• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknologi padi hibrida telah terbukti mampu meningkatkan potensi hasil pada kondisi optimal, namun demikian penampilan hibrida pada kondisi cekaman kekeringan belum banyak dievaluasi. Selain itu, hibrida-hibrida komersial di Indonesia, sebagian besar masih menggunakan GMJ tipe sitoplasma Wild Abortive (WA), padahal beberapa GMJ tipe Kalinga dan Gambiaca memiliki daya gabung baik terhadap sejumlah galur-galur restorer (Rumanti, 2011). Oleh karena itu perlu dilakukan eksplorasi terhadap pengembangan padi hibrida toleran cekaman kekeringan dengan memanfaatkan tiga tipe sitoplasma WA, Kalinga, dan Gambiaca.

Metode Seleksi Cepat pada Fase Perkecambahan Sebagai Alternatif Seleksi Genotip Toleran Cekaman Kekeringan

Toleransi terhadap cekaman kekeringan merupakan karakter kompleks dan ekspresinya dikendalikan oleh banyak gen (poligenik) serta sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini menyebabkan seleksi terhadap cekaman kekeringan di lapangan sulit dilakukan terutama dengan jumlah genotipe yang banyak. Oleh karena itu, diperlukan metode seleksi yang valid, cepat, dan mudah dilakukan untuk mengidentifikasi genotipe toleran dan peka terhadap cekaman kekeringan pada kondisi awal pertumbuhan.

Salah satu larutan osmotikum yang umum digunakan untuk simulasi cekaman kekeringan air adalah polietilen glikol (PEG) dengan bobot molekul 6000. Penambahan larutan PEG pada media dapat menurunkan besarnya potensial air secara homogen sehingga dapat meniru besarnya potensial tanah tanpa PEG tersebut diserap oleh tanaman (Michel & Kaufmann, 1973; Verslues et al. 2006), sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi perbedaan respon tanaman terhadap cekaman kekeringan.

Pada kondisi cekaman PEG 6000 konsentrasi 25%, tingkat penurunan persentase perkecambahan, panjang akar seminal, panjang tunas, panjang kecambah, indeks vigor benih, bobot kering akar seminal, dan bobot kering tunas signifikan lebih besar dibanding kondisi kontrol. Genotipe toleran mampu mengoptimalkan proses fisiologis serta menggunakan cadangan makanan dalam benih untuk tetap mendukung pertumbuhan tunas pada kondisi cekaman kekeringan (Jiang & Lafitte 2007; Ballo et al. 2012; Halimursyadah et al. 2013). Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa panjang akar seminal meningkat pada kondisi tercekam. Perubahan adaptif akar mungkin merupakan salah satu mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan pada padi.

Seleksi genotipe hanya berdasar satu variabel akan menghasilkan kesimpulan yang tidak valid, sehingga diperlukan pemilihan variabel-variabel perkecambahan yang dapat digunakan secara komprehensif sebagai indikator toleransi terhadap cekaman kekeringan. Berdasarkan analisis ragam dan analisis komponen utama, variabel persentase perkecambahan, indeks vigor benih, panjang akar seminal, dan panjang kecambah dapat digunakan sebagai kriteria utama untuk uji cepat toleransi kekeringan fase perkecambahan. Hasil penelitian

ini sejalan dengan penelitian sebelumnya (Ballo et al. 2012; Afa et al. 2013; Cahyadi et al. 2013; Daksa et al. 2014).

Seleksi toleransi cekaman kekeringan tetua hibrida berdasarkan rata-rata nilai koefisien kekeringan (DC=drought coefficient value) dari empat indikator utama, menunjukkan berturut-turut GMJ15B > R 3 > IR80154B >PK 90 >IR58025B dan GMJ14B > PK 12 merupakan tetua yang memiliki toleransi terhadap simulasi cekaman kekeringan setara dengan Salumpikit > Limboto > dan Gajah Mungkur sebagai varietas pembanding toleran. Berdasarkan hasil skrining pada tetua padi hibrida, maka tahap selanjutnya antara galur-galur mandul jantan dari tipe sitoplasma berbeda yaitu tipe WA (IR 58025A dan GMJ 13A), tipe Gambiaca (IR 80154A dan GMJ 15A=GMJ tipe Kalinga; IR80156A dan GMJ 14A=GMJ tipe Gambiaca) disilangkan dengan galur restorer teridentifikasi toleran simulasi cekaman kekeringan (PK 90, PK 12, dan R 3) dan galur restorer peka cekaman kekeringan (BP 11 dan R 32). Sementara itu, seleksi toleransi padi hibrida berdasarkan rata-rata DC empat indikator menghasilkan 12 hibrida yang pada kondisi tercekam PEG 6000 konsentrasi 25% toleransinya setara dengan varietas pembanding Limboto.

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa PEG 6000 konsentrasi 25% dapat membedakan toleransi baik pada tetua maupun F1 hibrida. Terlihat adanya

respon yang berbeda antar genotipe tetua pada saat kondisi tercekam Begitu pula pada F1 terlihat beberapa hibrida menunjukkan keunggulan dalam hal variabel

perkecambahan dibanding varietas IR 64 dan IR 20 (peka cekaman kekeringan). Terdapat pula keragaman toleransi antar hibrida. Hal ini memberikan informasi bahwa beberapa hibrida dapat memunculkan vigor hibridanya pada kondisi media tercekam kekeringan. Afa et al. (2013) menyatakan bahwa tingkat kesesuaian penggunaan PEG 6000 konsentrasi 25% sebagai agen penyeleksi cekaman kekeringan dengan perlakuan cekaman kekeringan di pot hanya sebesar 0.40 dengan hasil analisis korelasi yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara karakter perkecambahan dengan bobot gabah per rumpun. Oleh karena itu masih perlu dilakukan verifikasi di lapangan untuk hibrida-hibrida yang teridentifikasi toleran pada simulasi cekaman kekeringan untuk mengetahui kestabilan toleransi.

Peran Tetua dalam Perakitan Padi Hibrida Toleran Cekaman Kekeringan dan Hasil Tinggi

Informasi mengenai aksi gen suatu karakter dapat membantu pemulia tanaman untuk membuat keputusan penting menyangkut material tetua yang akan digunakan dan prosedur pemuliaan yang efisien untuk diadopsi. Pemilihan metode perakitan untuk perbaikan karakter-karakter toleran cekaman kekeringan, terutama tergantung pada nilai ragam daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK). Seleksi tetua berdasar kemampuan daya gabungnya untuk karakter-karakter yang mendukung toleransi cekaman kekeringan dapat digunakan untuk perakitan hibrida toleran kekeringan.

Berdasarkan nilai DGK > DGU menunjukkan bahwa karakter persentase perkecambahan, panjang akar seminal, panjang tunas, panjang kecambah, bobot kering tunas, dan indeks vigor benih lebih dipengaruhi oleh aksi gen non-aditif. Karakter yang dipengaruhi oleh aksi gen non-aditif dapat diperbaiki dengan pembentukan varietas hibrida. Selain itu, berdasarkan nilai DGU dihasilkan tetua-

tetua yang potensial digunakan sebagai tetua toleran cekaman kekeringan yaitu IR 58025A, IR 80154A, dan PK 90. Adapun hibrida IR 80154A/PK 90, GMJ 13A/R 3, GMJ 14A/R 3, dan GMJ 15A/PK 90 memiliki nilai DGK terbaik untuk sebagian besar karakter-karakter perkecambahan pada kondisi cekaman kekeringan sehingga dapat dilanjutkan pada skrining cekaman kekeringan fase berikutnya dan potensial dijadikan hibrida toleran cekaman kekeringan. Hasil penelitian ini menginformasikan peran penting baik galur mandul jantan (tetua betina) maupun galur restorer (tetua jantan) untuk mengembangkan hibrida toleran cekaman kekeringan. Pada simulasi cekaman kekeringan ini, hibrida dengan variabel perkecambahan yang toleran tidak selalu berasal dari kedua tetua yang toleran pula namun dapat berasal dari salah satu tetuanya yang toleran. Walaupun demikian, perakitan tetua hibrida baik GMJ, galur B, maupun galur R toleran kekeringan dapat meningkatkan peluang dihasilkannya hibrida toleran kekeringan.

Pengujian daya gabung yang dilakukan terhadap karakter hasil dan komponen hasil menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman, umur 50% berbunga, gabah hampa per malai, persentase gabah isi per malai, dan bobot per rumpun dipengaruhi oleh gen non-aditif yang dapat diperbaiki melalui pembentukan hibrida. Adanya aksi gen non-aditif pada karakter di atas dimungkinkan diperoleh hibrida dengan umur genjah, persentase gabah isi per malai dan bobot per rumpun tinggi. Oleh karena itu, penggunaan tetua yang memang memiliki sifat yang diinginkan untuk karakter di atas dapat meningkatkan kemungkinan dihasilkannya hibrida yang baik.

Berdasarkan pendugaan nilai DGU, tetua dengan nilai DGU karakter gabah isi per malai tinggi dan nyata adalah GMJ IR 58025A, berpotensi meningkatkan jumlah gabah isi per malai jika disilangkan dengan tetua restorer lainnya. Nilai DGU negatif diharapkan diperoleh pada karakter umur panen dan gabah hampa per malai. Nilai DGU negatif pada umur panen menandakan kemampuan tetua bergabung dengan baik dan menyebabkan nilai yang rendah atau umur genjah pada hibridanya PK 12 dan GMJ 14A dapat digunakan untuk perakitan hibrida umur genjah dan gabah hampa per malai lebih rendah.

Hibrida-hibrida GMJ 13A/PK 90, IR 80154A/R 3, dan GMJ 14A/R 3 menunjukkan nilai duga DGK tinggi untuk karakter bobot gabah per rumpun yang artinya hibrida-hibrida tersebut potensial menampilkan bobot gabah lebih tinggi dibanding tetuanya. Hibrida secara komersial bernilai tinggi di masyarakat petani hanya apabila menunjukkan nilai standar heterosis lebih tinggi dibanding varietas populer atau hibrida yang telah dilepas. Pada pengujian ini terseleksi 3 hibrida dengan hasil tertinggi yang berasal dari sumber sitoplasma berbeda yaitu GMJ 13A/BP 11 (GMJ tipe WA), GMJ 14A/PK 90 (GMJ tipe Kalinga), dan GMJ 15A/PK 90 (GMJ tipe Gambiaca). Ketiganya menunjukkan hasil >20% lebih tinggi dibanding varietas pembanding hibrida (Maro dan Hipa 8) serta varietas pembanding inbrida (Ciherang dan Limboto).

Berdasarkan nilai koefisen kekeringan (DC) dan potensi hasil gabah, terdapat empat hibrida dengan kisaran antara 8.28 – 9.62 ton ha-1, dua Di antaranya menunjukkan hasil > 20% lebih tinggi dibanding Ciherang dan Limboto yaitu GMJ 13A/R 3 (9.57 ton ha-1) dan GMJ 14A/R 3 (9.62 ton ha-1) masing- masing memberikan kelebihan hasil 27.5 dan 28.1% lebih tinggi dibanding Ciherang serta 58.7 dan 59.5 % lebih tinggi dibanding Limboto. Hibrida-hibrida

ini perlu pengujian lebih lanjut terutama untuk mengetahui kestabilan karakter toleransi terhadap simulasi kekeringan.

Pemanfaatan GMJ Tipe Sitoplasma WA, Kalinga, dan Gambiaca dalam Peningkatan Produksi Padi Hibrida

Setelah tipe sitoplasma WA ditemukan, galur-galur mandul jantan dengan tipe sitoplasma berbeda berhasil diidentifikasi berikut dengan galur pemulih kesuburannya. Sampai saat ini hibrida yang berkembang memiliki beberapa tipe sitoplasma seperti tipe Honglian, Boro Type III, Gambiaca, Kalinga dan sebagainya (Li et al. 2007). Di Indonesia, sampai tahun 2013 semua hibrida komersial yang di lepas oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian berasal dari tetua GMJ tipe WA. Varietas-varietas hibrida tersebut dirakit menggunakan sistem tiga galur dan terbukti mampu menghasilkan peningkatan hasil 20 – 30% dibanding varietas IR64 atau Ciherang (Satoto et al. 2010; Widyastuti & Satoto 2012; Satoto et al. 2013).

Saat ini Indonesia memiliki dua tipe sitoplasma selain WA yaitu Kalinga dan Gambiaca yang merupakan introduksi dari IRRI dan hasil perbaikan melalui kultur anter (Rumanti, 2011). Namun demikian penelitian menggunakan GMJ tipe Kalinga dan Gambiaca belum banyak dikembangkan sebagai tetua hibrida potensi hasil tinggi, terutama karena galur-galur restorer yang ada pada saat ini merupakan galur-galur yang sejak awal dirancang memiliki uji daya gabung baik dengan tipe WA. Perlu dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan ketiga tipe sitoplasma tersebut pada perakitan padi hibrida.

Pengujian daya gabung efektif untuk mengetahui pengaruh penggabungan kedua tetua dan menentukan tetua yang mampu mengeksploitasi heterosis hibrida. Genotipe yang dapat digunakan sebagai tetua atau hibrida yang potensial untuk dikomersialkan, dapat ditentukan dengan melihat penampilan per se tetua, nilai heterosis F1, dan pengaruh daya gabungnya (Muthuramu et al. 2010). Agar dapat

digunakan secara efektif dalam perakitan padi hibrida, galur mandul jantan harus memiliki daya gabung yang tinggi dengan galur-galur pemulih kesuburan.

Perakitan hibrida-hibrida baru hasil tinggi dengan memanfaatkan GMJ tipe Gambiaca dan Kalinga dapat meningkatkan keragaman varietas padi hibrida di Indonesia sehingga menjamin keberlangsungan produksi (Widyastuti et al. 2015). Berdasarkan hasil gabah yang diperoleh, sebagian besar hibrida yang berasal dari turunan GMJ tipe Kalinga dan Gambiaca mampu memberikan kelebihan hasil > 20% lebih tinggi dibanding terhadap Ciherang. Hal ini semakin menegaskan bahwa galur-galur restorer yang sudah ada dapat digunakan untuk merakit hibrida dengan tetua GMJ tipe Gambiaca dan Kalinga. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih intensif untuk mengidentifikasi mekanisme pengendali pemulihan kesuburan pada galur-galur restorer yang telah ada mengenai daya gabungnya terhadap GMJ tipe Kalinga dan Gambiaca. Penelitian ini dapat dipermudah dengan menggunakan primer salah satunya SSR untuk mengetahui gen-gen restoring fertility yang mengendalikan pemulihan kesuburan baik GMJ tipe WA, Kalinga, maupun Gambiaca.

Kendali Genetik Pemulihan Kesuburan pada Tipe Sitoplasma WA, Kalinga, dan Gambiaca

Pemahaman mengenai mekanisme genetik pemulihan kesuburan merupakan hal penting dalam pemuliaan padi hibrida. Hal ini juga dapat membantu transfer gen pemulih kesuburan ke genotipe lain yang diinginkan. Mandul jantan sitoplasma atau cytoplasmic male sterility (CMS) merupakan salah satu galur tetua penting pada perakitan padi hibrida metode tiga galur. Sejumlah studi yang mempelajari hubungan antara CMS dan gen fertility-restorer (Rf) telah banyak dilakukan.

Menurut Veeresha et al.(2013), persentase serbuk sari fertil masih dianggap kriteria paling terpercaya untuk evaluasi fertilitas spikelet. Fertilitas spikelet pada kombinasi persilangan lebih tinggi dibandingkan masing-masing fertilitas serbuk sari. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya fertilitas serbuk sari belum tentu menjadi indikator fertilitas spikelet yang tinggi pula. Shinjyo (1975) juga melaporkan hal yang sama bahwa gen Rf untuk sitoplasma tipe BT gametofitik dan menghasilkan 50% serbuk sari fertil namun pada persilangan A/R fertilitlas spikeletnya 100%. Namun demikian, fertilitas serbuk sari yang rendah, pada kondisi cekaman abiotik (suhu rendah, salinitas, atau kekeringan) dapat mengakibatkan ketidakstbilan fertilitas spikelet.

Keragaman tingkat pemulihan kesuburan mengindikasikan adanya gen-gen pemulih kesuburan yang berbeda, perbedaan kekuatan untuk memulihkan, perbedaan penetrasi dan ekspresi gen Rf pada tetua, atau modifikasi gen Rf pada sitoplasma GMJ. Hal ini dapat disebabkan interaksi gen inti dengan sitoplasma antara galur restorer dan GMJ. Beberapa peneliti telah melaporkan adanya perbedaan reaksi galur restorer yang sama dalam memulihkan kesuburan GMJ tipe sitoplasma yang berbeda (Murugan & Ganesan 2006; Jayasudha & Sharma 2010; Umadevi et al. 2010). Namun perbedaan tingkat pemulihan kesuburan ini dapat juga disebabkan pengaruh lingkungan (Govindraj et al. 1984). Virmani dan Edwards (1983) melaporkan bahwa kemampuan memulihkan kesuburan beberapa genotipe dapat bersifat spesifik.

GMJ tipe WA dapat dipulihkan kesuburannya oleh gen Rf3 yang ditandai dengan marka RM490 pada kromosom 1 dengan jarak genetik 2.8 cM dari Rf3. Pemulihan kesuburan pada tipe WA juga dikendalikan oleh gen Rf4 yang ditandai oleh marka RM258 yang berada di kromosom 10 dengan jarak genetik 3.1 cM dari. Kedua marka ini dapat digunakan sebagai penanda keberadaan gen Rf3 dan Rf4 pada galur-galur restorer yang efektif memulihkan kesuburan galur mandul jantan tipe WA. Aktivitas gen Rf3 dilaporkan lebih kuat dalam mengembalikan kesuburan dibanding Rf4 (Zhang et al. 1997).

Marka RM1059 (gen Rf3) dan RM1108 (gen Rf4) bersifat polimorfis untuk hibrida turunan GMJ dengan latar belakang sitoplasma Gambiaca. Namun demikian, kedua marka ini belum efektif digunakan sebagai penanda keberadaan kedua gen pemulih kesuburan karena asosiasi dengan fertilitas serbuk sari sangat rendah. Walaupun demikian, mekanisme pemulihan kesuburan pada tipe Gambiaca teridentifikasi dikendalikan oleh Rf3 dan Rf4 sebagaimana yang dilaporkan oleh Sattari et al. (2008).

GMJ tipe Kalinga dapat dipulihkan kesuburannya oleh gen Rf3 yang berlokasi 2.8 cM dari marka RM490 dan gen Rf4 yang berada pada 3.4 cM dari

marka RM228. Beberapa galur pemulih kesuburan yang efek kerja gen Rf3-nya lebih kuat dibandingkan gen Rf4 ketika memulihkan kesuburan dari galur mandul jantan, akan memiliki kemampuan untuk memulihkan GMJ tipe Gambiaca dan Kalinga. Oleh karena itu GMJ dengan latar belakang sitoplasma Gambiaca dan Kalinga masih dapat dipulihkan kesuburannya oleh galur-galur pemulih kesuburan bagi GMJ tipe WA. Sahu et al (2014) menunjukkan GMJ tipe WA dan Kalinga mampu dipulihkan oleh galur restorer yang sama ditunjukkan dengan tingkat fertilitas serbuksari dan spikelet yang setara. Namun demikian terdapat kemungkinan tipe Kalinga juga dikendalikan oleh gen-gen pemulih kesuburan lainnya.

Secara umum sistem GMJ tipe Kalinga dan Gambiaca memiliki potensi besar untuk dikembangkan pada perakitan padi hibrida potensi hasil tinggi. Apabila pada pembentukan padi hibrida menggunakan GMJ tipe WA teridentifikasi hibrida dengan persentase pengisian spikelet yang tergolong parsial, maka terdapat kemungkinan galur-galur restorer yang digunakan diuji untuk GMJ tipe Kalinga atau Gambiaca. Perlu penelitian lebih lanjut untuk hibrida-hibrida turunan GMJ tipe Gambiaca dan Kalinga sebagai alternatif varietas unggul hibrida di masyarakat selain hibrida yang berbasis tipe WA. Penelitian tersebut tidak hanya pengujian kestabilan potensi hasil tetapi juga ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik serta kualitas gabah dan mutu berasnya.

Beberapa primer SSR terbukti dapat menanda gen pemulih kesuburan pada beberapa galur restorer. Studi ini dapat membantu pengembangan marka berdasar PCR terpaut gen Rf dan aplikasi MAS (marker assisted selection). MAS merupakan metode seleksi yang mengacu pada pemanfaatan marka DNA yang berpautan dengan lokus target sehingga dapat digunakan untuk menduga dan membantu calon-calon galur pemulih kesuburan yang sesuai dengan tipe sitoplasma WA, Kalinga, atau Gambiaca.

Serangkaian kegiatan penelitian ini menunjukkan adanya potensi untuk pengembangan padi hibrida toleran cekaman kekeringan dengan menggunakan tetua-tetua yang memiliki toleransi terhadap defisit air. Sebagaimana diketahui bahwa ancaman kekeringan saat ini tidak hanya mengancam lahan sawah tadah hujan tapi juga lahan sawah irigasi akibat perubahan iklim global maupun kerusakan infrastruktur irigasi yang menyebabkan kondisi lahan kekurangan air. Pada kondisi inilah teknologi padi hibrida toleran cekaman kekeringan dapat mendukung peningkatan produktivitas padi.

Pemanfaatan hibrida-hibrida yang berasal dari sumber sitoplasma selain Wild Abortive dimungkinkan untuk meningkatkan keragaman genetik dan memperluas preferensi petani. Galur-galur restorer yang telah dikembangkan selama ini dapat diidentifikasi pemulihan kesuburannya pada sumber sitoplasma yang berbeda dengan menggunakan bantuan primer SSR sehingga dapat mempersingkat waktu pemuliaan pada masa yang akan datang.

Dokumen terkait