• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADMINISTRATION OF RECOMBINANT GIANT GROUPER GROWTH HORMONE

PEMBAHASAN UMUM

Peningkatan produksi udang yang berkesinambungan sangat dibutuhkan untuk mendukung program industrialisasi perikanan budidaya yang mentargetkan produksi udang pada tahun 2014 sebesar 699.000 ton. Berbagai terobosan telah dilakukan, diantaranya dengan program seleksi, hibridisasi, poliploidi, pemanfaatan sifat tertentu pada ikan, transfer gen, dan protein rekombinan. Program seleksi dan hibridisasi membutuhkan waktu kurang lebih 7-8 generasi untuk mendapatkan generasi dengan perbaikan genetik yang nyata. Sementara poliploidi hanya dapat dilakukan pada ikan yang sudah dikuasai teknik pemijahan buatannya. Selanjutnya transfer gen membutuhkan waktu 3-4 generasi untuk mendapatkan hasil yang signifikan. Oleh sebab itu metode cepat yang mempunyai peluang tinggi untuk peningkatan produksi adalah teknologi protein rekombinan. Teknologi protein rekombinan merupakan salah satu tindak lanjut penerapan teknologi DNA rekombinan dengan mentransformasi dan memperbanyak DNA rekombinan yang sudah didisain menggunakan bakteri E. coli sebagai bioreaktor untuk memproduksi protein target secara massal. Protein rekombinan yang sudah banyak digunakan bersumber dari hormon pertumbuhan. Untuk memperoleh hasil yang maksimal, penggunaan hormon pertumbuhan rekombinan (rGH) harus memperhatikan beberapa hal antara lain : sumber rGH, metode pemberian, dosis pemberian, frekuensi pemberian, jangka waktu pemberian, dan stadia ikan.

Dalam penelitian ini digunakan sumber GH dari ikan kerapu kertang, karena tingkat produksi hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang

Epinephelus lanceolatus (rElGH) lebih tinggi dari pada rGH ikan mas Cyprinus carpio (rCcGH) dan rGH ikan gurame Osphronemus goramy (rOgGH) (Irmawati et al. 2012). Selain itu potensi rElGH cukup baik dalam meningkatkan pertumbuhan pada beberapa jenis ikan seperti ikan gurame (Irmawati et al. 2012), ikan nila (Lesmana 2010), dan ikan sidat (Handoyo 2012). Pemilihan sumber GH sebenarnya berdasarkan kepada kedekatan filogeni GH yang digunakan dengan GH ikan yang diuji sehingga peluang kecocokan reseptor cukup tinggi. Berhubung sekuen GH udang belum tersedia, maka pemilihan sumber GH mengacu pada penelitian yang efektif memberikan peningkatan pertumbuhan.

Pemberian rElGH pada udang vaname dengan perendaman 1 jam menunjukkan bahwa dosis 15 mg L-1 memberikan peningkatan bobot tubuh, panjang tubuh dan kelangsungan hidup tertinggi masing-masing sebesar 37,77%; 12,75%; dan 9,45% dibandingkan dengan kontrol (P<0,05). Dosis pemberian rGH harus tepat, karena jika kandungan IGF-1 berlebih dapat memberikan umpan balik negatif pada kelenjar untuk tidak mensekresi GH (Moriyama & Kawauchi 2001), dan jika kekurangan, maka pertumbuhan relatif lambat. Fenomena ini terlihat pada perlakuan dosis 150 mg L-1 media, pertumbuhan lebih rendah daripada dosis 15 mg L-1. Sementara pada dosis yang lebih rendah yaitu 1,5; 0,15; dan 0,015 mg L-1 media, pertumbuhan sama dengan kontrol. Lama perendaman rElGH sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan khususnya bobot udang, terbukti pada perendaman PL2 dalam larutan rElGH dosis 15 mg L-1 dengan lama waktu 3 jam meningkatkan bobot tubuh sebesar 109,9% , panjang tubuh 26,0%, dan biomassa 66,0% lebih tinggi dari pada kontrol. Selanjutnya pemberian rElGH metode oral

dengan dosis 0,5 mg kg-1 pakan yang diberikan 1 kali sehari dengan frekuensi 3 hari sekali memberikan peningkatan bobot tubuh dan biomassa tertinggi dibandingkan kontrol yaitu sebesar 17,7% untuk bobot dan 16,6% untuk biomassa (P<0,05). Penambahan rElGH melalui oral tidak memberikan peningkatan yang tinggi, baik pada pertumbuhan maupun biomassa, dan efek peningkatan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan cara perendaman. Hal ini diduga pada stadia PL1–PL14 kemampuan pencernaan rendah selama awal perkembangan stadia. Aktivitas enzim pencernaan meningkat seiring dengan kesempurnaan hepatopankreas dan kelenjar pencernaan (Riberio 2010). Selain itu, rElGH dalam pakan mengalami peluruhan (leaching), hal ini disebabkan pemberian pakan dilakukan dengan cara dilarutkan, sehingga lama waktu pakan dalam media pemeliharaan diduga juga sangat berpengaruh terhadap kualitas rElGH.

Perendaman hormon pertumbuhan bekerja secara osmoregulasi yaitu rekombinan GH diduga masuk melalui insang, dan disebarkan melalui pembuluh darah. Hormon yang masuk pada ikan kemudian dialirkan oleh peredaran darah, dan akan diserap oleh organ target (Affandi 2002). Oleh sebab itu metode yang tepat untuk pemberian rGH pada udang fase pasca larva adalah dengan perendaman.

Penggunaan rGH harus efektif, karena nantinya akan menyangkut biaya produksi. Metode oral membutuhkan rElGH dalam jumlah relatif sedikit yakni 0,5 mg kg-1 pakan, tetapi peningkatan pertumbuhannya kecil yaitu 17,7%. Sebaliknya metode perendaman memberikan peningkatan yang lebih tinggi yaitu peningkatan bobot sebesar 109,9% dan biomassa 66,0%, dengan jumlah rElGH yang diperlukan 15 mg L-1 untuk 1500 ekor PL2 dengan lama perendaman 3 jam. Selanjutnya diyakini bahwa metode oral lebih efektif digunakan pada fase pembesaran dibandingkan perendaman, karena sistem pencernaan udang sudah sempurna, aktivitas enzim pencernaan sudah tinggi (Ribeiro 2010), dan udang sudah aktif mencari makanan sendiri, sehingga peluruhan dapat dikurangi.

Metode perendaman memberikan peningkatan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan oral pada fase pembenihan, sehingga produksi benih diduga akan meningkat dan lebih efisien, karena dari penelitian ini setelah perendaman 12 hari dari PL2 sudah dapat meningkatkan pertumbuhan bobot sebesar 37,77%; panjang tubuh 12,75%; kelangsungan hidup 9,45%. Dengan kondisi tersebut stadia benih udang yang siap ditebar ke tambak dapat dipersingkat pada stadia sebelum PL14 dengan kelangsungan hidup yang lebih tinggi, sehingga produktivitas benih meningkat dan lebih efisien. Selanjutnya pertumbuhan dapat ditingkatkan lagi untuk bobot sampai 109,9%; panjang tubuh 26,0%; dan biomassa 66,0% jika waktu perendaman 3 jam dan dipelihara sampai 18 hari. Sehingga pada aplikasinya metode ini dapat digunakan untuk meningkatkan produksi pendederan.

Setelah diketahui bahwa pada fase pembenihan pemberian rGH lebih cocok dengan metode perendaman, selanjutnya dilakukan kajian lebih lanjut pemeliharaan udang di tambak dengan atau tanpa pemberian rGH, karena jika terjadi peningkatan biomassa di tambak akan sangat membantu petambak dalam meningkatkan produksinya. Pemberian rGH pada pembesaran udang telah dilakukan oleh Sonnenschein (2001) dan terbukti dapat meningkatkan bobot 38% dan panjang tubuh 11% setelah pemberian hormon pertumbuhan sapi (bST) sebanyak 300mg L-1 media dalam sekali perendaman pada juvenil udang (bobot 90 mg) dan dipelihara

sampai 2 bulan. Dari penelitian tersebut dapat dihitung efisiensi produksi minimal sebesar 38%.

Pemberian rElGH 15 mg L-1 melalui perendaman pada fase pembenihan dan dilanjutkan pada fase pembesaran melalui pakan dengan dosis 0,5 mg kg-1 pakan, memberikan peningkatan bobot tubuh sebesar 30,0%; ADG 21,2%; biomassa 40,1%; dan efisiensi pakan sebesar 28,6% dibandingkan kontrol. Sementara itu, panjang tubuh udang perlakuan rElGH tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan kontrol. Pada dosis oral 50 mg kg-1 pakan dan 5 mg kg-1 pakan menunjukkan umpan balik negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa perendaman rElGH pada fase pembenihan saja masih belum optimal untuk memacu pertumbuhan, sehingga harus diberikan ulang (booster) pada fase pembesaran menggunakan dosis rElGH 0,5 mg kg-1 pakan.

Bobot biomassa udang perlakuan meningkat sebesar 40,1%, sementara efisiensi pakan meningkat sebesar 28,6%. Peningkatan produksi budidaya dan efisiensi pakan tersebut berpotensi tinggi meningkatkan pendapatan pembudidaya. Selain itu, pada penelitian ini pembesaran dilakukan di hapa selama 60 hari. Untuk mencapai ukuran pasar (market size 70-80 ekor per kg), lama waktu pembesaran udang vaname adalah sekitar 110 hari. Dengan demikian, pada penelitian selanjutnya udang perlakuan rElGH perlu dipelihara di tambak dengan metode yang umum digunakan oleh pembudidaya untuk memperoleh gambaran nyata peningkatan produksi dan pendapatan pembudidaya.

Pemberian rElGH pada udang vaname mempunyai potensi besar dalam mencegah kematian udang secara massal di tambak walaupun belum 100%. Dengan pemberian rElGH melalui perendaman dan oral 50 mg kg-1 pakan pada pembesaran dan terjadi serangan IMNV, produksi akan menurun 32,1%, tetapi jika tidak menggunakan rElGH produksi akan lebih turun menjadi 85,7%, dalam hal ini ada penghematan produksi sebesar 53,6%. Namun demikian, penelitian ini masih perlu dikembangkan lagi untuk menentukan dosis dan waktu pemberian yang tepat agar respons imun dan pertumbuhan dapat meningkat bersama-sama, sehingga produktivitas budidaya udang dapat ditingkatkan

Pertumbuhan yang dicapai pada metode perendaman dan oral tersebut dikuatkan oleh pola ekspresi gen terkait pertumbuhan. Perlakuan perendaman pada fase pembenihan menunjukkan ekspresi gen SIBD mulai meningkat pada jam ke- 12, tertinggi pada jam ke 24, dan menurun sampai pada jam ke-30. Pola ekspresi gen pada perlakuan oral berbeda dengan perendaman, ekspresi gen SIBD pada jam ke-6 setelah pemberian rElGH terakhir mencapai level 2,4 dan masih pada posisi meningkat pada jam ke-12, 18, 24, dan 30. Merujuk pada pengamatan hari ke-12 ekspresi gen SIBD pada perlakuan oral lebih rendah dibandingkan perendaman. Pola ekspresi SIBD tersebut mengindikasikan bahwa dengan metode perendaman rElGH lebih cepat terserap dan menstimulasi SIBD untuk selanjutnya menginduksi pertumbuhan.

Peningkatan SIBD yang cukup tinggi pada fase pembenihan tersebut mengindikasikan bahwa peningkatan tersebut masih berpengaruh dalam menginduksi pertumbuhan sampai ke pembesaran. Perlakuan rElGH yang baru diberikan pada fase pembesaran yaitu mulai PL14, ekspresi SIBD mulai naik perlahan. Peningkatan SIBD pada hari ke-30 setelah pemberian rElGH baru mencapai level 2,57, menyebabkan peningkatan pertumbuhan tidak nyata. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Moriyama (1995) yaitu dengan pemberian GH melalui

injeksi menyebabkan kadar plasma IGF-1 meningkat dan mencapai puncaknya setelah 24 jam, sedangkan secara oral memberikan efek lebih lambat daripada injeksi yaitu lebih dari 96 jam. Hal yang sama terjadi pada perendaman rElGH pasca larva menunjukkan tingkat ekspresi SIBD mencapai puncaknya pada jam ke-24 (Bab II), sementara perlakuan oral pada jam ke-30 setelah pemberian rElGH terakhir ekspresi SIBD masih posisi meningkat (Bab IV).

Pola ekspresi gen CHH serupa dengan SIBD. Peningkatan level CHH pada pasca larva berpengaruh sampai umur 60 hari. Peningkatan ekspresi gen SIBD dan CHH tersebut berkorelasi dengan pertumbuhan udang yaitu dengan peningkatan bobot tubuh sebesar 30,0%; ADG 21,2%; biomassa 40,1%; dan efisiensi pakan sebesar 28,6% dibandingkan dengan kontrol. Korelasi CHH dengan pertumbuhan sangat erat karena CHH memainkan peranan penting dalam regulasi metabolisme karbohidrat dan proses fisiologis lainnya misalnya osmoregulasi, metabolisme lemak dan ganti kulit (Padhi et al. 2007). Selanjutnya CHH juga berperan dalam metabolisme glikogen pada hepatopankreas (Nagai et al. 2011).

Penambahan rElGH tidak menunjukkan pola yang jelas pada ekspresi gen CypA dengan level ekspresi yang rendah. Pada perlakuan perendaman, ekspresi CypA menurun dari awal sampai akhir penelitian, sepertinya gen CypA tidak terstimulasi dengan masuknya rElGH. Sementara itu perlakuan oral pada pasca larva menunjukkan adanya peningkatan ekspresi CypA dan mencapai puncaknya pada jam ke-18, kemudian menurun sampai akhir penelitian. Pada akhir penelitian level ekspresi CypA 8,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Peran CypA sebagai GH endogenous ini masih belum jelas, kemungkinan CypA terstimulasi dengan level yang sangat rendah atau rElGH tidak bekerja secara simultan dengan CypA dalam menstimulasi SIBD. Selain itu, dugaan lain bahwa rElGH memblok ekspresi CypA, tetapi hal ini perlu dibuktikan melalui penelitian lebih lanjut.

Level ekspresi gen MIH sangat rendah dan tidak menunjukkan pola tertentu, pada perlakuan perendaman level ekspresi turun naik dan pada akhir penelitian level ekspresi pada perlakuan 1,3 kali dibandingkan kontrol. Sementara pada perlakuan oral ekspresi MIH menurun terus. Pada akhir penelitian level ekspresi MIH pada perlakuan 4,5 kali lebih tinggi dibandingkan kontrol. Level ekspresi MIH yang rendah dan menurun akan berakibat dengan meningkatnya frekuensi ganti kulit dan pada akhirnya pertumbuhan meningkat. Perbedaan level ekspresi yang terjadi antara perlakuan dan kontrol menunjukkan adanya jalur induksi dalam katagori lemah.

Penelitian Castellanos et al. (2008) menunjukkan adanya protein SIBD dari L. vannamei yang mempunyai similaritas tinggi dengan IGF binding protein (IGFBP) ditemukan pada hemosit. Pertumbuhan krustase khususnya udang bergantung pada frekuensi ganti kulit dan penambahan bobot antar ganti kulit, sementara frekuensi ganti kulit dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan nutrisi. Ganti kulit dikontrol oleh hormon ecdysteroid dari Y-organ dalam cephalotorac dan dihambat oleh MIH dari kelenjar X-organ (Baldaia et al. 1984; Cariolou dan Flytzanis 1994; Hatt

et al. 2001). Keberadaan dan mekanisme kerja GH pada udang belum jelas, tetapi beberapa peneliti telah mencoba mengungkap dengan mengkarakterisasi kandidat GH (Gutie´rrez et al. 2007; Castellanos et al. 2008; Tangprasittipap et al. 2010) dan keberadaan reseptornya (Santiesteban et al. 2010).

Metabolisme krustase juga dipengaruhi oleh CHH. CHH merupakan hormon neuropeptida yang paling banyak ditemukan dan diproduksi oleh neuron peptida pada medulla terminalis organ-X pada kelompok krustase. Fungsi utama CHH adalah untuk meregulasi level glukosa pada hemolymp krustase (Nagai et al.

2011). Berdasarkan data penelitian dan referensi terkait, maka diusulkan mekanisme endokrin pengontrol pertumbuhan pada udang vaname seperti pada Gambar 40, yang mengacu pada mekanisme endokrin pengontrol pertumbuhan pada ikan seperti yang dijelaskan oleh Moriyama & Kawauchi (2001).

Gambar 40 Usulan mekanisme endokrin pengontrol pertumbuhan pada udang vaname dengan pemberian hormon pertumbuhan rekombinan (rElGH).

Pada kondisi normal CypA yang disintesis di optic lobe pada tangkai mata, memacu hepatopankreas untuk memproduksi SIBD dan selanjutnya SIBD akan memacu pertumbuhan. Sebaliknya, jika terjadi kelebihan SIBD akan terjadi

feedback negative, hal ini sesuai dengan mekanisme endokrin pengontrol pertumbuhan pada ikan (Moriyama & Kawauchi 2001). Organ Y akan memproduksi hormon ecdysteroid untuk aktivitas ganti kulit dan dihambat oleh MIH yang dihasilkan organ X, selanjutnya akan terjadi pergantian kulit yang berarti terjadi pertumbuhan. CHH juga diproduksi untuk memacu metabolisme karbohidrat khususnya meregulasi glukosa di hemolim. Dengan pemberian rElGH

MIH

Jalur normal

Jalur induksi rGH : kuat Jalur induksi rGH : sedang Jalur induksi rGH : lemah

TANGKAI MATA ORGAN X HEPATOPANKREAS CypA CHH

SIBD

PERTUMBUHAN Ecdysteroid Ganti kulit (+) (-)

rGH

(-) (+) Metabolisme (+) ??? MIH Jalur normal

Jalur induksi rGH : kuat Jalur induksi rGH : sedang Jalur induksi rGH : lemah

TANGKAI MATA ORGAN X HEPATOPANKREAS CypA CHH

SIBD

PERTUMBUHAN Ecdysteroid Ganti kulit (+) (-)

rGH

(-) (+) Metabolisme (+) ??? MIH Jalur normal

Jalur induksi rGH : kuat Jalur induksi rGH : sedang Jalur induksi rGH : lemah

TANGKAI MATA ORGAN X HEPATOPANKREAS CypA CHH

SIBD

PERTUMBUHAN Ecdysteroid Ganti kulit (+) (-)

rGH

Metabolisme (+) ??? MIH Jalur normal

Jalur induksi rGH : kuat Jalur induksi rGH : sedang Jalur induksi rGH : lemah

TANGKAI MATA ORGAN X HEPATOPANKREAS CypA CHH

SIBD

PERTUMBUHAN Ecdysteroid Ganti kulit (+) (-)

rGH

(-) (+) Metabolisme (+) ??? MIH Jalur normal

Jalur induksi rGH : kuat Jalur induksi rGH : sedang Jalur induksi rGH : lemah

TANGKAI MATA ORGAN X HEPATOPANKREAS CypA CHH

SIBD

PERTUMBUHAN Ecdysteroid Ganti kulit (+) (-)

rGH

(-) (+) Metabolisme (+) ??? MIH Jalur normal

Jalur induksi rGH : kuat Jalur induksi rGH : sedang Jalur induksi rGH : lemah

TANGKAI MATA ORGAN X HEPATOPANKREAS CypA CHH

SIBD

PERTUMBUHAN Ecdysteroid Ganti kulit (+) (-)

rGH

(-) (+) Metabolisme (+) ??? (-) (+) (-) (+) MIH Jalur normal

Jalur induksi rElGH : kuat Jalur induksi rElGH : sedang Jalur induksi rElGH : lemah

TANGKAI MATA ORGAN X HEPATOPANKREAS CypA CHH

SIBD

PERTUMBUHAN Ecdysteroid Ganti kulit (+) (-) rElGH H Metabolisme (+) ???

menunjukkan bahwa CypA tidak bekerja secara simultan dengan rElGH dalam memacu hepatopankreas untuk memproduksi SIBD. rElGH menstimulasi hepatopankreas untuk produksi SIBD dengan jalur kuat, dan diduga menstimulasi

optic lobe tangkai mata untuk mensintesis CHH dengan jalur sedang, sementara MIH dan CypA dengan jalur lemah.

Selanjutnya pemberian rElGH dapat menginduksi sistem imun pada udang vaname yang selanjutnya dapat memproteksi diri dari infeksi IMNV. Ketiga parameter imun, yaitu lektin, proPO, dan haemosit saling berkaitan, karena lektin berfungsi mengenali virus yang masuk dengan cara binding protein dan mengaglutinasi agar dapat dipagositosis oleh haemosit, selanjutnya akan terjadi peningkatan mekanisme proPO untuk memusnahkan virus tersebut (Braak 2002). Pemberian rElGH terbukti dapat meningkatkan respons imun yang ditunjukkan oleh ekspresi lektin dan proPO serta peningkatan THC.

Ekspresi gen yang terkait dengan pertumbuhan dan imunitas telah membuktikan mekanisme kerja rGH secara molekuler dalam tubuh udang. Analisis ekspresi gen tersebut menggunakan primer spesifik yang telah didesain sebelumnya menggunakan sekuen yang telah ada pada Bank Gen. Untuk memastikan bahwa primer yang dirancang sesuai dengan gen target, maka dilakukan analisis sekuen sehingga gen yang dianalisis pada penelitian ini lebih meyakinkan kebenarannya terhadap fungsi masing-masing gen. Hasil sekuensing dari produk qPCR sampel udang yang disejajarkan dengan sekuen yang telah ada pada Bank Gen dengan metode BLAST-N menunjukkan similaritas yang tinggi. Dengan terdeteksinya gen-gen tersebut dan kemiripan yang tinggi, maka primer yang telah dirancang diyakini kebenarannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian rElGH melalui perendaman dan dilanjutkan melalui oral telah memacu metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat, sehingga meningkatkan retensi protein dan retensi lemak, serta kadar glikogen otot. Hasil yang sama telah dilaporkan oleh Guan et al. (2008) bahwa dengan pemberian hormon pertumbuhan dapat meningkatkan laju metabolik selama diberikan pada makanan. Pada ikan salmon Atlantik (Salmo salar), laju metabolisme basal terlihat meningkat setelah diberikan hormon pertumbuhan (Deitch et al. 2006).

Tingkat glukosa darah yang tinggi pada pengukuran hari ke-30 menunjukkan rendahnya kemampuan udang dalam memanfaatkan glukosa untuk energi metabolisme, diduga berkaitan dengan bioaktivitas dan kapasitas kinerja insulin, karena transpor aktif glukosa dari darah ke dalam sel memerlukan bantuan insulin (Aslamsyah & Karim 2012). Insulin akan mempercepat masuknya glukosa dari darah ke dalam sel target untuk segera dimanfaatkan, dan pengangkutan serta pengambilan asam amino oleh sel melalui sensitivitas reseptor insulin (Vincent 2000, Cefalu et al. 2002). Tingginya level glukosa darah ini disebabkan penambahan rElGH (P3) dan pemberian rElGH baru (P7) memacu metabolisme karbohidrat sehingga glukosa darah meningkat, di sisi lain juga menstimulasi SIBD yang berlawanan dengan fungsi insulin. Hal yang sama ditemukan pada penelitian Cho et al. (2006) pada tikus yang mengekspresikan gen hormon pertumbuhan manusia (hGH) terjadi penghambatan penyerapan glukosa dalam darah karena kehilangan fungsi insulin. Sementara pada perlakuan P4 dan kontrol (K) tidak ada penambahan rElGH pada fase pembesaran, sehingga tidak ada penghambatan insulin untuk merubah glukosa menjadi glikogen otot. Hal ini terlihat untuk

pengukuran hari ke-30 kadar glikogen otot pada perlakuan P4 dan K lebih tinggi dibandingkan P3 dan P7 (P<0,05).

Pemberian rGH dapat meningkatkan metabolisme. Hal ini dibuktikan dengan pengukuran glukosa darah dan glikogen otot. Glukosa darah yang meningkat pada hari ke-30, setelah hari ke-45 sudah menurun setara dengan kontrol dan diikuti dengan peningkatan kadar glikogen otot. Penurunan kadar glukosa darah berkaitan dengan level SIBD yang menurun sampai hari ke-60. Pemanfaatan glukosa darah yang semakin cepat untuk pemenuhan kebutuhan energi akan mengurangi katabolisme protein sebagai sumber energi, sehingga meningkatkan efisiensi penggunaan protein yang terlihat pada peningkatan retensi protein sebesar 71,35%. Meningkatkannya efisiensi penggunaan protein diharapkan akan meningkatkan deposisi protein tubuh, yang berarti terjadi pertambahan bobot atau pertumbuhan (Aslamsyah & Karim 2012).

Berdasarkan kajian fisiologi, molekuler dan biokimia tersebut, pemberian rElGH pada udang vaname terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan dan imunitas. Metode pemberian rGH yang dapat diaplikasikan secara massal adalah pemberian rElGH melalui perendaman pada fase pembenihan dengan dosis 15 mg L-1 selama 3 jam, dilanjutkan dengan pemberian secara oral pada fase pembesaran dengan dosis 0,5 mg kg-1 pakan.

Dokumen terkait