• Tidak ada hasil yang ditemukan

11.1 Keterbatasan Penelitian

Hasil penelitian ini belum tentu menggambarkan kondisi Indonesia secara keseluruhan. Generalisasi hasil penelitian ini terbatas hanya pada kota-kota tempat pelaksanaan survei. Terdapat keterbatasan pada pengambilan sampel dengan metode RDS untuk Penasun dan LSL, hal ini terlihat dengan tingginya proporsi sampel biseksual pada LSL di Makassar. Angka hasil survei yang diyakini dapat menggambarkan populasi karena angka partisipasi responden (respons rate) cukup besar yakni berkisar 80% sampai 90%.

11.2 Pembahasan

Epidemi HIV yang berkembang di lokasi survei masih ditempati di urutan teratas oleh kelompok Penasun (39,2%), kemudian diikuti oleh LSL (12,8%), Waria dan WPSL masing-masing 7,4% dan 7,2%. Epidemi HIV yang berkembang di kelompok Penasun dan LSL membutuhkan strategi yang tepat untuk mengendalikan epidemi di kota tersebut. Epidemi HIV pada waria, WPSL, WPSTL, dan Pria Risti lebih tinggi dibandingkan tahun 2009.

Terlihat adanya peningkatan prevalensi HIV di kalangan Penasun dari 27% (2009) menjadi 39,2% (2013). Peningkatan terjadi hampir di semua kota survei (Yogyakarta, Tangerang dan Pontianak). Peningkatan yang cukup signifikan terjadi di Pontianak yaitu 32% (2009) menjadi 60,7% (2013) sejalan dengan peningkatan prevalensi HIV pada penasun yang menyuntik dua tahun terakhir di Pontianak yaitu 5%(2009) menjadi 56%(2013). Proporsi prevalensi HIV pada penasun yang berbagi jarum suntik seminggu terakhir di Pontianak tetap tinggi, yakni 33% (2009) dan 35% (2013). Peningkatan berbagi jarum suntik dimungkinkan dari perilaku penasun yang banyak tidak membawa jarum dalam seminggu terakhir karena takut ditangkap (sebesar 70%) dan rata-rata jumlah orang yang menyuntik bersama lebih tinggi dibandingkan kota lainnya. Selain itu, juga banyak Penasun yang lebih memilih menggunakan jarum merk tertentu dari penjual napza, akan tetapi masih ada kemungkinan kurangnya pengawasan tempat penyimpanan jarum pribadi dan masih adanya praktek

setting basah. Penasun lebih memilih membeli jarum tertentu dari penjual napza (66%) dan apotek (49%), dibandingkan jarum suntik dari puskesmas dengan alasan merk jarum di puskesmas kurang digemari. informasi ini didapat dari wawancara mendalam yang dilakukan kemudian setelah pelaksanaan STBP.

Hasil dari Makassar, didapatkan penasun lebih banyak berumur muda (67%) dibandingkan dengan kota lainnya dan lebih suka menyuntik Suboxone dibandingkan dengan heroin. Prevalensi HIV di kota Makassar tahun 2013 tidak menunjukkan peningkatan ataupun penurunan yang signifikan dibandingkan tahun 2009, dimana angka prevalensi tetap berkisar 30%. Hal ini sejalan dengan perilaku berbagi jarum suntik saat terakhir menyuntik masih tetap sebesar 17% dan penasun yang

tes HIV baru 37%. Namun demikian terjadi peningkatan penasun yang menerima hasil tes (92%) dari yang telah dites HIV.

Peningkatan prevalensi HIV pada LSL di Tangerang sebesar 2 kali lipat dan di Yogyakarta sebesar 3 dibandingkan tahun 2009. Peningkatan prevalensi HIV di Yogyakarta ini mungkin berhubungan dengan perilaku “pesta seks”. Tingginya prevalensi HIV pada LSL muda khususnya di Tangerang perlu menjadi perhatian khusus karena 79% LSL muda di Tangerang bekerja sebagai penjual seks atau pernah menjual seks.

Prevalensi HIV pada LSL di Makassar paling rendah (1,6%) dibandingkan kota lainnya. Hal tersebut mungkin berhubungan dengan tingginya proporsi LSL yang tinggal bersama keluarga atau saudara kandung. Selain itu diketahui bahwa sebagian besar LSL di Makassar merupakan LSL berumur dibawah 25 tahun dengan prevalensi HIV 0%, sejalan dengan adanya penurunan perilaku menjual seks. Adanya fakta bahwa LSL di Makassar banyak yang memiliki pasangan tetap perempuan memungkinkan berkurangnya hubungan seks dengan laki-laki. Meskipun tidak menutup risiko LSL tersebut dapat menularkan HIV ke pasangan perempuannya. Tingginya proporsi LSL yang berhubungan seks dengan waria harus menjadi perhatian dalam upaya pencegahan penularan, melihat bahwa waria di Makassar memiliki prevalensi HIV tertinggi dibandingkan kota survei lainnya. Apabila dibandingkan dengan tahun 2009, terdapat peningkatan pengunaan kondom dan pelicin berbahan dasar air, peningkatan akses kondom gratis serta kontak dengan petugas. Walaupun terjadi peningkatan penggunaan kondom dibandingkan tahun 2009, hal ini belum cukup konsisten untuk mencegah peningkatan prevalensi HIV dan IMS terutama di kota Tangerang dan kota Yogyakarta. Penggunaan kondom konsisten pada seks komersial terakhir dan penggunaan pelicin masih rendah di Tangerang.

Secara keseluruhan, prevalensi HIV dan IMS pada waria menurun dibandingkan tahun 2009. Penggunaan kondom dan pelicin berbahan dasar air sudah meningkat pada waria di setiap kota. Prevalensi sifilis yang tinggi pada LSL dan prevalensi gonore yang tinggi pada WPSL tidak sejalan dengan penggunaan kondom yang cukup tinggi pada kedua kelompok tersebut serta tingginya pengetahuan komprehensif pada LSL. Perlu dikaji lebih lanjut apakah pengetahuan yang memadai belum dapat merubah prilaku beresiko.

Remaja laki-laki dan perempuan yang pernah berhubungan seks pada tahun 2013 menurun dibandingkan tahun 2009, demikian pula remaja laki-laki dan perempuan yang pernah menggunakan napza juga terjadi penurunan. Namun demikian tidak sejalan dengan pengetahuan komprehensif pada kelompok remaja yang juga menurun dibanding tahun 2009, perlu ditelusuri faktor lain yang dapat menjelaskan hal ini.

Pada aspek cakupan program, meskipun yang pernah mengikuti tes HIV pada populasi paling berisiko cenderung meningkat namun masih berkisar 40%. Sementara upaya penyampaian hasil tes HIV perlu ditingkatkan, meskipun sudah mencapai lebih dari 70% menerima hasil tes.

Kegiatan penjangkauan oleh petugas lapangan masih sangat rendah terutama pada kelompok WPSL, WPSTL, dan Pria Risti, hal ini perlu lebih ditingkatkan kedepan.

Kondom gratis didapatkan dari fasilitas kesehatan maupun dari mucikari, meskipun frekuensinya terbatas. Sumber kondom terbanyak berasal dari apotik/toko obat lalu diikuti dari warung/toko. Kedua jalur distribusi ini perlu mendapat perhatian khusus untuk menjamin akses ketersediannya terutama di lokasi transaksi seksual.

Diskusi kelompok dilakukan di kota-kota dengan prevalensi HIV tertinggi untuk mendapatkan informasi lanjut terkait peningkatan angka prevalensi HIV. Hasil diskusi dengan Penasun di Pontianak, Tangerang, dan Makassar diketahui masih kurangnya akses LASS dan jarum suntik yang gratis. Selain itu, masih tingginya perilaku berbagi jarum suntik pada Penasun dan WBP serta kurang diterimanya merk jarum suntik dari LASS.

Dokumen terkait