oesophagostomum dan Toxocara
vitulorum larva infektif ini masuk ke dalam tubuh hewan melalui pakan dan
minum (Subekti dkk., 2011). Pada genus Haemonchus dan Mecistocirrus setelah
larva stadium 3 (L3) masuk dalam saluran pencernaan kemudian melepaskan
selubungnya dan migrasi ke abomasum. Di dalam abomasum larva stadium 3 (L3)
mengalami perkembangan lebih lanjut menjadi larva stadium 4 (L4) dalam waktu
2 hari setelah infeksi, selanjutnya larva berpredileksi pada lamina propria selaput
lendir abomasum. Pada cacing Trichostrongylus, larva stadium 3 (L3) masuk ke
dalam saluran pencernaan dengan menembus mukosa usus halus kemudian
berdiam diri selama 7 hari dan mengalami pergantian kulit menjadi larva stadium
4 (L4), selanjutnya larva keluar dari mukosa usus halus ke lumen usus dan
menjadi dewasa. Pada cacing Trichuris, setelah larva stadium 3 (L3) masuk
bersama pakan selanjutnya larva akan menetas di dalam usus. Kemudian larva
menuju sekum dan menempel pada bagian mukosa sekum untuk berkembang
menjadi dewasa. Pada cacing Oesophagostomum, larva stadium 3 (L3) menembus
mukosa usus halus dan usus besar sampai pada lapisan muskularis usus dan
membentuk kapsul, larva stadium 3 (L3) akan menjadi larva stadium 4 (L4) dan
hidup dalam kista dan akan menaglami demineralisasi, sedang sebagian keluar
stadium 5 (L5), selanjutnya berkembang dan menempel pada mukosa sekum serta
kolon menjadi dewasa. Cacing Toxocara vitulorum telur infektif mengandung
larva stadium 2 (L2). Pada kondisi optimal diluar tubuh host stadium infektif dapat
dicapai 3-6 hari. Bila telur infektif termakan bersama pakan atau minum, setelah
sampai di usus larva stadium 2 (L2) masuk dinding usus halus dan tinggal di usus
sampai menjadi larva stadium 4 (L4), kemudian menuju mukosa dan lumen usus,
larva stadium 5 (L5) dicapai pada minggu keenam kemudian akan menjadi cacing
dewasa dan menghasilkan telur setelah 74 hari infeksi (Subekti dkk., 2010).
Cacing Gaigeria pachyscelis, penularannya hanya melalui kulit. Selanjutnya larva
mencapai paru-paru melalui sistem pembuluh darah dan megalami eksidisis yang
ketiga, pada paru-paru larva akan tinggal selama ± 13 hari. Selanjutnya Larva
stadium 4 (L4) migrasi ke bronki, trakhea, dan faring kemudian ditelan mencapai
saluran pencernaan, selanjutnya terjadi eksidisis ke-4 dan berkembang menjadi
dewasa ± 10 minggu pasca infeksi. Pada genus Bunostomum larva infektif masuk
ke tubuh inang definitif selain secara per oral (melalui pakan dan minum) juga
melalui penetrasi kulit. Melalui kedua cara infeksi tersebut, kemudian larva
mengadakan lung migration, di dalam jaringan paru-paru terjadi moulting atau
pengelupasan kulit ketiga kemudian larva menuju bronki dan trakea. Selanjutnya
larva stadium 4 (L4) yang sudah mempunyai bukal kapsul mencapai saluran
pencernaan (usus halus) setelah 11 hari dan terus tumbuh menjadi cacing dewasa.
2.1.3.3 Siklus Hidup Cacing Cestoda
Siklus hidup dari parasit cacing Cestoda membutuhkan induk semang
antara, apabila telur termakan induk semang antara maka oncosfer dan embriofor
akan hancur oleh aktivitas enzim saluran pencernaan induk semang antara,
oncosfer menembus dinding usus menuju pembuluh darah dan ikut aliran darah ke
tempat predileksi. Sapi akan terinfeksi bila memakan rumput yang terdapat mites
(tungau) yang mengandung sistiserkoid yang infektif (Koesdarto dkk., 2007).
Moniezia expansa, siklus hidup cacing ini memerlukan induk semang perantara
berbagai jenis tungau dari famili Oribatidae dengan genus Galumna, Oribatula,
Teloribates, Protoscheoribates, Scheloribates, Scutovertex dan Zigoribatula
(Subekti dkk., 2010). Telur ditularkan bersama tinja induk semang satu persatu
atau dalam keadaan berkelompok dalam segmen yang terlihat seperti butiran
beras. Apabila segmen mature termakan oleh famili Oribatidae maka dindingnya
akan sobek dan telur akan keluar, lalu oncosfer akan tumbuh membesar setelah 4
bulan akan membentuk sisterkoid (Urquhart et al., 1988). Infeksi terjadi pada
hewan bila memakan rumput yang terdapat tungau yang terinfeksi oleh sisterkoid.
2.1.4 Patogenesa Cacing Saluran Pencernaan
Infeksi dari kelas Trematoda merupakan parasit yang sangat penting pada
ternak sapi karena dapat menyebabkan kondisi tubuh ternak menurun dan
merupakan predisposisi terhadap penyakit lain (Hariyanto dkk., 1986). Kejadian
infeksi ini dapat berlangsung akut maupun kronis tergantung derajat infeksinya
dewasa dalam jumlah banyak akan menyebabakan kerusakan epitel saluran
empedu dan jaringan hati sehingga akan terjadi foki nekrotik serta diikuti dengan
pembentukan jaringan fibrosa yang berlebihan. Adanya jaringan fibrosa
menyebabkan perubahan salauran empedu sehingga akan mengalami pengapuran
(Coles, 1986 ; Urquhart et al., 1988). Selain itu cacing dewasa akan menyebabkan
hewan kekurangan darah. Infeksi dari Paramphistomum spp. dapat menyebabkan
reaksi keradangan, penebalan dan pada mukosa usus tampak hemoragi. Cacing
dewasa kurang patogen tetapi dalam jumlah besar bisa menyebabkan pelepasan
papilla rumen (Kusumamihardja, 1985; Koesdarto dkk., 2007).
Akibat infeksi cacing Nematoda pada saluran pencernaan sapi banyak
sekali menimbulkan kerusakan pada dinding abomasum dan usus halus, selain itu
kerusakan juga dapat disebabkan dari perjalanan daur hidup larva ke organ lain.
Adaya penebusan larva cacing kedalam mukosa usus halus menimbulkan iritasi
dan peradangan dinding mukosa usus halus yang disertai dengan adanya lesi,
ulsera, perdarahan dan diare, bahkan apabila semakin parah bisa terjadi ruptura
(Subekti dkk., 2010). Soulsby (1986) menyatakan bahwa infeksi dari Ostertagia
spp. ditandai nodul pada permukaan mukosa abomasum. Infeksi dari cacing
Trichostrogylus spp. dan Nematodirus walaupun tidak menghisap darah tetapi
dapat menimbulkan luka dan disertai perdarahan sebagai akibat penembusan larva
ke dalam mukosa usus halus. Cacing dari genus Cooperia, Nonustomum dan
Strongyloides selain menghisap darah juga bentuk larvanya dapat menembus
mukosa sehingga menimbulkan reaksi keradangan yang disetai perdarahan pada
menderita anemia juga hipoproteinemia yang akhirnya menimbulkan oedema
dibawah kulit, pada kasus yang kronis bisa menyebabkan bottle jaw. Cacing
dewasa dari genus Mecistocirrus yang hidup di lumen abomasum dan di
duodenum akan merusak mukosa dengan cara memasukkan dorsal lansetnya
untuk menghisap darah. Cacing ini juga mengeluarkan zat anti pembekuan darah
ke dalam luka yang ditimbulkan sehingga mukosa tersebut menjadi teriritasi.
Cacing tersebut menghisap darah induk semang dalam jumlah yang cukup besar
(Subekti dkk., 2010). Infeksi cacing dari genus Trichuris akan menimbulkan
radang mukosa sekum, nekrose, haemoragi, oedema mukosa sekum pada
sejumlah cacing dewasa. Cacing dari genus Oesophagustomum apabila
menginfeksi pada ternak akan terjadi reaksi keradangan lokal dikelilingi larva
sehingga terjadi penggumpalan sel eosinofil, limfosit, makrofag, dan sel raksasa
mengelilingi larva sehingga terbentuk nodul, kemudian pada pusat nodul terjadi
pengejuan dan pengapuran serta diluarnya terbentuk kapsul dari fibroblas. Larva
dapat bertahan dalam nodul kurang lebih tiga bulan dan apabila nodul sudah
megalami pengejuan dan pengapuran maka larva akan mati (Soulsby, 1986).
Cacing dewasa dari genus Chabertia hidupnya menempel pada membran mukosa
dari kolon dengan menggunakan bukal kapsul, cacing ini menghisap pembuluh
darah sehingga menyebabkan pecahnya pembuluh darah (Soulsby, 1986).
Infeksi cacing Moniezia sp. dapat menimbulkan iritasi pada usus sehingga
terjadi gangguan pencernaan (Kusumamihardja, 1993). Infeksi ringan
berhubungan erat dengan tungau yang ada di padang rumput (Soulsby, 1986;
Koesdarto dkk., 2007).
2.1.5 Diagnosa Cacing Saluran Pencernaan
Parasitisme baru memperlihatkan gejala klinis bila keseimbangan
hubungan antara hospes dengan parasit terganggu, yang mungkin disebabkan oleh
kepekaan hospes yang menurun dan atau oleh peningkatan jumlah parasit yang
patogen di dalam tubuh hospes. Sehingga, perlu adanya pemeriksaan laboratorium
untuk memastikan diagnosa. Pemeriksaan yang biasanya dilakukan adalah
pemeriksaan feses (Subronto, 2007). Sedangkan menurut Soulsby (1986) untuk
melakukan diagnosis ternak sapi terhadap kemungkinan terkena infeksi cacing
saluran pencernaan dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis yang tampak
seperti menurunnya nafsu makan, diare, anemia, bulu kotor, dan suram,
menurunnya berat badan dan lambatnya pertumbuhan pada sapi muda. Cara yang
lebih tepat dan sering digunakan untuk diagnosis adalah dengan melakukan
pemeriksaan secara mikroskopis terhadap adanya telur cacing pada tinja sapi.
Telur cacing Nematoda akan keluar dari tubuh hewan bersama feses, sehingga
dengan pemeriksaan feses akan mudah diketahui apakah hewan tersebut terinfeksi
2.1.6 Pengendalian Cacing Saluran Pencernaan
2.1.6.1 Pencegahan Cacing Saaluran Pencernaan
Pencegahan dilakukan untuk menekan jumlah infeksi parasit cacing pada
saluran pencernaan hewan ternak sapi dapat dilakukan dengan beberapa tindakan.
Sapi-sapi yang dikandangkan hendaknya diberi pakan dan minum yang bebas dari
kontaminasi tinja atau kotoran yang mengandung larva infektif dari cacing
(Soulsby, 1986). Kandang harus tetap bersih dan dijaga agar tetap kering, kotoran
kandang yang berasal dari sapi hendaknya dibuang sesering mungkin (Levine,
1990). Menghindari kepadatan ternak yang berlebihan, sapi muda dan sapi dewasa
hendaknya dipisahkan karena sapi yang lebih tua sering kali merupakan sumber
infeksi bagi sapi (Levine, 1990).
Beberapa tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit nematodosis
secara umum menurut Subekti dkk. (2011), yaitu: (1) mengurangi sumber infeksi
dengan tindakan terapi; (2) pengawasan sanitasi air, makanan, keadaan tempat
tinggal dan sampah; dan (3) pemberantasan inang perantara dan vektor.
Parasit gastrointestinal pada umumnya masuk kedalam tubuh hospes
definitif melalui pakan yang tercemar larva. Pedet yang baru lahir dapat tertular
oleh larva yang terdapat di dalam kolostrum atau menempel pada puting. Selain
itu, penularan dengan menembus kulit pada hewan muda juga banyak terjadi
2.1.6.2 Pengobatan Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Potong
Menurut Sasnita dkk (1991) dan Koesdarto dkk (2007) selain melakukan
tindakan pencegahan, pengobatan juga dilakukan dalam menanggulangi lebih
lanjut adanya infeksi parasit cacing. Dalam menentukan obat yang digunakan
harus mempunyai toksisitas terhadap semua jenis cacing dan semua stadium tetapi
tidak membahayakan bagi hewan dan manusia, cara pemberianya mudah,
harganya murah serta mudah didapat.
Pengendalian penyakit cacing pada ternak umumnya dilakukan dengan
menggunakan obat cacing, diantaranya adalah benzimidazol, levamisol, dan
ivermectin (Haryuningtyas dan Beriajaya 2002, dikutip Mustika dan Ahmad,
2004).
Anthelmintik dapat digunakan untuk mencegah bahaya banyaknya telur
cacing mencapai tanah sehingga mengurangi infeksi pada ternak yang peka
(Williamson dan Payne, 1993). Beberapa anthelmintika yang dapat digunakan
adalah avermectin, mebendazole, thiabendazole, methyridine, cuper sulfat dan
hexacholorophene.
Avermectin pada saraf tepi memperkuat peranan GABA (Gama Amino
Butiric Acid) dalam proses transmisi sehingga cacing mati dalam keadaan
paralisis. Dosis yang efektif terhadap larva dan Nematoda saluran pencernaan sapi
adalah 50-200 mg/kg BB (Soulsby, 1986).
Cuper sulfat efektif terhadap cacing Cestoda terutama Moniezia spp.
dengan dosis 10-100 ml (larutan 1%) atau campuran cuper sulfat dan nicotine
efektif terhadap cacing Trematoda. Pada cacing Fasciola spp. pemberian dosis 15
mg/kg BB diberikan secara per oral efektif untuk cacing dewasa dan dosis 40
mg/kg BB dapat membunuh cacing muda umur empat minggu. Sedangkan pada
Paramphistomum spp., Cotylophoron spp., Gastrothylax spp., dan Gigantocotyl
spp. diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB. Mebendazole efektif untuk cacing
dewasa dan cacing yang belum masak (immature) dan mempunyai efektifitas
85-90 % terhadap Oesophagostomum spp. dan Chabertia spp. serta 60-80 % terhadap
Trichuris spp. Dosis pemakaiannya adalah dosis 12,5 mg/ kg BB. Methyridine
diberikan dengan dosis 200 mg/kg BB sangat efektif terhadap larva dan cacing
dewasa dari genus Trichostrongylus Nematodirus, Oesophagostomum, Chabertia,
Strongyloides, Trichuris dan Cooperia. Pemberikan melalui suntikan di bawah
kuliut dengan dosis tunggal dan dianjurkan tidak terlalu dekat dengan persendian
(Koesdarto dkk., 2007). Thiabendazole merupakan serbuk berwarna putih, tidak
berbau, tidak berasa, dan tidak larut dalam air. Merupakan obat cacing yang
mempunyai spektrum yang luas, dapat membunuh cacing dewasa, stadium larva
dan stadium telur. Dosis yang diberikan adalah 50 mg/kg BB per oral, efektif
terhadap genus Trichostrongylus, Haemonchus, Oesophagostomum, Chabertia,
Bunostonum, Strongyloides dan Cooperia (Koesdarto dkk., 2007).
2.2 Tinjauan Geografis
Secara geografis, infeksi penyakit cacing dapat terjadi terus-menerus di
daerah yang beriklim sedang sampai beriklim panas dengan curah hujan rata-rata
mempunyai suhu dan kelembaban optimal bagi kelangsungan hidup, pertumbuhan
larva dan penularan cacing. Kondisi tanah juga memegang penting, apabila tanah
terlalu kering, larva tidak dapat berkembang (Williamson and Payne, 1993).
Kecamatan Tikung berada di wilayah Kabupaten Lamongan, memiliki
topografi tanah datar sampai berombak dan berada di ketinggian 23-30 meter
diatas permukaan laut, dengan luas wilayah ± 52,99 Km². Di Kecamatan Tikung
juga terdapat waduk yang dinamakan Waduk Twiri dan Waduk Simbatan. Curah
hujan rata-rata 210 mm pertahun dan suhu 27 – 32 ºC. Jumlah penduduk pasa
bulan Desember 2012 ± 41.483 jiwa (Badan Pusat Statistik & Kantor Penelitian
dan Pengembangan Daerah Kabupaten Lamongan, 2013).
2.3 Gambaran Umum Sapi Potong
Sapi potong yang diternakkan di Kabupaten Lamongan sebagian besar
adalah jenis sapi Peranakan Ongole dan jenis impor yaitu : Simental, Brahman,
dan Limousin (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lamongan,
2013).
Sapi peranakan Ongole merupakan persilangan antara sapi Ongole dengan
sapi lokal terutama dengan kelompok sapi Jawa yang menghasilkan sapi yang
secara grading up mirip dengan sapi Ongole atau lebih populer disebut dengan
istilah PO (Sosroamidjojo dkk., 1990). Ciri – ciri yang dimiliki yaitu badan besar,
panjang, leher pendek dan kaki panjang. Warna bulu biasanya putih, padas sapi
jantan sebagian mempunyai warna kelabu dan gelap pada bagian kepala dan leher.
tumpul, tumbuh ke samping dan belakang dengan pangkal tebal (Bambang, 2002).
Gelambir besar, menggantung dan berlipat-lipat meluas sampai pusar, sedangkan
Preputium agak menggantung (Sugeng, 2000).
Sapi Limousin merupakan keturunan sapi Eropa yang dikembangkan di
Perancis. Ukuran tubuhnya besar dan panjang serta dadanya besar dan berdaging
tebal. Bulunya berwarna merah, sorot matanya tajam, kaki tegap dengan warna
pada bagian lutut ke bawah berwarna terang (Sarwono dan Arianto, 2001). Bobot
lahir pedet Peranakan Limousin yaitu 26,8 kg lebih besar dibandingkan dengan
pedet PO yaitu 23,7 kg (Rahman, 1999).
2.4 Menentukan Umur Sapi
Penentuan yang paling pasti untuk mengetahui umur sapi adalah dengan
cara melihat catatan kelahiran tersebut, namun di daerah hal ini tidak pernah
dilakukan oleh peternak sehingga penentuan umur biasa dilihat dengan cara
melihat pertumbuhan gigi sapi itu sendiri (Nazar dan Surjoatmodjo, 2007). Untuk
mengetahui umur sapi dapat menggunakan pendekatan pergantian gigi. Pada
prinsipnya taksiran umur dengan metode gigi sapi adalah memperhitungkan
pertumbuhan, penggantian dan keausan gigi sapi. Pertumbuhan gigi sapi sendiri
terbagi tiga periode yakni periode gigi susu, periode penggantian gigi susu
menjadi gigi tetap serta periode keausan gigi tetap. 1) Tanduk kelihatan sekitar
dua cm, mempunyai umur lima bulan. 2) Sapi yang memiliki gigi susu semua
berjumlah empat pasang pada rahang bawah, mempunyai usia sekitar satu tahun.
sekitar satu – dua tahun. 4) Sapi yang memiliki gigi tetap dua pasang pada rahang
bawah mempunyai usia sekitar dua – tiga tahun. 5) Sapi yang memiliki gigi tetap
tiga pasang pada rahang bawah mempunyai usia sekitar tiga - empat tahun. 6)
Sapi yang memiliki gigi tetap empat pasang pada rahang bawah mempunyai usia
sekitar empat tahun. 7) Sapi yang memiliki gigi tetap sudah aus semua pada
rahang bawah mempunyai usia lebih dari empat tahun.
Gambar 2.2 Penentuan Umur Sapi Dilihat dari Susunan Gigi. Sumber : Sudarmono
BAB 3 MATERI DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan Jawa
Timur. Pemeriksaan sampel berupa feses sapi segar dilakukan di laboratorium
Helmintologi Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga Surabaya. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2014.
3.2 Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian prevalensi dan derajat infeksi cacing saluran pencernaan sapi
PO dan sapi Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan ini
dilaksanakan dengan metode survei.
3.3 Materi Penelitian
3.3.1 Sampel Penelitian
Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi PO dan sapi
Limousin dengan batasan umur antara 0 bulan – 1 tahun, 1 tahun - 2 tahun, dan
lebih dari dua tahun. Sampel yang digunakan adalah sebanyak 100 ekor. Sampel
sebanyak 100 terbagi dalam enam kategori yaitu sapi PO dan sapi Limousin
berumur 0–1 tahun masing-masing sebanyak 15 ekor, sapi PO dan sapi Limousin
berumur 1 tahun - 2 tahun masing-masing sebanyak 20 ekor, dan sapi PO dan sapi
Limousin berumur lebih dari dua tahun masing-masing sebanyak 15 ekor. Berikut
Tabel 3.1 Sampel Feses yang Digunakan pada Penelitian
Keterangan : Total sampel feses 100 sampel.
3.3.2 Bahan dan Peralatan Penelitian
Bahan penelitian berupa feses sapi dalam keadaan segar, larutan gula
jenuh, aquades, dan larutan formalin 10 %.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah kantong plastik, kertas
label, gelas plastik, pengaduk, saringan, tabung sentrifus, rak tabung, sentrifus,
pipet pasteur, obyek glass, cover glass, mikroskop.
3.4 Metode Penelitian
3.4.1 Pengambilan Sampel
Sampel feses diambil dari desa yang memiliki populasi sapi dalam jumlah
besar, kemudian dipilih secara acak dengan memperhatikan jenis kelamin, umur
dan ras sapi, sehingga didapatkan keseluruhan sampel adalah 100 sampel.
Sampel feses segar yang baru keluar dari anus, diambil secukupnya (± 10
gram) lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi formalin 10 % sebagai
pengawetnya. Setelah itu, pada setiap kantong plastik diberi label atau penanda
nomor sampel yang disesuaikan dengan pendataan sampel. Sampel feses dibawa
3.4.2 Pemeriksaan Sampel
Sampel yang telah terkumpul diperiksa di laboratorium Helmintologi
Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
Surabaya. Pemeriksaan sampel dilakukan dengan metode sederhana (natif),
metode sedimentasi sederhana (simple sedimentation method) dan metode apung.
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila dalam salah satu metode tersebut
ditemukan telur cacing (Mumpuni dkk., 2007).
3.4.2.1 Metode Sederhana (Natif)
Mengambil sebanyak satu gram feses dengan menggunakan ujung gelas
pengaduk yang kecil lalu memasukan ke dalam gelas plastik. Menambahkan air
±10 ml dan diaduk sampai tercampur, kemudian menyaring larutan feses tersebut
dan meneteskannya pada gelas obyek serta menutupnya dengan cover glass.
Kemudian dilakukan pemeriksaan dibawah mikroskop dengan pembesaran 100 X
(Obyektif 10 X) (Mumpuni dkk., 2007).
3.4.2.2 Metode Sedimentasi
Prinsip metode ini adalah berdasarkan pada perbedaan densitas antara
pelarut, elemen-elemen parasit (telur cacing, larva) yang relatif lebih berat dan
partikel sisa-sisa makanan pada umumnya lebih ringan (Mumpuni dkk., 2007).
Setelah dilakukan pemusingan (sentrifugasi) elemen-elemen parasit (telur cacing,
larva) diharapkan akan mengendap di bagian bawah. Kemudian supernatan di
Feses sebanyak satu gram dimasukkan ke dalam gelas plastik lalu
ditambahkan air 10 ml. Feses dan air diaduk sampai rata kemudian disaring, hasil
saringan dimasukkan ke tabung sentrifus selanjutnya disentrifus selama 2-5 menit
dengan kecepatan 1500 rpm. Supernatan dibuang, sedangkan endapannya
ditambahkan air lagi seperti tahap sebelumnya kemudian disentrifus lagi selama
2-5 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Proses ini diulang sampai supernatan
jernih. Setelah jernih, supernatan dibuang dan disisakan sedikit, endapannya
diaduk dan diambil sedikit dengan pipet Pasteur kemudian diletakkan di gelas
obyek tutup dengan cover glass dan diperiksa di bawah mikroskop dengan
pembesaran 100 X (Obyektif 10 X) (Mumpuni dkk., 2007).
3.4.2.3 Metode Apung
Prinsip metode pengapungan yaitu dengan menambahkan larutan yang
memiliki berat jenis lebih besar daripada air dan feses. Larutan yang digunakan
pada metode ini adalah larutan gula jenuh. Pemeriksaan telur cacing Nematoda
dengan cara pengapungan merupakan metoda yang paling praktis dan mudah
dikerjakan, yaitu dengan cara melarutkan feses dalam larutan gula jenuh yang
mempunyai berat jenis lebih tinggi dari berat jenis air (BJ gula jenuh=1,2; BJ
air=1) (Kosasih, 2001).
Feses sebanyak satu gram dimasukkan ke dalam gelas plastik lalu
ditambahkan air 10 ml. Feses dan air diaduk sampai rata kemudian disaring, hasil
saringan dimasukkan ke tabung sentrifugasi selanjutnya disentrifus selama 2-5
ditambahkan air lagi seperti tahap sebelumnya kemudian disentrifus lagi selama
2-5 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Proses ini diulang sampai supernatan
jernih. Setelah jernih, supernatan dibuang dan disisakan sedikit, tambahkan
larutan gula jenuh sampai 1 cm dari mulut tabung, lalu disentrifugasi dengan cara
yang sama. Setelah disentrifuse, tabung sentrifugasi diletakkan di rak tabung dan
pelan-pelan ditetesi dengan larutan gula jenuh sampai cairan terlihat cembung
pada mulut tabung sentrifugasi lalu letakkan cover glass pada permukaan tabung
sentrifugasi selama 5 menit. Cover glass diangkat dan diletakkan di atas gelas
obyek dan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 X (Obyektif 10
X) (Mumpuni dkk., 2007).
3.4.2.4 Penghitungan TCPGT
Sampel feses yang positif terinfeksi cacing Nematoda saluran pencernaan
dilanjutkan dengan penghitungan Telur Cacing Per Gram Tinja (TCPGT)
menggunakan metode McMaster untuk mengetahui derajat infeksi (Mumpuni
dkk., 2007).
Prinsip metode McMaster ini sama dengan metode pengapungan yaitu
mengapungkan telur cacing namun berbeda pada alat yang digunakan. Alat yang
digunakan adalah berupa kamar penghitung McMaster. Alat ini terdiri dari dua
lempeng kaca dan kedua lempeng ditempatkan beberapa pengganjal yang direkat
dengan baik membentuk kamar-kamar didalamnya. Setiap kamar terdapat daerah
bergaris adalah 0,5 ml. Rumus perhitungan jumlah telur cacing per gram tinja
dengan metode McMaster adalah sebagai berikut:
3.4.2.5 Standar keparahan helminthiasis berdasarkan TCPGT
Hasil pemeriksaan TCPGT dapat diketahui jumlah telur cacing per gram
tinja dan derajat keparahan infeksi kecacingan. Berdasarkan keterangan standar
infeksi, maka infeksi dapat dibedakan yaitu infeksi ringan jika jumlah telur 1-499
butir per gram, infeksi sedang ditunjukkan jika jumlah telur 500 - 5000 butir per
gram dan infeksi berat ditunjukkan jika telur yang dihasilkan lebih dari 5000 butir
per gram feses ternak (Nofyan dkk., 2010 yang dikutip dari Thienpont et al.,
1995).
Jumlah telur cacing per gram feses ternak tidak selalu dapat menunjukkan
tingkat infeksi yang sebenarnya. Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa hanya
cacing dewasa saja yang dapat menghasilkan telur, sedangkan larva cacing belum
menghasilkan telur. Larva kemudian menjadi dewasa secara seksual, dan ada yang Keterangan : n = jumlah telur cacing
N = jumlah kamar hitung
60 = banyak pengenceran (ml)
(Mumpuni dkk., 2007) TCPGT = n
N
menjadi cacing jantan yang juga patut diperhitungkan untuk menentukan tingkat
infeksi pada hewan ternak (Nofyan dkk., 2010).
3.5 Analisis Data
Untuk mengetahui prevalensi dan derajat infeksi cacing saluran
pencernaan pada sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten
Lamongan dihitung menggunakan rumus prevalensi.
Prevalensi =
Analisis statistik dengan menggunakan regresi pohon menggunakan
program SPSS (Statistical Product and Service Solution) for Windows rel.16.0.
Jumlah sampel terinfeksi
3.6 Skema Alir Penelitian
Pengambilan Sampel
Penomeran Sampel dan Pengelompokan Sampel
Pemeriksaan Sampel secara kualitatif
Natif
Sedimentasi
Apung
Positif Negatif
Identifikasi jenis telur cacing
Penghitungan TCPGT metode Mc.Master
Analisis data (perhitungan prevalensi)
BAB 4 HASIL PENELITIAN
Hasil pemeriksaan laboratorium dengan metode natif, sedimentasi dan
apung terhadap 50 sampel feses sapi PO dan 50 sampel feses sapi Limousin yang
diambil dari Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan, diperoleh 59 sampel feses
positif mengandung telur cacing. Hal ini menunjukkan prevalensi dan derajat
infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi PO dan Limousin di Kecamatan
Tikung, Kabupaten Lamongan sebesar 59%. Jenis telur cacing yang menginfeksi
sapi tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan 4.2
Tabel 4.1 Jenis Telur Cacing yang Menginfeksi Sapi PO di Kecamatan Tikung,
Kabupaten Lamongan
Tabel 4.2 Jenis Telur Cacing yang Menginfeksi Sapi Limousin di Kecamatan
Hasil pemeriksaan didapatkan jenis telur cacing dari kelas Nematoda dan
Cestoda. Jenis telur cacing yang berasal dari kelas Nematoda antara lain
Oesophagustomum spp., Bunostomum spp., Mecistocirrus spp., Trichostrogylus
spp., dan Trichuris spp., sedangkan dari kelas Cestoda ditemukan telur Moniezia
benedini.
Kejadian infeksi tunggal ditemukan telur cacing Oesophagustomum spp.
sebanyak 18 (36%) sampel positif pada sapi PO dan sebanyak 24 (48%) sampel
positif pada sapi Limousin, telur Bunostomum spp. sebanyak dua (4%) sampel
telur Mecistocirrus spp. sebanyak satu (2%) sampel positif pada sapi PO, dan telur
Trichuris spp. sebanyak satu (2%) sampel positif pada sapi Limousin.
Kejadian infeksi campuran pada sapi PO ditemukan telur cacing
Oesophagustomum spp. dan Bunostomum spp. sebanyak satu (2%) sampel positif,
Oesophagustomum spp. dan Mecistocirrus spp. sebanyak satu (2%) sampel
positif, Oesophagustomum spp. dan Trichostrogylus spp. sebanyak dua (4%)
sampel positif, Oesophagustomum spp. dan Trichuris spp. sebanyak satu (2%)
sampel positif, dan Oesophagustomum spp. dan Monieziabenedini sebanyak satu
(2%) sampel positif. Kejadian infeksi campuran pada sapi Limousin ditemukan
telur cacing Oesophagustomum spp. dan Bunostomum spp. sebanyak satu (2%)
sampel positif, Oesophagustomum spp. dan Mecistocirrus spp. sebanyak satu
(2%) sampel positif, Bunostomum spp. dan Mecistocirrus spp. sebanyak satu (2%)
sampel positif, Oesophagustomum spp., Trichostrogylus spp., dan Moniezia
benedini sebanyak satu (2%) sampel positif, Oesophagustomum spp., Trichuris
spp., dan Moniezia benedini sebanyak satu (2%) sampel positif, dan
Oesophagustomum spp., Mecistocirrus spp., Trichuris spp., dan Moniezia
benedini sebanyak satu (2%) sampel positif.
Identifikasi telur cacing dilakukan dengan melihat morfologi yaitu bentuk
telur dan ukuran telur cacing. Pengukuran telur cacing dilakukan menggunakan
Telur Oesophagustomum spp. yang ditemukan pada sapi PO berjumlah 24
sampel, sedangkan pada sapi Limousin ditemukan sebanyak 29 sampel. Telur
Oesophagustomum spp. yang ditemukan mempunyai ukuran 78,7×43,3 µm. Telur
Oesophagustomum spp. mempunyai lapisan atau selaput tipis dan berbentuk oval.
Telur Bunostomum spp. yang ditemukan pada sapi PO dan Limousin
masing-masing berjumlah tiga sampel. Telur Bunostomum spp. yang ditemukan
mempunyai ukuran lebih besar dari telur Oesophagustomum spp., yaitu 89,5×48,5
µm. Telur Bunostomum spp. berbentuk bulat lonjong dengan ujung tumpul.
A
B
C
D
E
F
Gambar 4.1 Telur Oesophagustomum spp. (Perbesaran 400X dengan metode apung).Telur Mecistocirrus spp. yang ditemukan pada sapi PO berjumlah dua
sampel, sedangkan pada sapi Limousin berjumlah tiga sampel. Telur
Mecistocirrus spp. yang ditemukan berukuran 121,1×61,0 µm dengan embrio
berwarna gelap.
Telur Trichostrogylus spp. yang ditemukan pada sapi PO berjumlah dua
sampel, sedangkan pada sapi Limousin berjumlah satu sampel. Telur
Trichostrogylus spp. yang ditemukan berukuran 99,0×46,7 µm, telur berbentuk
lonjong dengan salah satu ujungnya lancip.
Telur Trichuris spp. yang ditemukan pada sapi PO berjumlah satu sampel,
sedangkan pada sapi Limousin berjumlah tiga sampel. Telur Trichuris spp. yang
ditemukan berukuran 72,7×37,0 µm, telur berwarna coklat berbentuk seperti buah
lemon dengan kedua ujungnya mempunyai sumbat transparan.
Telur yang ditemukan pada kelas Cestoda adalah Moniezia benedini yang
berukuran 63,8×60,0 µm, telur berbentuk segiempat dan mengandung piriform
apparatus yang tumbuh baik. Telur Moniezia benedini yang ditemukan pada sapi
PO berjumlah satu sampel, sedangkan pada sapi Limousin berjumlah tiga sampel. Gambar 4.5 Telur Trichuris spp. (Perbesaran 400X dengan metode apung).
Pada pemeriksaan 100 sampel feses sapi PO dan Limousin yang diperiksa,
didapatkan 59 (59%) sampel positif terinfeksi cacing suluran pencernaan.
Perhitungan prevalensi cacing saluran pencernaan pada sapi PO dan Limousin di
Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan dapat dilihat pada Tabel 4.3
Tabel 4.3 Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Peranakan Ongole
(PO) dan Limousin di Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan
Jenis Jantan Betina Total
positif dari 50 sampel yang diperiksa. Prevalensi cacing saluran pencernaan pada
pedet jantan sebesar 15% dengan jumlah sampel positif 15 sampel. Prevalensi
cacing saluran pencernaan pada pedet betina sebesar 11% dengan jumlah sampel
positif 11 sampel. Prevalensi cacing saluran pencernaan pada sapi jantan umur 1-2
tahun sebesar 13% dengan jumlah sampel positif 13 sampel. Prevalensi cacing
saluran pencernaan pada sapi betina umur 1-2 tahun sebesar 9% dengan jumlah
sampel positif sembilan sampel. Prevalensi cacing saluran pencernaan pada sapi
jantan umur lebih dari dua tahun sebesar 3% dengan jumlah sampel positif tiga
sampel. Prevalensi cacing saluran pencernaan pada sapi betina umur lebih dari
Perbedaan derajat infeksi dari sapi PO dan Limousin dapat diketahui
dengan melakukan perhitungan rata-rata (mean) Telur Cacing Per Gram Tinja
(TCPGT) dengan metode McMaster pada sampel feses sapi PO dan Limousin.
Pada hasil analisis regresi pohon tidak ditemukan pengaruh rata-rata TCPGT,
sehingga dapat disimpulkan bahwa derajat infeksi cacing saluran pencernaan pada
sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan tergolong
ringan yaitu berkisar 0-500 EPG. Hasil perhitungan TCPGT dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Hasil analisis menunjukkan bahwa sampel sapi yang positif berjumlah 59
sampel dari total sampel feses 100 sampel, sehingga angka prevalensi sebesar
59%. Sampel sapi yang positif dipengaruhi oleh umur, sapi yang berumur 0-1
tahun memiliki angka prevalensi yang lebih besar (86,7%) dibandingkan dengan
sapi yang berumur 1-2 tahun dan lebih dari dua tahun (47,1%). Sapi yang berumur
0-1 tahun dipengaruhi oleh ras. Sapi Limousin memiliki angka prevalensi lebih
besar (100%) dibandingkan dengan sapi Peranakan Ongole (PO) (73,3%).
Tingkat prevalensi pada sapi yang berumur 1-2 tahun dan lebih dari dua
tahun diklasifikasikan kembali menjadi sapi umur 1-2 tahun dan umur lebih dari
dua tahun. Sapi yang berumur 1-2 tahun memiliki angka prevalensi lebih besar
(55%) dibandingkan sapi yang berumur lebih dari dua tahun (36,7%).
BAB 5 PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi dan derajat infeksi
(TCPGT) sapi PO dan Limousin yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin,
umur dan ras. Berdasarkan hasil penelitian dari 100 sampel yang berasal dari
sampel feses sapi PO dan Limousin yang diambil dari Kecamatan Tikung
Kabupaten Lamongan didapatkan sebanyak 27 sampel positif pada sapi PO dan
sebanyak 32 sampel positif pada sapi Limousin.
Pada hasil pemeriksaan ditemukan lima jenis telur cacing yang sesuai ciri-
ciri berasal dari kelas Nematoda dan satu jenis dari kelas Cestoda. Jenis telur
cacing yang berhasil diidentifikasi adalah Oesophagustomum spp., Bunostomum
spp., Mecistocirrus spp., Trichostrongylus spp., dan Trichuris spp., dari kelas
Nematoda, Moniezia benedini dari kelas Cestoda. Telur Oesophagustomum spp.
yang ditemukan berukuran 78,7×43,3 µm dan berbentuk oval. Telur Bunostomum
spp. yang ditemukan berukuran 89,5×48,5 µm, telur Bunostomum spp. berukuran
lebih besar dari telur Oesophagustomum spp. dan tampak tumpul. Telur
Mecistocirrus spp. yang ditemukan berukuran 121,1×61,0 µm. Telur
Trichostrogylus spp. yang ditemukan berukuran 99,0×46,7 µm dan salah satu
ujungnya lancip. Telur Trichuris spp. yang ditemukan berukuran 72,7×37,0 µm
dan berbentuk seperti buah lemon. Telur Moniezia benedini yang ditemukan
berukuran 63,8×60,0 µm dan berbentuk segiempat. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Subekti (2010), yang menyatakan bahwa Telur Oesophagustomum
yang dikeluarkan sudah mengandung 8-16 sel dan berukuran 73-89 x 34-45 µm.
Telur Bunostomum spp. mempunyai ukuran telur 79-97 x 47-50 µm. Bentuk bulat
lonjong dengan ujung tumpul dan berisi sel embrio. Telur Mecistocirrus spp.
berukuran 95-120 x 56-60 µm. Telur ini berwarna lebih gelap dari Haemonchus.
Telur Trichostrongylus spp. berukuran 79-101 x 39-47 µm, telur berbentuk oval
dan bersegmen pada waktu dikeluarkan bersama feses. Telur Trichuris spp.
berwarna coklat berbentuk seperti tong dengan kedua ujungnya mempunyai
sumbat transparan, telur berukuran 70-80 x 30-42 µm. Telur Moniezia benedini
berbentuk segiempat dan mengandung pyriform aparantus serta mempunyai
ukuran 56 – 57 µm.
Telur cacing yang paling banyak ditemukan pada pemeriksaan feses sapi
PO dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan berasal dari kelas
Nematoda, hal ini bisa disebabkan karena siklus hidup cacing Nematoda pada
umumnya cepat, terutama pada suhu yang sesuai dan tidak memerlukan induk
semang perantara dalam siklus hidupnya (Subekti dkk., 2007). Infeksi cacing
terbesar pada hasil penelitian ini adalah infeksi cacing Oesophagustomum spp.,
hal ini sangat wajar dikarenakan cacing Oesophagustomum spp. banyak terdapat
di negara-negara Asia seperti Indonesia yang beriklim tropis dan prevalensinya
akan tinggi pada musim penghujan (Koesdarto dkk., 2007). Hasil tersebut sesuai
dengan beberapa penelitian di daerah Jawa Timur yaitu Bojonegoro dan
Lamongan yang dilakukan oleh Pertiwi (2012) dan Khozin (2012) bahwa infeksi
cacing terbesar pada hasil penelitian adalah infeksi cacing Oesophagustomum
Timur sudah terkontaminasi oleh telur Oesophagustomum spp. Hasil penelitian
Dargantes et al. (1998) juga menunjukkan banyaknya infeksi Oesophagustomum
spp. di Philipina yang merupakan negara tropis. Infeksi dari cacing ini perlu
diwaspadai karena dapat menyebabkan keradangan pada saluran pencernaan yang
bisa berakibat fatal pada ternak (Levine, 1990). Parasit cacing yang terdapat
dalam saluran pencernaaan akan menghisap zat gizi, menghisap darah atau cairan
tubuh dan bahkan memakan jaringan tubuh. Parasit cacing akan menurunkan
bobot badan dan menghambat pertumbuhan badan, serta menurunkan daya tahan
tubuh ternak terhadap penyakit lain. Sebagian besar Nematoda dapat
menyebabkan sumbatan (obstruksi) saluran dalam usus (Imbang, 2003).
Infeksi terbesar selanjutnya dari kelas Nematoda adalah infeksi dari
Bunostomum spp. dan Mecistocirrus spp. yang masing-masing menginfeksi 5
sampel. Cacing Bunostomum spp. menginfeksi usus halus ruminansia, larva
infektif akan masuk dalam tubuh induk semang melalui pakan, minum dan
penetrasi melalui kulit serta menyebabkan edema dibawah kulit intermandibula
yang disebut dengan bottle jaw (Subekti dkk., 2011). Cacing Mecistocirrus spp.
sering menginfeksi abomasum sapi, kerbau, zebu, lambung babi dan pernah
dilaporkan pada manusia di Amerika Tengah (Soulsby, 1986; Roberts, 1990).
Menurut Dunn (1978) Mecistocirrus spp. banyak dijumpai di abomasum sapi dan
kerbau di daerah tropis.
Infeksi paling sedikit dari kelas Nematoda adalah infeksi dari
Trichostrongylus spp. dan Trichuris spp. yang masing-masing menginfeksi 3