• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Bau amis pada daging itik dikategorikan sebagai bau yang menyimpang atau yang diberi istilah off-odor, karena diduga bahwa bau amis ini bukan sebagai bau yang terbentuk karena proses kontaminasi daging dengan bahan- bahan yang berasal dari luar. Proses bau amis (off-odor ) pada daging itik lebih disebabkan adanya degradasi lemak tubuh oleh peristiwa oksidasi. Menurut Gray dan Pearson (1994) oksidasi lipid merupakan reaksi utama perusakan bahan pangan yang menyebabkan penurunan kualitas yang signifikan. Hal yang serupa juga dilaporkan oleh Heath dan Reineccius (1986) bahwa pembentukan off-odor pada bahan pangan, terutama daging lebih banyak disebabkan oleh oksidasi lipid, dibandingkan dengan diakibatkan proses yang lain. Berlangsungnya oksidasi lipid pada daging menurut Apriyantono dan Lingganingrum (2002) secara garis besar dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: komposisi asam lemak daging, kandungan prooksidan dan antioksidan, serta temperatur. Kerusakan oksidatif pada lemak daging akan berakibat pada pembentukan senyawa-senyawa off-odor dan hilangnya aroma khas daging.

Sebagai ternak unggas (monogastrik), perubahan komposisi lemak pada tubuh itik sangat mudah dipengaruhi oleh kandungan dan sifat lemak yang terdapat di dalam pakannya (Baião dan Lara 2005). Sehingga perlakuan dengan menggunakan lemak yang ditambahkan ke dalam ransum akan sangat efektif untuk melihat pengaruhnya pada ternak itik.

Faktor lain yang mempengaruhi sifat off-odor pada daging ternak adalah spesies ternak. Bailey et al. (1992) melaporkan bahwa tiap-tiap spesies ternak dengan sifat genetik yang berbeda memiliki off-odor daging yang khas, sebagai karakteristik spesifik off-odor dari setiap spesies. Selanjutnya dilaporkan pula bahwa karakterisasi yang dilakukan dengan analisis sensori ditemukan adanya perbedaan odor yang signifikan yang dihasilkan dari pemanasan lemak sapi, babi, dan domba. Simpulan dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa lemak domba yang didominasi oleh asam-asam lemak jenuh menghasilkan sedikit senyawa-senyawa karbonil; sedangkan, lemak babi yang kaya asam-asam lemak tidak jenuh lebih banyak memproduksi senyawa-senyawa karbonil.

Penelitian pada bagian ini bertujuan untuk mendapatkan itik jenis mana dan pemberian lemak pakan mana yang memiliki kandungan off-odor daging yang tinggi. Hal ini dimaksudkan agar kedua temuan ini dapat dipergunakan pada penelitian tahap berikutnya yang terkait dengan percobaan pengurangan off-odor daging.

Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bagian IPT Unggas, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB, dan di Laboratorium Kimia Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Pelaksanaan penelitian selama delapan bulan, yakni dari Januari – September 2005.

Bahan Penelitian

Bahan utama pada penelitian ini adalah daging bagian paha itik tanpa kulit yang berasal dari ternak-ternak coba yang sudah dipelihara sebelumnya sebagaimana dijelaskan dalam Bab 3 disertasi ini, yaitu ternak galur alabio dan galur cihateup. Sampel daging dari ternak-ternak tersebut diperoleh pada akhir masa pemberian ransum percobaan, yaitu setelah 10 minggu. Ransum percobaan yang diberikan yaitu Ko (kontrol), LS (ransum yang menggunakan lemak sapi), MKd (ransum yang menggunakan minyak kedelai), dan ransum MKp (ransum yang menggunakan minyak kelapa).

Metode Penelitian

Pada akhir dari periode pemberian ransum itu, lima ekor ternak dari setiap perlakuan dipilih secara acak untuk dipotong. Setelah pembuluan dan pembersihan, daging bagian paha diambil untuk keperluan analisis kimia yaitu lemak dan asam-asam lemak, serta untuk pelaksanaan uji sensori. Sebelum pelaksanaan analisis, daging dibungkus rapi dengan plastik, dan disimpan dalam lemari es pembeku (freezer).

Pengukuran dan analisis lemak dan asam-asam lemak daging itik dilakukan di Labratorium Kimia Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Prosedur dan metode analisis lemak dan asam-asam lemak mengikuti prosedur

laboratorium sebagaimana disusun oleh AOAC (1984), IUPAC (1988), dan Apriyantono et al. (1989).

Pengujian Sensori

Proses uji sensori dilaksanakan dalam beberapa tahapan yang terdiri atas rekruitmen dan seleksi panelis, serta dilanjutkan dengan pelatihan bagi panelis yang lolos dari tahapan seleksi. Setelah melalui tahapan pelatihan, panelis memberi penilaian sensori terhadap bahan sampel penelitian.

Seleksi dan Pelatihan Panelis. Pelaksanaan uji organoleptik ditujukan untuk menetapkan perlakuan mana dari pemberian jenis lemak dalam pakan ternak itik yang menghasilkan intensitas off-odor (amis) tertinggi pada daging itik. Pengujian ini memerlukan panelis dengan kemampuan penginderaan yang terlatih baik untuk mengenal dan mengindentifikasi bau amis pada daging itik. Untuk mendapatkan panelis yang diinginkan, pelaksanaan pengujian diawali dengan seleksi terhadap calon panelis.

Seleksi panelis diawali dengan merekrut sejumlah peserta untuk menjalani sistem seleksi yang telah ditetapkan. Metode seleksi dilakukan dengan menggunakan prosedur pengujian segitiga. Pengujian dilaksanakan untuk menilai kemampuan peserta dalam membedakan jenis bau atau aroma. Bahan uji yang dipakai adalah kaldu ayam dan kaldu itik. Setiap peserta menerima enam set bahan uji. Setiap set bahan uji terdiri atas tiga sampel. Dua dari ketiga sampel tersebut berasal dari bahan uji yang sama. Panelis diminta untuk mengidentifikasi satu yang berbeda dari setiap set yang disajikan. Panelis yang diterima untuk mengikuti pengujian tahap lanjutan adalah mereka yang dari enam kali pengujian dapat membedakan dengan benar sedikit-dikitnya sebanyak empat kali, atau di atas 65 persen.

Hasil seleksi awal terhadap 50 orang calon panelis diperoleh bahwa 26 peserta memiliki nilai di atas 65%, dan selebihnya memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai minimal tersebut (Lampiran 21). Peserta yang lolos dalam seleksi tahap pertama ini, selanjutnya diminta kesediaannya untuk mengikuti proses seleksi tahap dua.

Pelaksanaan seleksi tahap dua dilakukan melalui pengujian kemampuan panelis dalam membedakan aroma atau bau berdasarkan intensitasnya. Bahan uji yang digunakan adalah kaldu daging iitik. Dua jenis kaldu disiapkan berdasarkan beda konsentrasi air perebusan, yaitu konsentrasi 1 : 10 dan 1 : 30.

Metode pengujian sensori pada tahap ini masih menggunakan uji pembedaan segitiga, dengan prosedur uji sama seperti yang dilakukan pada seleksi pertama.

Hasil seleksi dan pengujian tahap dua diperoleh 18 peserta yang memiliki nilai di atas 65 persen. Peserta yang lolos pada tahap ini ditetapkan sebagai panelis yang akan terlibat dalam pengujian bahan penelitian sebenarnya, yang sebelumnya diawali dengan pelatihan pengenalan jenis bau atau flavor daging. Pelatihan diarahkan selain untuk meningkatkan kemampuan panelis dalam pengenalan jenis aroma atau bau daging, juga untuk meningkatkan kemampuan panelis mengidentifikasi dan mendeskripsi karakteristik sensori pada bahan atau daging yang akan diuji. Pada pelatihan ini digunakan tiga jenis daging, yaitu daging ayam, daging itik, dan daging kambing. Setiap jenis daging diberi dua perlakuan, yakni direbus dan tanpa direbus (mentah). Lama perebusan 30 menit. Daging dipotong berbentuk kubus dengan ukuran 1 – 1,5 cm3. Potongan daging dimasukkan ke dalam wadah kantong plastik berklip, ukuran 3 x 5 cm. Setiap kantong berisi satu potong daging.

Panelis yang mengikuti pelatihan ini diminta untuk memberikan penilaian terhadap jenis bau yang dideteksi dari setiap bahan uji. Masing-masing panelis menerima enam bahan uji. Pendeskrispian jenis bau yang ditangkap diungkap dengan bahasa panelis sendiri.

Pengenalan dan pendeskripsian terhadap off-odor daging itik dilakukan dengan mendiskripsikan bau tunggirnya yang direbus. Bahan uji ini digunakan dengan berasumsi bahwa tunggir merupakan bagian yang paling amis dari ternak itik. Pada pengujian ini, selain tunggir, bahan uji lain yang dipakai sebagai pembanding adalah daging berkulit itik cihateup, daging tanpa kulit itik cihateup, dan daging tanpa kulit itik alabio.

Pengujian deskriptif terhadap bahan uji daging/organ ternak itik dilaksanakan sekaligus dengan pelatihan penggunaan uji intensitas. Panelis diminta untuk memberi penilaian terhadap keempat bahan uji berdasarkan identifikasi intensitas off-odor dengan menggunakan skalar garis. Penilaian off- odor dari masing-masing bahan uji pada skalar garis, yang mana tingkat intensitas off-odor bergerak dari kiri ke kanan. Semakin ke kanan menunjukkan bahwa intensitas off-odor semakin tinggi.

Hasil pengujian deskriptif terhadap jenis bau yang terkategori sebagai off- odor daging itik, diperoleh bahwa jenis-jenis bau tersebut antara lain: tengik (rancid), amis (fishy), langu (beany), berlemak (fatty), bau jamur (moldy), dan bau

tanah (earthy). Intensitas off-odor yang dinilai dengan penggunaan garis skalar dan diuji dengan analisis keragaman, diperoleh bahwa organ tunggir memiliki tingkat intensitas off-odor yang nyata paling tinggi (P < 0.01) dibandingkan terhadap tiga bahan uji lainnya (Lampiran 26).

Pengujian sampel dan analisis data. Pelaksanaan uji sensori materi penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan kelompok tak lengkap berimbang (Balanced Incomplete Block, BIB design) dengan pola uji pembedaan sampel jamak. Penyusunan kombinasi bahan uji pada setiap set berdasar pada pola rancangan menurut Cochran dan Cox (1992). Pengujian dilaksanakan oleh 14 panelis terlatih. Setiap panelis menguji empat perlakuan dari delapan perlakuan penelitian. Ulangan pengujian dilakukan dua kali oleh setiap panelis. Dalam pengujian ini panelis menilai intensitas bau off-odor (amis) dari daging itik penelitian. Intensitas off-odor yang ditangkap dari masing-masing bahan uji kemudian diperingkat atau diurut dari yang kurang amis (ranking 1) sampai yang sangat amis (ranking 4). Data hasil penilaian diuji keragamannya dengan menggunakan metode analisis Friedman, dan yang dilanjutkan dengan uji LSD Fisher (Meilgaard et al. 1999).

Pengujian deskripsi atribut off-odor daging itik dilaksanakan oleh 14 panelis terlatih yang sama. Pengujian dilakukan dengan menggunakan rancangan BIB. Setiap panelis mendapatkan empat jenis bahan uji. Masing- masing bahan uji dinilai intensitas atribut off-odor-nya dengan menggunakan skala intensitas. Garis skala intensitas yang dipergunakan yaitu skala milimeter dari 0 – 150 mm. Atribut off-odor yang dinilai yaitu tengik (rancid), amis (fishy), bau lemak (fatty), bau basi, berjamur (moldy), langu (beany), bau tanah (earthy). Penetapan atribut-atribut ini didasarkan atas hasil pendeskripsian yang dilakukan oleh panelis dalam periode pelatihan. Penentuan kelompok atribut dilakukan dengan menggunakan standar-standar pembanding yang diperoleh dari aroma standar industri maupun yang dipersiapkan sendiri. Hasil penilaian deskripsi ini dianalisis dengan menggunakan metode Quantitative Descriptive Analysis (QDA) yang diperlihatkan dalam bentuk jaring laba-laba (Spider web). Hubungan antara perlakuan ransum dan kualitas atribut off-odor dianalisis dengan menggunakan metode Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis, PCA) dengan program Biplot yang dijalankan melalui perangkat lunak Microsoft Office Excel 2003.

Hasil dan Pembahasan

Kadar Lemak

Hasil pengukuran kandungan lemak dan komposisi asam-asam lemak dari daging, kulit, hati dan tunggir sebagai akibat perlakuan disajikan dalam Tabel 14 dan 15.

Tabel 14 Kandungan lemak pada daging dan kulit paha itik alabio dan cihateup umur 10 minggu

Galur ternak Variabel1 Ransum2

Alabio Cihateup Rataan Ko 11.92 ± 1.34 9.47 ± 2.52 10.69 ± 2.18b LS 25.60 ± 1.15 15.60 ± 0.53 20.59 ± 5.82a MKd 20.69 ± 1.67 13.44 ± 1.75 17.07 ± 4.41ab Lemak daging (gram) MKp 21.53 ± 1.08 17.83 ± 2.17 19.67 ± 2.55a Rataan 19.93 ± 5.42 14.08 ± 3.59* Ko 22.49 ± 2.93 22.30 ± 1.73 22.39 ± 1.97c LS 30.51 ± 0.33 29.61 ± 1.63 30.06 ± 1.09a MKd 25.54 ± 0.95 26.29 ± 0.57 25.91 ± 0.78b Lemak kulit (gram) MKp 29.22 ± 3.32 29.10 ± 0.82 29.16 ± 1.98a Rataan 26.94 ± 3.78 26.82 ± 3.25 1

Satuan pengukuran dalam gram per 100 gram bahan kering sampel.

2

Ko: ransum kontrol, LS: ransum lemak sapi, MKd: ransum minyak kedelai, MKp: ransum minyak kelapa.

a-c

Superskrip huruf dalam satu kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada P < 0.05.

* Berbeda nyata pada taraf 5%.

Pengaruh jenis lemak pada daging tidak selalu nyata, seperti antara Ko dan MKd tidak berbeda. Tetapi pada kulit pengaruh jenis lemak dalam pakan sangat nyata bila dibandingkan dengan Ko. Lemak sapi dan minyak kelapa yang mengandung lebih banyak asam lemak jenuh menyebabkan kandungan lemak pada kulit tinggi. Pengaruh perlakuan jenis lemak lebih nyata terlihat efeknya pada kulit karena pada unggas sebagian besar dari lemaknya dideposisikan di bawah kulit.

Kandungan lemak daging paha pada itik alabio lebih tinggi daripada itik cihateup dapat disebabkan oleh laju pertumbuhan dan bobot badan itik alabio lebih besar dibandingkan dengan itik cihateup. Hubungan antara besar bobot badan dengan kandungan lemak pada ternak diperlihatkan pula dalam penelitian Shahin dan Abd El Azeem (2006) yang melaporkan bahwa lemak nonkarkas (lemak abdomen) pada ayam broiler berkorelasi positif (0.48) dengan bobot hidupnya. Hal yang serupa dilaporkan pula oleh Zerehdaran dan van Arendonk (2006) yang menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara bobot hidup ayam broiler pada umur tujuh minggu dengan persentse lemak intramuskular (0.87), lemak kulit (0.17), dan lemak abdomen (0.13).

Hasil analisis terhadap kandungan lemak pada hati (Tabel 15) didapatkan bahwa kandungan lemak tersebut tidak dipengaruhi galur ternak tetapi oleh penggunaan lemak atau minyak di dalam ransum. Penggunaan minyak kelapa menyebabkan terjadi peningkatan yang signifikan (P < 0.05) pada lemak hati.

Berbeda dengan hati, pada tunggir, kandungan lemaknya tidak saja dipengaruhi oleh penggunaan lemak dan minyak dalam ransum, tetapi juga dipengaruhi oleh galur ternak. Tabel 15 memperlihatkan bahwa itik alabio memiliki lemak tunggir yang lebih tinggi (P < 0.05) daripada itik cihateup. Kecuali minyak kedelai, penggunaan lemak sapi dan minyak kelapa meningkatkan lemak tunggir yang nyata (P < 0.05) dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Tingginya kandungan lemak pada tunggir dibandingkan dengan kandungan lemak pada daging, kulit ataupun hati, sangat erat hubungannya dengan terdapatnya kelenjar minyak pada tunggir, yang berfungsi penting dalam proses sintesis lemak, terutama lemak-lemak jenis lilin yang diperlukan untuk melindungi bulu itik agar tidak basah ketika berada di dalam air (Stevens 1996).

Meningkatnya kandungan lemak dalam daging paha, kulit, hati, dan tunggir yang disebabkan oleh penggunaan lemak sapi dan minyak kelapa, sangat terkait dengan sifatnya sebagai lemak jenuh yang dalam proses metabolismenya dalam tubuh cenderung menghasilkan deposisi lemak yang tinggi apabila dibandingkan dengan lemak tidak jenuh seperti minyak kedelai (Thacker et al. 1994; Crespo dan Esteve-Garcia 2002).

Tabel 15 Kandungan lemak pada hati dan tunggir itik alabio dan cihateup umur 10 minggu

Galur ternak Variabel1 Ransum2

Alabio Cihateup Rataan Ko 20.25 ± 2.55 23.56 ± 1.00 21.91 ± 2.48b LS 25.29 ± 0.28 23.65 ± 0.13 24.47 ± 0.96ab MKd 22.52 ± 0.40 21.67 ± 0.62 22.09 ± 0.65b Lemak hati (gram) MKp 31.41 ± 2.16 24.35 ± 5.08 27.88 ± 5.17a Rataan 24.87 ± 4.64 23.31 ± 2.24 Ko 27.21 ± 3.85 24.42 ± 3.08 25.81 ± 3.27b LS 36.85 ± 2.23 31.75± 2.69 34.29 ± 3.57a MKd 32.29 ± 3.57 24.30 ± 3.62 28.29 ± 5.47ab Lemak tunggir (gram) MKp 35.98 ± 2.05 28.93 ± 2.29 32.46 ± 4.44a Rataan 33.08 ± 4.66 27.35 ± 4.05** 1

Satuan pengukuran dalam gram per 100 gram bahan kering sampel.

2

Ko: ransum kontrol, LS: ransum lemak sapi, MKd: ransum minyak kedelai, MKp: ransum minyak kelapa.

a-b

Superskrip huruf dalam satu kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada P < 0.05.

** Berbeda sangat nyata pada taraf 1%.

Komposisi Asam-asam Lemak

Tabel 16 dan Gambar 14 memperlihatkan bahwa penggunaan berbagai jenis sumber lemak dan sifatnya yang berbeda menyebabkan terjadinya perubahan dalam komposisi asam-asam lemak tubuh ternak. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Thacker et al. (1994) yang menyatakan bahwa jenis lemak yang ditambahkan ke dalam ransum mempunyai pengaruh yang nyata terhadap profil asam-asam lemak pada jaringan/organ ternak.

Secara alami, tanpa pemberian lemak tambahan yang diwakili oleh perlakuan kontrol (Ko), terlihat bahwa daging itik, baik dari galur alabio maupun cihateup, mengandung total asam-asam lemak tidak jenuh (ALTJ, tunggal dan jamak) hampir sekitar dua kali lebih tinggi daripada total asam-asam lemak jenuh (ALJ). Rasio kandungan ALTJ terhadap ALJ seperti ini juga terdapat pada itik peking yang dilaporkan oleh Russell et al. (2003) bahwa perbandingan ALTJ terhadap ALJ pada daging bagian paha adalah 67.2 : 32.8 atau sekitar 2.05. Pada ransum kontrol juga terlihat bahwa, meskipun kedua galur sama-sama memiliki komponen ALTJ yang lebih tinggi daripada ALJ, tetapi berdasarkan nilai rasio, ALTJ pada itik alabio jauh lebih besar daripada ALJ-nya.

Tabel 16 Komposisi asam-asam lemak bagian paha (tanpa kulit) itik alabio dan cihateup umur 10 minggu yang diberi berbagai jenis lemak pakan

Komposisi (%) Alabio Cihateup Jenis asam lemak KO LS MKd MKp KO LS MKd MKp Laurat (C12:0) 0.29 0.24 2.25 15.95 - - 0.18 10.74 Miristat (C14:0) 0.68 2.63 1.11 7.90 - 1.97 1.15 8.59 Palmitat (C16:0) 21.22 21.87 26.61 22.22 24.83 20.70 27.50 27.65 Stearat (C18:0) 7.81 21.14 3.87 4.71 11.64 20.88 3.99 7.43 Arakidat (C20:0) 0.52 0.61 0.42 0.13 0.53 0.37 0.43 0.60 Total ALJ 30.52 46.49 34.26 50.91 36.99 43.92 33.25 55.02 Palmitoleat (C16:1) 3.37 1.88 2.35 2.45 - 1.62 2.43 2.88 Oleat (C18:1) 47.79 36.26 23.14 28.80 43.21 36.12 22.72 26.75 Linoleat (C18:2) 14.48 11.90 28.69 14.37 16.43 11.44 29.65 12.08 Linolenat (C18:3) 0.57 - 9.81 0.95 0.52 0.68 10.14 0.78 Arakidonat (C20:4) 3.28 3.47 1.76 2.52 2.84 6.23 1.82 2.49 Total ALTJ 69.48 53.51 65.74 49.09 63.01 56.08 66.75 44.98 ALTJ / ALJ 2.28 1.15 1.92 0.96 1.70 1.27 2.00 0.82

ALJ: asam lemak jenuh, ALTJ: asam lemak tidak jenuh, Ko: ransum kontrol, LS: ransum lemak sapi, MKd: ransum minyak kedelai, MKp: minyak kelapa.

- : tidak terdeteksi

Komponen asam lemak yang tampak berbeda pada kedua galur sebelum mendapat perlakuan yaitu asam lemak stearat. Itik cihateup memiliki asam lemak stearat yang lebih tinggi (11.64%) daripada yang terdapat itik alabio (7.81%). Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa perbedaan galur ternak akan memberi pengaruh pula pada komposisi asam-asam lemaknya (Rhee 1992).

Pemakaian minyak kedelai sebagai sumber ALTJ tidak begitu mengubah rasio dari total ALTJ terhadap total ALJ; akan tetapi secara individu, pemberian minyak kedelai meningkatkan asam-asam lemak tertentu, seperti linoleat dan linolenat. Hasil ini sesuai dengan penelitian Fisher (1984) terhadap ayam broiler yang melaporkan bahwa komposisi asam-asam lemak tidak begitu berubah dengan pemberian minyak kedelai, kecuali terjadi peningkatan pada asam lemak linoleat (C18:2). Dalam penelitian ini, kandungan linoleat (C18:2) meningkat 98% pada itik alabio dan 80% pada itik cihateup. Peningkatan yang mencolok terjadi pada komponen asam lemak linolenat yang hampir mencapai 20 kali lipat.

0 20 40 60 80 100 120 P e rc e n ta s e (% ) KO LS MKD MKP KO LS MKD MKP Alabio Cihateup

ALJ ALTJT ALTJG

Gambar 14 Persentase komposisi asam lemak pada daging paha itik percobaan (Ko: ransum kontrol, LS: ransum lemak sapi, MKd: ransum minyak

kedelai, MKp: ransum minyak kelapa, ALJ: asam lemak jenuh, ALTJT : asam lemak tidak jenuh tunggal, ALTJG: asam lemak tidak jenuh ganda).

Pada Gambar 14 terlihat bahwa meskipun rasio total asam lemak jenuh dan tidak jenuh pada daging paha itik antara ternak yang diberi perlakuan kontrol dan minyak kedelai relatif tidak begitu berubah, tetapi dalam komposisi kelompok asam lemak tidak jenuh antara golongan tidak jenuh tunggal dan ganda terjadi perubahan. Pemberian minyak kedelai menyebabkan asam lemak tidak jenuh pada daging paha lebih banyak terdiri atas asam lemak tidak jenuh ganda.

Pemberian lemak sapi sekalipun meningkatkan total ALJ tetapi total ALTJ masih lebih tinggi daripada ALJ. Hal ini berbeda dengan perlakuan suplementasi minyak kelapa yang mengubah komposisi total ALJ menjadi lebih tinggi daripada total ALTJ. Peningkatan asam-asam lemak jenuh pada ternak yang diberi lemak sapi, juga diperlihatkan dalam penelitian Thacker et al. (1994) yang melaporkan bahwa ayam broiler yang diberi suplementasi lemak sapi memiliki konsentrasi asam-asam lemak jenuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan ternak-ternak yang diberi minyak kedelai.

Komposisi asam-asam lemak pada hati itik sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 17 lebih banyak terdiri atas asam-asam lemak jenuh (ALJ) daripada asam-asam lemak tidak jenuh (ALTJ). Hal ini berbeda dengan yang ada pada daging (Tabel 16), yang memilki lebih banyak ALTJ daripada ALJ.

Pada ternak yang diberi ransum tanpa penggunaan lemak (ransum kontrol), baik itik alabio maupun itik cihateup, kandungan ALJ hati lebih tinggi daripada ALTJ. Namun demikian, dengan pemberian suplementasi lemak ke dalam ransum ternak menyebabkan terjadi perubahan dalam komposisi asam- asam lemak tersebut. Pemakaian lemak sapi (LS) dan minyak kelapa (MKp) dalam ransum sebagai sumber ALJ menyebabkan terjadi peningkatan pada kandungan ALJ, baik pada itik alabio maupun cihateup. Hanya saja, peningkatan ALJ pada itik cihateup jauh lebih besar daripada itik alabio. Peningkatan ALJ pada hati itik sangat begitu nyata dengan pemberian minyak kelapa, terutama pada itik cihateup. Hal ini ditandai pula dengan menurunnya nilai rasio ALTJ terhadap ALJ pada perlakuan yang bersangkutan.

Tabel 17 Komposisi asam-asam lemak hati itik alabio dan cihateup umur 10 minggu yang diberi berbagai jenis lemak pakan

Komposisi (%) Alabio Cihateup Jenis asam lemak Ko LS MKd MKp Ko LS MKd MKp Laurat (C12:0) 0.19 0.18 0.06 2.40 0.16 0.03 0.06 2.01 Miristat (C14:0) 0.29 0.84 0.33 5.27 0.44 0.55 0.26 4.57 Palmitat (C16:0) 24.80 24.90 22.42 29.45 26.73 28.29 22.21 29.69 Stearat (C18:0) 31.90 34.37 33.73 30.26 27.12 36.28 34.30 34.38 Arakidat (C20:0) 1.08 0.34 1.27 0.22 0.54 0.36 0.57 0.70 Total ALJ 58.27 60.62 57.81 67.60 54.99 65.51 57.40 71.35 Palmitoleat (C16:1) 0.43 1.25 0.23 1.42 1.94 1.25 0.28 0.69 Oleat (C18:1) 14.26 24.13 12.13 17.75 23.15 19.69 10.66 11.52 Linoleat (C18:2) 25.36 12.05 26.80 12.56 18.02 10.82 27.56 14.04 Linolenat (C18:3) 1.03 0.18 1.10 0.32 1.55 0.37 1.75 1.15 Arakidonat (C20:4) 0.65 1.77 1.93 0.36 0.35 1.95 2.36 1.26 Total ALTJ 41.73 39.38 42.19 32.40 45.01 34.49 42.60 28.65

Rasio ALTJ/ ALJ 0.72 0.63 0.73 0.48 0.82 0.53 0.74 0.40

ALJ: asam lemak jenuh, ALTJ: asam lemak tidak jenuh, Ko: ransum kontrol, LS: ransum lemak sapi, MKd: ransum minyak kedelai, MKp: minyak kelapa.

0% 20% 40% 60% 80% 100% 120% KO LS MKD MKP KO LS MKD MKP Alabio Cihateup

ALJ ALTJT ALTJG

Peningkatan ALJ terjadi karena ada peningkatan pada komposisi komponennya. Pada itik alabio, pemberian minyak kelapa menyebabkan terjadi peningkatan pada asam lemak laurat (C12:0), miristat (C14:0), dan palmitat (C16:0). Sedangkan pada itik cihateup terjadi peningkatan pada asam lemak laurat (C12:0), miristat (C14:0), dan stearat (C18:0).

Perubahan komposisi asam-asam lemak hati pada kelompok tidak jenuh sebagai respon pemberian lemak sapi dan minyak kelapa, tampak jelas pada asam lemak oleat (C18:1) dan linoleat (C18:2). Pada itik cihateup, perubahan terjadi berupa penurunan pada kedua jenis asam lemak tersebut. Pada itik alabio yang mengalami penurunan hanya asam lemak linoleat (C18:2), sebaliknya asam lemak oleat (C18:1) meningkat.

Gambar 15 Persentase komposisi asam lemak pada hati itik percobaan

(Ko: ransum kontrol, LS: ransum lemak sapi, MKd: ransum minyak kedelai, MKp: ransum minyak kelapa, ALJ: asam lemak jenuh, ALTJT: asam lemak tidak jenuh tunggal, ALTJG: asam lemak tidak jenuh ganda).

Pada ternak yang diberi ransum bersuplementasi minyak kedelai (MKd), rasio ALTJ terhadap ALJ relatif stabil dibandingkan dengan perlakuan kontrol (Ko). Perubahan terjadi pada komposisi komponennya. Pada itik alabio, pemberian minyak kedelai (MKd) tidak menyebabkan banyak perubahan pada komposisi asam-asam lemak dalam golongan jenuh. Akan tetapi pada itik

cihateup, perubahan terlihat pada asam lemak palmitat (C14:0) dan stearat (C18:0). Perubahan yang terjadipun berbeda. Kalau pada palmitat (C14:0) mengalami penurunan, pada stearat (C18:0) sebaliknya mengalami peningkatan.

Respon hati yang lebih sensitif dibandingkan dengan daging dalam komposisi asam-asam lemaknya terhadap perlakuan penggunaan lemak pakan disebabkan oleh hati merupakan organ pertama yang menerima lemak setelah diserap dari usus. Setelah dari hati, barulah lemak dibawa masuk ke dalam aliran darah untuk ditranspor ke bagian-bagian tubuh yang lain.

Dokumen terkait