• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecukupan mendapatkan protein asal hewan tidak akan mudah dicapai apabila hanya mengandalkan produksi dari ternak-ternak tertentu saja, melainkan harus dengan memaksimalkan semua potensi ternak yang tersedia. Ternak itik merupakan salah satu alternatif penyedia protein hewani yang cukup potensial, baik melalui produksi telur maupun dagingnya. Namun hingga kini, perimbangan antara produksi telur dan daging itik tidaklah seperti pada ternak ayam. Peternak itik umumnya lebih memfokus pada produksi telur daripada dagingnya. Hal ini berkorelasi dengan permintaan pasar terhadap daging itik yang masih rendah, karena masyarakat konsumen kurang berminat mengkonsumsi daging itik.

Persoalan rendahnya permintaan terhadap daging itik, selain terkait dengan faktor-faktor seperti selera dan kebiasaan, hal mana bahwa masih banyak masyarakat yang masih belum terbiasa mengkonsumsi daging itik, juga terkait dengan persepsi masyarakat yang menilai bahwa flavor daging itik berbau amis atau anyir, yang diistilahkan dengan off-odor. Istilah ini dipakai, sebab diduga kuat bahwa bau amis tersebut lebih berasal dari proses-proses biokimia yang berlangsung di dalam tubuh, terutama proses oksidasi lemak tubuh.

Pembentukan bau amis (off-odor) pada daging ternak itik memiliki keterkaitan dengan tingginya kandungan lemaknya dibandingkan dengan kandungan lemak pada ternak unggas yang lain. Sebagai unggas air, itik memerlukan lemak yang lebih banyak untuk menjaga temperatur tubuhnya agar tidak turun, dan untuk mempertahankan agar bulu-bulunya tidak basah selama ternak tersebut berada dalam air.

Pengaturan metabolisme lemak tubuh itik sangat ditentukan oleh adanya kelenjar minyak (uropygial gland) yang terdapat pada ternak tersebut (Stevens 1996). Ukuran kelenjar ini pada ternak itik relatif lebih besar dibandingkan dengan yang terdapat pada hewan unggas lain, sehingga ternak itik dengan mudah memproduksi lemak yang banyak, sesuai dengan kebutuhannya.

Mengatasi masalah off-odor pada daging itik, tentu perlu dipahami terlebih dahulu bahwa apakah semua galur itik memang menghasilkan off-odor atau memiliki off-odor dalam intensitas yang tinggi. Pertanyaan lain yang perlu pula dikaji bahwa apakah off-odor itu dipengaruhi oleh lemak tubuh saja, ataukah juga lemak yang berasal dari pakan; dan apabila dari pakan, jenis lemak manakah yang lebih berpengaruh pada pembentukan off-odor tersebut.

Untuk menjawab persoalan dimaksud, penelitian ini dilakukan dengan menguji dua galur itik, yaitu itik alabio dan itik cihateup. Demikian pula untuk menguji jenis lemak, penelitian ini menggunakan tiga jenis lemak pakan yang berbeda sumber dan sifat kejenuhannya, yakni lemak sapi, minyak kedelai, dan minyak kelapa. Pengkajian terhadap dua faktor, galur ternak dan jenis lemak, dilaksanakan sebagai percobaan tahap pertama dari penelitian ini. Oleh sebab itu percobaan dijalankan dengan menggunakan rancangan faktorial dua faktor.

Penggunaan itik alabio (Anas platyrynchos borneo) pada penelitian ini untuk menguji persepsi konsumen yang selama ini telah menyukai daging itik ini, karena dagingnya diakui tidak berbau amis. Oleh sebab itu seringkali itik alabio jugalah yang dipakai dalam persilangan dengan entog (muscovy, Cairina moschata) dalam rangka menghasilkan varitas-varitas silangan, seperti mandalung, sebagai itik penghasil daging unggas dengan mutu yang baik dan unggul. Entog merupakan jenis itik yang memiliki produksi daging tinggi, tetapi intensitas bau amisnya juga cukup tinggi. Oleh karena itu persilangannya dengan alabio diharapkan dapat menghasilkan generasi itik yang tidak saja tinggi produksi dagingnya, akan tetapi juga menghasilkan daging yang bebas off-odor. Itik alabio juga merupakan satu-satunya itik lokal di Indonesia yang telah memiliki sifat-sifat keseragaman fenotipik yang tinggi, seperti warna paru, shank, dan bulu. Postur tubuh yang besar sangat berpotensi bagi itik alabio untuk dikembangkan sebagai itik pedaging yang handal.

Itik cihateup (termasuk dalam kelompok Anas platyrynchos javanica) merupakan “pendatang baru” dalam kelompok itik-itik jawa, sebab selama ini itik cihateup belum umum dikenal oleh masyarakat. Perkembangan itik ini hanya terpusat di Tasikmalaya, Garut, dan daerah-daerah sekitarnya (Jawa Barat). Meskipun pertumbuhannya sangat baik untuk dijadikan sebagai penghasil daging, tetapi peternak lebih memilih memeliharanya sebagai penghasil telur saja (Wulandari et al. 2005).

Hasil analisis terhadap semua variabel performa yang meliputi bobot potong, pertambahan bobot badan, bobot karkas, memperlihatkan bahwa variabel-variabel tersebut dipengaruhi oleh kedua faktor perlakuan (galur dan jenis lemak), akan tetapi pengaruh dari kedua faktor tersebut tidak bersifat interaksi.

Pengaruh faktor galur sangat nyata dalam membedakan peforma ternak. Galur itik alabio memiliki peforma yang lebih besar daripada galur itik cihateup.

Hal ini menunjukkan bahwa antara galur itik alabio dan galur itik cihateup terdapat gen-gen pemicu pertumbuhan yang saling berbeda. Hal ini sejalan dengan teori pertumbuhan ternak yang menyatakan bahwa perbedaan hereditas (genetik) tidak saja dapat menyebabkan perbedaan dalam pertumbuhan, tetapi juga dapat menentukan laju pertumbuhan ternak (Hafez 1969).

Pada sisi lain, faktor penggunaan perbedaan jenis lemak memberi pengaruh yang nyata (P < 0.05) pula terhadap performa ternak. Penggunaan lemak sapi dalam ransum menghasilkan performa ternak yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan minyak kelapa, minyak kedelai, ataupun dengan ransum kontrol (tanpa pemberian lemak atau minyak pakan). Lebih tingginya performa pada kedua galur ternak dengan pemberian lemak sapi, diduga kuat dipengaruhi oleh tingkat konsumsi yang tinggi dari ransum yang diberi lemak sapi ini. Hal ini dapat menyatakan pula bahwa ransum yang diberi lemak sapi memiliki palatabilitas yang tinggi dibandingkan apabila menggunakan minyak kelapa atau minyak kedelai.

Pada penelitian pertama selain didapatkan bahwa itik alabio memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi, juga diperoleh bahwa melalui analisis sensori, itik alabio memiliki intensitas off-odor daging yang lebih rendah dibandingkan intensitas off-odor itik cihateup. Temuan ini memberi dukungan secara ilmiah terhadap persepsi masyarakat yang selama ini menyukai daging alabio karena tidak berbau amis. Hasil ini sekaligus juga membuktikan bahwa perbedaan kualitas off-odor daging ternak dipengaruhi pula oleh faktor galur ternak.

Pemberian lemak sapi yang tidak saja menghasilkan pertumbuhan ternak itik yang cepat, namun juga menghasilkan off-odor yang rendah, perlu untuk dikaji lebih lanjut dalam penelitian-penelitian berikutnya. Seberapa besar perbedaan intensitas off-odor yang dihasilkan oleh pemberian lemak sapi dengan yang diberi suplementasi antioksidan tidak dilakukan pengukurannya dalam penelitian ini. Rendahnya off-odor pada itik yang diberi lemak sapi diduga karena terjadi penutupan bau (masking) dari flavor lemak sapi terhadap off-odor daging itik. Namun dugaan ini masih perlu diuji lagi secara ilmiah.

Ternak itik, seperti ternak unggas lainnya, memiliki komposisi asam-asam lemak tubuh yang mudah dipengaruhi oleh keadaan lemak pakan. Secara umum, itik alabio dan itik cihateup memiliki lemak tubuh yang lebih banyak tersusun dari lemak-lemak tidak jenuh, terutama asam lemak oleat (C18:1). Meskipun itik alabio mengandung konsentrasi asam-asam lemak tidak jenuh

yang lebih tinggi daripada itik cihateup, namun intensitas off-odor daging itik alabio lebih rendah daripada intensitas off-odor itik cihateup. Demikian pula bilamana dibandingkan antara penggunaan minyak kedelai dengan minyak kelapa, terdapat hasil yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Minyak kedelai yang mengandung lemak tidak jenuh lebih tinggi dari minyak kelapa, namun minyak kedelai menghasilkan ketajaman off-odor lebih rendah daripada minyak kelapa. Fakta ini menjelaskan bahwa sekalipun lemak tidak jenuh lebih mudah mengalami oksidasi, tetapi senyawa-senyawa volatil yang terbentuk dari jalur oksidasi lemak tidak jenuh merupakan senyawa-senyawa yang memiliki rantai karbon yang lebih panjang. Sedangkan, senyawa-senyawa volatil yang dihasilkan melalui oksidasi lemak jenuh, lebih banyak terdiri atas senyawa- senyawa volatil berantai pendek. Senyawa-senyawa volatil berantai pendek ini oleh Gurr et al. (2002) disebutkan sebagai senyawa-senyawa yang memiliki intensitas off-odor yang lebih tajam daripada volatil berantai panjang.

Perbedaan antara fakta yang didapatkan pada penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya terkait dengan pembentukaan off-odor yang dipengaruhi oleh penggunaan jenis lemak pakan, dan apabila merujuk pada penelitian Hustiany (2001) yang melaporkan bahwa masih terdapat senyawa- senyawa yang belum teridentifikasi apakah dari kelompok lemak atau bukan, maka dapat pula disimpulkan bahwa sesungguhnya terdapat prekursor lain disamping lemak yang memberi pengaruh penting dalam pembentukan off-odor daging itik.

Hipotesis yang dibangun dengan berasumsi bahwa penyebab utama dalam pembentukan off-odor daging itik terkait dengan oksidasi lemak daging, maka penelitian ini memilih menggunakan antioksidan sebagai solusi terhadap masalah tersebut. Suplementasi antioksidan yang berbasis pada vitamin E memberi pengaruh yang nyata dalam menurunkan intensitas off-odor daging. Pengaruh tersebut semakin nyata dengan memaksimalkan kerja antioksidan melalui pendekatan sifat sinergisme antioksidan. Kombinasi vitamin E dengan C merupakan kombinasi yang paling efektif dalam menekan laju oksidasi lipid daging (Niki et al. 1995). Penambahan antioksidan ke dalam ransum ternak yang menghasilkan daging rendah off-odor, semakin memperkuat pemahaman bahwa off-odor pada ternak lebih banyak dipengaruhi oleh proses degradasi lipid tubuh.

Sebagai ternak unggas, kualitas lipid yang terbentuk dalam tubuh itik sangat dipengaruhi oleh kualitas lipid makanannya. Volatil-volatil off-odor yang terbentuk dari hasil degradasi lipid tubuh, selain berasal dari senyawa-senyawa yang dihasilkan dari perombakan asam-asam lemak, juga merupakan volatil- volatil yang berasal dari luar yang masuk ke dalam tubuh ternak melalui makanan.

Intensitas off-odor fishy yang lebih rendah pada daging dari ternak yang mendapat perlakuan pemberian suplementasi antioksidan, menunjukkan bahwa antioksidan efektif dalam menghambat laju oksidasi lemak pada ternak. Efektifitas antioksidan ini akan semakin meningkat apabila disediakan dalam bentuk kombinasi antara antioksidan yang bersifat saling bersinergisme.

Off-odor yang terbentuk pada daging itik, selain dapat terbentuk melalui volatil-volatil hasil oksidasi lemak tubuh, juga dapat berasal dari volatil-volatil yang terserap dalam minyak kelapa dan masuk ke dalam tubuh melalui ransum yang dikonsumsi oleh ternak. Selanjutnya volatil-volatil tersebut akan masuk sampai ke dalam daging melalui jalur transpor lemak. Asam-asam lemak dan volatil yang terlarut di dalamnya setelah mengalami penyerapan di usus halus, diangkut oleh lipoprotein (portomikron) langsung masuk ke dalam hati, karena pada unggas pengangkutan lemak tidak melalui sistem limfatik. Dari hati, asam- asam lemak tersebut diangkut ke jaringan periferal, dan selanjutnya masuk ke dalam aliran darah untuk di angkut ke seluruh tubuh (Stevens 1996; McGorrin 2002). Volatil-volatil yang terserap dalam minyak kelapa tidak terikat secara kuat dengan senyawa-senyawa asam-asam lemak, sehingga pada tingkat oksidasi yang rendah mereka terpisah dari makromolekul asam-asam lemak dan menjadi volatil-volatil odor yang memberi karakter flavor terhadap daging (Reineccius 1994; Young dan Boumeister 1999).

Tingginya off-odor fishy pada daging dari ternak-ternak yang diberi ransum tanpa suplementasi antioksidan (kontrol, E0) diduga karena proses oksidasi terhadap asam-asam lemak tubuh berjalan langsung tanpa terhambat, menyebabkan banyak volatil yang terbentuk. Dengan tidak terdapatnya antioksidan, asam-asam lemak tubuh itik yang banyak terdiri atas asam-asam lemak ganda tidak jenuh akan dengan mudah teroksidasi. Pendegradasian asam-asam lemak tidak jenuh ganda ini menjadi sumber pembentukan off-odor fishy (McGorrin 2002). Indikasi ini dapat dijelaskan melalui hasil percobaan pertama, yang memperlihatkan bahwa ternak itik yang tidak diberi suplementasi

lemak, memiliki kandungan fishy yang cukup kuat. Dengan demikian dapat diduga bahwa selain dipengaruhi makanan, secara genetik itik cihateup memiliki potensi menghasilkan daging yang ber- off-odor.

Penggunaan antioksidan dengan pemberiannya melalui ransum lebih efektif dalam menghambat laju oksidasi lemak tubuh, hal ini karena dengan penambahan antioksidan ke dalam ransum, antioksidan tersebut sebelum masuk ke dalam tubuh, sudah terlebih dahulu bekerja mempertahankan stabilitas oksidatif dari ransum itu sendiri. Oleh karena itu ransum bersuplementasi antioksidan yang dikonsumsi oleh ternak merupakan ransum yang memiliki kandungan lemak yang lebih stabil.

Dokumen terkait