• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam upaya untuk mendapatkan galur ramet tanaman kelapa sawit moderat tahan terhadap G. boninense, telah dilakukan penelitian memanfaatkan teknik seleksi in vitro dengan teknologi kultur jaringan. Penelitian ini menggunakan prinsip dasar mutasi yaitu terjadinya variasi somaklonal yang diinduksi oleh proses kultur jaringan kelapa sawit. Variasi somaklonal diduga terjadi selama proses kultur jaringan mulai dari tahap pembentukan kalus yang berdiferensiasi menjadi embrio somatik, pembentukan tunas, perkembangan tunas dan induksi perakaran sehingga menghasilkan ramet.

Untuk mencapai hasil berupa galur ramet moderat tahan terhadap G. boninense, seleksi in vitro yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa kegiatan, mencakup (i) mendapatkan isolat G. boninense Pat. dari beberapa area kebun kelapa sawit yang endemik di Sumatera yang memiliki tingkat virulensi yang tinggi berdasarkan karakter fisiologisnya; (ii) menetapkan teknik seleksi ketahanan kultur kelapa sawit terhadap G. boninense Pat., dilanjutkan dengan melakukan (iii) menetapkan senyawa aktif dalam kultur filtrat G. boninense Pat. yang terlibat dalam kebocoran elektrolit sel kalus kelapa sawit

Teknik seleksi in vitro membutuhkan isolat G. boninense yang memiliki tingkat virulensi tertinggi sebagai sumber agen seleksi. Media kromogenik dapat digunakan untuk membedakan isolat G. boninense paling virulen berdasarkan beberapa karakter fisiologisnya. Pemilihan isolat menggunakan media kromogenik merupakan penggambaran kondisi interaksi patogen dengan inangnya. Jaringan batang kelapa sawit sebagai media tumbuh G. boninense diperkirakan memiliki sistem pertahanan kimiawi seperti asam tanat. Isolat G.

74

boninense yang memiliki tingkat virulensi tertinggi diperkirakan mampu tumbuh dengan cepat meskipun pada media asam tanat yang beracun.

Selanjutnya dibagian tanaman inang, perlu dipilih jenis kultur tanaman inang yang diperlukan sebagai bahan seleksi. Salah satu jenis kalus yang dihasilkan dalam kultur jaringan kelapa sawit adalah kalus yang bersifat remah. Kalus remah memiliki kemampuan multiplikasi sel yang cukup tinggi, sehingga berpotensi untuk menghasilkan variasi somaklonal. Kalus jenis ini memiliki ukuran clump kalus yang beragam, sehingga dapat dilakukan pemilihan ukuran yang disesuaikan dengan prosedur seleksinya. Daya multiplikasi yang tinggi memberikan jumlah unit seleksi (clump) yang memadai untuk diseleksi.

Variasi somaklonal yang terbentuk dapat diarahkan ketahanan terhadap agen seleksi G. boninense dengan memaparkan kalus embriogenik dalam medium yang mengandung filtrat G. boninense. Kultur filtrat patogen mungkin mengandung faktor virulensi suatu penyakit dalam jumlah yang kurang atau lebih dibandingkan yang ditemukan di jaringan inang yang sakit. Kultur filtrat patogen diasumsikan mengandung berbagai macam komponen sel patogen seperti metabolit sekunder, enzim dan zat pengatur tumbuh yang disekresikan ke dalam media buatan. Metabolit sekunder pada kultur filtrat G. boninense dapat bersifat toksik terhadap tanaman dan mungkin berperan dalam patogenesitas penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit.

Walupun demikian, kondisi optimal untuk pertumbuhan miselium G. boninense perlu diketahui. Filtrat dapat diekstraksi dari kultur miselium G. boninense pada umur 15 hari setelah inokulasi (hsi) karena paling optimal menyebabkan kematian kalus. Panen filtrat 15 hsi diperkirakan menghasilkan senyawa yang bertanggung jawab terhadap virulensi tersekresi optimal ke dalam media tumbuhnnya.

Induksi variasi somaklonal untuk mendapatkan galur embrio somatik yang moderat tahan terhadap G. boninense dilakukan melalui beberapa tahap seleksi. Tahapan seleksi adalah dengan melakukan sub kultur kalus beberapa kali ke media yang mengandung filtrat G. boninense pada konsentrasi subletal pada periode tertentu. Akan tetapi, penetapan konsentrasi seleksi (subletal) terlebih dahulu ditetapkan konsentrasi letalnya.

Berdasarkan uji toksisitas filtrat G. boninense terhadap kemampuan hidup kalus, konsentrasi letal filtrat diperoleh sekitar 40% (v/v). Komposisi media tumbuh patogen dan filtrat menyebabkan cekaman untuk pertumbuhan kalus embriogenik kelapa sawit. Media YMB mendorong pertumbuhan optimal bagi G. boninense tetapi, tidak untuk kalus kelapa sawit. Media tumbuh patogen sebaiknya memberikan pengaruh penghambatan pertumbuhan kalus seminimal mungkin, tetapi juga mampu mendorong ekspresi faktor virulen patogennya se- optimal mungkin.

Selanjutnya, bagian kritis dalam pemanfaatan teknik kultur jaringan untuk seleksi in vitro spesies rekalsitran seperti kelapa sawit, adalah pada keberhasilan meregenerasi kalus terseleksi menjadi embrio somatik, diikuti dengan pembentukan tunas dan ramet. Pada bagian ini, keseimbangan antara kekuatan cekaman dan daya regenerasi tanaman perlu ditetapkan sehingga diperoleh tunas. Konsentrasi subletal optimal filtrat G. boninense ditetapkan sebesar 32% (v/v) setelah melalui empat siklus seleksi (3 bulan per siklus).

75 Menurut Feher (2006) kalus secara in vitro berada pada tahap kompetensi seluler yang bersifat embriogenik. Pada tahap ini, sel yang telah berdediferensiasi akan merespons induksi eksternal sehingga dapat berkembang ke tahap embryogenic cell fate. Pada tahap tersebut secara seluler terjadi kromatin remodeling, reorganisasi seluler, perubahan fisiologi sel, respons sel terhadap cekaman, ekspresi gen embriogenik, polaritas dan pembelahan sel. Dalam proses tersebut cekaman lingkungan berperan sebagai induktor penting untuk melengkapi keseluruhan embriogenesis.

Cekaman dari filtrat G. boninense merupakan induktor eksternal yang dapat menginduksi terbentuknya embrio somatik pada kalus sekaligus meningkatkan ketahanan tunas kelapa sawit. Apabila pada jaringan sel kalus terdapat variasi somaklonal maka jenis cekaman kemungkinan akan mengarahkan karakter somaklon yang diperoleh. Embrio somatik asal kalus terseleksi dianggap telah mampu mengatasi cekaman yang ditimbulkan oleh agen seleksi dalam filtrat G. boninense. Apabila dalam filtrat terdapat agen seleksi yang merupakan inhibitor efektif maka karakter tahan ditahap in vitro berkorelasi dengan ketahanan tanaman terhadap infeksi G. boninense dilapang. Walaupun, hal tersebut masih perlu diverifikasi pada tahap selanjutnya dari prosedur seleksi ini.

Indikator awal peubah ketahanan kalus terseleksi ditunjukkan pada peningkatan aktivitas enzim peroksidase (POD) dan fenilalanin amonia liase (PAL) dengan peningkatan masing-masing sebesar 21.31% dan 100.26% dibandingkan dengan kalus kontrol. Enzim-enzim tersebut berhubungan dengan sistem ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik. Tay et al. (2009) melaporkan adanya peningkatan yang nyata aktivitas enzim PAL dan POD sebagai respons infeksi G. boninense secara buatan pada bibit kelapa sawit. Hal tersebut menunjukkan adanya korelasi peubah ketahanan kelapa sawit dengan aktivitas enzim PAL dan POD.

Lamanya waktu inkubasi kalus embriogenik menyebabkan terjadi dehidrasi media yang berimplikasi pada cekaman air terhadap kultur kalus. Dehidrasi kalus berperan dalam embriogenesis somatik kelapa sawit. Menurut Jimenez (2001) embrio somatik yang terbentuk memerlukan waktu pendewasaaan untuk dapat berkecambah, lama periode tersebut berhubungan dengan akumulasi cadangan energi sel dan waktu desikasi.

Berapa lama waktu seleksi pada setiap siklus seleksi dan beberapa banyak siklus seleksi yang diperlukan untuk mendapatkan somatik embrio serta tunas in vitro dari kalus terseleksi, mungkin dipengaruhi oleh genotipe atau spesies tanaman uji. Hasil pada kelapa sawit menunjukkan lama waktu seleksi yang diperlukan sekitar 3 bulan dan melalui empat tahap siklus seleksi. Lamanya periode seleksi tersebut berkaitan dengan proses fisiologis seluler tahapan perkembangan jaringan sel dalam embriogenesis somatik kelapa sawit.

Lama periode seleksi juga berkaitan dengan tahapan seleksi sel-sel mutan dari sel-sel normal. Sel-sel mutan yang memiliki karakter fisiologis tahan terhadap cekaman filtrat G. boninense akan mampu terus hidup sedangkan pada sel normal sebaliknya akan mati. Seleksi dalam beberapa tahap adalah untuk memastikan bahwa tunas yang diperoleh memiliki ketahanan terhadap filtrat G. boninense.

Pertumbuhan kalus embriogenik terseleksi dalam medium yang mengandung filtrat G. boninense selama periode seleksi, dapat memacu terbentuknya karakter moderat tahan terhadap G. boninense yang diduga bersifat

76

epigenetik. Hal ini disebabkan adanya periode beradaptasi selama siklus seleksi sehingga hanya sel-sel tertentu yang mampu bertahan terhadap kondisi cekaman yang diberikan.

Ketahanan terhadap cekaman biotik melibatkan aspek genotipe tanaman dan patogen yang saling berinteraksi. Dalam proses interaksi inang-patogen dalam jaringan sel inang melibatkan beberapa komponen senyawa aktif. Faktor virulensi G. boninense merupakan penentu dari patogenesitas penyakit BPB. Informasi faktor virulensi ini sangat penting karena menjadi syarat multak yang menentukan tingkat ketahanan yang diperoleh somaklon terhadap penyakit BPB. Namun, kajian mekanisme hubungan parasitisme G. boninense pada kelapa sawit ditingkat seluler hingga saat masih sedikit diteliti.

Setiap patogen diketahui memiliki faktor virulensi yang berkaitan dengan produksi metabolit sekunder. Metabolit sekunder dapat berperan secara langsung atau tidak langsung pada tahap infeksi dan kolonisasi patogen di jaringan sel inang. Metabolit sekunder patogen dapat berpengaruh terhadap kerusakan atau ketidak-seimbangan fisiologis jaringan sel inang (Fox dan Howlett 2008). Faktor virulensi patogen tanaman dalam seleksi in vitro berhubungan dengan konsep toksin dan digunakan sebagai agen seleksi (Svabova dan Lebeda 2005). Toksin patogen tanaman secara konseptual tersekresi disekitar koloni memberikan pengaruh fisiologi terhadap jaringan sel inangnya secara signifikan. Toksin patogen tanaman dapat bersifat inang spesifik atau tidak bersifat inang spesifik. Seringkali oleh karena keterbatasan pengetahuan tentang toksin pada patogen, dapat digunakan kultur filtrat patogen sebagai agen seleksi.

Bukti kerusakan jaringan sebagai akibat dari kalus terpapar filtrat pada media seleksi telah dapat diamati saat proses seleksi terjadi. Penampang irisan tipis jaringan kalus menunjukkan terjadi proses nekrosis sel yang ditandai perbedaan warna. Luas bagian penampang kalus yang mengalami pencokelatan terindikasi meningkat sejalan dengan peningkatan konsentrasi filtrat dan lama waktu pemaparan dalam media seleksi.

Nekrosis sel kalus secara mikroskopis teramati dari berkas protoplasma yang hilang pada irisan mikrotom jaringan. Sebelum nekrosis terlihat, awalnya kebocoran elektrolit sel terjadi, hal tersebut sebagai salah satu respons fisiologis akibat adanya cekaman. Hasil analisis lintas menunjukkan kebocoran elektrolit sel kalus setelah terpapar filtrat disebabkan oleh kelompok senyawa protein dan asam oksalat.

Filtrat G. boninense sebagai sumber agen seleksi ditemukan asam oksalat sebesar 24.95 ppm, sedangkan media yang sama tanpa inokulasi G. boninense sebesar 4.72 ppm. Sedangkan kelompok senyawa protein yang terkandung dalam filtrat sebesar 90.22 ppm dan 62.26 ppm pada kontrol. Beberapa kelompok senyawa protein fungsional yaitu enzim-enzim terlibat dalam patogenesitas genus Ganoderma sp. seperti lakase, lignin peroksidase, manganase peroksidase (Hariharan dan Nambisan 2012; Goh et al. 2014) dan pektinase (Tsung-Che dan Li-Shu 1987).

Elissetche et al. (2006) menemukan juga kandungan asam oksalat dari hasil fermentasi media yang mengandung serbuk kayu Poplar setelah diinokulasi dengan G. australe. Asam oksalat banyak dilaporkan berhubungan dengan patogenesitas beberapa patogen tanaman, terutama dalam mempengaruhi regulasi ion Ca2+ yang sangat penting bagi tanaman (Dutton dan Evans 1996; Cessna et al.

77 2000; Lehner et al. 2008). Menurut Favaron et. al. (2004) terdapat hubungan sinergis antara pektinase dan asam oksalat dalam keberhasilan infeksi Sclerotinia sclerotiorum. Kemungkinan hal tersebut juga terjadi pada proses infeksi G. boninense.

Munir et al. (2001) menyatakan bahwa asam oksalat secara umum dihasilkan oleh cendawan pelapuk kayu senyawa tersebut dapat berasal dari siklus asam trikarboksilat dan siklus glioksilat. Peran asam oksalat diduga sangat penting dalam keberhasilan G. boninense pada tahap infeksi serta kolonisasi pada jaringan parenkim akar dan batang kelapa sawit (Paterson 2007). Akusisi selulosa yang tersimpan dalam jaringan parenkim batang kelapa sawit diduga melibatkan asam-asam organik seperti oksalat (Tanaka et al. 1994).

Seleksi in vitro pada penelitian ini mampu menghasilkan beberapa tunas yang tumbuh berkembang dengan baik dalam medium seleksi, yang pada saat pembuatan laporan ini seluruh tunas telah memasuki fase induksi pembentukan akar. Penelitian ini mengindikasikan bahwa penggunaan periode waktu siklus seleksi dengan konsentrasi filtrat yang tepat merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk mendapatkan tunas hasil seleksi in vitro kelapa sawit. Selain itu siklus seleksi berulang memberikan kepastian kestabilan ketahanan galur kecambah kelapa sawit yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa tunas-tunas yang dihasilkan merupakan kandidat ramet yang moderat tahan terhadap G. boninense.

Teknik seleksi in vitro ini merupakan salah satu teknik seleksi yang tidak memerlukan lahan yang luas, populasi yang diseleksi dapat sangat banyak karena dilakukan pada level sel dan waktu lebih singkat dibandingkan dengan cara konvensional. Akan tetapi teknik ini kemungkinan memiliki kekurangan seperti terjadinya escape, karakter ketahanan bersifat epigenetik dan pengaruh epigenetik pada karakter lainnya seperti adanya bunga mantel yang merugikan.

Potensi escape selalu ada dalam metode seleksi in vitro, demikian juga perubahan karakter tahan yang bersifat epigenetik. Akan tetapi hal tersebut dapat dihindari apabila agen seleksi di dalam filtrat telah diketahui dengan pasti sebagai faktor determinan pada patogenesitas suatu patogen tanaman. Asam oksalat dan kelompok protein seperti enzim-enzim lignolitik dan pektinase diperkirakan dapat menjadi faktor determinan patogenesitas G. boninense, namun hal itu perlu dilakukan pembuktian lebih jauh.

Faktor determinan suatu patogen tanaman apabila merupakan ekspresi dari gen-gen mayor maka karakter ketahanan dari somaklon yang diperoleh dapat didekati melalui konsep gene to gene. Situasi akan berbeda jika faktor determinan pada patogen merupakan ekspresi dari gen-gen minor maka karakter ketahanan dari somaklon perlu pendekatan pemuliaan kuantitatif. Umumnya ketahanan tanaman terhadap suatu penyakit merupakan ekspresi dari gen minor sehingga konsep pemuliaan kuantitatif lebih sering digunakan. Penelitian seleksi in vitro ini belum seluruhnya selesai dilakukan, namun informasi awal proses seleksi didalam laboratorium sudah cukup memberi bukti bahwa metode ini dapat digunakan sebagai alternatif mendapatkan galur-galur tanaman kelapa sawit moderat tahan terhadap G. boninense.

78

Dokumen terkait