• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi tentang agroekologi untuk memahami hubungan-hubungan dan proses ekologi pada suatu ekosistem adalah sangat penting. Pemahaman dan pengetahuan yang benar tentang agroekologi memungkinkan agroekosistem dapat dimanipulasi untuk memperbaiki produksi, sehingga suatu proses produksi dapat berkelanjutan, berdampak positif bagi masyarakat serta tidak merusak lingkungan. Pendekatan agroekologi diharapkan juga dapat menjaga keseimbangan sistem pertanian atau yang bisa kita sebut keseimbangan agroekosistem.

Agroekosistem pada suatu DAS yang meliputi kawasan dari hulu sampai hilir memiliki keragaman yang tinggi. Secara umum agroekosistem ini meliputi hutan, talun, lahan kering, kebun campuran, sawah dan lain-lain. Adapun untuk pengelolaan lahan terutama lahan kering, umumnya dikelola dengan sistem agroforestri. Mengapa memilih agroforestri? Agroforestri telah diyakini sebagai suatu sistem pengelolaan lahan kering yang dapat meningkatkan produktivitas lahan akibat beragamnya produksi yang dihasilkan, aspek sosial karena meningkatnya pendapatan, aspek ekologi karena pemilihan jenis tanaman yang mempertahankan kualitas lingkungan, sedangkan tingkat adoptabilitas bahwa masyarakat menerima introduksi teknologi untuk meningkatkan produktivitas lahannya.

Agroforestri telah dikenal masyarakat dalam waktu yang lama dan bahkan telah diterapkan secara turun-temurun. Sistem ini juga dianggap memiliki keunggulan, karena mengintegrasikan teknologi budidaya tanaman semusim dan pohon, yang diharapkan mampu meningkatkan produktivitas lahan, tingkat sosial ekonomi masyarakat serta meningkatkan fungsi hidrologis lahan. Sistem agroforestri ini juga banyak dikembangkan di wilayah DAS Cianjur, baik dalam bentuk agroforestri sederhana maupun kompleks, yang disesuaikan dengan karakter wilayah, pola kepemilikan lahan, tujuan pengelolaan maupun karakter budaya masyarakat setempat.

Berdasarkan zonasi/pewilayahan, secara umum kawasan DAS dibagi menjadi tiga, yaitu zona hulu, tengah dan hilir. Pembagian zona ini dibedakan

berdasarkan ketinggian tempat, dimana menurut Kiyotaka et al. (2001), setiap kenaikan ketinggian 100 m menyebabkan penurunan suhu sebesar 0.590C, sehingga perbedaan zona berdasarkan ketinggian tempat ini berpengaruh terhadap karakteristik biofisik dan agroklimat yang sangat diperlukan dalam kegiatan pertanian. Karakter biofisik sistem agroforestri, seperti tanah (topografi, tingkat kemiringan lereng maupun jenis tanah), vegetasi (pohon dan tanaman semusim serta jenis fauna baik predator, parasitoid, polinator maupun herbivor), sedangkan karakter agroklimat diharapkan dapat diterapkan dalam perencanaan kegiatan pertanian.

Perbedaan zonasi juga berpengaruh terhadap jenis tanah. Di hulu dan tengah umumnya didominasi jenis tanah regosol dan andosol, sedangkan di hilir tanah latosol dan mediteran. Tanah regosol mempunyai daya serap air yang tinggi dengan nilai laju erosi toleransi (nilai T) tinggi, sedangkan tanah andosol nilai T rendah, namun karena tingkat kemiringan lereng yang tinggi maka di hulu dan tengah, nilai erosinya lebih tinggi. Salah satu usaha untuk mengatasi masalah erosi ini adalah dengan memilih pohon/tegakan yang memiliki perakaran yang dalam dan kuat, tidak membiarkan tanah terbuka/mempercepat masa bera serta menanam sejajar kontur. Sedangkan secara mekanis dengan pembuatan teras gulud atau teras bangku untuk mengurangi laju aliran permukaan (infiltrasi). Sedangkan di hilir yang didominasi tanah mediteran umumnya memiliki ketebalan tanah yang tinggi, nilai toleransi erosi juga tinggi serta topografi datar sehingga nilai erosivitasnya sangat rendah.

Kawasan DAS Cianjur, berdasarkan tata guna lahannya meliputi kawasan Gunung Gede Pangrango sebagai DAS hulu dan Waduk Cirata/Saguling sebagai zona hilir. Gunung Gede Pangrango sebagai kawasan konservasi, memiliki fungsi yang sangat terbatas yaitu mengkonservasi air, sehingga pengelolaan kawasan ini dikendalikan oleh Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BTNGGP). Penentuan jenis tegakan/pohon sangat terbatas dan petani/masyarakat yang diberi hak mengelola kawasan khususnya di kawasan penyangga dan peruntukan lain dengan sistem agroforestri tidak berhak menanam pohon di luar ketentuan BTNGGP. Jumlah jenis tegakan/pohon terbatas dan hal ini terlihat dari jumlah

spesies pohon di hulu hanya 5 (lima) spesies yaitu pinus, kayu putih, mahoni, suren dan apokat (Tabel 3.8). Sedangkan untuk jumlah spesies tanaman semusim juga lebih rendah dibanding di tengah dan hilir, karena faktor agroklimat terutama suhu yang rendah sehingga hanya jenis tanaman tertentu yang bisa tumbuh dan berproduksi secara maksimum, yaitu tanaman-tanaman sayuran dataran tinggi. Di tengah, jumlah spesies pohon dan tanaman semusim lebih banyak daripada di hulu, karena zona tengah merupakan zona transisi/peralihan kedua zona yang memungkinkan menanaman pohon sesuai fungsi kawasan dengan tanaman selain tanaman sayuran dataran tinggi (misal jagung dan singkong), sedangkan di hilir jumlah jenis pohon lebih banyak karena pungsi pohon sebagai fungsi ekonomis, sedang untuk tanaman semusim, selain tanaman pangan, petani juga cenderung menanam tanaman sayuran yang sama dengan di tengah dan di hulu, walaupun dari nilai produktivitasnya rendah.

Keragaman komponen penyusun pada sistem agroforestri membentuk struktur vertikal dan horizontal. Struktur vertikal merupakan struktur yang terbentuk berdasarkan ketinggian. Vegetasi dalam sistem agroforestri ini sesuai dengan ketinggiannya membentuk lapisan-lapisan berdasarkan struktur tajuknya. Penutupan tajuk yang rapat sangat menguntungkan dalam efisiensi penggunaan cahaya matahari oleh tanaman dan mengurangi erosi tanah oleh air hujan. Sebagai contoh dari penelitian Wigunadi et al. (2008) yang menyatakan bahwa untuk penutupan tajuk pada pekarangan di DAS Cianjur, penutupan tajuk di pekarangan wilayah hulu, tengah dan hilir, masing-masing diwakili oleh Galudra, Mangunkerta dan Selajambe berturut-turut adalah 107%, 176.9% dan 227.9%. Sedangkan struktur horizontal merupakan struktur yang terbentuk oleh beragamamnya fungsi tanaman dalam sistem agroforestri. Beragamnya fungsi tersebut meliputi tanaman hias, tanaman buah-buahan, sayuran, bumbu, obat , tanaman penghasil pati, tanaman industri dan tanaman dengan fungsi lain.

Wilayah DAS Cianjur semakin ke hulu topografinya semakin berbukit dengan tingkat kelerengan yang terjal. Zona hulu dan tengah sebagai zona konservasi dan produksi terbatas, maka pohon sebagai komponen agroforestri harus dipilih yang memiliki perakaran yang dalam dan kuat yang diharapkan juga

mampu menahan erosi. Sedangkan zona hilir sebagai zona produksi/pemanfaatan bisa memilih jenis pohon yang cepat tumbuh (fast growing spesies) seperti jenis sengon (Albisia falcataria), yang memiliki perakaran yang banyak, mampu menahan air serta dapat menambah unsur hara nitrogen (N) dari seresah- seresahnya. Sedangkan untuk jenis tanaman semusim wilayah hulu sebaiknya spesifik untuk tanaman sayuran dataran tinggi, zona tengah dengan sayuran dan tanaman pangan sedangkan di hilir dengan jenis tanaman pangan, karena lebih toleran terhadap cekaman khususnya cekaman air dan naungan.

Perbedaan karakteristik agroklimat juga berpengaruh terhadap keberadaan vegetasi fauna parasitoid (Hymenoptera) di DAS Cianjur (Tabel 3.12). Jumlah jenis fauna parasitoid di hulu lebih besar dibandingkan di tengah dan hilir. Menurut Yaherwandi (2005), tingginya jumlah spesies parasitoid di hulu disebabkan oleh tersedianya faktor-faktor penunjang kehidupan Hymenoptera parasitoid tersebut. Pertambahan jumlah spesies parasitoid ini juga sangat dipengaruhi oleh struktur lanskap. Struktur lanskap yang beragam bisa menjadi inang dan sumber makanan bagi jenis serangga ini. Selain itu juga disebabkan oleh intensifikasi pengelolaan terutama penggunaan pestisida yang dapat menyebabkan parasitoid pindah dari habitat yang banyak menggunakan pestisida ke habitat yang lebih sedikit menggunakan pestisida, serta terjadinya migrasi/perpindahan dari suatu habitat pada masa bera.

Karakteristik lain yang sangat penting dalam pengelolaan sistem agroforestri adalah pola tanam tanaman semusim serta produktivitasnya. Pola tanam tanaman semusim pada suatu sistem agroforestri sangat ditentukan oleh karakter pohon baik jenis maupun tata letak pohon dalam suatu pertanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakter pola tanam pada sistem agroforestri di DAS Cianjur (Tabel 4.1 ). Di zona hulu, sistem agroforestri dengan pola lorong (alley cropping), di zona tengah terdapat pola tanam lorong

(alley cropping) dan agroforestri berupa kebun campuran, sedangkan di hilir umumnya merupakan kebun campuran dan hanya sebagian kecil pola tanam alley cropping berbasis sengon. Pada alley cropping di hulu dan tengah jenis pohon dan jarak antar pohon telah ditentukan oleh pemilik kawasan, di hulu adalah

pengelola Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, sedangkan di tengah adalah PTPN 18 (Gunung Gedeh) Propinsi Jawa Barat. Pada alley cropping

dengan jarak antar pohon yang teratur ini memungkinkan tersedianya ruang untuk tumbuh tanaman semusim, sehingga petani bisa memanfaatkan ruang bawah tegakan untuk budidaya tanaman semusim (terutama tanaman sayuran). Lamanya ketersediaan ruang untuk budidaya tanaman semusim ini sangat tergantung dari tingkat penutupan tajuk yang menurut Sabarnurdin (2005), bahwa untuk pohon mahoni masa aktif ruang pertanian berkisar 5.2 sampai 8.7 tahun.

Pada alley cropping di hulu dan tengah juga dilakukan pemangkasan tajuk (prunning) terhadap pohon. Prunning pada pohon pinus di hulu, dilakukan sebanyak 3 kali setahun, yaitu pada saat awal tanam tanaman semusim, sedangkan pada alley cropping dengan pohon mahoni di tengah, pemangkasan tajuk dilakukan sebanyak 2 kali setahun. Prunning bagi pengelola/pemilik lahan dimaksudkan untuk mendapatkan batang bebas cabang yang lebih tinggi, sehingga nilai ekonomis dari pohon juga tinggi, sedangkan bagi petani/penggarap areal kehutanan dan perkebunan, pemangkasan dimaksudkan untuk mengurangi tingkat penutupan tajuk sehingga sinar matahari yang diterima tanaman semusim lebih besar (tersedia ruang yang lebih besar), dan tanaman semusim yang ditanam bisa tumbuh dengan baik.

Jarak tanam pohon juga berpengaruh terhadap tata letak atau susunan penanaman tanaman semusim. Di hulu dan tengah dengan jarak tanam pinus 4m x 4m dan mahoni 10m x 10m, maka ruangan antar pohon/lorong yang ada bisa dimanfaatkan untuk menanam tanaman semusim dalam bentuk blok-blok atau barisan-barisan teratur. Pada blok-blok dan barisan-barisan ini, bisa ditanam secara monokultur maupun polikultur (tumpang sari). Pada penelitian ini terlihat bahwa penanaman tumpang sari lebih dominan di hulu dan tengah. Tumpang sari umumnya dilakukan dengan tanaman sayuran dataran tinggi yang berumur pendek dan atau antar tanaman yang memiliki karakter morfologi yang berbeda. Tumpang sari di hulu adalah wotel – sawi, tomat – sawi, tomat – bawang daun dan di tengah wotel – sawi, tomat – sawi dan jagung manis - sawi atau jagung manis - wortel. Adapun di hilir penanaman tanaman semusim umumnya tidak

teratur dalam barisan atau blok-blok, tetapi menyesuaikan dengan ruang bawah pohon, kecuali pada sebagian kecil agroforestri berbasis sengon dimana tata letak penanamannya menyerupai di hulu dan di tengah.

Tanaman sayuran sebagai tanaman khas di zona hulu dan tengah memiliki perbedaan rentang panen yang panjang sehingga sangat memungkinkan untuk dikombinasikan dengan pengaruh negatif (kompetisi) yang sangat kecil. Contoh pada penanaman wortel dan sawi. Wortel dan sawi ditanam bersamaan, pada umur 40 - 45 hari sawi sudah dipanen sementara wortel masih kecil (panen wortel umur 4 bulan) dan ini tidak mengganggu pertumbuhan tanaman wortel, tetapi justru petani mendapat keuntungan dari sawi. Begitu juga pada wortel dan bawang daun, dimana bawang daun dipanen pada umur 75-90 hari.

Perbedaan karakteristik pola tanam di tiga zona DAS Cianjur yang lain adalah intensifikasi pengelolaan lahan. Intensifikasi pengelolaan lahan di hulu sangat intensif, di tengah intensif dan di hilir kurang intensif. Intensifikasi pengelolaan lahan ini dimulai dari pengolahan tanah, penyediaan benih, penanaman dan pemeliharaan tanaman. Di hulu, pengolahan tanah sangat intensif, penyediaan benih/bibit bersertifikat dibeli di toko-toko pertanian, pemeliharaan tanaman seperti pemupukan, pengendalian hama penyakit dan gulma dilakukan oleh petani. Di tengah, pengolahan tanah intensif, benih dan bibit umunya bersertifikat kecuali benih wortel yang dibuat sendiri oleh petani, sedangkan pemeliharaan tanaman juga dilaksanakan dengan baik. Sedangkan di hilir pengolahan tanah dengan olah tanah minimum (minimum tillage) dengan sekali cangkul dan atau dengan ditugal, benih dan bibit dibuat oleh petani sendiri, dan hanya sebagian kecil (10%) petani yang membeli benih bersertifikat (umumnya pada agroforestri sederhana). Tingkat pemeliharaan tanaman seperti pemupukan dan pengendalian hama penyakit dan gulma baik secara mekanis maupun kimiawi juga sangat rendah.

Pemeliharaan tanaman khususnya mengenai pemupukan, petani menggunakan pupuk berupa pupuk dasar (kotoran ayam atau kambing), dan pemupukan susulan atau tambahan berupa pupuk N (urea), pospat (TSP) dan kalium (KCL) dan pupuk majemuk NPK. Di hulu pemupukan susulan I pada

umur 2 minggu setelah tanam serta susulan II umur 1 bulan setelah tanam, sedangkan di hilir petani hanya memberikan pupuk pada saat tanaman berumur 2 minggu setelah tanam. Aplikasi pemupukan baik di hulu, tengah dan hilir dengan cara meletakkan pupuk di sekitar pertanaman tanpa ditutup tanah terutama pada tanaman jagung, cabe, tomat, sehingga sehingga sebagian pupuk menguap (terevavorasi) pada saat panas/kering, sedangkan bila setelah pemupukan terjadi hujan maka pupuk akan terlarut dan atau tercuci oleh limpasan air hujan. Hal ini dilaporkan oleh Msyahidryan (2011), bahwa kehilangan pupuk akibat evavorasi dan terlarut/tercuci ini bisa mencapai > 45%. tercuci/terlarut (saat hujan). Keadaan ini menyebabkan meningkatnya biaya produksi serta berpotensi terjadinya pencemaran/polusi air, terutama pada zona bawah. Pengendalian hama penyakit umumnya menggunakan pestisida (kimia), sedangkan untuk gulma dengan cara dicabut, secara mekanis (dicangkul) dan ada yang menggunakan herbisida.

Faktor penting dalam pola tanam adalah rotasi tanaman dan frekuensi penanaman jenis tanaman oleh petani. Rotasi tanaman menggambarkan pola pergiliran tanaman dalam suatu lahan/areal pertanaman dalam 1 (satu) tahun, sedangkan frekuensi penanaman menggambarkan berapa kali tanaman tertentu ditanam petani dalam 1 tahun. Rotasi tanaman dan frekuensi penanaman dipengaruhi oleh intensifikasi pengelolaan lahan, pemilihan jenis tanaman serta kebiasaan dan pengalaman petani. Di hulu dan tengah dengan intensifikasi pertanian yang tinggi maka petani memanfaatkan lahan seoptimal mungkin, serta menanam jenis tanaman semusim dengan masa panen yang tidak terlalu panjang serta petani benar-benar telah menguasai teknik budidaya tanaman yang akan diusahakan berdasarkan pengalaman budidaya yang telah mereka terapkan selama bertahun-tahun. Sedangkan untuk kalender pertanaman berdasarkan hasil penelitian (wawancara petani responden), bahwa petani di tiga zona DAS Cianjur belum memanfaatkan data iklim untuk penentuan pola tanam tanaman semusim. Pola tanam masih berdasarkan pada kebiasaan pola musim penghujan (Oktober– Maret) dan kemarau (April-September). Petani juga terbiasa dengan pengalaman dan kebiasaan mengenai penentuan waktu tanam, cara tanam dan rotasi tanamannya.

Tujuan penanaman juga berpengaruh terhadap kalender pertanaman (Gambar 4.6). Pada zona hulu dan tengah, tujuan penanaman terbesar adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar (kemudahan menjual dan keuntungan yang besar), sehingga pola tanam disesuaikan dengan kecenderungan (trend) permintaan pasar saat itu, sementara di hilir dengan tujuan utama untuk konsumsi sehari-hari (Tabel 4.6), sehingga pola tanam lebih mengarah pada efektivitas pemanfaatan lahan karena adanya rentang musim yang panjang. Sedangkan pada musim penghujan seluruh tenaga kerja terkonsentrasikan untuk penanaman padi/sawah baik sebagai petani maupun buruh tani.

Pola dan kebiasaan rotasi tanaman, frekuensi penanaman jenis tanaman dan kalender pertanaman sangat berhubungan dengan indeks pertanaman. Indeks penanaman menggambarkan jumlah penanaman yang dilaksanakan petani dalam satu tahun. Di Hulu indeks penanaman lebih besar dibanding di tengah dan di hilir disebabkan oleh 1) kondisi bioklimat yang mumungkinkan untuk penanaman sepanjang tahun, 2) petani di hulu umumnya merupakan petani spesialis sayuran dataran tinggi, 3) Sebagian besar masyarakat memang menjadikan pertanian sebagai pekerjaan pokok, terutama petani hutan (pesanggem), dan 4) tersedianya tenaga kerja karena ada keterlibatan tenaga kerja lain (tenaga kerja wanita dan lelaki dewasa) dalam mengelola lahan pertanian. Sementara itu di zona tengah, walaupun ada kesesuaian kondisi bioklimat yang memungkinkan untuk menanam tanaman sayuran sepanjang tahun, tetapi ketersediaan tenaga kerja lebih rendah (keterlibatan tenaga kerja wanita hanya 13.33%), hal ini disebabkan istri dan perempuan dewasa umumnya bekerja pada perkebunan teh (bekerja sebagai tenaga kerja harian/borongan pemetik daun teh). Sedangkan di hilir 93.33% pengelolaan kebun dilaksanakan oleh kepala rumah laki-laki dan hanya 6.67% keterlibatan istri/tenaga wanita, karena istri lebih berperan di lahan sawah (36.67%).

Pengaturan pola tanam dalam sistem agroforestri juga berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Produktivitas merupakan suatu konsep yang menggambarkan rasio/hubungan antara hasil (jumlah barang dan jasa yang diproduksi) dengan sumber (jumlah tenaga kerja, modal, tanah, energi dan lain-

lain) yang terpakai untuk menghasilkan produk tersebut. Secara umum, produk yang dihasilkan sistem agroforestri dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: 1) produk yang langsung menambah penghasilan petani, misalnya makanan, pakan ternak, bahan bakar, serat, aneka produk industri, dan 2) produk yang secara tidak langsung memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat luas, misalnya konservasi tanah dan air, pemeliharaan kesuburan tanah, iklim mikro dan pagar hidup. Peningkatan produktivitas sistem agroforestri diharapkan bisa berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Peningkatan produktivitas sistem agroforestri dilakukan dengan menerapkan perbaikan cara-cara pengelolaan tanaman sehingga hasilnya bisa melebihi yang diperoleh dari praktek sebelumnya, termasuk jasa lingkungan yang dapat dirasakan dalam jangka panjang. Namun demikian, keuntungan/nilai ekonomi yang diperoleh dari peningkatan hasil dalam jangka pendek seringkali menjadi faktor yang menentukan apakah petani mau menerima dan mengadopsi cara-cara pengelolaan yang baru.

Peningkatan produktivitas sistem agroforestri juga dapat dilakukan dengan peningkatan dan/atau diversifikasi hasil komponen yang bermanfaat, dan atau menurunkan jumlah masukan atau biaya produksi. Contoh upaya penurunan masukan dan biaya produksi yang dapat diterapkan pada sistem agroforestri yaitu: mengurangi penggunaan pupuk nitrogen dan mengganti dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman pengikat nitrogen.

Pada sistem agroforestri di tiga zona Daerah Aliran Sungai Cianjur, produktivitas (rata–rata produksi/luasan lahan/tahun) tanaman semusim di hulu lebih tinggi di bandingkan di tengah dan hilir. Tingginya produktivitas di hulu, karena kondisi agroklimat yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman sayuran dataran tinggi seperti wortel, kubis, bawang daun dan tomat. Di tengah dengan suhu yang lebih tinggi dan jenis tanaman yang ditanam adalah sayuran dataran tinggi, sehingga produksinya lebih rendah. Sedangkan di hilir, tanaman berbeda dengan di hulu dan tengah karena suhu yang tinggi tidak sesuai untuk jenis tanaman sayuran dataran tinggi, sehingga petani lebih memilih tanaman pangan seperti singkong dan jagung.

Sistem agroforestri dengan pola tanam alley cropping di hulu, memungkinkan untuk dikembangkan sebagai vegetable agroforestry. Vegetable agroforestry memungkinkan dikembangkan dengan cara mengatur jarak tanam antar pohon serta jarak pohon dengan tanaman semusim. Jarak antar pohon dan jarak pohon dengan tanaman semusim yang tepat memungkinkan, pohon dapat berperan positif terhadap tanaman semusim, terutama melindungi tanaman dari angin kencang, sebagai inang hama penyakit tanaman serta mengurangi pengaruh sinar matahari secara langsung sehingga evavorasi tanaman bisa berkurang terutama pada saat awal masa tumbuh. Selain itu pohon juga memungkinkan menjadi pemompa unsur hara yang sulit dijangkau oleh tanaman menjadi terjangkau oleh tanaman (penyelamat unsur hara).

Rata-rata produktivitas tanaman semusim hasil survei dan pada petak contoh pengamatan di tiga zona DAS Cianjur lebih rendah dibandingkan data Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur tahun 2009 dan potensial produksi dari produsen benih. Perbedaan ini diduga karena perbedaan metode penghitungan produkstivitas lahan, namun berdasarkan hasil wawancara dengan responden khususnya di hulu dan tengah, dengan rata-rata produktivitas seperti data survei dan pengamatan petak contoh ini, bagi petani pelaksana agroforestri sudah untung (produktivitasnya sudah maksimal). Sedangkan di hilir produktivitas sistem agroforestri lebih rendah, hal ini disebabkan kondisi pertanaman pohon yang rapat dan tidak teratur, sehingga pertumbuhan tanaman semusim tidak optimal dan kemungkinan besar terjadi kompetisi dalam penyerapan hara maupun cahaya matahari.

Aspek terpenting lainya dari sistem agroforestri adalah keberlanjutan

(sustainability). Keberlanjutan sistem agroforestri meliputi keberlanjutan produksi, sosial ekonomi, ekologis dan penerimaan oleh masyarakat. Keberlanjutan produksi, terlihat bahwa produktivitas sistem agroforestri cukup tinggi, terutama di hulu dan tengah dan produksi tiap satuan luas lahan hampir sama setiap musim tanam dan setiap tahun. Stabilitas produksi ini bisa menjadi indikator keberlanjutan. Sesuai dengan pendapat Dabermann (2005), yang menyatakan bahwa keberlanjutan usaha tani diukur dari stabilitas produksi, dan

untuk mempertahankan stabilitas produksi ini diperlukan introduksi teknologi. Lebih lanjut dari penelitian Backes (2001), menunjukkan bahwa teknologi introduksi akan diadopsi oleh 53% petani jika teknologi tersebut sudah dikenal masyarakat di daerahnya, sedangkan 47% petani akan mengadopsi jika nilai tambah teknologi tersebut relatif sama dengan teknologi yang ada pada petani. Hasil penelitian ini bila kita kaitkan dengan perubahan orientasi petani mengenai pemilihan jenis tanaman, akan sinkron karena petani di tiga zona DAS Cianjur umumnya telah melakukan introduksi teknologi, dimana introduksi teknologi ini terlihat dari perubahan orientasi usaha taninya yang cenderung ke orientasi ekonomi (economic oriented).

Keberlanjutan aspek sosial ekonomi sistem agroforestri terlihat bahwa, sistem agroforestri di DAS Cianjur memberikan pendapatan yang cukup besar. Nilai pendapatan tanaman semusim dari hulu ke hilir berturut-turut adalah Rp 15 866 25/ha/tahun, Rp 4 771 643/ha/tahun dan 735 918 /ha/tahun, sedangkan nilai B/C rationya juga relatif besar, di hulu 1.09, di tengah 2.89 dan di hilir 1.02. Sedangkan dari aspek penerimaan masyarakat, terlihat bahwa masyarakat di DAS Cianjur, dalam pengelolaan lahan keringnya telah melaksanakan sistem agroforestri secara turun-temurun dalam waktu yang lama. Penanaman dengan

Dokumen terkait