• Tidak ada hasil yang ditemukan

COCONUT OIL 1)

8 PEMBAHASAN UMUM

Karakteristik Minyak Kelapa Komposisi Asam Lemak

Minyak dan lemak adalah suatu campuran triasilgliserol, yaitu ester dari gliserol dan asam lemak. Minyak dan lemak yang diperoleh dari berbagai sumber mempunyai sifat fisiko-kimia yang berbeda satu sama lain, karena perbedaan jumlah dan jenis ester yang terdapat di dalamnya. Minyak atau lemak dapat berwujud padat atau cair tergantung dari komposisi asam lemak yang menyusunnya. Minyak akan berbentuk cair jika mengandung sejumlah asam lemak dengan titik cair yang rendah dan berbentuk padat jika dominan mengandung asam lemak dengan titik leleh tinggi.

Asam lemak dominan dalam minyak kelapa adalah asam laurat. Oleh karenanya, minyak kelapa sering digolongkan sebagai minyak laurat. Minyak kelapa mengandung asam laurat sebesar 50.98%. Menurut Ketaren (2005), sifat fisika dan kimia minyak kelapa sangat ditentukan oleh sifat fisika dan kimia dari asam laurat. Asam lemak dominan lainnya dalam minyak kelapa adalah asam miristat, kaprilat, kaprat, palmitat dan oleat yaitu masing-masing sebanyak 15.35, 10.45, 8.15, 6.17 dan 4.06%. Komposisi asam lemak dan TAG, profil SFC dan SMP minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 8.1. Menurut Lawson (1995) dan Gee (2007), sifat-sifat minyak, terutama titik lelehnya, tergantung dari susunan asam lemaknya. Minyak kelapa mempunyai profil leleh yang tajam (25.5-26.2 °C) karena lebih banyak mengandung asam lemak berberat molekul rendah dibandingkan yang berantai panjang.

Tabel 8.1 Komposisi asam lemak minyak kelapa Jenis Asam Lemak Komposisi (%b/b) C8:0 (Kaprilat, Cp) C10:0 (Kaprat, Ca) C12:0 (Laurat, La) C14:0 (Miristat, Mi) C16:0 (Palmitat, P) C16:1 (Palmitoleat, Po) C18:0 (Stearat, S) C18:1 (Oleat, O) C18:2 (Linoleat, L) C18:3 (Linolenat, Ln) C20:0 (Arakhidat, A) C22:0 (Behenat, B) 10.45 8.15 50.98 15.35 6.17 nd 1.99 4.06 1.41 nd nd nd Saturated FA** Monounsaturated FA Polyunsaturated FA 94.54 4.06 1.41 *nd = tidak terdeteksi

Minyak kelapa berdasarkan tingkat kejenuhan asam lemaknya digolongkan sebagai minyak jenuh. Minyak kelapa mengandung 94.54% asam lemak jenuh (saturated fatty acid) dan hanya mengandung 4.06% asam lemak tak jenuh tunggal

(monounsaturated fatty acid) dan 1.41% asam lemak tak jenuh ganda

(polyunsaturated fatty acid). Dari keseluruhan asam lemak minyak kelapa, 69.59%

merupakan asam lemak berantai menengah (Medium Chain Fatty Acid/MCFA) dan

sisanya (30.41%) merupakan asam lemak berantai panjang (Long Chain Fatty Acid/LCFA). MCFA adalah asam lemak unik dengan nilai ekonomis yang tinggi.

MCFA bersifat jenuh tetapi memiliki titik cair yang rendah, kurang bersifat fattening,

mempunyai kelarutan yang lebih tinggi di dalam air, memiliki nilai kalori yang lebih rendah, dan lebih mudah dicerna (Matulka et al. 2006; Prakoso et al. 2006).

Komposisi TAG

Hasil analisis komponen TAG minyak kelapa menggunakan HPLC, diketahui bahwa minyak kelapa tersusun atas 12 jenis TAG utama dengan 4 jenis TAG dominan, yaitu trilaurin (LaLaLa) sebesar 20.43%, kaprodilaurin (CaLaLa)

sebesar 16.23%, dilauromiristin (LaLaM) sebesar 15.38% dan dikaprolaurin

(CaCaLa) sebesar 12.68%. Berdasarkan jenis asam lemak penyusun TAG minyak kelapa, diketahui bahwa minyak kelapa mengandung 82.54% TAG yang ketiga asam lemaknya jenuh (St3). Dari keseluruhan kandungan St3 minyak kelapa, 53.71% diantaranya adalah Medium Chain Triglycerides (MCT). Kandungan

St2U dan StU2 minyak kelapa masing-masing sebesar 14.25 dan 3.22%. Minyak kelapa tidak mengandung TAG jenis triunsaturated (U3).

Berdasarkan sifat leleh dan kecenderungan untuk berwujud padat atau cair, TAG minyak kelapa dibagi dalam dua kelompok, yaitu TAG yang lebih berwujud padat dengan titik leleh tinggi (Solidlike/S) dan TAG yang lebih berwujud cair

dengan titik leleh rendah (Liquidlike/L). Yang termasuk golongan TAG S pada

minyak kelapa adalah LaLaLa, LaLaM, lauromiristopalmitin (LaMP) dan laurodimiristin (LaMM); sedangkan delapan jenis TAG lainnya tergolong sebagai

TAG L. Sebagian MCT, seluruh St2U dan StU2 termasuk dalam golongan TAG L. Jumlah TAG S dan L masing-masing dalam minyak kelapa adalah 49.25 dan 50.75%. Komposisi TAG minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 8.2.

Tabel 8.2 Komposisi TAG minyak kelapa

Jenis TAG Komposisi (%)

MCT 53.71 ± 0.48 LCT 46.29 ± 0.30 St3 82.54 ± 0.18 St2U 14.25 ± 0.21 StU2 3.22 ± 0.05 U3 nd ± nd Solidlike 49.25 ± 0.29 Liquidlike 50.75 ± 0.26 *nd = tidak terdeteksi

Profil SFC dan SMP

SFC adalah jumlah kristal lemak yang terdapat dalam campuran minyak/lemak yang menentukan karakteristik berbagai produk, seperti sifat pelelehan maupun sifat organoleptik produk. SFC menentukan kesesuaian dari minyak dan lemak untuk aplikasi khusus. Secara umum, SFC dari komponen minyak dan lemak bertanggung jawab terhadap berbagai karakteristik produk, meliputi penampakan umum, kemudahan untuk dikemas, daya oles, peresapan minyak dan sifat-sifat organoleptik (Noor Lida dan Ali 1998). SFC juga dapat digunakan untuk mempelajari kompatibilitas lemak dengan menentukan perubahan persen padatan pada berbagai proporsi lemak (Noor Lida et al. 2002).

Profil SFC minyak kelapa hasil pengukuran menggunakan pNMR pada berbagai suhu disajikan pada Tabel 8.3. SFC minyak kelapa dengan nilai sekitar 32 %, berada pada interval suhu 21-22 oC. Hal ini berarti bahwa minyak kelapa memiliki spreadibilitas yang bagus di suhu 22 o

SFC minyak atau lemak mencerminkan komposisi TAG-nya (Noor Lida et al. 2002). TAG jenis S diperkirakan yang menyebabkan minyak kelapa memiliki SFC yang tinggi. Menurut Li et al. (2010) profil SFC merupakan persentasi

bagian padat dalam lipida pada berbagai suhu. Oleh karena itu, SFC menjadi parameter penting untuk menganalisis sifat-sifat lemak padat seperti margarine dan shortening.

C (suhu ruang bagi negara-negara yang memiliki 4 musim). Minyak kelapa mempunyai nilai SFC tinggi pada suhu rendah dan terjadi penurunan yang cukup tajam sampai suhu 25 °C, kemudian laju penurunan nilai SFC-nya relatif konstan sampai suhu sekitar 30 ºC. Pada suhu pengukuran 27 °C minyak kelapa memiliki nilai SFC-sebesar 3.53 %, hal ini mengindikasikan bahwa pada suhu tersebut minyak kelapa sudah melewati slip melting point (SMP)-nya. Karena menurut Lida dan Ali (1998), lemak di dalam

tabung kapiler akan mengalami slip ketika kandungan lemak padatnya sekitar 4-5

%, sehingga dapat dianalogikan bahwa SMP menunjukkan kondisi ketika minyak/lemak mempunyai nilai SFC sekitar 4-5 %.

Tabel 8.3 Profil SFC dan SMP minyak kelapa

Karakteristik Komposisi SFC, % 5o 10 C o 20 C o 25 C o 27 C o 30 C o 35 C oC 83.45 74.72 40.78 10.39 3.54 0 0 ± ± ± ± ± ± ± 0.60 0.20 1.78 0.42 0.14 0.00 0.00 Slip Melting Point

(SMP, oC) 24.5-26.2

Hasil pengukuran SMP menunjukkan bahwa minyak kelapa memiliki titik leleh pada suhu di antara 24.5–26.2 oC. SMP adalah temperatur pada saat lemak dalam pipa

kapiler yang berada dalam air menjadi cukup leleh untuk naik dalam pipa kapiler. SMP minyak berkaitan dengan wujud dan tampilannya. Pada suhu di atas SMP minyak akan berwujud cair dengan tampilan yang jernih tetapi di bawah suhu SMP minyak akan berwujud semi-padat hingga padat dengan tampilan warna keruh hingga putih. Menurut Lawson (1995), faktor penting penentu titik cair dan

melting behaviour minyak atau lemak antara lain adalah panjang rantai asam

lemak (semakin panjang semakin tinggi titik cairnya), posisi asam lemak pada molekul gliserol, proporsi relatif dari asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh, dan teknik pengolahan (derajat hidrogenasi dan winterisasi).

Pendinginan dan Kristalisasi Minyak Kelapa

Hasil analisis terhadap kurva perubahan suhu minyak kelapa selama kristalisasi, diketahui bahwa perubahan suhu minyak kelapa selama kristalisasi secara tipikal dapat digambarkan dengan bentuk kurva yang dapat dilihat pada Gambar 8.1.

Gambar 8.1. Tipikal kurva perubahan suhu minyak kelapa selama proses kristalisasi Hasil analisis terhadap kurva pendinginan minyak kelapa selama kristalisasi (Gambar 8.1) mengindikasikan bahwa terdapat tiga tahap pendinginan yang mempengaruhi proses kristalisasi dan fraksinasinya. Tahap pertama adalah pendinginan awal, yaitu pendinginan yang berlangsung dari suhu awal minyak (T0) hingga suhu awal kristalisasi. Pada penelitian ini suhu awal kristalisasi pada minyak kelapa (suhu dimana inti kristal pertama mulai terbentuk) diperkirakan

terjadi pada suhu 29 °C. Hal ini didukung oleh hasil analisis NMR yang menunjukkan bahwa pada suhu 29 °C minyak kelapa mempunyai nilai SFC berkisar antara 1.0-2.0 % (data tidak ditampilkan). Selain itu terlihat pula secara visual bahwa pada suhu tersebut viskositas minyak kelapa mulai meningkat. Tahap kedua adalah pendinginan yang berlangsung dari suhu awal kristalisasi hingga tercapainya suhu kristalisasi (Tcr) yang ditetapkan. Diduga pada tahap kedua ini terjadi peningkatan intensitas pembentukan inti kristal (propagasi) yang terjadi setelah inti pertama terbentuk hingga tercapainya suhu kristalisasi (Tcr). Laju pendinginan pada tahap kedua ini disebut sebagai laju pendinginan kritis (vc). Tahap ketiga adalah pendinginan untuk mempertahankan suhu kristalisasi konstan sesuai dengan yang ditetapkan. Diduga pada pendinginan tahap ketiga ini terjadi penggabungan inti kristal membentuk kristal yang lebih besar (pertumbuhan kristal). Oleh karena itu pendinginan tahap ketiga ini disebut sebagai waktu kristalisasi.

Pengaruh Pendinginan pada Fraksinasi Kering Minyak Kelapa

Fraksinasi kering adalah proses pemisahan berbagai triasilgliserol menjadi satu atau lebih fraksi dengan menggunakan perbedaan kelarutan triasilgliserol, yang tergantung pada berat molekul dan derajat ketidakjenuhan. Fraksi stearin atau fraksi minyak jenuh yang mempunyai titik cair lebih tinggi akan membentuk kristal terlebih dahulu. Sedangkan fraksi olein atau fraksi minyak yang tidak jenuh dengan titik cair yang lebih rendah masih dalam bentuk cair (Timms 1997). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, suhu awal pendinginan dan laju pendinginan di tahap pertama tidak berpengaruh nyata terhadap stabilitas kristal, ukuran kristal, pola pembentukan stearin, pola perubahan MCT, profil TAG, rasio S/L, pola perubahan St3, St2U dan StU2, pola perubahan SFC dan SMP, indeks Avrami, laju pertumbuhan kristal, waktu faruh kristalisasi, jumlah kristal maksimum yang dapat dicapai, waktu induksi dan laju pertumbuhan kristal maksimum. Keseluruhan parameter fraksinasi tersebut dipengaruhi kuat oleh laju pendinginan kritis, suhu kristalisasi dan lama proses kristalisasi.

Hasil penelitian ini sedikit bertentangan dengan hasil yang dilaporkan oleh Kellens and Hendrix (2000); Timms (2005), yang mengungkapkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi pembentukan kristal dan pemisahan stearin dengan olein pada fraksinasi kering adalah suhu awal dari minyak, suhu akhir fraksinasi, kecepatan pendinginan, kecepatan agitasi dan metode preparasi. Menurut Calliauw et al. (2010) keempat faktor pendinginan di atas sangat berpengaruh

terhadap ukuran dan bentuk kristal, kecepatan filtrasi, perolehan olein dan stearin, kandungan lemak padat, titik leleh dan profil asam lemak produk fraksinasi.

Temuan terhadap adanya tiga tahap pendinginan pada fraksinasi kering minyak kelapa dan pengaruh masing-masing tahap tersebut terhadap parameter fraksinasi, berimplikasi pada efisiensi dan efektivitas produksi bagi pengembangan produk olahan berbasis minyak kelapa. Fraksinasi minyak kelapa bisa dijalankan dengan lebih cepat karena pendinginan minyak hingga suhu 29 oC dapat dilaksanakan dengan laju yang secepat-cepatnya, baru setelah itu diatur pendinginan lambat hingga minyak mencapai suhu kristalisasi yang ditetapkan.

Penelitian ini menghasilkan persamaan matematika yang menjelaskan hubungan antara laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi dengan masing- masing parameter fraksinasi yang diamati pada rentang waktu kristalisasi yang diterapkan. Persamaan-persamaan ini dapat digunakan untuk menduga nilai akhir dari setiap parameter di akhir proses fraksinasi. Sehingga untuk menghasilkan suatu nilai parameter dengan jumlah dan kualitas tertentu, dapat diatur program pendinginan yang sesuai dengan lama waktu kristalisasi tertentu. Dengan demikian, fraksinasi minyak kelapa untuk tujuan khusus dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien.

Sebagai ilustrasi, dari hasil penelitian diketahui bahwa perubahan jumlah kandungan MCT minyak kelapa selama proses kristalisasi pada berbagai laju pendinginan kritis adalah: MT=1.552ln(t)+51.23 untuk vc<0.075 oC/menit; MT=1.997ln(t)+46.29 untuk 0.075<vc<0.125 oC/menit; dan MT=2.072ln(t)+45.18 untuk vc>0.125 oC/menit. Perubahan jumlah kandungan MCT minyak kelapa selama proses kristalisasi pada laju pendinginan kritis kurang dari 0.125 °C/menit di berbagai interval suhu kristalisasi yang dipelajari mengikuti persamaan: MT=1.884ln(t)+49.59 untuk 21.30<Tcr<21.73 oC; MT=1.388ln(t)+51.04 untuk 18.82<Tcr<18.91 oC; dan MT=1.710ln(t)+47.48 untuk 21.90<Tcr<22.38 oC. Berdasarkan persamaan- persamaan ini maka dapat diprediksi perubahan nilai MCT sepanjang waktu kristalisasi seperti dideskripsikan pada Tabel 8.4.

Tabel 8.4 Prediksi perubahan kandungan MCT fraksi olein minyak kelapa sepanjang waktu kristalisasi

Lama Kristalisasi (menit)

Prediksi Kandungan MCT (%), pada perlakuan TCr 1 TCr 2 TCr 3 vc 1 vc 2 vc 3 30 55.76 56.00 53.30 56.51 53.08 52.23 60 56.72 57.30 54.48 57.58 54.47 53.66 90 57.29 58.07 55.17 58.21 55.28 54.50 120 57.69 58.61 55.67 58.66 55.85 55.10 150 57.99 59.03 56.05 59.01 56.30 55.56 180 58.25 59.37 56.36 59.29 56.66 55.94 210 58.46 59.66 56.62 59.53 56.97 56.26 240 58.65 59.92 56.85 59.74 57.23 56.54 270 58.81 60.14 57.05 59.92 57.47 56.78 300 58.96 60.34 57.23 60.08 57.68 57.00

Keterangan: Tcr 1 = suhu kristalisasi 18.82-18.91 o T C cr 1 = suhu kristalisasi 21.30-21.73 o T C cr 1 = suhu kristalisasi 21.90-22.38 o vc 1 = laju pendinginan kritis < 0,075 C o v

C/menit c 2 = laju pendinginan kritis antara 0,075-0.125 o v

C/menit c 3 = laju pendinginan kritis > 0,125 oC/menit

Lama proses kristalisasi yang dimaksudkan pada Tabel 8.4 bukan merujuk pada keseluruhan waktu yang dibutuhkan untuk mendinginkan minyak dari awal, tetapi adalah lamanya proses pendinginan sejak dimulainya pendinginan tahap

ketiga, dimana proses pendinginan tersebut ditujukan untuk mempertahankan suhu minyak konstan pada suhu kristalisasi yang ditetapkan. Berdasarkan tipikal kurva pendinginan (Gambar 5.2), onset waktu kristalisasi (tCr

TAG minyak kelapa yang memiliki titik leleh tinggi akan lebih dahulu terkristalkan selama proses kristalisasi. Dan saat difraksinasi, jika kristal yang dihasilkan stabil dan berukuran besar, akan lebih terkonsentrasi di dalam fraksi stearin. Ilustrasi perubahan komposisi TAG minyak kelapa bertitik leleh tinggi sebelum dan sesudah fraksinasi dapat dilihat pada Gambar 8.2 dan Tabel 8.5.

= 0) adalah saat minyak pertama kali mencapai suhu kristalisasi, atau senilai dengan seluruh lama proses pendinginan dari awal dikurangi waktu induksi untuk terjadinya proses

kristalisasi (τ).

Pada Gambar 8.2 terlihat bahwa tiga peak pertama pada kromatogram hasil analisis TAG menggunakan HPLC yaitu CpCaLa, CaCaLa dan CaLaLa lebih tinggi adanya pada fraksi olein (Gambar 8.2b), ketiga TAG ini tersusun atas asam lemak dengan jumlah atom karbon 8-10, merupakan komponen utama dalam MCT dan memiliki titik leleh sangat rendah. Peak ke-5, 7 dan 9 yang diberi tanda lingkaran, masing-masing adalah LaLaM, LaMP dan LaMM. Ketiga TAG ini tergolong sebagai trisaturated berantai panjang yang memiliki titik leleh

tinggi, lebih tinggi adanya pada fraksi stearin. Peak yang keempat, adalah

trilaurin (LaLaLa), yang juga digolongkan sebagai MCT, terlihat sedikit lebih

rendah di fraksi olein dan lebih tinggi di fraksi stearin dibandingkan dengan di minyak kelapa. Hal ini menunjukkan bahwa TAG ini tidak tergolong sebagai TAG bertitik leleh rendah, tetapi lebih cocok digolongkan sebagai TAG bertitik leleh sedang atau bahkan tinggi.

Tabel 8.5 Perubahan konsentrasi masing-masing jenis TAG minyak kelapa selama fraksinasi

Peak TAG Jenis

Konsentrasi TAG (%) Sebelum

Fraksinasi

Setelah Fraksinasi

Fraksi Olein Fraksi Stearin 1 CpCaLa 4.38 ± 0.15 4.49 ± 0.07 4.26 ± 0.07 2 CaCaLa 12.68 ± 0.33 13.32 ± 0.09 12.04 ± 0.09 3 CaLaLa 16.23 ± 0.31 17.40 ± 0.12 15.05 ± 0.12 4 LaLaLa 20.43 ± 0.45 21.51 ± 0.13 19.36 ± 0.13 5 LaLaO 2.24 ± 0.13 2.48 ± 0.03 1.99 ± 0.03 6 LaLaM 15.38 ± 0.40 13.99 ± 0.12 16.77 ± 0.12 7 LaMP 3.77 ± 0.46 2.75 ± 0.13 4.79 ± 0.13 8 LaMM 9.67 ± 0.26 8.21 ± 0.20 11.14 ± 0.20 9 LaMO 3.49 ± 0.15 3.59 ± 0.04 3.39 ± 0.04 10 MPO 6.11 ± 0.14 6.37 ± 0.03 5.85 ± 0.03 11 PLO/PPL 2.41 ± 0.04 2.60 ± 0.03 2.21 ± 0.03 12 MOO 3.22 ± 0.05 3.39 ± 0.03 3.05 ± 0.03

Keberhasilan pemisahan fraksi (fraksinasi) sangat ditentukan oleh stabilitas kristal yang terbentuk. Kristal dengan stabilitas tinggi akan lebih mudah dipisahkan dari fraksi cairnya. Menurut Weber et al. (1998), efisiensi pemisahan

min 8 10 12 14 16 18 nRIU 0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000

RID1 A, Refractive Index Signal (20-06-12\OLE15-50.D)

8. 229 8. 984 9. 936 11. 062 12. 244 12. 528 13. 889 14. 359 15. 972 16. 608 19. 369 min 8 10 12 14 16 18 nRIU 0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000

RID1 A, Refractive Index Signal (21-06-12\STE16-31.D)

7. 009 7. 782 8. 737 9. 860 11. 323 12. 739 13. 174 14. 858 15. 471 17. 466 18. 296

pada fraksinasi kering sangat ditentukan oleh kualitas kristalisasinya: alat pemisah terbaik sekali pun tidak akan sempurna memisahkan kedua fraksi (olein dan stearin) pada kristal yang buruk (kurang stabil dan berukuran kecil). Metode pendinginan adalah hal yang paling mempengaruhi pembentukan inti dan pembesarannya; kontrol yang sempurna akan menghasilkan kristalisasi yang lebih selektif. Tetapi, pada beberapa kondisi operatif, pertambahan besar kristal dapat menjerap cairan dalam partikel padat; fenomena ini menjadi kritis pada sistem dengan viskositas tinggi.

Waktu retensi (menit)

A

B

C

Gambar 8.2 Perubahan kromatogram profil TAG minyak kelapa sebelum fraksinasi (A), fraksi olein (B) dan fraksi stearin (C), 3 peak pertama masing- masing adalah CpCaLa, CaCaLa dan CaLaLa; tiga peak yang dilingkari masing-masing adalah LaLaM, LaMP dan LaMM

Terjerapnya minyak cair dalam fase padat, menyebabkan fraksi stearin masih mengandung TAG bertitik leleh rendah dalam jumlah yang cukup banyak. Jika kristalisasi berjalan dengan sempurna, jumlah olein yang terperangkap secara fisik pada kristal relatif rendah dan pemerasan dengan tekanan 5-10 bar (pneumatic design) secara umum dapat menghasilkan pemisahan dengan baik. Olein secara

normal tidak dipengaruhi oleh tekanan filtrasi, tetapi lain halnya dengan stearin, selama penyaringan stearin dapat melewati filter penyaring dan tercampur ke dalam olein. Hal ini terjadi jika ukuran dan ketebalan kristal tidak cukup besar; ketidaksempurnaan kristalisasi adalah alasannya. Akan tetapi, beberapa jenis minyak (termasuk minyak kelapa), memang menghasilkan kristal yang lemah, jika penanganan selama fase kristalisasi kurang tepat, kristal yang terbentuk akan mudah pecah dan mencair selama pengepresan. Untuk kasus seperti ini, dianjurkan untuk melakukan proses pengepresan dengan tekanan rendah (Weber

et al. 1998).

Stabilitas kristal minyak kelapa berbanding terbalik dengan laju pendinginan kritis yang diterapkan, hubungan antara laju pendinginan kritis dengan stabilitas kristal minyak kelapa yang diperoleh pada berbagai waktu kristalisasi, dapat dijelaskan dengan persamaan SC=67,03e-7,92Vc dimana SC adalah stabilitas kristal (lamanya kristal minyak berada pada fase padat di suhu 25 oC, detik) dan vc adalah laju pendinginan kritis yang diterapkan pada saat kristalisasi (oC/menit). Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara stabilitas dan ukuran kristal minyak kelapa dengan proporsi TAG bertitik leleh tinggi (proporsi S/L) yang ada dalam minyak, deskripsi hubungan ketiga parameter ini dapat dilihat pada Gambar 8.3.

Gambar 8.3 Hubungan antara proporsi TAG bertitik leleh tinggi/bertitik leleh rendah di dalam fraksi olein minyak kelapa dengan stabilitas kristalnya; SC = stabilitas kristal, DC = diameter Kristal, S/L = proporsi TAG solid like/liquid like

SC = 3623.e-10.1[S/L] R² = 0.737 DC = 68754e-14.8[S/L] R² = 0.724 0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 10 20 30 40 50 60 0.4 0.42 0.44 0.46 0.48 0.5 0.52 C ry st a l s ta b ilit y ( se co n d ) S/L proportion

Crystal Stability Crystal diameter

C ry st a ld ia m et er ( µ m )

Pada Gambar 8.3 terlihat bahwa hubungan antara proporsi TAG bertitik leleh tinggi/bertitik leleh rendah di dalam minyak kelapa dengan stabilitas kristalnya dapat dijelaskan dengan persamaan SC = 3623.e-10.1[S/L], hubungannya dengan diameter kristal dapat dituliskan sebagai DC = 68754e-14.8[S/L]

Gambar 8.3 juga memperlihatkan bahwa proporsi TAG bertitik leleh tinggi/bertitik leleh rendah di dalam fraksi olein minyak kelapa berbanding terbalik baik dengan stabilitas maupun diameter kristalnya. Hal ini menunjukkan bahwa kristalisasi dan fraksinasi minyak kelapa yang menghasilkan kristal dengan stabilitas dan diameter yang tinggi akan menghasilkan proporsi S/L dalam fraksi olein minyak kelapa yang rendah. Fraksi olein adalah fraksi cair dari minyak yang diperoleh setelah difiltrasi vacuum. Tingginya jumlah TAG yang bersifat

solid like (bertitik leleh tinggi) dalam fraksi olein menunjukkan bahwa fraksinasi

tidak berlangsung secara efektif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kristalisasi minyak kelapa yang menghasilkan kristal dengan stabilitas dan diameter yang tinggi akan meningkatkan efektivitas fraksinasi olein dan stearin, dan hal tersebut hanya dapat dicapai jika kristalisasi dilakukan pada laju pendinginan yang rendah.

. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga parameter kristalisasi tersebut memang saling terkait satu sama lain, keberadaan atau kondisi salah satunya akan menggambarkan kondisi relative parameter yang lainnya.

Rasio TAG S/L juga berpengaruh terhadap profil SFC produk fraksinasi minyak kelapa. Tingginya jumlah TAG bertitik leleh tinggi dalam minyak akan meningkatkan nilai SFC pada setiap suhu pengukuran. Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Neff et al. (1999) yang menyatakan bahwa

komposisi TAG dalam minyak, khususnya kelompok TAG bertitik leleh tinggi, mempunyai korelasi yang kuat dengan titik leleh, solid fat index dan stabilitas

oksidatif minyak tersebut. Hubungan antara proporsi S/L produk fraksinasi minyak kelapa dengan nilai SFC fraksi tersebut pada beberapa suhu pengukuran dapat dilihat pada Gambar 8.4.

SFC mempunyai korelasi yang positif dengan proporsi S/L pada semua suhu pengukuran (Gambar 8.4). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan TAG bertitik leleh tinggi dalam minyak maka akan semakin tinggi pula nilai SFC minyak tersebut. SFC minyak kelapa pada suhu 22.5 oC dapat diprediksi nilainya berdasarkan proporsi S/L minyak tersebut menggunakan persamaan: S/L=0.035ln(SFC)+0.362; pada suhu 20 oC menggunakan persamaan: S/L=0.114ln(SFC)+0.050; pada suhu 10 oC menggunakan persamaan: S/L=0.251ln(SFC)-0.617; dan pada suhu 5 o

Minyak kelapa dalam keadaan sebelum difraksinasi, memiliki titik leleh (SMP) sebesar 24.5-26.2

C menggunakan persamaan: S/L=0.366ln(SFC)-1.143.

oC. Nilai SMP minyak setara dengan kandungan SFC minyak tersebut sebesar 4-5 %, karena menurut Lida dan Ali (1998), lemak di dalam tabung kapiler akan mengalami slip ketika kandungan lemak padatnya sekitar 4-5, sehingga dapat dianalogikan bahwa SMP menunjukkan kondisi ketika minyak/lemak mempunyai SFC sebesar 4-5 %.

Gambar 8.4 Hubungan antara proporsi distribusi TAG bertitik leleh tinggi dengan nilai SFC fraksi olein minyak kelapa pada berbagai suhu pengukuran; S/L = proporsi TAG solid like/liquid like, SFC = solid fat content, SFC 5, 10, 20, 22.5 nilai SFC diukur pada suhu

masing-masing 5, 10, 20 dan 22.5 oC

Fraksinasi minyak kelapa menghasilkan fraksi olein yang mempunyai SFC lebih rendah dan stearin dengan nilai SFC yang lebih tinggi, dibandingkan pada minyak sebelum fraksinasi . Deskripsi perubahan SFC fraksi olein dan stearin pasca fraksinasi minyak kelapa sebagai pengaruh dari laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi dapat dilihat pada Gambar 8.5.

Penurunan nilai SFC minyak pada fraksi olein atau peningkatannya pada fraksi stearin tidak sama untuk setiap laju pendinginan kritis ataupun suhu kristalisasi (Gambar 8.5). Peningkatan nilai SFC tertinggi terlihat pada fraksi stearin dengan perlakuan laju pendinginan kritis yang rendah (vc < 0.075 oC/menit) atau suhu kristalisasi yang tinggi (21.90-22.38 o

Fraksinasi minyak kelapa menghasilkan fraksi olein yang mempunyai kandungan MCT lebih tinggi (59.98±0.79 %) dan stearin dengan nilai MCT yang lebih rentah (48.75±0.67 %), dibandingkan pada minyak sebelum fraksinasi (53.71±0.96 %). Deskripsi perubahan MCT fraksi olein dan stearin pasca fraksinasi minyak kelapa sebagai pengaruh dari laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi dapat dilihat pada Gambar 8.6.

C). Semakin tinggi laju pendinginan kritis atau semakin rendah suhu kristalisasi minyak kelapa akan menghasilkan perubahan SFC yang semakin kecil baik pada fraksi olein maupun fraksi stearin. Hal ini mengindikasikan bahwa laju pendinginan kritis yang tinggi atau suhu kristalisasi yang rendah menyebabkan proses pemisahan fraksi olein dan stearin tidak berjalan efektif yang disebabkan oleh kurang sempurnanya pembentukan kristal selama proses kristalisasi.

S/L = 0.035ln(SFC) + 0.362 R² = 0.615 S/L = 0.114ln(SFC) + 0.050 R² = 0.737 S/L = 0.251ln(SFC) - 0.617 R² = 0.718 S/L = 0.366ln(SFC) - 1.143 R² = 0.648 0.40 0.42 0.44 0.46 0.48 0.50 0.52 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 S/ L p rop or ti on SFC % SFC 22.5 SFC 20 SFC 10 SFC 5

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

Gambar 8.5 Profil SFC minyak kelapa pada fraksi olein dan stearin sebelum dan sesudah fraksinasi untuk laju pendinginan kritis (oC/menit) kurang dari 0.075 (a), antara 0.075-0.125 (b), lebih dari 0.125 (c); dan suhu kristalisasi (oC) antara 18.82-18.91 (d); antara 21.30-21.73 (e); antara 21.90-22.38 (f); OL = olein; ST = stearin; vc = laju pendinginan kritis; TCr = suhu kristalisasi

Dokumen terkait