• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran umum lokasi pertambangan emas di Kecamatan Huta Bargot

Kabupaten Mandailing Natal secara geografis terletak antara 00.10’ – 10º50’ Lintang Utara dan 98º50’ – 100º10’ Bujur Timur. Kabupaten Mandailing Natal hampir 50% luas wilayahnya merupakan hutan. Hutan di Kabupaten Mandailing Natal diharapkan mampu menghasilkan komoditas kayu yang merupakan sumber pendapatan daerah dari sektor kehutanan. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Mandailing Natal, luas kawasan hutan dirinci menjadi hutan produksi sebesar 174 776.73 Ha, hutan lindung sebesar 120 675.05 Ha, dan hutan konservasi 108 000 Ha.

Pemukiman masyarakat berada di dalam dan sekitar kawasan hutan lindung, sehingga aktivitas masyarakat erat dengan sumberdaya hutan. Status kawasan yang masih kawasan hutan lindung, belum ada koreksi dari pihak pemerintah daerah dan Dinas Kehutanan. Dinas Kehutanan mulai mengusulkan sejak tahun 2007 untuk mengoreksi dan meninjau keadaan kawasan, karena terus terjadi pengurangan luas kawasan hutan lindung, namun masih menunggu izin dari pusat.

Gambar 8 Peta status kawasan di Kabupaten Mandailing Natal (SK Menhut 44 2005).

Masyarakat mengambil sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menduduki areal sekitar hutan sebagai lahan pemukiman. Pada Tahun 2004, hutan tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan SK Menhut 44 tentang penunjukan kawasan hutan Sumatera Utara. Setelah SK Menhut keluar, akses masyarakat ke dalam kawasan hutan menjadi terbatas.

28

Kabupaten Mandaling Natal memiliki 403 jumlah perusahaan di bidang pertambangan dan penggalian, dengan total 1 602 orang pekerja tetap. Perusahaan pertambangan di Kecamatan Huta Bargot tidak dapat berproduksi, karena bidang tersebut dikuasai oleh penambang rakyat baik dari masyarakat setempat maupun dari luar daerah. Tambang Emas di Huta Bargot merupakan pertambangan emas tanpa izin, sehingga jumlah pekerja tidak dapat ditentukan. Menurut Dinas Kehutanan lokasi tambang masyarakat merupakan kawasan hutan lindung, namun masyarakat menyatakan lahan tersebut adalah lahan mereka yang sudah ada secara turun-temurun. Berdasarkan SK Menhut 44 tahun 2005 tentang penunjukan kawasan hutan Sumatera Utara, wilayah pertambangan emas masyarakat yang tanpa izin tersebut masuk ke dalam kawasan tambang yang telah di kontrak oleh PT. Sorikmas Mining.

Izin pertambangan PT. Sorikmas Mining berupa kontrak karya dengan persetujuan presiden RI , yaitu KK No.13.53/Pres/I/1998 pada tanggal 14 Januari 1998 dengan luas 201.600 Ha. Izin pertambangan PT. Sorikmas Mining yang berada di kawasan hutan lindung tetap berlaku, karena berdasarkan UU No.19 tahun 2004 pasal 83A izin pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum UU No.41 tahun 1999 tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut. Pada tahun 2000 luasan kawasan pertambangan dari kontrak karya dikurangi menjadi 66 200 Ha, berdasarkan Keputusan Dirjen Pertambangan Umum No.775K/20.011/DJP/2000 pada tanggal 14 Desember 2000. Meskipun luas kawasan pertambangan kontrak PT. Sorikmas Mining telah dikurangi, pertambangan masyarakat tetap saja masuk ke dalam wilayah kontrak PT.Sorikmas Mining. PT. Sorikmas Mining tidak dapat bertindak tegas pada masyarakat Huta Bargot, karena masyarakat bersikeras bahwa lahan tersebut adalah lahan masyarakat yang sudah turun-temurun. Masyarakat menolak pengelolaan pertambangan emas oleh PT. Sorikmas Mining dan ingin tetap mengelola sendiri pertambangan di daerah tersebut.

Proses kegiatan pertambangan emas di Kecamatan Huta Bargot

Tahapan kegiatan pertambangan emas masyarakat di Kecamatan Huta Bargot adalah sebagai berikut:

1. Pemilik tambang (toke) akan mempersiapkan lahan tambang, tanah tersebut dapat berupa tanah milik, dibeli atau disewa. Sebelum adanya pertambangan, harga tanah masih murah Rp. 1 000 000,-/ha, namun sejak adanya pertambangan harga tanah dapat mencapai Rp. 4 000 000 – Rp. 10 000 000/titik tambang yang berukuran kurang lebih 10 mx 10 m. Harga lahan untuk lobang pengeboran tambang tersebut tergantung lokasi dan perkiraan kandungan emasnya. Jika lahan tersebut disewa, setiap pengambilan bebatuan dari hasil pengeboran, pemilik tambang dan pemilik lahan membagi hasil dengan perbandingan 10:2, yaitu 10 karung untuk pemilik tambang dan 2 karung untuk pemilik lahan.

2. Aktivitas pertambangan sudah dapat dilakukan setelah transaksi lahan dan pemilik tambang akan membiayai segala persiapan pertambangan dan perekrutan penambang, seperti peralatan menambang, camp dan obat-obatan. Masyarakat menggali lubang dari dalam tanah dan diberi penyangga kayu didalamnya, dimana kayu tersebut berasal dari hutan. Pengambilan kayu dari hutan untuk penyangga di dalam lobang mengakibatkan kawasan hutan rusak,

29

karena penebangan secara liar terus meningkat. Tidak hanya untuk penyangga lobang, kayu dari hutan juga digunakan sebagai tiang penyangga camp.

Gambar 9 Aktivitas pertambangan di Huta Bargot.

3. Hasil tambang berupa batuan yang mengandung biji emas dimasukkan ke dalam karung dengan berat antara 50-55 kg/karung. Karung tersebut dipikul keluar hutan oleh pekerja tambang menuju pangkalan ojek. Selanjutnya

dibawa ke lokasi galundung menggunakan ojek dengan ongkos Rp. 100 000/karung. Galundung adalah alat yang digunakan untuk

memisahkan kandungan emas dari dalam batuan.

Gambar 10 Karungan hasil pertambangan emas.

4. Tahap pengolahan hasil tambang di lokasi galundung dimulai dengan penumbungan batuan hingga sebesar jagung. Penumbukan dapat dilakukan secara manual dengan menggunakan palu atau menggunakan mesin penumbuk Gambar 12 menunjukkan penumbukan batuan secara manual.

30

5. Batuan yang telah ditumbuk, di proses ke dalam galundung sekitar 2-5 jam. Ada tiga cara untuk memasukkan hasil tambang ke dalam galundung, yaitu; (1) batuan dimasukkan ke dalam galundung bersamaan dengan merkuri, (2) memasukkan merkuri dulu baru batuan, (3) memasukkan batuan dulu baru merkuri. Sebelum pertambangan marak harga merkuri Rp. 400 000 – Rp. 500 000/ kg, setelah pertambangan mulai marak dan terus meningkat harga mercuri Rp. 1 400 000 - Rp.1 600 000/kg.

Gambar 12 Galundung alat pengolahan hasil tambang emas

6. Hasil olahan dari galundung dimasukkan ke dalam kain, kemudian ditekan di dalam kain tersebut agar merkuri cair dan emas terpisah. Proses ini hanya menggunakan tangan telanjang, sehingga lambat laun tangan akan iritasi dan menyebabkan penyakit kulit, dengan gejala awal ada rasa panas pada tangan.

Gambar 13 Sisa merkuri cair yang telah dipisahkan dengan kain.

7. Ampas cair galundung ditampung di dalam kolam limbah , sedangkan ampas padat dimasukkan ke dalam karung. Ampas padat diolah kembali karena masih mengandung logam-logam lain yang dimanfaatkan oleh penambang. Lokasi galundung yang punya mesin pengolahan ampas padat akan langsung mengolah ampas padat yang sudah dikarungkan. Lokasi galundung yang tidak memiliki mesin akan menjual ampas padat dengan harga Rp. 50 000 - Rp 150 000/karung. Ampas padat diolah lagi menggunakan tong, dengan cara direbus dengan air dan dicampurkan dengan sianida.

31

Gambar 14 Ampas cair dan ampas padat dari pengolahan di galundung. 8. Emas yang sebelumnya sudah dipisahkan dari merkuri akan di gebos, yaitu

pemisahan akhir antara emas dengan merkuri yang masih tersisa. Biaya penggebosan berkisar antara Rp. 20 000 – Rp. 120 000/ mangkuk.

Gambar 15 Tahapan penggebosan hasil tambang.

9. Hasil pertambangan emas masyarakat Huta Bargot rata-rata memiliki kadar 50-65%. Umumnya emas yang telah jadi akan di jual ke Medan ataupun Padang.

Dampak dari kegiatan pertambangan emas

Pemukiman masyarakat berada di dalam dan sekitar kawasan hutan lindung, sehingga aktivitas masyarakat erat dengan sumberdaya hutan. Status kawasan yang masih kawasan hutan lindung, belum ada koreksi dari pihak pemerintah daerah dan Dinas Kehutanan. Dinas Kehutanan mulai mengusulkan sejak tahun 2007 untuk mengoreksi dan meninjau keadaan kawasan, karena terus terjadi pengurangan luas kawasan hutan lindung, namun masih menunggu izin dari pusat. Aktivitas pertambangan menghasilkan dampak lingkungan yang sangat signifikan yaitu hilangnya vegetasi alami. Apalagi kegiatan pertambangan yang dilakukan di dalam kawasan hutan lindung. Pertambangan akan mengakibatkan menurunnya fungsi hutan lindung seperti sebagai penjaga ketaraturan air dalam tanah (fungsi hidrolisis), menjaga tanah agar tidak terjadi erosi serta untuk mengatur iklim (fungsi klimatologis) sebagai penanggulang pencematan udara seperti CO² (karbon dioksida) dan CO (karbon monoksida). Hilangnya vegetasi akan berdampak pada perubahan iklim mikro, keanekaragaman hayati (biodiversity) dan habitat satwa menjadi berkurang. Tanpa vegetasi lahan menjadi terbuka dan akan memperbesar resiko banjir dan erosi pada saat musim hujan.

32

Keberadaan lokasi galundung semakin meningkat karena aktivitas pertambangan yang terus meningkat pula. Mesin galundung di Kecamatan Huta Bargot tidak hanya berada di sudut desa sekitar areal pertambangan, namun juga dipinggir sungai, bahkan ditengah pemukiman warga. Warga sekitar lokasi galundung telah menyatakan keberatan akan keberadaan galundung tersebut, sehingga beberapa menyatakan keberatan secara lisan maupun tulisan kepada pihak pemerintah daerah. Pemerintah daerah melakukan pengujian kualitas air di lokasi-lokasi yang telah diajukan oleh warga masyarakat. Keresahan masyarakat tersebut akhirnya terbukti dengan air yang positif mengandung merkuri (Lampiran 7). Dalam pengolahan ampas padat, digunakan sianida sebagai salah satu bahan pemisah kandungan logam. Sianida adalah bahan kimia beracun, jika dilepas tanpa proses penguraian atau detoksifikasi akan sangat berbahaya.

Dampak ekonomi pertambangan emas

Pertambangan emas masyarakat berada di dalam kawasan hutan lindung, yang akan mencemari dan merusak hutan. Sumberdaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat akan mengalami penurunan produksi dan kerusakan yang mengeluarkan biaya. Pengukuran dan penilaian sumberdaya tidak memiliki konsumen tetap. Valuasi ekonomi adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengukur nilai ekonomi total dari hutan. Sejak adanya pertambangan di kawasan hutan, nilai manfaat dari hutan mengalami penurunan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penurunan ini diakibatkan olah aktivitas pertambangan yang merusak hutan. Valuasi ekonomi pada suatu ekosistem hutan merupakan suatu pendekatan yang sangat dianjurkan untuk menilai secara ekonomi pemanfaatan ekosistem hutan.

Analisis biaya diperoleh dari biaya pertambangan akibat penurunan fungsi hutan (kayu bakar, satwa, tanaman obat, dan pengendali banjir erosi) adalah sebesar Rp.1 966 086 740/tahun. Biaya penurunan sumberdaya air (ketersediaan air dan produksi ikan) sebesar Rp. 275 676 000/tahun. Biaya penurunan produksi perladangan sebesar Rp. 530 596 800/tahun. Biaya penurunan kesehatan masyarakat sebesar Rp 19 936 000/tahun. Nilai manfaat diperoleh dari peningkatan pendapatan sebesar Rp. 128 679 996/tahun. Analisis biaya-manfaat yang telah dilakukan dari data diatas diperoleh hasil NPV sebesar Rp. -21 606 438 873. Dari nilai NPV menunjukkan bahwa konversi dari lahan hutan menjadi lahan pertambangan mengakibatkan kerugian sebesar Rp. -21 606 438 873, sehingga pertambangan emas masyarakat tidak layak untuk dilanjutkan.

BCR adalah perbandingan antara pendapatan dengan biaya yang didiskon. Analisis biaya manfaat yang telah dilakukan dari data diatas diperoleh hasil sebesar 0.055. Suatu proyek dengan nilai BCR>1 akan diterima, namun jika BCR<1 maka tidak akan diterima, sehingga hasilnya menunjukkan bahwa proyek tersebut tidak akan diterima. Setiap Rp. 1 000 biaya yang ditanggung oleh masyarakat, hanya memberi manfaat bagi sekelompok orang dari kegiatan penambangan sebesar Rp. 55.Valuasi ekonomi yang dilakukan dengan analisis biaya-manfaat menunjukkan bahwa pertambangan emas tidak layak untuk dilanjutkan karena NPV<0 dan nilai BCR<1. Perubahan fungsi hutan yang diakibatkan oleh pertambangan meningkatkan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat lebih besar dari pada nilai manfaat yang diperoleh oleh masyarakat dari peningkatan pendapatan masyarakat.

33

Dampak sosial pertambangan emas

Persepsi masyarakat terhadap pertambangan emas adalah gambaran dari sikap dan pandangan masyarakat terhadap kegiatan pertambangan atas dampak yang ditumbulkan oleh pertambangan tersebut. Persepsi masyarakat dapat bersifat positif maupun negatif, yang didasari oleh dampak dan manfaat yang dirasakan.

Indeks persepsi responden penambang adalah 4.000 yang masuk dalam kategori persepsi setuju dengan keberadaan pertambangan, namun bukan penambang memiliki indeks yang kecil yaitu 1.933 yang berada dalam kategori tidak setuju. Perbedaan indeks tersebut mempengaruhi indeks akhir, sehingga indeks akhir masuk dalam kategori ragu-ragu dengan keberadaan pertambangan. Presepsi tersebut dipengaruhi oleh responden yang merasakan dampak positif dengan peningkatan pendapatan, juga yang merasakan dampak negatif yang cukup besar, sehingga mulai ragu dengan keberadaan pertambangan.

Indeks persepsi responden penambang adalah 3.067 yang masuk dalam kategori indeks persepsi ragu-ragu dengan pembinaan oleh pemerintah daerah, namun bukan penambang memiliki indeks yang cukup besar yaitu 3.800 yang berada dalam kategori setuju. Perbedaan indeks tersebut mempengaruhi indeks akhir, sehingga indeks akhir masuk dalam kategori setuju dengan pembinaan oleh pemerintah daerah. Persepsi tersebut dipengaruhi oleh penambang yang mulai merasa dampak negatif dari pertambangan, sehingga menaruh harapan pada pemerintah daerah dalam pembinaan.

Pertambangan emas dapat berdampak pada perubahan sosial berupa perubahan yang bersifat negatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Bebbington (2008) bahwa setiap aktivitas pembangunan yang tidak terkontrol akan berpengaruh negatif terhadap sosial masyarakat.

Indeks persepsi yang diperoleh dari responden penambang dan bukan penambang masuk pada interval tidak setuju untuk meningkatkan kriminalitas, persepsi ragu-ragu dalam kecemburuan sosial dan persepsi setuju dengan masyarakat yang konsumtif. Keragaman persepsi dalam perubahan sosial yang terjadi, menunjukkan adanya keraguan masyarakat dengan keberadaan perubahan sosial yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan. Hal tersebut sejalan total indeks yaitu 2.861 yang masuk pada interval ragu-ragu.

Rekomendasi

Keberadaan pertambangan yang mengakibatkan kerusakan hutan perlu dilakukan rehabilitasi lahan. Dari hasil wawancara terhadap responden yang bukan penambang, beberapa pandangan terhadap lahan pasca tambang yang telah rusak dan tercemar. Responden bukan penambang menyatakan bahwa lahan pasca tambang yang telah rusak dan tercemar perlu direhabilitasi oleh penambang dan pemerintah, maka dalam kebijakan pengelolaan semberdaya alam dan lingkungan pemerintah bertanggung jawab untuk memperbaiki lahan yang rusak agar dapat bermanfaat kembali bagi kehidupan mereka. Penambang bertanggung jawab akan kerusakan dan pemerintah dapat memberi biaya rehabilitasi, sehingga perpaduan keduanya akan lebih baik dalam merehabilitasi lahan.

Kearifan tradisional merupakan nilai bukan guna, dimana nilai bukan guna meliputi manfaat yang tidak dapat diukur yang diturunkan dari keberadaan hutan di luar nilai guna langsung dan tidak langsung. Nilai bukan guna terdiri atas nilai keberadaan dan nilai warisan. Nilai keberadaan adalah nilai kepedulian seseorang

34

akan keberadaan suatu sumberdaya berupa nilai yang diberikan oleh masyarakat kepada kawasan hutan atas manfaat spiritual, estetika dan kultural.

Masyarakat Huta Bargot dulunya memiliki kearifan tentang pengelolaan hutan dan pertambangan emas. Bentuk kearifan tradisional oleh masyarakat di Huta Bargot adalah kesadaran untuk tetap menjaga kuantitas dan kualitas pemanfaatan sumberdaya alam. Pola galian lubang tambang emas dulunya hanya mengarah pada satu titik, sedangkan lubang tambang sekarang mengarah pada titik yang tidak beraturan. Lubang tambang sekarang mengakibatkan kerusakan yang lebih besar karena pengeboran lubang mengarah ke semua arah, dan penentuan lobang tambang juga tidak beraturan

Pada saat pengolahan hasil tambang, masyarakat memiliki bentuk kearifan dalam mengolah hasil tambang tersebut. Bentuk kearifan masyarakat menggunakan merkuri dalam jumlah sedikit dan menambahkan bahan lain dari tumbuhan, yaitu daun bambu (rintop). Daun bambu (rintop) dapat membantu pemisahan emas, perunggu dan kandungan lainnya. Masyarakat Huta Bargot memiliki kesadaran untuk tetap menjaga kuantitas dan kualitas pemanfaatan tumbuhan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Adanya ketidaksepakatan persepsi masyarakat penambang dan masyarakat bukan penambang terhadap dampak sosial berupa peningkatan kriminalitas, kecemburuan sosial dan masyarakat yang semakin konsumtif, serta pihak yang akan merehabilitasi lahan pascatambang. Bentuk kearifan tradisional oleh masyarakat di Huta Bargot adalah pemanfaatan sumberdaya alam secara arif, serta kesadaran untuk tetap menjaga kuantitas dan kualitas sumberdaya alam dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat menggunakan teknik tertentu dalam penataan lubang tambang dan penggunaan daun bambu (rintop) dalam proses pemisahan emas.

Dokumen terkait