• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Teknik seleksi in vitro menggunakan filtrat Ganoderma boninense menyebabkan nekrosis jaringan kalus kelapa sawit. Filtrat G. boninense diperkirakan mengandung senyawa toksin. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk menetapkan senyawa aktif dalam kultur filtrat G. boninense. penyebab nekrosis sel kalus kelapa sawit. Untuk itu, tiga kegiatan dilakukan, meliputi (i) visualisasi respons kalus terhadap filtrat, (ii) pengukuran senyawa aktif filtrat G. ganoderma, dan (iii) menduga senyawa fitotoksin yang terlibat pada kebocoran elektrolit jaringan kalus kelapa sawit. Kalus embriogenik kelapa sawit digunakan sebagai bahan tanaman. Isolat G. boninense strain G3-11-U5 digunakan sebagai sumber agen seleksi. Penentuan area nekrosis jaringan kalus menggunakan GNU Image Manipulation Programe dipengaruhi oleh konsentrasi dan waktu pemaparan di media seleksi. Analisis kimia kandungan filtrat G. boninense dan kontrol menunjukkan perbedaan kandungan asam oksalat, ergosterol, total protein dan total polisakarida. Analisis lintas menunjukkan bahwa kebocoran elektrolit kalus disebabkan oleh asam oksalat dan kelompok senyawa protein.

Kata kunci: Analisis lintas, Asam oksalat, Elaeis guineensis, Kebocoran elektrolit, Seleksi in vitro.

Abstract

In vitro selection technique using G. boninense filtrate caused oil palm tissue callus necrotic. Ganoderma boninense filtrate was expected containing toxic componds. The purpose of this study was to determine active component in G. boninense filtrate culture that causes necrosis of oil palm cell. For that reason above, three activities were done, include: (i) callus response visualization against filtrate, (ii) measure G. boninense filtrate active compound, and (iii) suspect phytotoxin compounds that involved on ion leakage of oil palm callus tissue. Oil palm embryogenic callus was used as plant materials. Isolate G. boninense G3-11-U5 strain was used as source of selection agent. Determination of callus tissue necrosis area was done using the GNU Image Manipulation Program. It was influenced by concentration and exposure time on selection medium. Chemical analysis of G. boninense filtrate and control showed the different content of oxalic acids, ergosterol, total polysaccharides and total protein. Test results using Path analysis indicating that the callus tissue electrolyte leakage caused by oxalic acid and protein compounds.

Keywords: Elaeis guineensis, Electrolyte leakage, In vitro selection, Oxalic acid, Path analysis.

51 Pendahuluan

Untuk pengembangan teknik seleksi in vitro tahan penyakit BPB diperlukan informasi mengenai virulensi G. boninense. Tingkat virulensi G. boninense dalam kondisi in vitro sedapat mungkin menggambarkan kondisi patosistem yang terbentuk saat infeksi dan kolonisasi G. boninense terjadi dijaringan kelapa sawit. Dalam proses infeksi dan kolonisasi peranan berbagai jenis senyawa aktif G. boninense masih sedikit dilaporkan.

Ganoderma boninense merupakan organisme saprofitik dan parasit yang dapat tumbuh pada batang kayu mati ataupun tanaman hidup. Kapang ini dikenal sebagai jamur pelapuk putih (white rot fungi) yang mempunyai kemampuan mensekresikan enzim ekstraseluler. Enzim ekstraseluler pada cendawan pelapuk kayu menyebabkan perombak serat kayu terutama lignin dan selulosa menjadi molekul sederhana yang bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan energi dalam pertumbuhan (Vares dan Hatakka 1997). Dalam proses infeksi Ganoderma spp. diketahui mensekresikan berbagai enzim ekstraseluler yang diketahui berperan dalam menguraikan serat kayu (Ariwibowo 1996).

Hifa cendawan patogen umumnya akan masuk ke dalam jaringan sel inangnya atau menempel pada permukaan sel inangnya, saat terjadi kontak fisik terjadi komunikasi kimiawi sehingga menimbulkan respons pengenalan oleh tanaman. Infeksi cendawan nekrotopik atau hemibiotropik pada jaringan sel inang akan direspons oleh tanaman seperti nekrosis jaringan sel.

Nekrosis berhubungan dengan akumulasi polifenol pada jaringan yang sakit. Sel dalam konsidi tercekam dalam kurun waktu tertentu akan mengalami kematian jaringan sel. Kematian jaringan sel dapat terprogram secara genetik programe cell death (PCD) yang disebut apoptosis dan melalui mekanisme nekrosis. Luasan nekrosis per satuan waktu menunjukkan keparahan serangan. Karena itu, pengukuran keparahan serangan dapat dilihat dari lebar nekrosis yang terbentuk.

Kompatermen vakuola sel merupakan tempat penyimpanan metabolit sekunder salah satunya senyawa fenol. Kekacauan membran sebagai akibat senyawa tertentu asal cendawan patogen menyebabkan senyawa tersebut tersekresi keluar sel sehingga bereaksi dengan enzim polifenoloksidase pada dinding sel. Enzim polifenoloksidase mampu mengoksidasi persenyawaan fenol menjadi radikal fenol dan akhirnya menjadi kuinon.

Pewarna fast green atau safranin biasa digunakan untuk mewarnai dinding sel tanaman yang mengalami nekrosis jaringan. Jika dinding sel berkelimpahan fenol maka akan terwarnai merah yang menunjukkan adanya ikatan senyawa fenol dengan pengemban warna pada safranin sedangkan pewarna fast green hanya akan mewarnai dinding sel yang tidak mengandung fenol terlarut.

Kendala yang dihadapi dalam pengembangan seleksi in vitro untuk ketahanan kelapa sawit terhadap G. boninense adalah sedikitnya informasi peran faktor virulensi G. boninense. Menurut Griffin (1981) terdapat lima jenis metabolit sekunder asal cendawan meliputi: senyawa poli atau oligosakarida, polikitide, terpen, fenolik dan peptida asam amino. Zhu et al. (2009) melaporkan bahwa metabolit sekunder yang dihasilkan G. boninense dapat digolongkan dalam kelompok senyawa polar dan non polar. Kelompok polar diantaranya polisakarida, protein, sedangkan kelompok non polar adalah triterpenoid dan asam lemak-

52

lanostreol. Informasi senyawa yang terlibat dalam patogenesitas G. boninense akan berguna karena dapat menggambarkan kondisi patosistem yang terbentuk dilapang saat G. boninense berhasil mengkolonisasi jaringan sel kelapa sawit. Untuk itu perlu dilakukan pendugaan senyawa aktif yang berperan dalam proses kolonisasi patogen dalam jaringan sel inang kelapa sawit.

Respons sel tanaman terhadap serangan patogen dapat berbentuk nekrosis jaringan. Saat sebelum gejala nekrosis terlihat pada jaringan, gejala fisiologis kebocoran elektrolit terjadi, yaitu ion-ion plasma sel tersekresi keluar sel lebih besar daripada pada kondisi normal. Selektivitas atau permeabilitas membran sel menjadi berkurang akibat keseimbangan sistem redoks secara seluler terganggu dan jika cekaman terjadi terus menerus maka sel akan mati.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah menetapkan senyawa aktif dalam kultur filtrat Ganoderma boninense Pat. yang terlibat dalam nekrosis sel kalus kelapa sawit.

Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan beberapa kegiatan, yaitu (i) mendapatkan karakter fenotipik makroskopis dan mikroskopis jaringan sel sebagai respons terhadap toksisitas filtrat. (ii) menetapkan kandungan senyawa aktif dalam filtrat G. boninense dan (iii) menetapkan senyawa fitotoksin yang terlibat dalam kebocoran elektrolit jaringan sel kalus kelapa sawit.

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2012 sampai dengan April 2013 di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong dan Laboratorium Proteomics-Metabolomics PT SMART tbk. Bahan tanaman berupa kalus embriogenik kelapa sawit berumur sekitar 18 bulan yang berasal dari kalus Tenera. Pada percobaan ini kalus kalus ditimbang dengan berat setiap satuan percobaan sekitar 0.1 g.

Penelitian terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu uji toksisitas filtrat terhadap kalus kelapa sawit berdasarkan karakter fenotipik pengamatan makroskopis dan mikroskopis. Analisis kandungan senyawa aktif kultur filtrat Ganoderma dan analisis kebocoran elektrolit jaringan sel kalus akibat terpapar filtrat.

Penyediaan sumber filtrat G. boninense

Kultur G. boninensis kode G3-11-U5 sebagai sumber senyawa agen seleksi. Sebanyak satu inokulum (ɸ 5 mm) setiap 10 mL dibiakkan pada media produksi filtrat YMB. Media YMB disimpan pada ruangan gelap dengan suhu 28 ± 2 oC sampai saat panen. Panen filtrat dilakukan 15 HSI, dengan memisahkan miselium dari media. Filtrat disaring menggunakan kain poliester 5 mesh (156 inch2), kemudian disentrifugasi kecepatan 10,000 rpm pada suhu 4 oC selama 15 menit kemudian diatur pH menjadi 5.8.

Sebagian filtrat digunakan untuk deteksi kebocoran ion jaringan kalus sisanya digunakan untuk penetapan kandungan biokimia, yaitu asam-asam organik, ergostrerol total polisakarida dan total protein.

53 Uji Toksisitas Filtrat Berdasarkan Karakter Makroskopis dan Mikroskopis

Uji toksisitas filtrat G. boninsense terhadap penampang jaringan kalus embriogenik kelapa sawit dilakukan dalam dua tahapan, yaitu : (i) menggunakan konsentrasi subletal filtrat 20%, 24%, 28%, 32%, 36%, dan konsentrasi letal 40% (v/v), (ii) menggunakan perbedaan waktu cekaman dengan filtrat konsentrasi letal filtrat 40% (v/v) dilakukan pengambilan sampel setiap hari selama 15 hari. Pengambilan sampel kalus pada setiap pengamatan uji cekaman sebanyak satu clump kalus.

Teknik mikrotom, yaitu pembuatan sayatan tipis jaringan kalus menurut bidang melintang setebal 15-20 mikron dilakukan dengan alat mikrotom geser di Laboratorium Histologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong. Teknik mikrotom dengan parafin digunakan untuk mendapatkan sayatan tipis spesimen jaringan sel kalus. Metode parafin menggunakan seri larutan Johansen dengan Tertier Butil Alkohol (TBA) sebagai dehidran (Sass 1956). Metode ini terdiri atas 10 tahap yaitu a) fiksasi, b) pencucian, c) dehidrasi, d) infiltrasi, e) penanaman (blok), f) penyayatan, g) perekatan, h) pewarnaan, i) penutupan dan j) pemberian label.

Tahap fiksasi (a) kalus difiksasi dalam larutan FAA (dengan perbandingan 5:5:90 Formaldehid, asam asetat glasial, etanol 70%) selama 24 jam. Tahap pencucian (b), larutan fiksatif dibuang dan dicuci dengan etanol 50 % sebanyak tiga kali masing-masing selama 0.5 jam. Tahap dehidrasi (c), dilakukan secara bertahap dengan merendam kalus dalam larutan seri Jonsen sampai delapan tahap. Tahap infiltrasi (d) dilakukan secara bertahap dalam botol yang awalnya berisi 1/4 bagian xylol:parafin disimpan pada suhu kamar selama 3 jam (tutup dibuka) kemudian disimpan dalam oven (58 o

Tahap penyayatan (e) blok yang sudah dirapikan ditempel pada holder dan disayat dengan mikrotom putar setebal 10 µm. Tahap perekatan (g), sayatan direkatkan pada gelas obyek yang telah diolesi albumin-gliserin dan satu tetes air, selanjutnya gelas objek tersebut dipanaskan pada hotplate dengan suhu 45

C) selama 12 jam (tutup dibuka) dan selanjutnya seluruh parafin: xylol dituang, diganti dengan padafin cair murni ¼ bagian kalus. Cara yang sama dilakukan sampai seluruh bagian kalus kemudian disimpan di dalam oven dengan suhu 58 °C selama 1 jam, selanjutnya kalus tersebut siap diblok. Tahap penanaman (e), spesimen kalus pada tahap sebelumnya dimasukan dalam parafin cair dan dibiarkan membeku.

o

C dan fastgreen 0.5% dalam etanol 95%. Tahap pewarnaan (h), secara berturut-turut gelas objek direndam ke dalam larutan pewarnaan (lampiran 36). Tahap penutupan (i), bahan diberi media etellan atau canada balsam dan ditutup dengan penutup kaca. Tahap pelabelan (j), dengan segera setelah penutupan kaca penutup spesimen kalus ditandai label dengan cara ditempel pada satu sisi gelas objek. Penyedian kalus embriogenik kelapa sawit

Analisis Kandungan Senyawa dalam Filtrat G. boninense

Penetapan kandungan senyawa kimia dalam filtrat mencakup asam–asam organik, ergosterol, total polisakarida dan total protein. Penetapan kadar asam- asam organik dan ergosterol dilakukan menggunakan perangkat alat UPLC Water. Penetapan kadar total protein dan total polisakarida menggunakan perangkat alat spektofotometer double beam Hitachi.

54

Analisis Konsentrasi Asam-Asam Organik

Pengukuran kadar asam-asam organik dilakukan secara simultan meliputi: asam α-ketoglutarat, asam oksalat, asam malat dan asam sitrat. Analisis asam- asam organik menurut metode Schilling (2006) dengan modifikasi. Sebanyak 5 mL filtrat diatur tingkat kemasamannya menjadi 2.2 dengan penambahan beberapa tetes HCl 0.1 N. Selanjutnya diambil sebanyak 2 mL filtrat dan disentrifugasi sebanyak dua kali dengan kecepatan 7.000 rpm selama masing- masing 10 menit. Arang aktif ditambahkan kedalam filtrat dalam rasio 2:1 (w/v) kemudian campuran divortek sampai homogen dilanjutkan dengan disentrifugasi 1,000 rpm selama 1 jam pada suhu kamar. Campuran disentrifugasi dengan kecepatan 7,000 rpm sebanyak dua kali selama sepuluh menit. Sebanyak 1 mL supernatan digunakan untuk penetapan kandungan asam organik

Kondisi pengukuran UPLC menggunakan kolom Water Acquity UPLC BEH C18 (2.1 mm x 50 mm, particle size 1.7 µm), volume injeksi 1 µL, temperatur kolom suhu ruang, detektor photo diode array(PDA) λ 210 nm, flow rate 0.1 mL/menit, fase gerak air double destilasi pH 2.5 dengan H2SO4

Analisis Konsentrasi Ergesterol

waktu retensi 4.5 menit.

Analisis asam-asam organik menurut metode Mohd-As’wad et al. (2011) dengan modifikasi. Analisis ergosterol dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: filtrat dilarutkan dalam metanol dengan perbandingan 1:5 (v/v), sebanyak 10 mL dipekatkan melalui penangas air dan dihomogenkan dengan sonifikasi pada suhu 60 o

Kondisi pengukuran UPLC menggunakan kolom Water Acquity UPLC BEH C18 (2.1 mm x 50 mm, particle size 1.7 µm), volume injeksi 1 µL, temperatur kolom 40

C selama 20 menit sampai tersisa 1 mL. Larutan kemudian ditambahkan kembali metanol pada perbandingan 1:3 (v/v). Campuran kemudian dishaker dengan kecepatan 200 rpm selama 30 menit dan didiamkan selama 10 menit, sebanyak 1 mL lapisan suspensi bagian atas dipisahkan dengan pipet dan disentrifugasi 11,000 rpm selama 10 menit. Kandungan senyawa ergesterol dalam sampel diukur dengan UPLC.

o

Analisis Konsentrasi Total Polisakarida

C, detektor photo diode array (PDA) λ 282 nm, flow rate 0.1 mL/menit, fase gerak metanol 0:100 dengan waktu retensi 5 menit.

Analisis total polisakarida dilakukan menurut metode Dubois et al. (1956) Total polisakarida ditetapkan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 0.5 mL filtrat dicampur dengan larutan fenol 4% dan digoyang perlahan. Larutan ditambah H2SO4 pekat sebanyak 2.5 mL digoyang perlahan dan didiamkan selama 30

menit. Larutan diencerkan 100 kali dan divortek hingga homogen, dilanjutkan dengan pengukuran kandungan total polisakarida. Pengukuran dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang A490

Analisis Konsentrasi Total Protein

dengan standar β-Glukan.

Pengukuran konsentrasi total protein terlarut dilakukan menurut metode Lowry et al. (1951). Sebanyak 0.2 mL filtrat dilarutkan dengan 1.125 mL larutan C kemudian divortek dan diamkan selama 10 menit. Sebanyak 0.375 mL larutan D ditambahkan ke dalam larutan, divorteks sampai homogen dan diamkan selama

55 2 jam. Kandungan total protein ditetapkan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang A420

Evaluasi Kebocoran Elektrolit Sel Kalus Kelapa Sawit dengan standar protein albumin.

Evaluasi kebocoran elektrolit sel kalus dilakukan menurut metode Arvin dan Donnelly (2008) dengan modifikasi. Peralatan yang digunakan berupa konduktivitimeter, termometer dan ruang inkubasi. Pengukuran kebocoran elektrolit sel dilakukan dengan RAL satu faktor yaitu konsentrasi filtrat dengan lima konsentrasi penduga subletal filtrat G. boninense, yaitu : 20%, 24%, 28%, 32%, 36%, dan 40% (v/v) serta media tanpa filtrat sebagai kontrol dan masing- masing diulang sepuluh kali.

Kalus embriogenik sebanyak 0.1 g dibilas dengan air double destilasi sebanyak dua kali, kemudian direndam dalam tabung yang berisi filtrat masing- masing 5 mL sesuai konsentrasi perlakuannya. Tabung yang berisi perlakuan disimpan dalam lemari pendingin pada suhu antara 8sampai 10 oC selama ± 24 jam. Filtrat dari masing-masing perlakuan dibuang diikuti dengan pembilasan kalus dengan air doubel destilasi. Selanjutnya kalus direndam kembali dalam air doubel destilasi dan disimpan dalam lemari pendingin suhu 8 sampai 10 o

(1-((1-T1/T2)/(1-K1/K2)) x 100 %

C selama ± 24 jam. Pengukuran konduktivitas larutan dari air randaman kalus dilakukan pada masing-masing ulangan sebelum dan sesudah diautoklaf.

Persentase kebocoran elektrolit diukur dengan formula :

T1 :konduktivitas air saat sebelum diautoklaf pada perlakuan T2 :konduktivitas air setelah diautoklaf pada perlakuan K1 :konduktivitas air saat sebelum diautoklaf pada kontrol K2 :konduktivitas air saat setelah diautoklaf pada kontrol

Analisis Data

Penghitungan luas area nekrosis pada spesimen jaringan kalus dilakukan dengan cara menghitung jumlah piksel warna area nekrosis sebagai warna merah sdan warna hijau sebagai area jaringan sehat. Spesimen jaringan kalus difoto dengan pembesaran 20 x dengan mikroskop cahaya Nikon Eclipse 50i. Data digital gambar kemudian diolah dengan program pengolahan gambar GNU Image Manipulation Program (GIMP 1.2). Area bagian gambar warna merah dan area warna hijau secara terpisah dapat dideteksi jumlah pikselnya. Perbandingan jumlah pisel area merah dengan jumlah piksel total area merah dan hijau merupakan persen area nekrosis.

Komponen biokimia filtrat berupa asam oksalat, ergosterol, total protein dan total polisakarida diduga berhubungan dengan respons kalus terhadap kondisi cekaman oleh filtrat G. boninense yaitu adanya kebocoran elektrolit. Gugus data konsentrasi asam oksalat, ergosterol, total protein dan total polisakarida dianggap sebagai faktor eksogen dan kebocoran elektrolit kalus sebagai faktor endogen Korelasi antar peubah menggunakan korelasi Pearson (Steel dan Torie 1980). Besarnya pengaruh faktor eksogen terhadap faktor endogen kemudian dianalisis dengan analisis lintas (Sarwono 2012).

56

Gambar 21 Alur kerja evaluasi pengaruh fitotoksin filtrat G. boninense terhadap kalus kelapa sawit

Kultur kelapa sawit : Kalus embriogenik remah

Kandungan senyawa filtrat

G. boninense

Perbandingan kandungan biokimia antara media YMB tanpa dan dengan inokulasi G. boninense

Isolat G. boninense paling virulen G3-11-U5

Evaluasi pengaruh fitotoksin filtrat G. boninense terhadap kalus

Kultur filtrat

Karakter visual makroskopis dan mikroskopis jaringan dengan teknik pewarnaan (mikrotome)

Analisis kandungan biokimia Filtrat terkait patogenesitas

Karakter fisiologis sel dalam cekaman melalui uji kebocoran elektrolit sel kalus

Penampang jaringan nekrosis kalus terpapar filtrat menurut lama pemaparan dan konsentrasi filtrat

Putative senyawa fitotoksin filtrat

G. boninense

Analisis lintas kandungan senyawa filtrat terhadap nilai kebocoran elektrolit kalus

Analisis digital gambar jumlah pisel warna merah dan hijau

57 Hasil dan Pembahasan

Uji Toksisitas Filtrat Berdasarkan Karakter Makroskopis dan Mikroskopis Pencokelatan kalus kelapa sawit terjadi setelah pemaparan ke dalam media yang mengandung filtrat G. boninense yang diduga terjadi karena filtrat G. boninense. Pencokelatan kalus terlihat pada 3 hari setelah inokulasi (HSI), yang ditandai oleh berkas warna cokelat di sekitar media kalus. Pencokelatan pada kalus menunjukkan gejala nekrosis jaringan sel setelah 2 bulan (Gambar 22).

Pencokelatan terjadi secara bertahap, beberapa kultur teramati mengalami pencokelatan setelah 3 HSI. Pencokelatan umumnya akan terlihat pada satu minggu setelah inokulasi pada media seleksi, tingkat kepekatan warna juga meningkat dengan bertambahnya waktu (Gambar 23). Awalnya pencoklatan terlihat pada umur satu minggu setelah inokulasi, berkas coklat tipis mulai tersebar ke media disekitar kalus. Berkas cokelat terlihat semakin nyata menyebar pada media, yaitu pada minggu ketiga dan pada minggu selanjutnya.

Gambar 23 Penampang makroskopis clump kalus kelapa sawit yang mengalami perubahan warna cokelat selama 2 bulan. (A) 1 minggu setelah pengkulturan (MSP); (B) 2 MSP, (C) 3 MSP, (D) 4 MSP, (E) 5 MSP, (F) 6 MSP, (G) 7 MSP, dan (H) 8 MSP

Gambar 22 Penampang makroskopis jaringan sel clump kalus kelapa sawit. (A) sebelum pemaparan pada media filtrat; (B) kalus mengalami pencokelatan (nekrosis) setelah pemaparan. Bar : 0.5 mm.

58

Pengamatan penampang tranversal jaringan kalus mengindikasikan penambahan luas area nekrosis. Hal itu ditunjukkan oleh pertambahan luas area warna merah (Gambar 24). Warna merah pada penampang transversal jaringan kalus menunjukkan jaringan menghasilkan senyawa fenol yang bereaksi dengan zat warna safranin sedangkan luas area jaringan hidup ditunjukkan warna hijau fast green. Pengamatan jaringan transversal kalus pada umur 1 hari memperlihatkan hanya sedikit lapis sel epidermis mengalami pencokelatan, yaitu sekitar 0.3% dari total area penampang jaringan kalus mengalami pencoklatan (Tabel 13).

Luas area warna merah tertinggi diperoleh pada 12 HSI, yaitu sebesar 70.20% dari total area penampang kalus, sedangkan pada pengamatan 15 HSI luas area merah lebih kecil hanya 34.78%. Hal ini menunjukkan luas area warna merah kurang konsisten apabila didasari asumsi awal bahwa luas area merah akan bertambah seiring waktu kalus terpapar filtrat pada media seleksi. Bentuk kalus dalam kisaran diameter 0.1- 0.5 mm menunjukkan keragaman bentuk clump kalus, Bentuk clump kalus yang berbeda-beda dapat dilihat dari banyaknya lekukan atau lipatan. Clump kalus yang memiliki lipatan yang banyak memiliki kecenderungan mudah mengalami nekrosis, karena luas permukaan yang luas menyebabkan daya infiltrasi toksin atau elisitor menjadi lebih baik.

Tabel 13 Pengaruh dual kultur terhadap pencokelatan kalus, penurunan jumlah regenerasi kalus dan penurunan berat basah kalus

Perlakuan (Hari)

Area warna irisan tipis jaringan sel kalus

Hijau Merah Hijau Merah Total Jumlah (Piksel) Luas (%)

1 132,537 444 99.66 0.33 132,981 2 121,298 5,132 95.94 4.06 126,430 3 150,914 5,771 96.32 3.68 156,685 4 158,818 2,045 98.73 1.27 160,863 5 139,618 4,690 96.75 3.25 144,308 6 204,544 15,497 92.96 7.04 220,041 7 131,957 24,324 84.44 15.56 156,281 8 227,183 34,670 86.76 13.24 261,853 9 210,640 19,678 91.46 8.54 230,318 10 73,427 51,267 58.89 41.11 124,694 11 123,004 65,525 65.24 34.76 188,529 12 37,385 88,083 29.80 70.20 125,468 13 47,756 59,981 44.33 55.67 107,737 14 60,296 38,859 60.81 39.19 99,155 15 65,384 34,860 65.22 34.78 100,244

59 Luas area merah yang berbeda pada tiap clump dapt disebabkan oleh adanya variasi somaklonal pada setiap clump kalus. Karena itu terjadi perbedaan daya tahan masing-masing clump kalus terhadap filtrat. Keseluruhan pengamatan dengan pengolahan gambar, luas area warna merah cenderung bertambah sejalan dengan waktu kalus terpapar filtrat.

Gambar 24 Penampakan irisan tipis transversal jaringan kalus kelapa sawit yang menunjukkan perubahan warna (nekrosis) akibat pengaruh waktu inkubasi pada media filtrat 40% (v/v). (A) – (O) : 1 – 15 hari setelah pengkulturan (HSP). Bar 0.5 mm

60

Pengamatan irisan transversal pada kalus menunjukkan adanya pengaruh konsentrsai filtrat terhadap proses pencokelatan jaringan kalus. Hasil pengolahan gambar dengan program GIMP menunjukkan area nekrosis dipengaruhi perbedaan konsentrasi filtrat (Gambar 25). Semakin tinggi konsentrasi filtrat semakin luas area nekrosis jaringan kalus terjadi (Tabel 14). Hal ini membuktikan bahwa filtrat mengandung komponen virulensi G. boninense.

Hasil analisis menunjukkan bahwa konsentrasi filtrat 20% memiliki jumlah piksel pada warna merah paling kecil, yaitu sebesar 19.2%. Jumlah piksel area merah paling besar pada konsentrasi 36%. Walaupun peningkatan jumlah piksel warna merah kurang konstan namun terdapat cenderungan peningkatan secara linear. Hal ini berarti semakin tinggi konsentrasi filtrat terdapat kecenderungan semakin luas area nekrosis yang terbentuk.

Gambar 25 Penampakan transversal irisan tipis jaringan kalus kelapa sawit yang menunjukkan nekrosis akibat pengkulturan pada media filtrat pada konsentrasi pendugaan subletal dan letal (A) konsentrasi 20%, (B) 24%, (C) 28%, (D) 32%, (E) 36% dan (F) 40% (v/v). Bar = 1 mm

Tabel 14 Pengaruh konsentrasi penduga sub letal dan letal filtrat terhadap luas area nekrosis jaringan kalus kelapa sawit

Konsentrasi filtrat % (v/v)

Area warna irisan tipis jaringan sel kalus

Total Hijau Merah Hijau Merah

Jumlah (Piksel) Luas (%)

20 67,114 15,992 80.76 19.24 83,106 24 56,453 28,013 66.84 33.16 84,466 28 50,550 24,427 67.42 32.58 74,977 32 29,249 25,545 53.38 46.62 54,794 36 18,376 32,002 36.48 63.52 50,378 40 13,296 21,506 38.20 61.80 34,802

61 Sejalan dengan hasil pengamatan histologi di atas, hasil pengamatan visual pada kalus terseleksi disiklus seleksi pertama menunjukkan pengaruh konsentrasi filtrat terhadap proliferasi embrio somatik (Gambar 26). Hasil pengamatan visual menunjukkan kecenderungan terjadi penghambatan proliferasi embrio somatik sejalan dengan peningkatan konsentrasi filtrat. Pada konsentrasi 20% filtrat embrio yang terbentuk berwarna putih dan menunjukkan proliferasi yang baik. Namun pada konsentrasi 40% warna embrio cenderung cokelat dan menunjukkan proliferasi yang kurang baik. Hal ini berarti semakin tinggi konsentrasi filtrat maka terjadi penurunan kuantitas dan kualitas embrio somatik pada kalus terseleksi.

Berkas protoplasma pada irisan tipis jaringan kalus setelah terpapar filtrat G. boninense menunjukkan jaringan sel mengalami nekrosis berwarna merah dan tidak mengalami nekrosis berwarna hijau (Gambar 27). Berkas protoplasma masih terlihat pada irisan jaringan kalus yang tidak mengalami nekrosis (Gambar 27B). Berkas protoplasma terdegradasi, demikian juga bagian dinding sel primer, hal tersebut berarti filtrat G. boninense mampu mendorong kerusakan dinding sel

Dokumen terkait