• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Penggunaan antioksidan untuk mempertahankan kualitas bahan pangan dari kerusakan, khususnya kerusakan yang diakibatkan oleh oksidasi, sudah banyak diteliti. Hasil-hasil penelitiannya membuktikan bahwa antioksidan merupakan salah satu cara efektif mengatasi persoalan tersebut. Oksidasi suatu bahan pangan tidak hanya mengakibatkan kualitasnya menurun dan kemudian menjadi rusak sehingga tidak layak lagi dikonsumsi (Russell et al. 2004), akan tetapi oksidasi juga merupakan penyebab dari terbentuknya radikal-radikal bebas dalam bahan pangan (Morrissey et al. 1994). Radikal-radikal bebas yang terdapat dalam bahan pangan bila terkonsumsi oleh manusia dapat menjadi penyebab terjadinya berbagai penyakit, khususnya penyakit-penyakit degeneratif, seperti kanker dan jantung koroner (Doll 1995; Surai 2003).

Daging merupakan salah satu bahan pangan yang rentan terhadap kerusakan oksidasi. Kandungan lemak pada daging menjadi faktor utama terjadinya proses autoksidasi yang menyebabkan kualitas daging, seperti bau, warna dan teksturnya menjadi berubah. Dekomposisi oksidatif asam-asam lemak tidak jenuh mengakibatkan ketengikan oksidatif pada daging, yaitu dengan terbentuknya flavor menyimpang (off-flavor) dari daging tersebut (Skibsted et al. 1998).

Kajian pada bagian ini merupakan kelanjutan dari penelitian yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Penelitian terdahulu menghasilkan temuan bahwa itik cihateup mempunyai bau amis (off-odor) yang lebih kuat daripada itik alabio. Demikian pula penggunaan minyak kelapa dalam ransum menghasilkan daging itik yang lebih amis (fishy) daripada yang diberi minyak kedelai atau lemak sapi. Oleh karena itu, pada tahapan penelitian ini, untuk menguji efektivitas antioksidan dalam mengatasi persoalan bau amis pada daging itik dipakai itik cihateup dengan ransum basal yang diberi minyak kelapa.

Pemakaian vitamin E (α-tokoferol) dalam ransum dapat bersifat ganda. Vitamin E selain dimanfaatkan oleh ternak sebagai komponen nutrisi yang diperlukan dalam proses-proses fisiologis dan metabolisme tubuh, juga berperan sebagai senyawa antioksidan. Pada tahap penelitian ini, vitamin E dipakai dalam fungsinya sebagai antioksidan. Dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan,

diperloleh bahwa vitamin E sebagai antioksidan efektif dan efisien dalam mengatasi persoalan-persoalan penurunan mutu bahan pangan, khususnya daging ternak, akibat degradasi oksidatif (Kennedy et al. 1992; De Wine dan Dirinck 1996; Russell et al. 2003).

Beberapa penelitian melaporkan pula bahwa aktivitas antioksidan vitamin E lebih tinggi bilamana dapat bersinergisme dengan antioksidan lain daripada hanya bekerja sebagai senyawa tunggal. Vitamin antioksidan lain yang dapat bersinergis dengan vitamin E untuk meningkatkan daya antioksidannya, yaitu vitamin A dan C (Leung et al.1981; Lambelet et al. 1985; Anderson et al.1995).

Itik cihateup banyak dipelihara oleh peternak di wilayah Jawa Barat, terutama di daerah Garut dan Cirebon. Akan tetapi umumnya masyarakat lebih menyukai memelihara ternak itik cihateup betina daripada yang jantan. Ternak betina dipelihara untuk produksi telur. Sedangkan itik jantan biasanya dipelihara sebagai usaha sampingan bilamana ada konsumen yang memerlukan daging itik, atau sebagai stok pejantan saja. Sebenarnya itik cihateup jantan memiliki rataan bobot badan dewasa yang lebih besar daripada itik-itik jantan lain yang sama-sama tergolong dalam kelompok itik jawa (Muzani 2005). Walaupun itik cihateup jantan berpotensi sebagai penghasil daging yang baik, namun belum diupayakan secara maksimal. Kendala utama dalam pengembangan itik sebagai sumber penghasil daging yaitu belum banyak konsumen yang menyukai daging itik. Sebagian besar konsumen beranggapan bahwa daging itik memiliki bau amis (off-odor), sehingga banyak dari mereka yang menolak mengkonsumsinya.

Dengan persoalan seperti itu penelitian ini dilaksanakan untuk mencoba memanfaatkan kemampuan vitamin sebagai antioksidan, khususnya vitamin E, guna menghambat dan mengurangi pembentukan bau amis pada daging itik, yang diduga bau tersebut terbentuk akibat adanya proses oksidasi yang dialami oleh lemak yang terdapat dalam daging ataupun dalam depot-depot lemak lainnya. Oleh karena itu hipotesis yang ditetapkan untuk penelitian ini bahwa supplementasi vitamin E sebagai antioksidan, baik secara tunggal ataupun yang dikombinasikan dengan vitamin antioksidan lain, yakni vitamin A dan C, dapat mengurangi dan atau menghilangkan bau amis/anyir (off-odor) pada daging itik cihateup. Selain itu diharapkan bahwa pemberian antioksidan ini dapat mempertahankan stabilitas daging terhadap pengaruh oksidasi.

Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bagian IPT Unggas, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB; dan di Laboratorium Kimia Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Penelitian dilaksanakan selama lima bulan, yaitu sejak Februari sampai dengan Juli 2006.

Ternak dan Ransum Percobaan

Ternak yang dipakai dalam percobaan ini yaitu itik cihateup jantan sebanyak 80 ekor, yang diperoleh dari Laboratorium Bagian IPT Unggas IPB. Ransum dasar yang diberikan kepada ternak-ternak coba ini mengandung 7.5% minyak kelapa (Tabel 4 dan 5). Penetapan jenis ternak dan ransum basal didasarkan pada percobaan sebelumnya yang memperlihatkan bahwa perlakuan ransum yang mengandung minyak kelapa dan jenis itik cihateup menghasilkan intensitas off-odor daging yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Metode Penelitian

Ternak-ternak dipelihara di dalam kandang box, kandang yang sama dipakai pada percobaan pertama. Untuk menguji pengaruh antioksidan terhadap kualitas off-odor daging, ransum percobaan disusun dalam lima perlakuan ransum, yaitu:

1. Ransum dasar tanpa suplementasi vitamin E, berfungsi sebagai kontrol (E0); 2. Ransum dasar yang hanya disuplementasi vitamin E tanpa kombinasi dengan vitamin lain (E1);

3. Ransum dasar yang disuplementasi kombinasi vitamin E dengan A (EA); 4. Ransum dasar yang disuplementasi kombinasi vitamin E dengan C (EC); 5. Ransum dasar yang disuplementasi kombinasi vitamin E, A dan C (EAC)

Jenis vitamin E yang dipakai adalah d-α-tokoferil-asetat dengan dosis pada setiap penggunaan adalah 400 IU/kg. Dosis pemakaian vitamin C 250 mg/kg, dan dosis vitamin A 20 000 IU/kg. Masing-masing ransum perlakuan diberi dalam empat kali ulangan. Setiap ulangan pada satu unit percobaan terdapat empat ekor ternak.

Pemberian ransum perlakuan dimulai pada saat ternak berumur dua minggu. Lama pemberian ransum percobaan selama 10 minggu. Pada awal pemberian ransum, bobot badan ternak diukur sebagai bobot badan awal (BBo), dan pada akhir masa pemberian ransum perlakuan diukur sebagai bobot badan akhir (BBt).

Komposisi nutrisi (protein dan energi) dan cara pemberian ransum- ransum perlakuan dibuat sama seperti pada percobaan pertama, demikian juga halnya dengan lama periode pemeliharaan ternak, pengukuran sisa pemberian ransum dan frekuensi penimbangan bobot ternak. Pada akhir dari periode pemeliharaan, delapan ekor ternak dari setiap perlakuan dipotong untuk keperluan analisis kimia dan sensori daging. Sampel daging yang dipakai juga sama seperti pada percobaan pertama, yaitu daging dari bagian paha.

Variabel Penelitian

Pada percobaan ini, pengukuran variabel performa pertumbuhan terdiri atas bobot badan awal (BBo), bobot badan akhir (BBt), pertambahan bobot badan (PBB), konsumsi ransum, dan konversi ransum. Pelaksanaan analisis kimia dan kualitas daging meliputi: kandungan lemak, asam-asam lemak dan tingkat oksidasi lemak (nilai TBARS). Pengujian sensori dilakukan oleh panelis terlatih yang sebagian besar telah dilibatkan pada percobaan pertama.

Pengujian TBA dilaksanakan dengan menggunakan sampel daging paha tanpa kulit dari setiap perlakuan ransum. Analisis ini untuk mengukur tingkat oksidasi lipid melalui penetapan jumlah miligram (mg) malondialdehid (MDA) per kg sampel, yang juga disebut sebagai nilai thiobarbituric acid reactive subtances (TBARS). Pengukuran nilai TBARS dilakukan pada tiga jenis keadaan daging, yaitu mentah, masak, dan yang dimasak ulang.

Analisis TBA terhadap daging yang mentah dilakukan dalam beberapa kali pengukuran seris, yaitu 0, 1, 2, 3, dan 4 minggu. Sampel daging masak, yaitu sampel daging yang direbus selama 40 menit, dan langsung dilakukan analisis TBA. Sedangkan, sampel yang dimasak kembali, yaitu sampel daging yang sebelumnya dimasak rebus selama 40 menit, kemudian disimpan dalam refrigerator. Setelah disimpan selama 48 jam, sampel dimasak (rebus) kembali selama kurang lebih 10 menit. Penyimpanan selama 48 jam disesuaikan dengan waktu minimal terbentuknya off-odor warmed over flavor (WOF).

Uji Sensori

Pelaksanaan uji sensori pada tahap ini menggunakan dua metode, yaitu uji ranking dan uji deskripsi, dengan melibatkan 10 panelis terlatih. Pada uji ranking, rancangan yang dipakai adalah acak kelompok lengkap. Setiap panelis menerima dua set sampel. Masing-masing set, terdiri atas lima bahan uji yang mewakili perlakuan ransum yang diberikan kepada ternak. Setiap bahan uji diberi nomor kode sampel tiga digit yang ditetapkan menggunakan Tabel Bilangan Acak.

Sampel daging yang diuji berbentuk kubus 1 cm3, direbus selama 40 menit, dan ditempatkan dalam botol bening bertutup. Panelis memberikan penilaian intensitas off-odor pada masing-masing sampel dengan mengurutkan sampel-sampel tersebut dalam ranking 1, 2, 3 , 4, dan 5. Ranking 1 menunjukkan tingkatan off-odor yang sangat rendah, sedangkan ranking 5, yaitu tingkatan off-odor yang sangat tinggi. Referensi off-odor memakai daging rebus yang diambil dari bagian tunggir ternak.

Analisis Data

Data pertumbuhan dan produksi dianalisis secara statistik dengan analisis keragaman (ANOVA) menggunakan bantuan perangkat lunak Software Minitab Release 14.1 for Windows. Uji ranking dan analisisnya pada tahap ini dilaksaksanakan dengan analisis Friedman dalam perancangan acak kelompok lengkap menurut prosedur Meilgaard et al. (1999). Atribut off-odor dianalisis dengan metode Quantitative Descriptive Analysis (QDA) melalui pengujian skala garis, dan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis, PCA) dengan program Biplot yang dijalankan melalui perangkat lunak Microsoft Office Excel 2003.

Hasil dan Pembahasan

Performa Ternak Itik

Performa ternak itik yang dilaporkan dalam penelitian ini meliputi tiga variabel yakni konsumsi, konversi ransum, dan pertumbuhan.

a. Konsumsi dan Konversi Ransum

Jumlah konsumsi ransum dan konversinya diperlihatkan pada Tabel 21 berikut ini.

Tabel 21 Konsumsi dan konversi ransum ternak-ternak itik percobaan yang diberi perlakuan selama periode pemeliharaan 10 minggu

Ransum1 Konsumsi per ekor (gram)2 Konversi ransum

E0 7985.50 ± 29.92 7.04 ± 0.34 E1 7969.88 ± 36.15 6.95 ± 0.28 EA 8010.94 ± 21.91 7.01 ± 0.22 EC 7996.56 ± 42.84 6.96 ± 0.59 EAC 7973.13 ± 20.20 7.13 ± 0.68 1

E0: tanpa suplementasi vitamin E; E1: vitamin E; EA: kombinasi vitamin E dan A;

EC: kombinasi vitamin E dan C; EAC: kombinasi vitamin E, A, dan C.

2

Rataan total konsumsi per ekor ternak selama masa percobaan.

Hasil penelitian dalam Tabel 21 memperlihatkan bahwa ternak-ternak yang tanpa atau yang diberi antioksidan, memiliki konsumsi ransum dan nilai konversinya yang tidak berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan berbagai vitamin dan komposisinya yang disuplementasikan ke dalam ransum sebagai antioksidan tidak memberikan pengaruh terhadap konsumsi dan konversi ransum.

b. Pertumbuhan

Performa pertumbuhan yang diperlihatkan dalam penelitian ini merupakan pertambahan bobot badan ternak yang diukur sebagai selisih antara bobot badan ternak pada akhir periode penelitian (umur ternak 12 minggu) dengan bobot badan ternak pada awal periode penelitian (umur ternak 2 minggu). Hasil pengukuran dari masing-masing parameter tersebut disenaraikan dalam Tabel 22.

Tabel 22 Performa itik cihateup yang diberi ransum percobaan selama 10 minggu masa pemeliharaan

Ransum BBo (gram/ekor) BBt (gram/ekor) PBB (gram/ekor) E0 278.75 ± 19.98 1415.75 ± 39.89 1137.00 ± 57.39 E1 268.75 ± 15.07 1415.88 ± 57.20 1147.13 ± 50.65 EA 258.56 ± 41.84 1402.38 ± 57.77 1143.81 ± 33.88 EC 266.06 ± 29.64 1420.75 ± 57.16 1154.69 ± 84.95 EAC 270.38 ± 30.77 1396.50 ± 76.05 1126.13 ± 102.93 1

E0: tanpa suplementasi vitamin E; E1: vitamin E; EA: kombinasi vitamin E dan A;

EC: kombinasi vitamin E dan C; EAC: kombinasi vitamin E, A, dan C.

BBo: Bobot badan awal; BBt: Bobot badan akhir; PBB: Pertambahan bobot badan.

Bobot badan ternak pada akhir percobaan (BBt) dari semua perlakuan suplementasi antioksidan secara statistik tidak berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian suplementasi antioksidan tidak mempengaruhi laju pertumbuhan ternak. Seragamnya pertumbuhan dari ternak-ternak coba ini terkait pula dengan tidak terdapatnya perbedaan dalam jumlah ransum yang dikonsumsi (Tabel 21). Suplementasi vitamin tidak dimanfaatkan oleh ternak untuk kepentingan pertumbuhan, karena kebutuhan vitamin untuk pertumbuhan sudah tercukupi dari ransum dasar (Tabel 6).

Karkas dan Komponennya

Data produksi yang diperlihatkan pada Tabel 23 menunjukkan bahwa meskipun terdapat variasi pada bobot potong antar perlakuan, tetapi secara statistik perbedaan tersebut tidak nyata. Oleh karena itu dapat pula dinyatakan bahwa perlakuan pemberian vitamin antioksidan tidak mempengaruhi bobot potong ternak itik cihateup. Hasil seperti ini juga dikemukakan oleh Abawi et al. (1985) pada penelitian terhadap ayam broiler yang menyebutkan bahwa, pemberian vitamin E dan vitamin A tidak mempengaruhi bobot badan.

Tabel 23 Rataan bobot potong, karkas dan persentase karkas dari masing- masing ransum perlakuan pada umur 10 minggu pemeliharaan

Ransum1 Ulangan Bobot potong (gram/ekor) Karkas (gram/ekor) % Karkas 2 E0 8 1512.5 ± 70.3 878.75 ± 50.67 58.10 ± 2.13 E1 8 1483.5 ± 84.6 889.25 ± 85.54 59.86 ± 3.28 EA 8 1479.5 ± 78.2 858.50 ± 64.38 58.07 ± 3.81 EC 8 1507.8 ± 118.4 880.50 ± 74.71 58.43 ± 2.82 EAC 8 1496.3 ± 99.1 876.63 ± 75.16 58.56 ± 2.45 Rataan 1495.9 ± 87.85 876.73 ± 68.10 58.61 ± 2.88 1

E0: tanpa suplementasi vitamin E; E1: vitamin E; EA: kombinasi vitamin E dan A;

EC: kombinasi vitamin E dan C; EAC: kombinasi vitamin E, A, dan C. 2

Persentase dihitung terhadap bobot potong

Bobot karkas rata-rata dari semua perlakuan yakni 876.73 gram, dan persentasenya 58.61%. Hasil ini tidak banyak berbeda dengan bobot karkas dari itik jantan lokal lain yang dilaporkan oleh Sinurat et al. (2001), yaitu sekitar hampir 850 gram. Namun untuk persentase karkas, hasil yang diperoleh pada penelitian ini sedikit lebih tinggi bilamana dibandingkan dengan yang diperoleh Mahfudz et al. (2004) yang melaporkan rata-rata persentase karkas itik lokal jantan pada umur 10 minggu sekitar 51.02%.

Produksi beberapa komponen karkas utama yang dinyatakan sebagai persentase bobot dada, paha, dan sayap disajikan pada Tabel 24 berikut ini. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa seperti halnya dengan persentase bobot karkas, perlakuan pemberian antioksidan tidak mempengaruhi persentase komponen karkas. Secara umum terlihat bahwa itik cihateup memiliki rasio antara bobot dada dan paha relatif seimbang atau dalam proporsi yang hampir sama; tetapi terhadap bobot sayap, bobot dada dua kali lebih berat. Proporsi ini berbeda dengan pada itik serati. Menurut Setioko et al. (2002) itik serati memiliki berat dada yang lebih kecil dibandingkan dengan berat pahanya, tetapi sama bila dibandingkan dengan berat sayap.

Tabel 24 Persentase bobot dada, paha, dan sayap itik cihateup yang diberi perlakuan antioksidan (n = 8)1

Ransum2 Dada (%)3 Paha (%)3 Sayap (%)3 E0 27.23 ± 2.22 26.59 ± 1.51 14.78 ± 0.52 E1 28.86 ± 1.70 25.84 ± 2.08 14.26 ± 1.35 EA 28.80 ± 1.68 26.46 ± 1.84 15.01 ± 0.65 EC 28.38 ± 1.83 26.63 ± 1.19 14.86 ± 1.42 EAC 28.12 ± 1.39 26.68 ± 1.47 14.86 ± 0.92 1

Persentase relatif terhadap bobot karkas.

2

E0: tanpa suplementasi vitamin E; E1: vitamin E; EA: kombinasi vitamin E dan A,

EC: kombinasi vitamin E dan C; EAC: kombinasi vitamin E, A, dan C.

3

Analisis ragam menggunakan transformasi akar kuadrat, koefisien keragaman setelah transformasi untuk dada = 3.20%, paha = 3.05%, sayap = 3.48%.

Variabel performa lain yang diukur pula dalam penelitian ini adalah persentase bobot hati, lemak abdomen, dan tunggir. Data hasil pengukuran dan analisisnya diperlihatkan pada Tabel 25.

Tabel 25 Persentase bobot hati, lemak abdomen, dan tunggir itik cihateup yang mendapatkan berbagai perlakuan antioksidan (n = 8)1

Ransum2 Hati (%)3 Lemak abdomen

(%)3 Tunggir (%) 3 E0 2.25 ± 0.37 0.86 ± 0.26 4.02 ± 0.97 E1 2.00 ± 0.23 0.73 ± 0.39 4.77 ± 0.59 EA 2.06 ± 0.38 0.67 ± 0.12 3.92 ± 0.91 EC 2.05 ± 0.12 0.57 ± 0.16 3.60 ± 1.45 EAC 2.17 ± 0.19 0.65 ± 0.24 3.81 ± 0.86 1

Persentase relatif terhadap bobot hidup potong.

2

E0: tanpa suplementasi vitamin E; E1: vitamin E; EA: kombinasi vitamin E dan A;

EC: kombinasi vitamin E dan C; EAC: kombinasi vitamin E, A, dan C.

3

Analisis ragam menggunakan transformasi akar (X + 0.5)1/2, koefisien keragaman setelah transformasi untuk hati = 5.28%, lemak abdomen = 10.61%, tunggir = 12.02%.

Hasil analisis statistik untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap persentase bobot hati, lemak abdomen, dan tunggir diperoleh bahwa suplementasi antioksidan tidak mempengaruhi variabel-variabel tersebut.

Kandungan Lemak

Tabel 26 mencantumkan data kandungan lemak dari daging paha tanpa kulit, hati, dan kulit.

Tabel 26 Persentase lemak pada daging paha, hati dan kulit itik cihateup yang diberi perlakuan antioksidan

Ransum Perlakuan Variabel E0 E1 EA EC EAC Lemak daging (%)1 3.92 ± 0.26 a 3.74 ± 0.05a 2.27 ± 0.05b 1.23 ± 0.32c 1.24 ± 0.14c Lemak hati (%)1 0.65 ± 0.02 b 0.81 ± 0.09ab 1.02 ± 0.19a 0.11 ± 0.01c 0.14 ± 0.01c Lemak kulit (%)1 26.50 ± 0.28 c 32.34 ± 0.17b 38.80 ± 1.08a 21.09 ± 1.88d 20.61 ± 0.37d 1

Persentase kandungan lemak diperoleh dengan analisis metode soxhlet.

a-d Nilai dalam sebaris diikuti huruf yang sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf 5%. E0: tanpa suplementasi vitamin E, E1: vitamin E, EA: kombinasi vitamin E dan A,

EC: kombinasi vitamin E dan C, EAC: kombinasi vitamin E, A, dan C.

Pada semua kandungan lemak yang diukur diperoleh bahwa secara umum terdapat kecenderungan bahwa pemberian vitamin E yang dikombinasikan dengan vitamin C, baik itu pada perlakuan EC maupun EAC, menghasilkan kandungan lemak yang lebih rendah. Pengaruh suplementasi vitamin C dalam menurunkan kadar lemak dilaporkan pula oleh Erdoğan et al. (2005) dalam penelitian terhadap ayam broiler. Suplementasi asam askorbat pada dosis 100 mg/kg menurunkan kadar lemak trigliserida pada serum ayam broiler dari 35.8 mg/dl menjadi 31.8 mg/dl. Penelitian yang dilakukan oleh Gulati et al. (2005) pada manusia perokok juga memperlihatkan bahwa suplementasi vitamin C menurunkan lemak secara nyata. Namun pada laporan penelitian tersebut tidak dijelaskan secara detail mekanisme penurunan lemak, hanya diduga bahwa vitamin C berperan mencegah proses penimbunan lemak.

Perlakuan suplementasi antioksidan yang berbeda juga menyebabkan terjadi konsentrasi kandungan lemak yang berbeda-beda pada daging, hati, dan

kulit ternak coba. Perlakuan E1 (vitamin E tanpa kombinasi) dan EA (kombinasi vitamin E dan A) menyebabkan terjadi peningkatan lemak pada ternak. Sebaliknya, perlakuan EC (kombinasi vitamin E dan C) dan perlakuan EAC (kombinasi vitamin E, A dan C) menghasilkan lemak tubuh yang rendah.

Perlakuan E1 dan EA memicu peningkatan lemak tubuh karena terkait dengan sifat kedua vitamin itu yang larut dalam lemak, dan cenderung untuk ditimbun, terutama dalam hati, bila kedua vitamin tersebut terdapat secara berlebih dalam tubuh, terutama dalam hati (Gurr et al. 2002). Penimbunan kedua vitamin tersebut dalam hati akan menyebabkan hati semakin meningkatkan sintesis lemak, karena kedua vitamin itu bersifat larut lemak. Pengaruh pemberian perlakuan E1 dan EA yang diikuti dengan meningkatnya lemak dalam hati, juga diikuti dengan meningkatnya kandungan lemak dalam daging dan kulit. Mekanisme yang terjadi ini sangat relevan dengan fungsi hati sebagai pusat biosintesis lemak bagi ternak unggas (Stevens 1996).

Pada perlakuan EC dan EAC yang menurunkan kandungan lemak sangat ditentukan oleh kehadiran vitamin C. Selama ini vitamin C selain dikenal sebagai sumber antioksidan, juga telah dimanfaatkan untuk mengatasi masalah lemak berlebih pada manusia (Gulati et al. 2005). Sehingga vitamin C juga disebut sebagai senyawa pembakar lemak. Dalam proses biokimia, vitamin C tidak bekerja langsung terhadap penurunan lemak, tetapi dengan perannya sebagai katalis maupun prekursor menghasilkan senyawa-senyawa yang terkait langsung dengan pendegradasian lemak. Vitamin C berperan dalam proses hidroksilasi pembentukan asam amino lisina, senyawa penghasil karnitin. Terkait dengan proses pembentukan karnitin, vitamin C juga diperlukan dalam mengaktifkan beberapa enzim yang diperlukan dalam proses tersebut seperti trimetilisina-2- oxoglutarat dioksigenase. Senyawa karnitin yang terbentuk akan menjadi alat transpor membawa lemak yang berasal dari hati masuk ke dalam mitokondria untuk proses beta-oksidasi yang memproduksi energi bagi tubuh (Moser dan Bendich 1990; Chesworth et al. 1998).

Komposisi Asam-asam Lemak

Pengukuran terhadap komposisi asam-asam lemak dalam Tabel 27 memperlihatkan bahwa pemberian antioksidan berbasis α-tokoferol pada ransum yang menggunakan minyak kelapa sedikit meningkatkan rasio asam lemak tidak jenuh terhadap asam lemak jenuh. Peningkatan rasio asam lemak tidak jenuh ini

disebabkan oleh terjadi peningkatan pada asam lemak linoleat (C18 : 2). Hal ini menunjukkan pula efektivitas antioksidan dalam mempertahankan stabilitas asam-asam lemak. Pada perlakuan kontrol, rasio asam lemak tidak jenuh lebih rendah karena diduga telah terjadi proses oksidasi lemak yang lebih tinggi daripada yang terjadi pada perlakuan yang diberi antioksidan. Peningkatan asam-asam lemak tidak jenuh karena pengaruh pemberian α-tokoferol juga dijumpai pada beberapa penelitian sebelumnya. Sobajic et al. (2001) melaporkan bahwa suplementasi vitamin E meningkatkan kandungan asam-asam lemak tidak jenuh jamak pada lipid daging ternak babi. Demikian pula Russell et al. (2003) dalam penelitiannya pada ternak itik peking menemukan terjadi peningkatan asam-asam lemak tidak jenuh dengan pemberian perlakuan suplementasi vitamin E dalam ransum.

Tabel 27 Komposisi asam-asam lemak daging itik cihateup dari masing-masing perlakuan ransum

Komposisi asam-asam lemak (%) Jenis asam lemak

E0 E1 EA EC EAC Laurat (C12:0) 14.20 10.75 12.21 11.26 13.99 Miristat (C14:0) 6.59 6.87 7.16 7.49 7.31 Palmitat (C16:0) 24.37 25.83 23.94 23.39 21.94 Stearat (C18:0) 5.04 6.26 5.34 5.84 4.89 Arakidat (C20:0) 0.24 0.14 0.56 0.18 0.52 Total ALJ 50.45 49.85 49.21 48.17 48.64 Palmitoleat (C16:1) 2.12 2.84 2.02 2.15 2.23 Oleat (C18:1) 28.30 26.18 29.29 29.12 28.42 Linoleat (C18:2) 15.99 17.98 17.42 17.74 17.56 Linolenat (C18:3) 0.79 0.74 0.67 0.55 0.71 Arakidonat (C20:4) 2.35 2.42 1.39 2.26 2.44 Total ALTJ 49.55 50.15 50.79 51.83 51.36 Rasio ALTJ/ALJ1 0.98 1.01 1.03 1.08 1.06 Rasio P : S2 0.37 0.43 0.42 0.43 0.42 1

ALTJ: Asam lemak tidak jenuh, ALJ: Asam lemak jenuh.

2

Perbandingan asam lemak polyunsaturated (P) terhadap saturated (S), yaitu jumlah Linoleat (C18:2 n-6) dan linolenat (C18:3 n-3) terhadap laurat (C12:0), miristat (C14:0) dan palmitat (C16:0), P: Polyunsaturated, S: Saturated.

E0: tanpa suplementasi vitamin E; E1: vitamin E; EA: kombinasi vitamin E dan A, EC: kombinasi vitamin E dan C; EAC: kombinasi vitamin E, A, dan C.

Bilamana dilihat pada rasio P:S dalam penelitian ini, pemberian vitamin E dan kombinasinya, tidak saja hanya sebagai upaya untuk menghilangkan bau amis pada daging itik, tetapi dapat berperan pula dalam memperbaiki kualitas lemak daging. Nilai rasio P:S yang direkomendasikan adalah 0.45 (Wood dan Enser 1997). Sekalipun pada penelitian ini rasio yang dicapai belum mencapai tepat nilai 0.45, tetapi apabila dibandingkan dengan kontrol, rasio P:S pada perlakuan pemberian antioksidan mengalami kenaikan, yaitu dari 0.37 pada perlakuan E0 (kontrol) menjadi 0.43 pada perlakuan E1 (vitamin E) dan EC (kombinasi vitamin E dengan C).

Persentase asam-asam lemak tidak jenuh paling tinggi pada penelitian ini terdapat pada daging ternak yang mendapat perlakuan EC. Ini menunjukkan bahwa kombinasi α-tokoferol asetat dan vitamin C memberikan kerja antioksidan yang paling optimal dibandingkan perlakuan lainnya. Grau et al. (2001) menemukan bahwa sifat vitamin C bekerja dengan baik pada ternak ayam yang diberi lemak jenuh. Juga dilaporkan bahwa terdapat efek sinergis dalam interaksi vitamin E dan C dalam mencegah oksidasi lipid daging, khususnya pada daging mentah.

Kombinasi vitamin A dan E tidak sebaik vitamin C dan E, sebab dalam beberapa penelitian sebelumnya memperlihatkan adanya interaksi antagonis pada level tertentu antara vitamin A dan E, meskipun hasil ini masih belum konsisten untuk semua penelitian. Dalam penelitian ini tidak diukur secara khusus kandungan α-tokoferol daging. Namun demikian, beberapa hasil penelitian menemukan bahwa suplementasi vitamin A dapat menurunkan kandungan α-tokoferol pada jaringan dan produk ternak yang diteliti. Grobas et al. (2002) menemukan bahwa pemberian 40 000 IU/kg vitamin A menurunkan kandungan vitamin E kuning telur. Demikian juga Aburto dan Britton (1998) melaporkan bahwa pemberian vitamin A dalam dosis yang tinggi (20 000 IU/kg) menghasilkan pengaruh negatif yang nyata terhadap kandungan vitamin E serum ayam broiler.

4.35 2.7 3.1 1.9 2.95 1 2 3 4 5 EO E1 EA EC EAC

Kualitas Sensori

Nilai rataan intensitas off-odor hasil uji ranking terhadap daging itik dari ternak-ternak yang diberi perlakuan berbagai kombinasi antioksidan diperlihatkan dalam diagram Gambar 22. Analisis hasil uji ranking yang dilakukan dengan metode Friedman memperlihatkan bahwa penggunaan antioksidan berpengaruh sangat nyata (P < 0.01) terhadap intensitas off-odor daging itik cihateup. Uji

Dokumen terkait