MEMPELAJARI PERILAKU FRAKSINASI KERING DAN
KINETIKA KRISTALISASI MINYAK KELAPA
MURSALIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Mempelajari Perilaku Fraksinasi Kering dan Kinetika Kristalisasi Minyak Kelapa adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juni 2013
of Coconut Oil. Supervised by PURWIYATNO HARIYADI, NURI ANDARWULAN, DEDI FARDIAZ and EKO HARI PURNOMO.
Dry fractionation of oils consists of two stages, namely crystallization to produce solid crystals in a liquid matrices and filtration to separate the crystals formed from a liquid matrix. Changes that occur at the molecular level during the crystallisation process such as nucleation, crystall growth and changes in the phase behavior (folymorphism, solid-solutions). The overall changes at the molecular level is highly influenced by the treatment at the physical level in the form of heat removal. Methods of cooling (crystallization temperature, cooling rate and duration of the crystallization is applied) will largely determine the success of coconut oil fractionation process.
This research aims to study the typical fractionation method for coconut oil at pilot plant scale (120 kg) and identify the conditions and essential requirements that must be managed and maintained in a dry fractionation stages of coconut oil; establish the crucial cooling systems in the dry fractionation of coconut oil as a guide in designing practical coconut oil fractionation; establish an effective cooling procedure to produce coconut oil fractions with a high content of MCT; determine the effect of cooling rate and crystallization temperature on the composition and profile of TAG, the kinetics of crystallization and melting properties of coconut oil fractionation products ; determine the relationship (model equations) between the parameters of fractionation with cooling procedure during the crystallization process, to predict the TAG composition, physical and thermal-mechanical properties of fractions produced.
Coconut oil is dominant with lauric (C12:O), miristic (C14:0) and caprilic (C8:0)acid which composed the main trilaurin (LaLaLa), caprodilaurin (CaLaLa) and dilauromiristin (LaLaM) TAG. The content of lauric, miristic and caprilic acid in coconut oil are 51.73; 15.57 and 10.61%, respectively; while LaLaLa, CaLaLa and LaLaM TAG are 20.43; 16.23 and 15.38%, respectively. Coconut oil contains medium chain trigliserides (MCT) of 53.71%, trisaturated (St3) of 82.54%, disaturated (St2U) of 14:24%, monosaturated (StU2) of 3:22% and the proportion of high/low-melting TAG (S/L) by 49.25%. Coconut oil has a high SFC at low temperatures and a sharp decline to a temperature of 25 °C and then constant up to a temperature of about 30 ºC. Coconut oil’s SFC with about 32% was measured in temperature interval 21-22 °C, indicating that coconut oil has a good spreadibility at ambient temperature for countries that have 4 seasons. Coconut oil has SMP ranged between 24.5-26.2 °C, the water content of 0.021% and a free fatty acid content of 0.018%.
predetermined crystallization temperature. It is estimated that crystallization regime was the stage of crystal nuclei merging to form larger crystals (crystal growth). In the first regime, melted coconut oil might be cooled quickly to save time but in the second regime should be done with a cooling rate of less than 0.176 °C/min to produce physically stable crystal.
Oil with high MCT content could be obtained from olein fraction of coconut oil. At the crystallization temperature 21.30-21.73 °C for the critical cooling rate between 0.013 to 0.176 °C/min, the higher MCT content of olein fraction were produced by the lower critical cooling rate and the longer crystallization process.
Critical cooling rate has positive correlation with the S/L ratio, the content of St3 and SFC profile of olein fraction but has negative correlation with the content of St2U and StU2 TAG. Interval crystallization temperature between 21.30 to 21.73 °C produced the S/L ratio, the content of St3 TAG and SFC profiles of olein fractions lower and the content of St2U and StU2 TAG higher than the temperature interval below or above it. Coconut oil fractionation more effective in hihger crystallization temperature or lower critical cooling rate. In these cooling treatments, St3 TAG which has high melting point would be concentrated at stearin fraction, while St2U and StU2 TAG and MCT would be at olein fraction. Therefore, it will increase melting properties of stearin fraction and decrease olein fraction.
Avrami and Gompertz models are able to quantitatively describe coconut oil crystallization kinetics. Lower critical cooling rate decreases Avrami index, crystallization half time and induction time but increases crystallization rate constant and maximum increase rate in crystallization. Crystallization temperature has positive correlation with the crystallization rate contstant and Avrami index but has negative correlation with induction time and maximum increase rate in crystallization. Critical cooling rates and crystallization temperatures only effected on the thermodynamics and crystallization kinetics of coconut oil but not on its polymorphic occurrence.
Minyak Kelapa. Dibimbing oleh PURWIYATNO HARIYADI, NURI ANDARWULAN, DEDI FARDIAZ dan EKO HARI PURNOMO.
Fraksinasi kering minyak terdiri dari dua tahap, yaitu kristalisasi untuk menghasilkan kristal padat dalam suatu maktriks cair dan filtrasi untuk memisahkan kristal yang terbentuk tersebut dari matriks cair. Perubahan yang terjadi di tingkat molekuler selama proses kristalisasi lemak diantaranya adalah pembentukan inti (nucleation), pembesaran inti (growth) dan perubahan perilaku fase (folymorphism, solid solutions). Keseluruhan perubahan di tingkat molekuler ini sangat dipengaruhi oleh perlakuan di tingkat fisik berupa penghilangan panas. Metode pendinginan (suhu dingin, laju penurunan suhu dan lamanya proses pendinginan yang diterapkan) akan sangat menentukan keberhasilan proses fraksinasi minyak kelapa.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari metode fraksinasi kering yang khas untuk minyak kelapa pada skala pilot plant (120 kg) dan mengidentifikasi kondisi dan persyaratan-persyaratan penting yang harus diatur dan dijaga dalam tahap-tahap fraksinasi kering minyak kelapa; menetapkan sistem pendinginan yang krusial dalam fraksinasi kering minyak kelapa untuk digunakan sebagai panduan dalam merancang proses fraksinasi minyak kelapa secara lebih praktis; menetapkan prosedur pendinginan yang efektif untuk menghasilkan fraksi minyak kelapa dengan kandungan MCT tinggi; mengetahui pengaruh laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi terhadap perubahan komposisi dan profil TAG, kinetika kristalisasi dan sifat melting produk fraksinasi minyak kelapa; mengetahui hubungan (model persamaan matematika) antara berbagai parameter fraksinasi minyak kelapa dengan prosedur pendinginan selama proses kristalisasi (laju pendinginan kritis, suhu kristalisasi dan lama proses kristalisasi), yang dapat digunakan untuk memprediksi komposisi kimia, sifat fisik dan termal-mekanis produk akhir di masing-masing fraksi stearin maupun olein.
Minyak kelapa dominan dengan asam lemak laurat (51.73%), miristat (15.57%) dan kaprilat (10.61%) dengan komposisi TAG utama LaLaLa (20.43%), CaLaLa (16.23%) dan LaLaM (15.38%). Minyak kelapa mengandung Medium Chain Trigliserides (MCT) sebesar 53.71%, TAG trisaturated (St3) sebesar 82.54%, disaturated (St2U) sebesar 14.24%, monosaturated (StU2) sebesar 3.22% dan dengan proporsi TAG bertitik leleh tinggi/rendah (S/L) sebesar 49%. Minyak kelapa memiliki titik leleh (SMP) berkisar antara suhu 24.5-26.2 °C, kadar air sebesar 0.021% dan kadar asam lemak bebas sebesar 0.018%.
suhu kristalisasi yang telah ditetapkan. Diperkirakan pada tahap kristalisasi ini terjadi penggabungan inti kristal membentuk kristal yang lebih besar (pertumbuhan kristal). Pada tahap pertama minyak kelapa dapat didinginkan secepat mungkin untuk menurunkan waktu proses tetapi pada tahap kedua harus dilaksanakan dengan laju pendinginan lambat (kurang dari 0. 176 °C/menit) untuk menghasilkan kristal yang berukuran besar dan tidak mudah meleleh.
Minyak dengan kandungan MCT tinggi dapat diperoleh dari fraksi olein minyak kelapa. Pada perlakuan suhu kristalisasi 21.30-21.73 °C untuk laju pendinginan kritis antara 0.013 hingga 0.176 °C/menit, semakin rendah laju pendinginan kritis dan semakin lama proses kristalisasi maka kandungan MCT fraksi olein yang dihasilkan akan semakin tinggi.
Laju pendinginan kritis berkorelasi positif dengan proporsi S/L, kandungan St3 dan profil SFC tetapi berbanding terbalik dengan kandungan St2U dan StU2 fraksi olein. Interval suhu kristalisasi antara 21,30-21,73 °C menghasilkan proporsi S/L, St3 dan profil SFC fraksi olein lebih rendah dan kandungan St2U serta StU2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan interval suhu di bawah atau di atasnya. Fraksinasi minyak kelapa terjadi lebih efektif pada suhu kristalisasi yang tinggi dan atau pada laju pendinginan kritis yang rendah. Pada perlakuan pendinginan ini, St3 yang bertitik leleh tinggi akan lebih terkonsentrasi pada fraksi stearin sedangkan St2U, StU2 dan MCT akan lebih terkonsentrasi pada fraksi olein, sehingga akan meningkatkan sifat leleh fraksi stearin dan menurunkan sifat leleh fraksi olein.
Model Avrami dan Gompertz baik digunakan untuk menjelaskan kinetika kristalisasi minyak kelapa. Kedua model ini memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi dengan hasil percobaan dalam penelitian. Laju pendinginan kritis yang rendah akan menghasilkan indeks Avrami, waktu paruh kristalisasi dan waktu induksi yang juga rendah tetapi akan menghasilkan laju pertumbuhan kristal, fraksi lemak padat maksimal dan laju pertumbuhan kristal maksimal yang tinggi. Suhu kristalisasi minyak kelapa berkorelasi positif dengan indeks Avrami dan laju kristalisasi tetapi berkorelasi negatif dengan fraksi lemak padat maksimal. Laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi hanya berpengaruh terhadap termodinamika dan kinetika kristalisasi minyak kelapa tetapi tidak berpengaruh terhadap pembentukan polimorfisnya.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
KERING DAN KINETIKA KRISTALISASI
MINYAK KELAPA
MURSALIN
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, M.S. Dr.Nur Wulandari, STP.,M.Si.
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Joni Munarso, M.S.
Dr. Ir. Dede Robiatul Adawiyah, M.Si.
Kinetika Kristalisasi Minyak Kelapa
Nama : Mursalin
NRP : F261080101
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. Anggota Anggota
Dr. Eko Hari Purnomo, STP, M.Sc. Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pangan
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Kering dan Kinetika Kristalisasi Minyak Kelapa” berhasil diselesaikan. Disertasi ini merupakan bagian dari rangkaian penelitian yang dibiayai oleh DP2M DIKTI melalui program Hibah Doktor Tahun 2012. Sebagian dari disertasi ini telah dipublikasikan pada Food Review Indonesia 7(9): 28-32, Jurnal Penelitian Tanaman Industri (LITTRI) 19(1):41-49, Journal of Food Science and Technology (submitted) serta dipresentasikan secara oral maupun dalam bentuk poster pada seminar-seminar nasional. Penulis juga memperoleh Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Kementerian Pendidikan Nasional.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc., Ibu Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc, dan Dr. Eko Hari Purnomo, STP, M.Sc., selaku pembimbing atas segala arahan, masukan, nasihat, dukungan, dorongan serta motivasi yang telah diberikan kepada penulis.
Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, M.S. dan Ibu Dr. Nur Wulandari, STP., M.Si. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Bapak Dr. Ir. Joni Munarso, M.S. dan Ibu Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si. selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka, yang telah banyak memberikan saran dan masukan untuk kesempurnaan disertasi ini.
Penghargaan dan rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI), Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), dan Direktur Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk bergabung dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan.
Penulis juga menyampaikan banyak terimakasih kepada Rektor Universitas Jambi, Dekan Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jambi atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti studi program doktor (S3) di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Tjahya Muhandri, STP.,M.T., Abah Karna, Mba Yane dan seluruh staf dan karyawan SEAFAST Center IPB serta Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian, serta teman-teman dari Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB serta rekan-rekan sejawat dari Universitas Jambi, terimakasih atas kebersamaan dan dukungan yang telah diberikan selama ini.
Akhirnya ungkapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ubak (Murod), Umak (Zainab), istri (Eva Achmad), anak (Hanifah A.M. dan Faiza A.M), bapak dan ibu mertua (almarhum), Minak Aman, Kiay Kamal, Yus, Am, Rita, Bangsawan, Kak Gafri, Kak Is, Da Vet, Da Im, Kak Indra, Uni Inen, Uni Ita, Uni Erni, serta seluruh keluarga besar, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL xxiii
DAFTAR GAMBAR xxv
DAFTAR SINGKATAN xxix
DAFTAR SIMBOL xxxi
DAFTAR ISTILAH xxxiii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 7
Minyak Kelapa 7
Fraksinasi Minyak 12
Kristalisasi Minyak 13
Miscibility, Intersolubility dan Polimorfisme 17
Pengaruh Suhu dan Lama Proses Kristalisasi 19
Kinetika Kristalisasi Lemak 24
Filtrasi Fraksi Padat-Cair Hasil Fraksinasi 27
3 METODOLOGI PENELITIAN 29
Tempat dan Waktu 29
Bahan dan Alat 29
Pelaksanaan Penelitian 29
4 KARAKTERISASI SIFAT FISIKO KIMIA MINYAK KELAPA 33
Abstract 33
Abstrak 34
Pendahuluan 34
Bahan dan Metode 37
Hasil dan Pembahasan 39
Komposisi Asam Lemak RBDCNO 39
Profil TAG 42
Profil SFC 45
Profil SMP 46
Kadar Air dan Kadar Asam Lemak Bebas 47
Kesimpulan 47
5 FRAKSINASI KERING MINYAK KELAPA MENGGUNAKAN KRISTALISATOR SKALA 120 KG UNTUK MENGHASILKAN FRAKSI MINYAK KAYA TRIASILGLISER0L RANTAI
MENENGAH 51
Pola Pembentukan Stearin Minyak Kelapa selama Kristalisasi 59
Pola Perubahan Kandungan MCT Produk Fraksinasi Minyak
Kelapa selama Kristalisasi 61
Kesimpulan 62
Ucapan Terima Kasih 63
Daftar Pustaka 63
6 PENGARUH LAJU PENDINGINAN, SUHU DAN LAMA
KRISTALISASI TERHADAP PROFIL TRIASILGLISEROL DAN
SIFAT MELTING PRODUK FRAKSINASI MINYAK KELAPA 65
Abstract 65
Pola Perubahan Profil SFC Produk Fraksinasi Minyak Kelapa 75
Kesimpulan 76
Ucapan Terima Kasih 77
Daftar Pustaka 77
7 EFFECT OF COOLING RATES AND CRYSTALLIZATION TEMPERATURE ON CRYSTALLIZATION KINETICS OF
Induction Time, Maximum Increase Rate in Crystallization,
and Crystal Polymorphism Type of Coconut Oil 86
Conclusion 90
Acknowledgements 90
References 90
8 PEMBAHASAN UMUM 93
Karakteristik Minyak Kelapa 93
Komposisi Asam lemak 93
Komposisi TAG 94
Profil SFC dan SMP 95
Pendinginan dan Kristalisasi Minyak Kelapa 96
Pengaruh Pendinginan pada Fraksinasi Kering Minyak Kelapa 97
Kinetika Kristalisasi Minyak Kelapa 105
9 KESIMPULAN DAN SARAN 107
Kesimpulan 107
Saran 108
DAFTAR PUSTAKA 109
LAMPIRAN 115-119
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Halaman
2.1. Karakteristik fisik dan komposisi kimia minyak kelapa 8
2.2 Berat molekul dan titik cair beberapa asam lemak penyusun
minyak kelapa 10
2.3 Jenis dan komposisi trigliserida penyusun minyak kelapa 11
2.4 Berbagai kelarutan dan “supercooling” dengan radius
kristal-kristal trigliserida 15
2.5 Perbandingan jumlah stearin yang dihasilkan; bilangan iod,
titik leleh dan viskositas masing-masing fraksi, waktu filtrasi dan kandungan lemak padat stearin pada dua jenis program
pendinginan yang diterapkan 24
4.1 Standar mutu minyak goreng kelapa (SNI 01-3741-2002) 37
4.2 Perhitungan RF untuk 15 jenis asam lemak standar eksternal
yang digunakan 40
4.3 Komposisi asam lemak minyak kelapa hasil analisis GC 40
4.4 Perbandingan komposisi asam lemak minyak kelapa dari
berbagai sumber 41
4.6 Hasil identifikasi waktu retensi dan jenis TAG pada standar
RBDPKO 43
4.7 Komposisi TAG (%) minyak kelapa dan nilai ECN masing-
masing jenis TAG 43
4.8 Waktu retensi, ECN, jenis dan konsentrasi masing-masing TAG
minyak kelapa 44
7.1 Crystallization induction time of palm oil at different treatment
of critical cooling rate and crystallization temperature 87
8.1 Komposisi asam lemak minyak kelapa 93
8.2 Komposisi TAG minyak kelapa 94
8.3 Profil SFC dan SMP minyak kelapa 95
8.4 Prediksi perubahan kandungan MCT fraksi olein minyak kelapa
sepanjang waktu kristalisasi 98
8.5 Perubahan konsentrasi masing-masing jenis TAG minyak kelapa
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Halaman
2.1. Bahan baku oleokimia dan turunannya 9
2.2 Diagram skematis proses fraksinasi, faktor-faktor indikasi yang
penting pada setiap tahap 12
2.3 Diagram fase skematik sederhana yang mengilustrasikan
prinsip-prinsip fraksinasi 13
2.4 Diagram jenuh-super jenuh untuk kristalisasi minyak kedelai 14
2.5 Diagram jenuh dan superjenuh dalam proses kristalisasi minyak
sawit 15
2.6 Representasi skematis dari (a) profil hubungan suhu minyak dan
(b) profil air pendingin secara terpisah, pada pelaksanaan
fraksinasi kering 17
2.7 Skema moleculer packing pada sistem lemak trigliserida,
ilustrasi α, β’, dan β 18
2.8 Prosentase kristal DHSA pada tiga tingkat suhu kristalisasi 19
2.9 Profil kandungan lemak padat campuran minyak sawit dengan
fraksi oleinnya sebagai fungsi dari temperatur 20
2.10 Minyak sawit tinggi oleat yang dihasilkan dan kandungan lemak
padat campuran olein dan stearin pada berbagai suhu fraksinasi 21
2.11 Kandungan lemak padat minyak sawit tinggi oleat dan produk-
produk fraksinasinya 21
2.12 Perbandingan jumlah kristal yang dihasilkan dari dua model
pendinginan 22
2.13 Kurva distribusi ukuran kristal untuk pendinginan alami dan
terkontrol 23
2.14 Ilustrasi penentuan parameter dalam Model Gompertz 25
3.1 Diagram alir pelaksanaan penelitian 30
4.1 Kromatogram komposisi asam lemak minyak kelapa hasil analisis GC 41
4.2 Kromatogram standar RBDPKO 42
4.3 Kromatogram minyak kelapa hasil analisis HPLC 45
4.4 Nilai SFC minyak kelapa sebagai fungsi dari suhu 46
5.1. Skema kristalisator yang digunakan 54
5.2. Tipikal kurva perubahan suhu minyak kelapa selama proses kristalisasi 55
5.3. Hubungan antara lama kristalisasi dan stabilitas kristal minyak
kelapa pada tiga macam laju pendinginan kritis (a); Pengaruh
laju pendinginan kritis terhadap stabilitas kristal minyak kelapa (b) 57
5.4. Pengaruh laju pendinginan kritis terhadap diameter kristal minyak
kelapa (a); Hubungan antara lama kristalisasi dan diameter kristal
minyak kelapa pada tiga macam laju pendinginan kritis (b) 58
5.5 Pengaruh laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi terhadap
ukuran kristal minyak kelapa 59
5.6 Hubungan antara lama kristalisasi dan pembentukan stearin minyak
kelapa di tiga kelompok laju pendinginan kritis (a); dan pada laju pendinginan kritis kurang dari 0,125 °C/menit di tiga kelompok
5.7 Hubungan antara lama kristalisasi dan pola perubahan MCT fraksi olein minyak kelapa di tiga kelompok laju pendinginan kritis (a); dan pada laju pendinginan kritis kurang dari 0,125 °C/menit di
tiga kelompok suhu kristalisasi (b) 62
6.1 Hubungan antara lama kristalisasi dan pola proporsi S/L fraksi olein
minyak kelapa di tiga kelompok laju pendinginan kritis (a);
dan tiga kelompok suhu kristalisasi (b) 70
6.2 Hubungan antara lama kristalisasi dan pola perubahan St3 fraksi olein
minyak kelapa di tiga kelompok laju pendinginan kritis (a); dan pada laju pendinginan kritis kurang dari 0,125 °C/menit di
tiga kelompok suhu kristalisasi (b) 71
6.3 Hubungan antara lama kristalisasi dan pola perubahan St2U fraksi
olein minyak kelapa di tiga kelompok laju pendinginan kritis (a); dan pada laju pendinginan kritis kurang dari 0,125 °C/menit di
tiga kelompok suhu kristalisasi (b) 73
6.4 Hubungan antara lama kristalisasi dan pola perubahan StU2 fraksi
olein minyak kelapa di tiga kelompok laju pendinginan kritis (a); dan pada laju pendinginan kritis kurang dari 0,125 °C/menit di
tiga kelompok suhu kristalisasi (b) 74
6.5 Profil SFC minyak kelapa sebelum difraksinasi beserta dengan fraksi
olein (a) dan fraksi stearin (b) yang dihasilkan dari tiga jenis laju
pendinginan kritis 75
6.6 Profil SFC minyak kelapa sebelum difraksinasi beserta dengan fraksi
olein (a) dan fraksi stearin (b) yang dihasilkan dari tiga interval
suhu kristalisasi 76
7.1 Illustration of parameters determination in the Gompertz model 81
7.2 Plot of the experiments results with linear equation of Avrami
model on four different critical cooling rate (a) and four
different crystallization temperatures (b) 83
7.3 Relationship between Avrami index with critical cooling rate (a)
and crystallization temperature (b); vc = critical cooling rate;
TCr = temperature of crystallization; n = Avrami index 84
7.4 Relationship between crystal growth rate with critical cooling rate
(a) and crystallization temperature (b), the relationship between critical cooling rate with a half-time crystallization (c), the relationship between critical cooling rate and crystallization
temperature of the maximum solid fraction that can be achieved (d) 85
7.5 Plot the experiments results with the Gompertz equation on four
critical cooling rate (a) and four different crystallization
temperatures (b) coconut oil; vc = critical cooling rate; TCr =
crystallization temperature 86
7.6 Relationship between the induction time with the critical cooling
rate (a) and crystallization temperature (b) 87
7.7 Relationship between maximum rate of crystal growth with
critical cooling rate (a) and crystallization temperature (b) 77
7.8 Nucleation curve of coconut oil 90
8.1 Tipikal kurva perubahan suhu minyak kelapa selama proses
8.2 Perubahan kromatogram profil TAG minyak kelapa sebelum fraksinasi (A), fraksi olein (B) dan fraksi stearin (C), 3 peak pertama masing-masing adalah CpCaLa, CaCaLa dan CaLaLa; tiga peak yang dilingkari masing-masing adalah LaLaM,
LaMP dan LaMM 100
8.3 Hubungan antara proporsi TAG bertitik leleh tinggi/bertitik leleh
rendah di dalam fraksi olein minyak kelapa dengan stabilitas
kristalnya 101
8.4 Hubungan antara proporsi distribusi TAG bertitik leleh tinggi
dengan nilai SFC fraksi olein minyak kelapa pada berbagai
suhu pengukuran 103
8.5 Profil SFC minyak kelapa pada fraksi olein dan stearin sebelum
dan sesudah fraksinasi untuk laju pendinginan kritis (oC/menit) kurang dari 0.075 (a), antara 0.075-0.125 (b), lebih dari 0.125 (c); dan suhu kristalisasi (oC) antara 18.82-18.91 (d); antara 21.30-21.73 (e); antara 21.90-22.38 (f); OL = olein; ST = stearin;
vc = laju pendinginan kritis; TCr = suhu kristalisasi 104
8.6 Profil MCT minyak kelapa pada fraksi olein dan stearin sebelum dan
sesudah fraksinasi 104
8.7 Skema prosedur pendinginan efektif untuk menghasilkan fraksi
minyak (olein) dengan kandungan MCT tinggi pada fraksinasi
DAFTAR SINGKATAN
ALB : Asam Lemak Bebas
AOCS : American Oil Chemists’ Society
BF : Sebelum Fraksinasi
CB : Cocoa Butter
CBA : Cocoa Butter Alternatives
CBE : Cocoa Butter Equivalents
CBR : Cocoa Butter Replacers
CBS : Cocoa Butter Substitutes
CPO : Crude Palm Oil
DAG : Diasilgliserol
DHSA : Dihydroksi Stearic Acid
ECN : Equivalent Carbon Number
FAME : Fatty Acids Methyl Ester
FFA : Free Fatty Acids
GC : Gas Chromatography
HPLC : High Performance Liquid Chromatography
hPMF : hard Palm Mid Fraction
IUPAC : International Union of Pure and Applied Chemistry
L : Asam Linoleat (C18:2)
La : Asam Laurat (C12:0)
LCFA : Long Chain Fatty Acids
Ln : Asam Linolenat (C18:3)
Mi : Asam Miristat (C14:0)
MAG : Monoasilgliserol
MCFA : Medium Chain Fatty Acids
MCT : Medium Chain Triglycerides
MUFA : Monounsaturated Fatty Acids
NMR : Nuclear Magnetic Resonance
O : Asam Oleat (C18:1)
PMF : Palm Mid Fraction
PUFA : Polyunsaturated Fatty Acids
RBDPO : Refined, Bleached, Deodorized Palm Oil
RBDCNO : Refined, Bleached, Deodorized Coconut Oil
S : Asam Stearat (C18:0)
SF : Sesudah Fraksinasi
SFC : Solid Fat Content
SMP : Slip Melting Point
sPMF : soft Palm Mid Fraction
St : Asam Lemak Jenuh (Saturated)
StFA : Saturated Fatty Acids
TAG : Triasilgliserol
DAFTAR SIMBOL
A : Salah satu parameter di model Gompertz yang menunjukkan nilai
fraksi padat maksimum yang dapat dicapai dalam suatu proses kristalisasi minyak/lemak
e : Bilangan natural yang bernilai 2.718281
F : Salah satu parameter di model Avrami dan Gompertz yang
menunjukkan nilai fraksi padat suatu minyak pada suhu tertentu.
Fmax/Fmaks : Fraksi padat maksimum yang dapat dicapai dalam suatu proses kristalisasi minyak/lemak, pada parameter persamaan Avrami dan Gompertz.
n : Salah satu parameter dalam model Avrami (indeks Avrami) yang
mendeskripsikan mekanisme pembentukan inti kristal minyak selama proses kristalisasi.
Smax2 : Simbol yang menggambarkan nilai fraksi padat maksimum yang
dapat dicapai dalam suatu proses kristalisasi minyak/lemak, pada parameter persamaan Gompertz dalam bentuk lain.
St2U : Triasilgliserol yang tersusun atas dua jenis asam lemak jenuh dan
satu jenis asam lemak tak jenuh.
St3 : Triasilgliserol yang tersusun atas tiga jenis asam lemak jenuh.
StU2 : Triasilgliserol yang tersusun atas satu jenis asam lemak jenuh dan
dua jenis asam lemak tak jenuh.
t : Waktu (menit) yang menunjukkan lamanya proses pendinginan
minyak dalam proses kristalisasi
t1/2 : Waktu paruh proses kristalisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai separuh dari jumlah kristal maksimum yang dapat diperoleh.
TCr : Suhu kristalisasi yang diterapkan dalam proses kristalisasi dan
fraksinasi minyak
tCr : Waktu kristalisasi, yaitu lamanya proses kristalisasi minyak
berlangsung terhitung sejak minyak mencapai suhu kristalisasi yang ditetapkan.
U3 : Triasilgliserol yang tersusun atas tiga jenis asam lemak tak jenuh.
vc : Laju pendinginan kritis, yaitu laju pendinginan minyak saat
berada di tahap dua berdasarkan kurva pendinginan minyak kelapa selama kristalisasi.
vi : Laju pendinginan awal, yaitu laju pendinginan minyak saat
z : Salah satu parameter model Avrami yang mendiskripsikan konstanta laju pertumbuhan kristal.
2 : Salah satu parameter model Gompertz yang merupakan titik
potong garis singgung kurva persamaan Gompertz dengan sumbu x dan digunakan sebagai nilai hampiran untuk menentukan waktu induksi kristalisasi minyak.
2 : Salah satu parameter model Gompertz yang merupakan nilai
tangen dari garis singgung kurva persamaan Gompertz yang memotong sumbu x.
τ : Waktu induksi kristalisasi minyak, yaitu lamanya waktu yang
DAFTAR ISTILAH
Blending : Teknik pencampuran dua atau lebih jenis
minyak yang mempunyai sifat fisiko-kimia berbeda untuk menghasilkan minyak dengan sifat fisiko-kimia yang diinginkan.
CBA (Cocoa Butter Alternatives) : Specialty fats yang didesain untuk
memberikan alternatif, baik secara ekonomi maupun fungsional terhadap CB
CBE (Cocoa Butter Equivalents) : Lemak nabati non laurat (tidak mengandung
asam laurat) yang mirip sifat-sifat fisik dan kimianya dengan CB dan dapat dicampur
dengan CB pada jumlah berapapun tanpa mengubah sifat-sifat CB
CBR (Cocoa Butter Replacers) : Lemak non laurat dengan distribusi asam
lemak mirip CB, tetapi struktur TAG-nya berbeda sepenuhnya,hanya pada rasio kecil kompatibel dengan CB
CBS (Cocoa Butter Substitutes) : Lemak nabati laurat (mengandung asam
laurat), berbeda sepenuhnya dengan CB secara kimia, dengan beberapa kemiripan sifat fisik,
hanya cocok untuk pensubstitusi
CB sampai 100%
CBX (Cocoa Butter Extenders) : Subgroup dari CBE yang tidak dapat dicampur
dengan CB pada semua rasio
Crystal growth : Proses perkembangan kristal sebagai akibat dari bersatunya inti-inti kristal yang kecil membentuk kristal dengan ukuran yang lebih besar.
Enrobing (coating) : Specialty fats yang digunakan dalam produk-produk coklat dapat didesain untuk menyelimuti berbagai produk pangan seperti
cake, wafer, biskuit dan confectionery lainnya.
Proses menyelimuti “food centre” disebut
enrobing atau coating
Exotic fats : Istilah yang digunakan untuk menggambar-kan lemak dari tanaman liar seperti Illipe, Kokum, Dhupa, Sal, Shea, dan sebagainya yang
merupakan sumber minyak/lemak
Minyak atau lemak merupakan ester dari gliserol dan asam lemak, tersusun atas campuran sebagian besar triasilgliserol dan sebagian kecil senyawa pengotor (di-gliserida dan mono-gliserida, asam lemak bebas, pigmen, sterol, hidrokarbon, posfolipid, lipoprotein, dan lain-lain). Triasilgliserol penyusun minyak atau lemak terbentuk dari asam lemak-asam lemak yang saling berinteraksi satu sama lain sehingga mempengaruhi sifat dan wujud minyak secara alamiah.
Sifat fisika, kimia dan fungsional minyak atau lemak sangat ditentukan oleh profil triasilgliserol, komposisi asam lemak, dan adanya senyawa pengotor. Triasilgliserol dan asam lemak penyusun minyak secara parsial mempunyai sifat fisika, kimia dan fungsional tersendiri, oleh karena itu pengaturan jenis dan jumlah (profil) triasilgliserol dalam minyak akan sangat merubah sifat alami minyak tersebut. Pengaturan profil triasilgliserol dan komposisi asam lemak penyusun minyak ini biasanya dilakukan dalam rangka menghasilkan minyak
dengan sifat khusus untuk tujuan tertentu (specialty fats). Pengaturan jenis dan
jumlah triasilgliserol pada suatu jenis minyak akan memberi nilai tambah yang sangat tinggi bagi minyak tersebut. Dengan cara ini akan diperoleh bahan baku industri berbasis minyak yang nilai ekonomisnya jauh lebih tinggi dari minyak tersebut dalam kondisi alami.
Specialty fats adalah lemak dengan sifat khusus untuk aplikasi tertentu
dengan nilai ekonomis lebih tinggi seperti margarin, mentega putih, vanaspati,
shortening dan Cocoa Butter Alternatives (CBA). Specialty fats pada umumnya
dihasilkan dari proses modifikasi profil triasilgliserol dan komposisi asam lemak penyusun minyak dengan berbagai metode seperti interesterifikasi, blending, hidrogenasi, fraksinasi dan atau gabungan dari berbagai metode tersebut.
Menurut Shamsudin et al. (2006) proses modifikasi lemak dengan metode
hidrogenasi, interesterifikasi dan fraksinasi telah banyak diterapkan saat ini dalam industri minyak sawit dan inti sawit. Tujuan utama dari proses ini adalah untuk mengubah sifat fisikokimia dari minyak atau lemak baik dengan mengurangi derajat ketidakjenuhan dari grup asil (hidrogenasi), dengan redistribusi rantai asam lemak (interesterifikasi) atau dengan pemisahan secara fisik yang selektif dari beberapa komponen triasilgliserol melalui kristalisasi dan filtrasi (fraksinasi). Ketiga jenis metode modifikasi lemak atau minyak ini diupayakan untuk memperoleh produk olahan berbasis minyak dengan nilai ekonomis tinggi.
Produk olahan dari minyak secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua kategori besar, yaitu produk pangan dan non pangan. Produk pangan terutama minyak goreng, margarin, dan produk substitusi lemak coklat. Produk non pangan terutama oleokimia yaitu asam lemak, gliserin dan turunannya. Minyak atau lemak dapat diolah menjadi produk dengan kegunaan teknis seperti
sabun, atau dimurnikan (refining) menjadi RBD Oils yang dengan proses blending
dapat dihasilkan produk-produk seperti margarin, vanaspati, minyak goreng dan
shortening. RBD Oils jika difraksinasi akan dihasilkan RBD olein dan RBD
seperti margarin, minyak goreng, minyak masak, shortening atau jika difraksinasi
lebih lanjut akan dihasilkan CBA dan super olein. RBD stearin jika disaponifikasi
akan dihasilkan sabun, jika di-spliting akan dihasilkan asam-asam lemak yang
dapat diolah lebih lanjut menjadi sabun atau emulsifier, dan jika di-blending dapat
dihasilkan margarin dan shortening.
Modifikasi minyak dengan cara hidrogenasi untuk produk makanan sudah banyak dihindari karena akan menghasilkan lemak trans yang kurang baik bagi kesehatan. Modifikasi kimiawi yang kini banyak dilakukan adalah dengan cara interesterifikasi sedangkan modifikasi fisik banyak dilakukan dengan cara
fraksinasi dan blending. Interesterifikasi adalah teknik modifikasi lemak dengan
cara restrukturisasi TAG penyusun lemak. Blending adalah teknik modifikasi
lemak dengan cara mencampurnya dengan exotic fats tertentu sehingga dihasilkan
lemak campuran dengan sifat yang diinginkan (Wainwright 1999).
Kristalisasi fraksional, yang umumnya dikenal dengan istilah fraksinasi, adalah proses modifikasi minyak/lemak tertua dan telah mendasari pengembangan industri produk olahan lemak dan minyak makan modern. Pengolahan minyak yang secara komposisional bersifat heterogen menjadi fraksi yang lebih homogen dengan nilai tambah yang tinggi selalu menjadi tantangan dalam teknologi fraksinasi. Ada banyak metode fraksinasi yang dapat diterapkan dalam penyiapan bahan baku produk olahan berbasis minyak, tetapi yang paling sederhana dan banyak dipakai adalah fraksinasi kering. Melalui fraksinasi kering, minyak dapat dibuat menjadi fraksi olein dan stearin dengan komposisi kimia dan sifat fisik dan fungsional yang sangat beragam. Fraksi olein adalah produk fraksinasi yang berbentuk cair sedangkan fraksi stearin adalah produk fraksinasi yang berbentuk padat.
Proses fraksinasi minyak secara kering pada umumnya terdiri dari dua tahap, yaitu kristalisasi untuk menghasilkan kristal padat dalam suatu maktriks cair dan filtrasi untuk memisahkan kristal yang terbentuk tersebut dari matriks cair. Menurut Timms (1997), perubahan yang terjadi di tingkat molekuler selama
proses kristalisasi lemak diantaranya adalah pembentukan inti (nucleation),
pembesaran inti (growth) dan perubahan perilaku fase (polymorphism, solid
solutions). Keseluruhan perubahan di tingkat molekuler ini sangat dipengaruhi
oleh perlakuan di tingkat fisik berupa penghilangan panas (removal of heat) dan
pengadukan (agitation). Oleh karena itu, metode pendinginan (suhu dingin, laju
penurunan suhu dan lamanya proses pendinginan yang diterapkan) akan sangat menentukan keberhasilan dari proses fraksinasi minyak.
Studi terhadap perilaku kristalisasi lemak merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan baik ditinjau dari segi keilmuan maupun praktis. Pengetahuan yang benar mengenai kinetika kristalisasi lemak diperlukan untuk mengatur kegiatan operasional industri agar dapat menghasilkan produk akhir dengan karakteristik yang diinginkan. Ketersediaan data yang berkaitan dengan perilaku kristalisasi suatu jenis lemak tertentu dapat dijadikan dasar bagi pengembangan produk akhir berbasis lemak tersebut dalam rangka intensifikasi dan ekstensifikasi produksi.
Hasil review yang dilaporkan oleh Timms (2005) dan Chaleepa et al.
sepenuhnya diketahui. Begitu pula dengan fenomena-fenomena yang terjadi, yang diakibatkan oleh perbedaan penerapan faktor-faktor tersebut, belum dapat dijelaskan dengan tuntas dan baru sedikit sekali data tentang kinetika kuantitatif yang saat ini tersedia. Selama ini untuk tujuan optimasi suhu dan waktu fraksinasi dalam menghasilkan fraksi yang diinginkan, penelitian yang banyak
dikembangkan adalah metode trial and error, mencari perlakuan terbaik diantara
sejumlah perlakuan yang diterapkan. Hasilnya tentu saja hanya akurat untuk jenis produk tertentu dan pada kisaran parameter yang diujikan saja.
Minyak kelapa patut untuk dikaji lebih jauh kemungkinan pemanfaatannya melalui proses fraksinasi mengingat potensi dan keistimewaannya dibandingkan dengan minyak-minyak sejenis lainnya. Minyak kelapa merupakan sumber lemak
pangan yang banyak mengandung Medium Chain Fatty Acid (MCFA), yang
dalam sistem pencernaan lebih cepat menyediakan energi, tidak disimpan dalam bentuk lemak cadangan, dapat menstimulasi fungsi tiroid untuk meningkatkan metabolisme dan kinerja tubuh, tidak memiliki pengaruh negatif terhadap kolesterol dan memberi efek perlindungan terhadap penyakit atherosclerosis dan jantung (Scrimgeour 2005; St-Onge 2005). Selain untuk produk pangan, minyak kelapa juga banyak dibutuhkan untuk produk oleokimia khususnya asam lemak kaproat, kaprilat, kaprat dan laurat komersial yang banyak dibutuhkan untuk untuk industri sabun dan deterjen, bahan pemlastis untuk campuran bahan bakar
jet dan pelumas generasi baru (Gervajio 2005; O’Brien 2004).
Minyak kelapa berbeda nyata dari lemak atau minyak lain khususnya dalam hal perubahan wujudnya dari bentuk padat menjadi cair yang terjadi relatif pada kisaran suhu yang sempit. Minyak kelapa berwujud padat keras pada suhu 70°F (21.1°C), tetapi akan meleleh secara cepat dan sempurna sedikit di bawah suhu tubuh. Wujud padat dan cair dari minyak kelapa ini ditentukan oleh akumulasi sifat berat molekul dan titik cair dari masing-masing asam lemak penyusunnya. Komposisi asam lemak yang berbeda akan menghasilkan titik cair minyak yang berbeda pula. Berdasarkan perbedaan titik cair ini, maka minyak kelapa dapat difraksinasi menjadi minyak dan lemak dengan sifat fisikokimia
yang berbeda (Gervajio 2005; O’Brien 2004).
Disertasi ini tersusun dalam sembilan bab, bab pertama merupakan
pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan, ruang lingkup dan manfaat
penelitian. Bab kedua berisi tinjauan pustaka secara umum, sedangkan pada bab
ketiga diuraikan metodologi penelitian secara garis besar. Hasil-hasil penelitian
diuraikan secara terperinci dalam bentuk artikel jurnal ilmiah pada bab keempat
sampai bab ketujuh. Pada bab-bab tersebut masing-masing dibahas tentang
karakterisasi minyak kelapa yang akan digunakan sebagai bahan baku untuk proses fraksinasi kering; fraksinasi kering minyak kelapa menggunakan kristalisator skala 120 kg untuk menghasilkan fraksi minyak kaya triasilgliserol rantai menengah; pengaruh laju pendinginan kritis, suhu dan lama kristalisasi
terhadap profil triasilgliserol dan sifat melting produk fraksinasi minyak kelapa;
kinetika kristalisasi minyak kelapa pada berbagai suhu dan laju pendinginan kritis;
akhirnya pada bab kedelapan diuraikan pembahasan umum terhadap keseluruhan
hasil-hasil penelitian serta bab kesembilan berisi kesimpulan dan saran dari
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari teknologi proses
fraksinasi kering minyak kelapa pada skala laboratorium dan pilot plant terutama
yang berkaitan dengan perilaku kristalisasi dan fraksinasi minyak kelapa. Selain itu dikaji juga sifat fisikokimia produk fraksinasi minyak kelapa, khususnya profil TAG dan profil pelelehannya, sehingga diperoleh informasi tentang karakteristik khas proses fraksinasi kering minyak kelapa untuk pengendalian proses produksi bagi pengembangan produk olahan berbasis minyak kelapa.
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1 Mempelajari metode fraksinasi kering yang khas untuk minyak kelapa pada
skala pilot plant (120 kg) dan mengidentifikasi kondisi dan persyaratan-persyaratan penting yang harus diatur dan dijaga dalam tahap-tahap fraksinasi kering minyak kelapa.
2 Menetapkan sistem pendinginan yang krusial dalam fraksinasi kering minyak
kelapa untuk digunakan sebagai panduan dalam merancang proses fraksinasi minyak kelapa secara lebih praktis.
3 Menetapkan prosedur pendinginan yang efektif untuk menghasilkan fraksi
minyak kelapa dengan kandungan MCT tinggi.
4 Mengetahui pengaruh laju pendinginan kritis dan suhu kristalisasi terhadap
perubahan komposisi dan profil TAG, kinetika kristalisasi dan sifat melting
produk fraksinasi minyak kelapa.
5 Mengetahui hubungan (model persamaan matematika) antara berbagai
parameter fraksinasi minyak kelapa dengan prosedur pendinginan selama proses kristalisasi (laju pendinginan kritis, suhu kristalisasi dan lama proses kristalisasi), yang dapat digunakan untuk memprediksi komposisi kimia, sifat fisik dan termal-mekanis produk akhir di masing-masing fraksi stearin maupun olein.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah mempelajari perilaku kristalisasi dan fraksinasi minyak kelapa pada berbagai perlakuan pendinginan dan suhu kristalisasi yang diterapkan serta melihat karakteristik masing-masing fraksi olein dan stearin yang dihasilkan dari berbagai perlakuan tersebut. Bahan baku yang digunakan adalah RBDCNO. Peralatan utama yang digunakan adalah kristalisator dengan kapasitas 120 kg yang dilengkapi dengan alat pengaduk dan pencatat suhu secara otomatis dan penyaring vakum yang dilengkapi sistem pendingin isotermal. Fokus penelitian ini diarahkan pada penemuan berbagai model hubungan antara perlakuan pendinginan dan suhu kristalisasi terhadap kinetika kristalisasi, perilaku fraksinasi dan karakteristik fraksi olein dan stearin yang dihasilkan.
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Kelapa
Pendapat keliru tentang minyak kelapa yang selama ini dianggap sebagai minyak yang tidak baik untuk kesehatan karena kandungan asam lemak jenuhnya yang tinggi telah menurunkan produksi, distribusi dan tingkat penerimaan konsumen. Tetapi saat ini, dari bukti penelitian yang panjang, diketahui bahwa lemak dalam minyak kelapa mempunyai sifat khas yang baik bagi kesehatan dan berbeda dari hampir semua lemak pada minyak-minyak lain. Menurut St-Onge (2005) dan Scrimgeour (2005), minyak kelapa dengan kandungan triasilgliserol rantai menengahnya tidak memiliki pengaruh negatif terhadap kolesterol malah
memberi efek perlindungan terhadap penyakit atherosclerosis dan jantung;
triasilgliserol rantai menengah atau Medium Chain Triglycerides (MCT) kurang
bersifat fattening dibandingkan dengan triasilgliserol jenis lain dan tidak pernah
disimpan dalam bentuk cadangan energi pada proses metabolisme lipid; MCT dicerna lebih cepat dibandingkan dengan triasilgliserol jenis lain; MCT menguntungkan secara khusus dalam hal menyediakan energi bagi jaringan limpa, hati dan sel-sel lemak; mengkonsumsi MCT dapat menstimulasi fungsi tiroid dan mendorong untuk terjadinya penurunan berat badan.
Pemanfaatan minyak kelapa selain untuk produk pangan (minyak makan), banyak juga dibutuhkan untuk produk oleokimia. Minyak kelapa merupakan sumber utama asam lemak kaproat, kaprilat, kaprat dan laurat komersial. Minyak kelapa dan minyak kernel sawit karena mengandung asam laurat sekitar 50% sering juga disebut sebagai minyak laurat. Sifat dari lemak laurat minyak kelapa
yang cepat meleleh dan tidak meninggalkan sensasi yang berasa ”greasy” pada
permukaan lidah, sulit ditemukan kesamaannya dengan minyak atau lemak non
laurat. Karakteristik khusus minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 2.1 (O’Brien,
2004).
Minyak laurat merupakan bahan yang sangat dibutuhkan oleh industri oleokimia di seluruh dunia karena nilai penting dari fraksi lauratnya sangat dibutuhkan oleh pabrik sabun dan deterjen. Fraksi asam lemak kaproat, kaprilat dan kaprat dalam minyak kelapa sekitar 15%, merupakan bahan yang baik untuk
plasticizer bagi alkohol dan juga ester-poliol. Ester-poliol yang telah diplastisasi
banyak digunakan untuk membuat minyak berperforma tinggi khusus untuk mesin jet dan untuk pelumas generasi baru. Fraksi asam lemak C14–C18 dalam minyak kelapa sekitar 35%, merupakan bahan baku yang sangat baik untuk memproduksi
deterjen kelompok fatty alcohol. Minyak kelapa merupakan sumber utama untuk
membuat oleokimia dasar dan oleokimia turunan. Gambar 2.1 merupakan deskripsi pembentukan oleokimia dasar dan oleokimia turunan (Gervajio 2005).
Setiap bagian dari asam lemak penyusun minyak kelapa dapat digunakan sebagai bahan baku awal untuk memproduksi berbagai jenis oleokimia. Asam lemak merupakan blok pembangun yang dengan proses seleksi dan aplikasi kimiawi yang tepat dapat diubah menjadi produk-produk bernilai lebih tinggi. Spesifikasi produk-produk asam lemak yang berasal dari minyak kelapa diantaranya adalah (1) destilat asam lemak kelapa utuh (C8–C18) dengan kode
produk Philacid 0818; (2) asam lemak kaprilat-kaprat (C8–C10) dengan kode
Philacid 1218; (4) asam laurat (C12) dengan kode produk Philacid 1200; (5)
asam miristat (C14) dengan kode produk Philacid 1400; dan (6) asam
laurat-miristat (C12–C14) dengan kode produk Philacid 1214 (United Coconut
Chemicals Inc 1993 dalam Gervajio 2005).
Tabel 2.1. Karakteristik fisik dan komposisi kimia minyak kelapa
Karakteristik Tipikal Kisaran
Spesific Gravity, 30o
Indeks Refraksi, 40
Komposisi Asam Lemak (%): Kaproat (C-6:0)
Indeks Lemak Padat (%) pada:
10.0 o
Keterangan: G = gliserida; S = saturated (jenuh); U = unsaturated (tak jenuh);
MDP = melter dropping point; AOM = active oxygen method
Gambar 2.1 Bahan baku oleokimia dan turunannya (Brackman et al. 1984 dalam
Gervajio 2005)
Asam lemak dari minyak kelapa banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri sabun dan deterjen. Ester asam lemaknya banyak dibutuhkan untuk bahan
pembuat pelumas, bahan pelarut flavor, ingredien kosmetik, emulsifier, agen
penghilang jamur. Fatty alcohols banyak dibutuhkan untuk bahan pemlastis,
bahan pelarut untuk tinta dan cat, bahan pembuat agen anti pembusaan, faktor pemberi konsistensi untuk produk-produk krim, lipstik, pasta dan pelicin, bahan pembuat deterjen, sampo dan cairan pembersih. Eter poliglikol banyak digunakan untuk bahan surfaktan, pembasah, cairan pembersih, bahan kosmetik dan industri
dan deterjen. Fatty amine banyak digunakan untuk produk pelembut, biosida,
ingredien sampo dan lain-lain (Gervajio 2005).
Minyak kelapa berwujud padat keras pada suhu 70 °F (21.1 °C), tetapi akan meleleh secara cepat dan sempurna pada suhu sedikit di bawah suhu tubuh. Wujud padat dan cair dari minyak kelapa ini ditentukan oleh akumulasi sifat berat molekul dan titik cair dari masing-masing asam lemak penyusunnya. Komposisi asam lemak yang berbeda akan menghasilkan titik cair minyak yang berbeda pula. Berat molekul dan titik cair masing-masing asam lemak penyusun minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 2.2. Berdasarkan perbedaan titik cair ini, maka minyak kelapa dapat difraksinasi menjadi minyak atau lemak dengan sifat fisika-kimia yang berbeda. Fraksinasi dapat dilakukan dengan cara mendiamkan minyak kelapa pada berbagai tingkat suhu dingin, teknik ini sering disebut dengan istilah
winterisasi (O’Brien 2004).
Tabel 2.2 Berat molekul dan titik cair beberapa asam lemak penyusun minyak kelapa
Nama Asam
Lemak Jumlah Atom Karbon dan ikatan rangkap Berat Molekul Titik Cair (°C)
Butirat 4:0 88.1 -7.9
Triasilgliserol minyak kelapa sebagian besar tersusun atas trilaurin
(LaLaLa) yang menempati 21% dari seluruh triasilgliserol yang ada, diikuti oleh
dilauromiristin (18%), kaprodilaurin (17.4%), dikaprolaurin (12.9%) dan laurodimiristin (10.2%) (Tan and Man 2002). Data tentang komposisi dan jenis
triasilgliserol yang ada pada minyak kelapa disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Jenis dan komposisi triasilgliserol penyusun minyak kelapa
Keterangan: C, caprat; Cp, caprilat; La, laurat; M, miristat; P, palmitat; S, stearat; O, oleat; L, linoleat.
Sumber: a: Tan and Man (2002)
b: Jeyarani et al. (2009)
Minyak kelapa pada kondisi suhu dingin terkontrol, dapat dipisahkan menjadi dua komponen, yaitu fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein). Berbagai metode fraksinasi dan pengaturan kondisi dapat dilakukan untuk menghasilkan fraksi olein dan stearin dengan sifat fisik dan kimia sesuai dengan
yang diinginkan (Zaliha et al. 2004; Timms 2005).
Proses fraksinasi pada minyak secara klasik dilakukan untuk tujuan
menghasilkan minyak (olein) yang cair pada suhu 24 oC dan stearin yang
mempunyai titik cair antara 45-53 °C. Tetapi, sejak tahun 1990, fraksi olein telah berubah menjadi komoditi yang lebih murah karena terbuat dari proporsi yang lebih besar dalam fraksinasi tunggal dan memiliki marjin keuntungan yang lebih rendah. Untuk alasan ini, perhatian telah difokuskan pada fraksinasi kering bertingkat untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah yang tinggi, seperti
super olein/top olein dan Mid Fraction (Gibon dan Tirtiaux 2000; Deffense 2000;
Fraksinasi Minyak
Fraksinasi adalah proses pemisahan yang membagi lemak menjadi fraksi-fraksi yang berbeda, yang masing-masing mempunyai sifat fisika dan kimia tertentu. Secara industri, terdapat tiga jenis proses fraksinasi yang tersedia saat ini, yaitu fraksinasi kering, basah dan menggunakan pelarut. Fraksinasi menggunakan pelarut biasanya digunakan untuk aplikasi tertentu, misalnya untuk menghasilkan pensubstitusi lemak coklat dari minyak sayur. Dari semua teknologi fraksinasi minyak yang tersedia saat ini, fraksinasi kering masih diyakini sebagai satu pengolahan yang paling sederhana, ramah lingkungan dan murah. Sederhana, karena hanya didasarkan pada pengaturan kristalisasi minyak cair, dilanjutkan dengan pemisahan secara fisik tanpa harus menambahkan atau menghilangkan bahan kimia maupun pelarut tertentu selama atau setelah proses. Murah, karena tidak memerlukan kondisi proses yang ekstrim dan seluruh prosesnya bersifat reversibel. Oleh karena itu, fraksinasi kering layak untuk dijadikan sebagai teknologi pengolahan produk berbasis lemak di masa depan
(Timms 2005; Huey et al. 2009; Calliauw et al. 2010).
Fraksinasi kering terdiri dari dua langkah utama, yaitu tahap kristalisasi yang menghasilkan kristal padat dalam matriks cair dan tahap pemisahan dimana fase cair dipisahkan dari kristal (Timms 2005). Faktor-faktor lain yang penting pada setiap tahap ini, terlihat pada Gambar 2.2. Pada titik ini, penting untuk diketahui bahwa kualitas dari fraksi cair hanya tergantung pada tahap kristalisasi, sedangkan kualitas dari fraksi padat tergantung pada kedua tahap tersebut. Pemisahan fraksi didasarkan atas tingkat konsentrasi triasilgliserol yang diinginkan. Kualitas biasanya diatur melalui kriteria fisik, seperti titik asap atau kandungan lemak padatnya.
Gambar 2.2 Diagram skematis proses fraksinasi dan faktor-faktor indikasi yang
Kristalisasi Minyak
Ketika lemak cair didinginkan, fase padat memisah, yang komposisi dan jumlahnya tergantung terutama pada suhu yang diterapkan. Situasi ini diilustrasikan pada Gambar 2.3, yang memperlihatkan diagram fase skematik dari campuran biner dari triasilgliserol A dan B yang membentuk suatu larutan padat yang kontinyu, yang tercampur secara sempurna dalam keadaan solid. Mempertahankan campuran pada suhu T1 menghasilkan pembentukan fase padat (kristal) komposisi c dalam komposisi larutan a. Fraksi fase padat = (bc/ac) (Timms 2005).
Gambar 2.3 Diagram fase skematik sederhana yang mengilustrasikan
prinsip-prinsip fraksinasi (Timms 2005)
Untuk mencapai kristalisasi, perlu meningkatkan konsentrasi triasilgliserol yang akan dikristalkan di atas konsentrasi larutan jenuh pada suhu yang ditetapkan. Dalam prakteknya, hal ini tidak cukup untuk menyebabkan kristalisasi, dan larutan dapat berada pada konsentrasi di atas tingkat kejenuhan tanpa membentuk kristal apa pun. Larutan serupa ini disebut ‘super jenuh’. Untuk semua sistem, ilustrasi tentang diagram jenuh-super jenuh terlihat secara
skematik pada Gambar 2.4 untuk kristalisasi minyak kedelai (Kellens 2001;
Timms 2005; Huey et al. 2009).
antara zona metastabil dan tak-stabil bervariasi dan tergantung pada variabel proses seperti laju pendinginan dan pengadukan (Timms 2005).
Gambar 2.4 Diagram jenuh-super jenuh untuk kristalisasi minyak kedelai. Pengaruh laju pendinginan terhadap batas metastable/unstable
(garis putus-putus). Angka menunjukkan laju pendinginan [oF/min]
(Timms 2005).
Alasan bagi keberadaan zona metastabil dapat dipahami bila kristalisasi diperlakukan sebagai proses yang terdiri dari dua tahap, yaitu pembentukan inti
yang diikuti oleh perkembangan kristal (Kellens 2001). Kristalisasi hanya dapat
terjadi ketika konsentrasi triasilgliserol mencapai kurva kejenuhan (atau kelarutan normal). Di bawah suhu titik leleh, lemak masuk ke dalam kondisi metastabil: kristalisasi terjadi secara tidak spontan. Pada suhu yang lebih rendah, lemak memasuki kondisi tak-stabil dan segera membentuk kristal (Gambar 2.5). Inti kristal akan terbentuk ketika energi panas kristalisasi melebihi energi permukaan; yang terbentuk pada kondisi metastabil, misalnya ketika suhu telah menurun di bawah batas yang dibutuhkan untuk membeku guna menghasilkan kristal yang
kecil (kondisi supercooling) (Kellens 2001; Timms 2005; Huey et al. 2009).
Gambar 2.5 Diagram jenuh dan superjenuh dalam proses kristalisasi minyak sawit (Timms 1997)
Saat molekul-molekul bersatu membentuk kristal, akan terbentuk dua jenis energi yang saling berlawanan. Energi yang pertama terbentuk akibat adanya panas kristalisasi, merupakan energi yang menyokong proses. Energi yang kedua adalah energi yang dibutuhkan untuk mengatasi tekanan atau tegangan permukaan sejalan dengan peningkatan luas permukaan kristal akibat dari menyatunya agregat-agregat molekul. Kristal stabil akan terjadi hanya ketika energi jenis pertama dalam keadaan berlebih yang dibutuhkan untuk mengatasi energi jenis kedua (Timms 2005).
Energi permukaan sebanding dengan luas permukaan kristal yang terbentuk, maka terhadap ukuran (yang dalam hal ini dimensi linier kristal, misalnya diameter untuk kristal-kristal berbentuk bulat) diperhitungkan dalam
dimensi pangkat dua (ukuran2). Sedangkan panas kristalisasi diukur berdasarkan
volume, maka terhadap ukuran akan diperhitungkan dalam dimensi pangkat tiga
(ukuran3). Jadi jelas bahwa kelarutan kristal pasti sangat tergantung pada
ukurannya. Menggunakan data-data triasilgliserol tertentu, dapat dihitung pengaruh ukuran kristal terhadap kelarutan, seperti terlihat pada Tabel 2.4 (Timms 2005).
Tabel 2.4 Berbagai kelarutan dan “supercooling” dengan radius kristal-kristal triasilgliserol
Radius of crystal
Supercooling [°C) Peningkatan kelarutan
[ m] [Å]
10 100,000 0.004 1.001
1 10,000 0.036 1.007
0.1 1,000 0.36 1.1
0.01 100 3.6 2.1
0.001 10 7.2 1380
Sumber: Timms 2005
Supercooling adalah penurunan suhu di bawah suhu kelarutan untuk
ukuran minimum suatu kristal yang stabil pada suhu kristalisasi secara umum. Kristal-kristal kecil mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan kelarutan
dengan sangat kuat dan memerlukan supercooling yang sangat besar untuk
membuatnya mengkristal (Timms 2005).
Pembentukan kristal dapat terjadi disebabkan adanya difusi sekeliling molekul yang akan menetap pada inti yang terbentuk. Laju pembentukan kristal
berbanding lurus dengan derajat supercooling yang diterapkan dan berbanding
terbalik dengan viskositas minyak (Wainwright 1999). Untuk menghasilkan proses kristalisasi dengan ukuran kristal yang terbentuk relatif besar, biasanya
bisa dicapai dengan menerapkan derajat supercooling yang sedang. Pada derajat
supercooling yang berlebihan, molekul-molekul tidak sempat terbawa pada
kondisi pembesaran yang baik untuk terjadinya discolation dalam lattice kristal
atau untuk pembentukan ko-kristal. Penerapan derajat supercooling yang terlalu
tinggi berarti memaksa kristalisasi terjadi lebih intens, akibatnya viskositas minyak akan meningkat secara cepat sehingga laju difusi dan pembesaran kristal
menjadi tertunda (Wainwright 1999; Kellens et al. 2007).
Kristal-kristal minyak terbentuk menghasilkan inti utama di awal proses kristalisasi, selanjutnya pembentukan inti sekunder dapat juga segera terjadi. Pembentukan inti sekunder terjadi saat irisan-irisan kecil kristal hilang dari permukaan kristal yang membesar. Jika irisan tersebut lebih kecil dari ukuran kritisnya, maka akan terlarut kembali tetapi jika lebih besar, maka akan bertindak sebagai inti dan berkembang menjadi kristal. Pembentukan inti sekunder ini tidak diinginkan dalam proses fraksinasi, karena proses ini menghalangi terbentuknya kristal minyak berukuran besar. Pengadukan atau pengocokan adalah penyebab utamanya, oleh karena itu pengadukan biasanya dijaga agar tetap minimum hanya
untuk memfasilitasi terjadinya pindah panas (Kellens et al. 2007; Timms 2005).
Peningkatan suhu secara lokal dikarenakan oleh panas kristalisasi merupakan suatu kondisi yang tidak diinginkan. Pada kondisi ini, pembentukan inti dan atau urutan pembesarannya menjadi terganggu sehingga pembentukan kristal yang berukuran besar berjalan tidak sempurna. Jika peningkatan suhu selama kristalisasi tidak terkontrol, akan menyebabkan terjadinya pelarutan kembali bagian-bagian yang telah terkristalisasi, dan struktur lamellar dapat terbentuk. Pada keadaan terburuk, hasilnya adalah pembentukan massa seperti susu dari mikro-partikel di semua ukuran, yang sangat sulit untuk dipisahkan (Gibon dan Tirtiaux 2000). Pengawasan sempurna terhadap penghilangan panas
dan kecepatan pengadukan selama proses kristalisasi sangat diperlukan untuk menghindari keadaan yang tidak diinginkan tersebut.
Inti kristal akan segera membesar dengan adanya inkorporasi dari molekul-molekul lain, sesaat setelah terbentuk. Molekul-molekul ini berasal dari lapisan larutan yang saling berdekatan; yang secara kontinyu mengalami
”pengisian ulang” (replenished) dari sekelilingnya, larutan superjenuh dengan
cara difusi. Laju pembesaran inti ini sebanding dengan besarnya supercooling
dan berbanding terbalik dengan viskositas, yang mempengaruhi kecepatan difusi (Timms 2005).
Secara parsial, pembentukan inti dan pembesarannya terjadi secara simultan. Laju pembentukan inti meningkat lebih cepat daripada laju
pembesarannya, pada kondisi supercooling yang berlebihan. Hasilnya adalah
dipisahkan. Oleh karena itu, proses kristalisasi secara industri harus dirancang untuk beroperasi pada laju pendinginan yang lambat selama siklus kristalisasi. Beberapa model pendinginan (Gambar 2.6) dapat digunakan, yang akan sangat tergantung pada penyedia teknologi fraksinasi kering (Krishnamurthy dan Kellens 1996).
Gambar 2.6 Representasi skematis dari (a) profil hubungan suhu minyak dan (b) profil air pendingin secara terpisah, pada pelaksanaan fraksinasi
kering (Krishnamurthy dan Kellens 1996). ∆T1 sampai ∆T5μ
perbedaan tetap suhu minyak dengan suhu air pendingin, T1 sampai T4: suhu tetap air pendingin
Saat pembesaran inti sedang berjalan, akan ada evolusi panas yang besar. Khususnya dalam keadaan tanpa pengadukan, suhu lokal akan meningkat secara signifikan. Akibatnya, pertambahan volume antar batas yang tersedia untuk perkembangan permukaan kristal akan terhenti menjadi jenuh dan atau inti yang ada dapat terlarut kembali, karena ukuran kritis telah meningkat dengan adanya peningkatan suhu. Pembentukan inti dan urutan pembesarannya dapat saja
bersifat erratic (tidak menentu), mengakibatkan pembentukan ukuran kristal yang
tidak sempurna atau bervariasi. Dalam industri fraksinasi lemak, yang menjadi tujuan penting dari proses adalah untuk membatasi eksotermis ini dengan cara memvariasikan laju penghilangan panas dan pengadukan (Timms 2005; Kellens et al. 2007).
Miscibility, Intersolubility dan Polimorfisme
Keberhasilan fraksinasi lemak bergantung pada tingkah laku fase konstituen TAG. Konsep tingkah laku fase ini tidak hanya merujuk pada titik leleh dari TAG atau karakter polimorfisnya saja, tetapi juga melibatkan pengaruh variasi campuran TAG yang berbeda dalam keadaan cair dan yang terpadatkan, dan hal ini banyak dijelaskan di berbagai publikasi. Jika hanya merujuk pada perubahan sifat fisik yang mungkin terjadi selama proses pendinginan, seharusnya
(inti), kemudian TAG dengan titik lebur lebih rendah akan bersatu dan seterusnya, hingga terciptanya “fluida” yang terdiri dari kristal-kristal “stearin”, dalam cairan “olein”. Tetapi kenyataannya tidaklah sesederhana itu, tetapi melibatkan proses eksotermik yang sangat rumit, dengan polimorfisme kristalisasi yang sangat labil, di mana dinamika kristalisasi tidak sepenuhnya berhubungan dengan titik-titik
lebur, melainkan sangat ditentukan oleh daya larut (miscibility dan intersolubility)
triasilgliserol penyusunnya, dan semua faktor tersebut sangat mempengaruhi urutan, jalur dan cara dari pembentukan inti kristal dan perkembangannya lebih lanjut (Timms 1984; Sato dan Ueno 2001).
Miscibility, intersolubility dan juga polimorfisme dari TAG dalam bentuk
padat adalah masalah tersendiri yang terkait erat dalam proses fraksinasi.
Miscibility dan intersolubility berkaitan erat dengan kemampuan pengikatan yang
kuat dari kristalisasi molekul-molekul yang memiliki kejenuhan sama seperti SSS, SUS, SUU dan UUU dalam kristal-kristal campurannya. Polimorfisme adalah
kemampuan untuk mengkristal menurut 3 bentuk crystallineμ α, ß', ß. Kristal α
dengan bentuk heksagonal, memiliki sedikit susunan ikatan hidrokarbon, sehingga titik leburnya rendah; kristal ß' dengan bentuk orthorhombik, memiliki susunan ikatan hidrokarbon lebih tebal/padat; kristal ß dengan bentuk triklinik, memiliki susunan ikatan hidrokarbon paling tebal/padat, sehingga titik leburnya sangat tinggi. Polimorfisme berpengaruh sangat kuat terhadap ketidakstabilan, tekstur dan rupa dari produk kristalisasi yang dihasilkan. Pada minyak, umumnya
kristalisasi pertama kali terjadi menurut bentuk α yang tidak stabil dan
berkembang secara cepat menjadi bentuk ß', kemudian secara perlahan menjadi bentuk ß. Pada minyak kelapa sawit, di mana triasilgliserol berbentuk simetris,
transisi bentuk a ß' ß lebih mudah terjadi, akan tetapi bentuk akhir lebih
sulit diperoleh. Ilustrasi bentuk folimorfisme kristal minyak dapat dilihat pada Gambar 2.7. Pemisahan yang baik antara olein dan stearin diperoleh sebagian
besar pada kristal-kristal bentuk ß' (Timms 2005; Kellens et al. 2007; Mazzanti et
al. 2008).
Gambar 2.7 Skema moleculer packing pada sistem lemak triasilgliserol, ilustrasi
α, β’, dan β (Mazzanti et al. 2008)
Intersolubility ditentukan oleh sifat alami dari TAG itu sendiri, sedangkan
polimorfisme lebih ditentukan oleh rezim pendinginan yang diterapkan pada minyak. Pada umumnya, pendinginan terkendali minyak cair menyebabkan yang lebih banyak terkristalisasi adalah senyawa jenuh sedangkan TAG tak-jenuh tetap
umum diasumsikan bahwa bentuk kristal yang kurang stabil berkaitan erat dengan
tingginya intersolubility (Mazzanti et al. 2008).
Intersolubility dari TAG dapat menjelaskan mengapa, pada minyak sawit,
pendinginan yang cepat dapat mengakibatkan pembentukan kristal campuran yang mengandung lebih banyak TAG tidak jenuh, dengan kualitas produk padat yang dihasilkan lebih rendah setelah filtrasi (Deffense 1989). Lebih jauh lagi, tahap pemisahan juga dipengaruhi oleh tahap kristalisasi awal, sebagaimana komposisi dan morfologi kristal juga mempengaruhi efisiensi proses filtrasi. Pemisahan kristal-kristal secara optimal dari cairannya secara umum akan dicapai ketika kristal mempunyai ukuran, morfologi dan komposisi yang seragam (Kellens 1994;
Calliauw et al. 2005).
Pengaruh Suhu dan Lama Proses Kristalisasi
Penelitian mengenai pengaruh suhu terhadap proses kristalisasi dalam
fraksinasi minyak/lemak cukup banyak. Seperti laporan Abidin et al. (2009) yang
mengamati pengaruh suhu dan waktu terhadap prosentase, rata-rata ukuran dan kemurnian kristal yang dihasilkan. Seperti yang diharapkan, prosentase kristal yang terbentuk dari larutan asam dihidroksi stearat (DHSA) meningkat sejalan dengan lama proses dan lebih banyak dihasilkan pada suhu yang lebih rendah.
Pada suhu 24, 26 dan 28 oC masing-masing dihasilkan kristal sebanyak 35.8, 28.8,
dan 7.3 persen yang diperoleh setelah 12 jam (Gambar 2.8). Untuk setiap
peningkatan suhu 2 oC akan menunda masa perkembangan kristal DHSA sekitar 1
jam dan jumlah kristal yang akan diperoleh akan semakin rendah dan terbentuk lebih lambat pada suhu yang lebih tinggi.
Gambar 2.8 Prosentase kristal DHSA pada tiga tingkat suhu kristalisasi (Abidin
et al. 2009)
Penelitian serupa tentang pengaruh suhu terhadap fraksinasi minyak
dilakukan pula oleh Miskandar et al. (2004). Profil kandungan lemak padat
2.9) mengindikasikan bahwa minyak sawit akan mengalami melting secara
perlahan pada kisaran suhu 5–35 oC. Pada suhu 5 oC kandungan lemak padat
minyak sawit berada pada kisaran 55.3–59.9 persen dan secara perlahan menurun
sejalan dengan peningkatan suhu. Pada suhu 20 oC kisaran kandungan lemak
padat minyak sawit berada pada 10.2–15.2 persen dan menjadi cair sempurna
pada suhu 35 oC.
Gambar 2.9 Profil kandungan lemak padat campuran minyak sawit dengan fraksi
oleinnya sebagai fungsi dari temperatur (Miskandar et al. 2004)
Umumnya, jumlah fraksi olein yang dihasilkan akan menurun dan fraksi stearin akan meningkat ketika suhu kristalisasi diturunkan. Sejalan dengan suhu diturunkan, kristal akan terbentuk dan dihasilkan lebih banyak dan fraksi padat
akan lebih banyak diperoleh daripada fraksi cairnya. Ramli et al. (2008)
melaporkan bahwa olein yang dihasilkan menurun jumlahnya sejalan dengan semakin rendahnya suhu kristalisasi tetapi kandungan asam oleat akan meningkat, sebaliknya jumlah stearin yang dihasilkan akan semakin banyak (Gambar 2.10 dan 2.11). Hal ini berhubungan dengan profil kandungan lemak padat pada
slurry. Pada suhu kristalisasi tertinggi, massa kristal yang terbentuk lebih sedikit,
bahkan beberapa TAG yang memiliki titik leleh rendah atau sedang belum
terkristal sama sekali. Pembentukan kristal terjadi secara ekstensif pada suhu 4 oC
seiring dengan mulai terkristalnya TAG yang memiliki titik leleh rendah atau sedang. Oleh karenanya, peningkatan jumlah fase padat minyak yang nyata