• Tidak ada hasil yang ditemukan

Economic valuation of Gold Mining Activities and Community Perception of Social Impact in Huta Bargot Subdistrict, North Sumatra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Economic valuation of Gold Mining Activities and Community Perception of Social Impact in Huta Bargot Subdistrict, North Sumatra"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

VALUASI EKONOMI KEGIATAN PERTAMBANGAN EMAS

DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP DAMPAK

SOSIAL DI KECAMATAN HUTA BARGOT

SUMATERA UTARA

MUHRINA ANGGUN SARI HASIBUAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Valuasi Ekonomi Kegiatan Pertambangan Emas dan Persepsi Masyarakat Terhadap Dampak Sosial di Kecamatan Huta Bargot, Sumatera Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Muhrina Anggun Sari Hasibuan

NIM P05211034

(3)
(4)

RINGKASAN

MUHRINA ANGGUN SARI HASIBUAN. Valuasi Ekonomi Kegiatan Pertambangan Emas dan Persepsi Masyarakat Terhadap Dampak Sosial di Kecamatan Huta Bargot, Sumatera Utara. Dibimbing oleh SRI MULATSIH dan LAILAN SYAUFINA.

Mandailing Natal merupakan salah satu Kabupaten di Sumatera Utara yang kaya dengan sumberdaya alamnya. Sumberdaya alam yang sudah dikelola adalah pertambangan emas. Huta Bargot merupakan salah satu kecamatan yang berada di kabupaten tersebut yang terdapat Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI). Adanya aktivitas pertambangan emas tanpa izin berpengaruh terhadap sosial ekonomi masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pertambangan baik secara langsung, maupun tidak langsung. Perubahan tersebut bisa positif maupun negatif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dampak ekonomi melalui valuasi ekonomi dengan analisis biaya manfaat, persepsi masyarakat terhadap perubahan sosial masyarakat akibat pertambangan emas, dan bentuk kearifan masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya alam.

Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen tertulis baik yang berupa tulisan ilmiah ataupun dokumen resmi dari instansi terkait. Data primer didapatkan dari pengamatan langsung pada lokasi penelitian melalui wawancara (mendalam dan terstruktur) dan observasi. Penentuan responden dalam penelitian menggunakan metode

purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebutuhan penelitian sesuai dengan tujuan penelitian. Responden terdiri dari 30 orang penambang dan 30 orang bukan penambang, dengan 9 orang key person yang terdiri dari 3 orang pemuka agama, 3 orang pemuka adat dan 3 kepala desa. Analisis data valuasi ekonomi menggunakan analisis Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Rasio (BCR) dengan periode 20 tahun dan suku bunga 8%. Analisis data persepsi masyarakat menggunakan indeks persepsi. Analisis data kearifan masyarakat dilakukan secara deskriptif.

(5)

Terjadi perubahan sosial masyarakat berupa peningkatan kriminalitas, kecemburuan sosial dan masyarakat yang semakin konsumtif. Terdapat ketidaksepakatan persepsi masyarakat penambang dan masyarakat bukan penambang terhadap dampak sosial berupa peningkatan kriminalitas, kecemburuan sosial dan masyarakat yang semakin konsumtif, serta pihak yang seharusnya merehabilitasi lahan pascatambang. Masyarakat mengkhawatirkan dampak akan terus meningkat karena tidak adanya rehabilitasi lahan.

Bentuk kearifan lokal masyarakat di Huta Bargot adalah pemanfaatan sumberdaya alam secara arif, serta kesadaran untuk tetap menjaga kuantitas dan kualitas sumberdaya alam dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam pertambangan emas, masyarakat menggunakan teknik tertentu dalam penataan lobang tambang dan penggunaan bambu muda (rintop) dalam proses pemisahan emas, sebagai pengganti merkuri.

(6)

SUMMARY

MUHRINA ANGGUN SARI HASIBUAN. Economic valuation of Gold Mining Activities and Community Perception of Social Impact in Huta Bargot Sub-district, North Sumatra. Supervised by SRI MULATSIH dan LAILAN SYAUFINA.

Mandailing Natal is one of the regencies in North Sumatra which is rich in natural resources. The natural resource which has been managed is gold mining. Huta Bargot is one of the sub-districts in the regency where there is Illegal Gold Mining (PETI). The existence of this illegal gold mining has socio-economic impact on the people involved in the mining activities either directly or indirectly, which can be positive or negative. This study aimed to analyze the economic impact through economic valuation with cost-benefit analysis, people’s perceptions of social changes due to the gold mining, and the form of community wisdom on the utilization of natural resources.

This study used secondary data and primary data. The secondary data was obtained from written documents either in the form of scientific papers or official documents from the relevant authorities. The primary data was obtained from direct observation at the study site and through interviews (in-depth and structured). The determination of the respondents in the study used purposive sampling method, which was based on the research need appropriate to the research objectives. The respondents included 30 miners and 30 non-miners, with 9 key persons consisting of 3 religious leaders, 3 adatleaders and 3 village heads. The data analysis of economic valuation used Net Present Value (NPV) and Benefit Cost Ratio (BCR) with a period of 20 years and an interest rate of 8%. The data analysis of the people’s perceptions used perception index. The data analysis of local wisdom was conducted descriptively.

The cost analysis obtained from mining costs due to the forest degradation (as producer firewood, animals, medicinal plants, erosion-flood control) amounted to Rp. 1 966 086 740 per year. The cost of water resource reduction (water availability and fish production) was Rp 275,676,000 per year. The cost of ladang

production decline was Rp. 530 596 800 per year. The cost of people’s health deterioration amounted to Rp. 19 936 000 per year. The benefit value derived from the increase in revenues was Rp. 128 679 996 per year. Based on the cost-benefit analysis, the NPV obtained was Rp. -21 606 438 873 and the BCR was 0.055. The NPV indicated that the land conversion—from the forest land to the mine land—resulted in a loss of Rp. -21 606 438 873, so that the people’s gold mining was not feasible to continue. The BCR showed that every Rp 1 000 spent by the people only brought benefit to a group of people from mining activities amounting to Rp 55.

(7)

According to the local wisdom in Bargot Huta, people should utilize the natural resources wisely and they must have the awareness of maintaining the quantity and quality of natural resources to meet their daily needs. In the gold mining, the miners used certain techniques in managing their mining pits and they also used bamboo (rintop) in the process of separating gold, as substitute for mercury.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)
(10)

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN EMAS

TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI

KECAMATAN HUTA BARGOT, SUMATERA UTARA

MUHRINA ANGGUN SARI HASIBUAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)
(12)

i

Judul Tesis : Valuasi Ekonomi Kegiatan Pertambangan Emas dan Persepsi Masyarakat Terhadap Dampak Sosial di Kecamatan Huta Bargot, Sumatera Utara

Nama : Muhrina Anggun Sari Hasibuan NIM : P052110344

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr Ketua

Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 30 Juli 2013 Tanggal Lulus:

(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah dampak pertambangan, dengan judul Valuasi Ekonomi Kegiatan Pertambangan Emas dan Persepsi Masyarakat Terhadap Dampak Sosial di Kecamatan Huta Bargot, Sumatera Utara.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr dan Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc selaku pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr. Ir. Hariyadi, MS yang telah memberi bimbingan dan masukan. Banyak pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis (mama dan papa), Rendi Ansyah Hasibuan SH, Idris Ruli Ansyah Hasibuan, Rifki Arian Hasibuan, dan Sardi Rais Harahap S.ST.Pel, M.Mar yang telah memberikan limpahan kasih sayang, doa, motivasi serta dukungan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pascasarjana.

2. Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. 3. Kepala Desa Huta Julu, Simalage dan Kumpulan Setia.

4. Dinas Pertambangan, Kehutanan, Kesehatan, dan Perikanan Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.

5. Bapak dan Ibu Dosen Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan ilmu pengetahuan, wawasan, pengajaran dan bimbingan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di IPB.

6. Masyarakat Kecamatan Huta Bargot atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian di lapangan.

7. Seluruh Staf Tata Usaha Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, atas bantuannya selama kuliah dan penyelesaian tesis.

8. Irham Siregar SH, Maryono S.ST.Pi, Rima Yuspita Siregar AmKeb, dan Aliruddin Nasution S.Sos yang telah membantu saya selama pengumpulan data di lapangan.

Semua pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan kuliah, penelitian dan penulisan ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi dan bantuannya. Masukan, saran, dan bimbingan sangat penulis harapkan untuk menjadi lebih baik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Kerangka Pemikiran 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pertambangan Emas 5

Dampak Sosial Ekonomi Pertambangan Emas 6

Persepsi Masyarakat 7

Nilai Sumberdaya Hutan 8

Kearifan Tradisional 8 3 VALUASI EKONOMI PERTAMBANGAN EMAS MASYARAKAT DI

KECAMATAN HUTA BARGOT, SUMATERA UTARA

Pendahuluan 10

Metode Penelitian 10

Hasil dan Pembahasan 12

Simpulan 20

4 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP DAMPAK SOSIAL KEGIATAN PERTAMBANGAN DI HUTA BARGOT, SUMATERA UTARA

Pendahuluan 21

Metode Penelitian 21

Hasil dan Pembahasan 22

Simpulan 27

5 PEMBAHASAN UMUM 28

6 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 36

Saran 36

DAFTAR PUSTAKA 37

LAMPIRAN 40

(15)

DAFTAR TABEL

1. Penurunan manfaat ekonomi kayu bakar akibat pertambangan 12

2. Penurunan manfaat ekonomi satwa akibat pertambangan 13

3. Penurunan manfaat tumbuhan obat akibat pertambangan 13

4. Penurunan manfaat pengendali banjir dan erosi akibat pertambangan 14

5. Biaya ketersedian air akibat pertambangan 15

6. Penurunan produksi ikan akibat pertambangan 15

7. Penurunan produksi perladangan akibat pertambangan 16

8. Biaya penurunan kesehatan masyarakat akibat pertambangan 18

9. Perbedaan pendapatan masyarakat sebelum dan sesudah pertambangan 18

10. Analisis biaya manfaat pertambangan emas 19

11. Indeks persepsi responden terhadap keberadaan pertambangan emas 23

(16)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran 3

2. Penurunan produksi air akibat erosi 15

3. Galundung berada di tepi sungai 17

4. Peningkatan taraf hidup galunder 19

5. Pandangan masyarakat terhadap lahan pascatambang 24

6. Lobang tambang dulu dan sekarang 25

7. Daun bambu (rintop) 25

8. Peta status kawasan di Kabupaten Mandailing Natal 28

9. Aktivitas Pertambangan di Huta Bargot 30

10. Karungan hasil pertambangan 30

11. Aktivitas menumbuk batuan hasil tambang 30

12. Galundung pengolahan hasil tambang emas 31

13. Sisa cairan merkuri cair yang telah dipisahkan dengan kain 31

14. Ampas cair dan ampas padat dari pengolahan di galundung 32

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data pemanfaatan satwa sebelum pertambangan emas 40

2. Data pemanfaatan tumbuhan pangan sebelum pertambangan emas 40

3. Data pemanfaatan tumbuhan obat sebelum pertambangan emas 41

4. Data produksi ikan sebelum dan sesudah pertambangan emas 41

5. Bahan sosialisasi bahaya merkuri 42

6. Kuisioner 43

(18)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Industri pertambangan merupakan salah satu industri yang diandalkan pemerintah Indonesia untuk mendatangkan devisa. Selain mendatangkan devisa industri pertambangan juga menyedot lapangan kerja dan bagi kabupaten yang merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kegiatan pertambangan merupakan suatu kegiatan yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pengolahan pemurnian, pengangkutan mineral dan bahan tambang. Industri pertambangan selain mendatangkan devisa dan menyedot lapangan kerja juga rawan terhadap pengerusakan lingkungan. Yudhistira (2008) menyatakan bahwa banyak kegiatan penambangan yang mengundang sorotan masyarakat sekitarnya karena dapat merusak lingkungan.

Menurut Jankins (2008), faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kegiatan pertambangan rakyat diantaranya adalah kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan usaha, serta keterlibatan pihak lain yang bertindak sebagai pemodal. Salah satu usaha yang dilakukan oleh masyarakat untuk keluar dari kemiskinan dan memperoleh pendapatan yang layak adalah dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang memiliki nilai jual yang cukup tinggi, salah satunya adalah penambangan emas.

Mandailing Natal merupakan salah satu Kabupaten di Sumatera Utara yang cukup kaya dengan sumberdaya alamnya. Sumberdaya alam yang sudah dikelola adalah pertambangan emas. Pengelolaan pertambangan emas dilakukan oleh pemerintah daerah, investor maupun oleh masyarakat. Huta Bargot merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Mandailing Natal. Di kecamatan tersebut, terdapat Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) yang dilakukan oleh masyarakat. Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) adalah usaha penambangan yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok ataupun perusahaan yang dalam operasinya tidak memiliki izin dari instansi pemerintah pusat atau daerah yang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertambangan emas tanpa izin yang merusak lingkungan juga membahayakan jiwa penambang karena keterbatasan pengetahuan si penambang dan juga karena tidak adanya pengawasan dari dinas instansi terkait.

Pengelolaan pertambangan emas akan membawa dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya adalah bahwa kesejahteraan masyarakat di wilayah pertambangan dan telah mampu mendorong dan menggerakkan sendi-sendi ekonomi masyarakat. Struktur sosial masyarakat mengalami perubahan yang disebabkan oleh perubahan keadaan ekonomi masyarakat.

(19)

2

Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal telah berupaya menertibkan pertambangan emas di Kecamatan Huta Bargot, baik melalui surat peringatan maupun sosialisasi agar kegiatan pertambangan tersebut dihentikan. Namun masyarakat tidak menghiraukan larangan pemerintah dan jumlah penambang semakin bertambah. Sehingga perlu dilakukan penelitian tentang dampak pertambangan emas terhadap sosial ekonomi masyarakat baik positif maupun negatif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten Mandailing Natal maupun instansi yang terkait dalam menangani masalah PETI di Kecamatan Huta Bargot berdasarkan dampak sosial ekonomi masyarakat.

Kerangka Pemikiran

Kabupaten Mandailing Natal merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup besar. Sumberdaya alam tersebut berupa; (1) sumberdaya alam terbarukan (renewable resources) seperti hutan, lahan pertanian produktif untuk pengembangan pertanian tanaman pangan dan perkebunan, (2) sumberdaya alam tidak terbarukan (unrenewable resources) seperti emas.

Potensi sumberdaya alam yang besar tersebut dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu permasalahan dalam pemanfaatan sumberdaya alam tersebut adalah trade off pemanfaatan sumberdaya alam tidak terbarukan yang memiliki nilai ekonomi yang besar dengan pemanfaatan potensi sumberdaya alam terbarukan yang ada di atasnya. Demikian juga pemanfaatan sumberdaya alam tambang emas, berpotensi mengurangi nilai manfaat sumberdaya hutan yang menopang perekonomian sebagian masyarakat di lokasi tambang.

(20)

3

Gambar 1 Kerangka pemikiran dampak penambangan emas terhadap sosial ekonomi masyarakat.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dampak positif dan dampak negatif sosial ekonomi bagi masyarakat terkait dengan Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) di Kecamatan Huta Bargot.

1. Menganalisa dampak ekonomi melalui valuasi ekonomi dengan analisis biaya manfaat.

2. Menganalisa persepsi masyarakat terhadap perubahan sosial masyarakat akibat pertambangan emas.

3. Menganalisa bentuk kearifan masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya alam.

(21)

4

Manfaat Penelitian

(22)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pertambangan Emas

Emas merupakan salah salah satu bahan galian yang menjadi prioritas sumber penghasilan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil yang diperoleh dari pertambangan ini salah satunya mempunyai nilai nominal yang relatif tinggi. Namun demikian dalam pelaksanaannya, penambangan emas yang dilakukan tanpa ijin menghadapi beberapa persoalan dalam pengelolaannya (Ngadiran 2002).

Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) adalah usaha penambangan yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok ataupun perusahaan yang dalam operasinya tidak memiliki izin dari instansi pemerintah pusat atau daerah yang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Qomariah (2003) menyebutkan bahwa kegiatan PETI menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan negara, yaitu; (1) terjadinya kerusakan lahan dan sekitarnya pasca penambangan, (2) terjadi kerusakan prasarana jalan dan kerawanan lalulintas dari areal penambangan sampai ke pelabuhan tempat pengiriman emas, (3) tidak ada pemasukan keuangan negara, (4) pendapatan dari usaha pertanian menurun karena berkurangnya luasan lahan untuk pertanian, karena perubahan lahan menjadi areal tambang emas dan dampak dari kegiatan pertambangan tersebut terhadap penurunan kualitas lahan pertanian.

Menurut Jenkins (2008), faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kegiatan pertambangan rakyat diantaranya adalah kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan usaha, serta keterlibatan pihak lain yang bertindak sebagai pemodal. Salah satu usaha yang dilakukan oleh masyarakat untuk keluar dari kemiskinan dan memperoleh pendapatan yang layak adalah dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang memiliki nilai jual yang cukup tinggi, salah satunya adalah penambangan emas dan bahan galian lainnya seperti emas, batu bara dan timah.

Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terkonsentrasinya pemusatan pembangunan, mengakibatkan kuatnya arus investasi antar tempat dan ruang serta bervariasinya laju pertumbuhan ekonomi, hal tersebut telah menyebabkan arus mobilisasi orang dan jasa menjadi semakin deras. Lapangan pekerjaan disatu sisi tersedia seiring dengan semakin besarnya penyerapan terhadap tenaga kerja menurut keahlian dan spesifikasi bidang tertentu. Disisi lain, pencari kerja yang baru serta yang lama akumulasinya semakin membesar (Baah 2011).

(23)

6

Dampak Sosial Ekonomi Pertambangan Emas

Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dampak lingkungan didefinisikan sebagai suatu perubahan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu dan atau kegiatan. Soemarwoto (2005) mendefinisikan dampak sebagai suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas di mana aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisik, maupun biologi. Dampak pembangunan terhadap lingkungan adalah perbedaan antara kondisi lingkungan sebelum ada pembangunan dan yang diperkirakan akan ada setelah ada pembangunan. Pembangunan yang dimaksud termasuk kegiatan penambangan yang dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan secara umum.

Menurut tim terpadu pusat pertambangan masalah pertambangan tanpa izin DESM (2000) kegiatan pertambangan yang masuk kepada kategori PETI pada umumnya tidak memenuhi berbagai kriteria yang dapat diterima baik dari aspek ekonomi, konservasi, pengelolaan lingkungan, keselamatan dan kesejahteraan kerja. Hal ini menimbulkan dampak negatif dari kegiatan pertambangan rakyat, yaitu:

a. Kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, yaitu terjadinya penggundulan hutan yang berjumlah ribuan hektar, dan pencemaran air sungai terutama oleh unsur merkuri yang jauh diatas ambang batas

b. Kecelakaan tambang yang menyebabkan hilangnya nyawa penambang rakyat

c. Pemborosan sumberdaya mineral, berupa tertinggalnya cadangan berkadar rendah yang tidak ekonomis lagi untuk ditambang karena pertambangan rakyat yang hanya menambang cadangan berkadar tinggi dan akibat “

recovery “ pengolahan yang rendah

d. Kerusuhan di wilayah-wilayah pertambangan rakyat menyusul berkembangnya budaya premanisme, perjudian, prostitusi, dan kemerosotan moral lainnya.

Disamping dampak negatif tersebut, kegiatan pertambangan rakyat juga memberikan danpak positif, khususnya bagi masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pertambangan itu sendiri, yaitu sebagai lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan.

Perubahan sosial ekonomi masyarakat

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau dalam istilah ilmiah saling berintegrasi antara warga-warganya, adat istiadat, norma-norma, hukum dan aturan-aturan khusus yang mengatur seluruh pola tingkah laku suatu komuditas (Koentjaraningrat 2000).

Menurut Moore (1967) dalam Lauer (1993), perubahan sosial didefinisikan sebagai perubahan penting dari struktur sosial dalam berupa pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Ekspresi tentang struktur adalah norma, nilai dan fenomena kultural. Faktor-faktor penyebab timbulnya perubahan sosial budaya menurut Murdock (1960) dalam Manan (1977) adalah sebagai berikut;

a. pertambahan dan pengurangan jumlah penduduk, b. perubahan lingkungan geografis,

(24)

7

d. kontak dengan orang yang berlainan kebudayaan,

e. malapetaka alam dan sosial seperti banjir, dan kegagalan panen.

Suriansyah (2009) mengemukakan bahwa pendapatan perkapita sering digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat. Ekonomi masyarakat yang makmur ditunjukkan oleh pendapatan perkapita yang tinggi, dan ekonomi masyarakat yang kurang makmur ditunjukkan oleh pendapatan perkapita yang rendah.

Ada beberapa indikator untuk menilai tingkat kesejahteraan adalah: 1. Konsumsi rumah tangga.

2. Keadaan tempat tinggal. 3. Fasilitas tempat tinggal.

4. Kesehatan anggota rumah tangga.

5. Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatandan medis. 6. Kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan. 7. Kemudahan mendapatkan fasilitas transfortasi.

8. Kehidupan beragama.

9. Perasaan aman dari tindakan kejahatan.

Hubungan kegiatan pertambangan rakyat dengan perubahan sosial ekonomi

Bebbington (2008) menyatakan bahwa pada kenyataan manusia mampu mengendalikan perubahan dan memberikan tanggapan pada perkembangan yang terjadi. Apabila manusia tidak mengendalikan jalannya perkembangan, maka manusia akan mengalami perubahan ke arah negatif. Chindo (2011) mengemukakan bahwa untuk menganalisis hubungan suatu pembangunan dengan perubahan sosial, dimulai dengan pendekatan perubahan, yaitu gagasan mengenai perubahan menurut garis lurus, yang merupakan salah satu pendekatan utama untuk memahami perkembangan kebudayaan yang berhubungan dengan pembangunan.

Barve (2011) menyatakan bahwa suatu upaya untuk mempelajari bagaimana faktor-faktor dalam suatu situasi tertentu dapat membentuk perkembangan suatu jenis masyarakat, yang berarti memberikan penekanan bahwa adanya perubahan budaya yang khas untuk masing-masing masyarakat.

Pada saat perkembangan masyarakat berintegrasi dengan masyarakat lainnya akan terjadi suatu perubahan yang menuntut peningkatan pemanfaatan potensi ekonomi (Markussen 1994). Kegiatan pertambangan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sukanto (1998) menyatakan bahwa kesejahteraan tidak hanya menyangkut aspek yang bersifat lahiriah atau material, tetapi juga batiniah dan spiritual. Dalam ekonomi mikro, indiator yang digunakan untuk mengetahui apakah seseorang itu dikatakan sejahtera atau tidak adalah dari tingkat kepuasannya dalam mengkonsumsi barang maupun jasa.

Persepsi Masyarakat

(25)

8

dan lingkungan di sekitarnya, sehingga dapat tercapai komunikasi antara manusia dengan lingkungan (Sarwono 1987).

Persepsi yaang positif dari masyarakat terhadap suatu kegiatan yang akan tercermin dari respon yang positif terhadap kegiatan pertambangan karena manfaat yang dirasakan masyarakat. Persepsi masyarakat mengenai lingkungan sangat tergantung pada dampak langsung atau tidak langsung terhadap aktivitas dan sarana-sarana yang menunjang kehidupan masyarakat dari suatu kegiatan yang dilakukan di lingkungan mereka serta faktor sosial ekonomi, budaya dan tingkat pendidikan (Liana 1994).

Nilai Sumberdaya Hutan

Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu sumberdaya hutan bagi individu pada tempat dan waktu tertentu. Keragaman nilai sumberdaya hutan berdasarkan pada persepsi dan lokasi masyarakat yang berbeda-beda. Nilai sumberdaya hutan sendiri bersumber dari berbagai manfaat yang diperoleh masyarakat. Masyarakat yang menerima manfaat secara langsung akan memiliki persepsi yang positif terhadap nilai sumberdaya hutan, dan yang dapat ditunjukkan dengan tingginya nilai sumberdaya hutan tersebut. Hal tersebut mungkin berbeda dengan persepsi masyarakat yang tinggal jauh dari hutan dan tidak menerima manfaat secara langsung (Nurfatriani 2006).

Nilai sumberdaya hutan ini dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa kelompok. Davis dan Johnson (1987) mengklasifikasikan nilai berdasarkan cara penilaian atau penentuan besar nilai dilakukan, yaitu : (a) nilai pasar, yaitu nilai yang ditetapkan melalui transaksi pasar, (b) nilai kegunaan, yaitu nilai yang diperoleh dari penggunaan sumberdaya tersebut oleh individu tertentu, dan (c) nilai sosial, yaitu nilai yang ditetapkan melalui peraturan, hukum, ataupun perwakilan masyarakat.

Nurfatriani (2006) menjelaskan bahwa nilai guna langsung merupakan nilai dari manfaat yang langsung dapat diambil dari SDH. Manfaat penggunaan sumber daya hutan sebagai input untuk proses produksi atau sebagai barang konsumsi. Nilai guna tidak langsung yaitu nilai dari manfaat yang secara tidak langsung dirasakan manfaatnya, dan dapat berupa hal yang mendukung nilai guna langsung, seperti berbagai manfaat yang bersifat fungsional yaitu berbagai manfaat ekologis hutan.

Kearifan Tradisional

Konsep sistem pengetahuan dan kearifan berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal dan tradisional. Munculnya pengetahuan dan pengelolaan tradisional secara arif, telah menjadi kebenaran bahwa sepanjang sejarah manusia selalu ada kelompok masyarakat yang begitu peduli terhadap penggunaan sumberdaya alam yang berkelanjutan (Ansaka 2006).

(26)

9

Menurut Pulunggono (1999), masyarakat tradisional dan modern hingga saat ini masih banyak menggunakan tumbuhan yang bersumber dari alam yang sebagian besar merupakan tumbuhan potensial. Mengingat pemanfaatannya yang sangat strategis dalam menunjang pembangunan di masa kini dan masa mendatang. Masyarakat tradisional Isurolo di Kenya memanfaatkan tumbuhan sebagai sumber penghasilan dalam pemanfaatan tumbuhan berasas kearifan masyarakat (Chikamai 1994).

(27)

2 VALUASI EKONOMI KEGIATAN PERTAMBANGAN EMAS

MASYARAKAT DI HUTA BARGOT, SUMATERA UTARA

Pendahuluan

Mandailing Natal merupakan salah satu Kabupaten di Sumatera Utara yang cukup kaya dengan sumberdaya alamnya. Sumberdaya alam yang sudah dikelola adalah pertambangan emas, baik oleh pemerintah daerah, investor dari dalam dan luar negeri maupun oleh masyarakat. Huta Bargot merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Mandailing Natal. Di kecamatan tersebut, terdapat Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) yang dilakukan oleh masyarakat. Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) adalah usaha penambangan yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok ataupun perusahaan yang dalam operasinya tidak memiliki izin dari instansi pemerintah pusat atau daerah, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengelolaan pertambangan emas tersebut tentunya akan membawa dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat di wilayah pertambangan, mendorong dan menggerakkan sendi-sendi ekonomi masyarakat, mendatangkan devisa dan menyediakan lapangan kerja. Sebaliknya pertambangan emas rawan terhadap pengrusakan lingkungan yang mengundang sorotan masyarakat sekitarnya. Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal telah berupaya menertibkan pertambangan emas di Kecamatan Huta Bargot, baik melalui surat peringatan maupun sosialisasi agar kegiatan pertambangan tersebut dihentikan. Namun masyarakat tidak menghiraukan larangan pemerintah dan jumlah penambang semakin bertambah.

Aktivitas pertambangan emas tanpa izin tersebut sangat berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pertambangan secara langsung, maupun tidak langsung. Pengaruh tersebut bisa positif maupun negatif. Aktivitas pertambangan emas tanpa izin berdampak pada ekonomi masyarakat yang terlibat dalam pertambangan serta masyarakat sekitar yang terkena dampak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dampak ekonomi melalui valuasi ekonomi dengan analisis biaya-manfaat.

Metode Penelitian

(28)

11

1. Wawancara mendalam (indepth interview) yaitu mengumpulkan data dan informasi dengan melakukan wawancara secara langsung berdasarkan pedoman pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Hadi (2005) menyatakan bahwa pedoman pertanyaan hanya digunakan sebagai panduan, sehingga jawaban dari responden atau nara sumber bersifat terbuka. Wawancara terstruktur juga dilakukan dengan panduan kuisioner.

2. Observasi dilakukan dengan cara pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala, peristiwa dan aspek-aspek yang diteliti di lokasi penelitian. Observasi dilakukan untuk memahami pola hubungan antara fenomena yang ada.

Penentuan responden dalam penelitian menggunakan metode purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebutuhan penelitian yang disesuaikan dengan tujuan (Sugiyono 2008). Kriteria yang dipertimbangkan adalah pengetahuan terhadap pertambangan yang sesuai dengan tujuan dan keterwakilan dari stakeholder (pemuka agama dan pemuka adat). Responden terdiri dari 30 orang penambang dan 30 orang bukan penambang, dengan 9 orang

key person yang terdiri dari 3 orang pemuka agama, 3 orang pemuka adat dan 3 kepala desa.

Valuasi ekonomi adalah nilai yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungakan dalam menyusun kebijakan pengelolaan sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dalam ditentukan secara benar dan bermanfaat (Cantlon dan Herman 1999). Pendekatan yang dilakukan metode valuasi ekonomi ini adalah pendekatan harga pasar/pendekatan produktivitas yaitu pendekatan yang digunakan dalam analisis biaya manfaat (Suparmoko 2011). Valuasi ekonomi dilakukan dengan analisis Net Present Value(NPV) dan Benefit Cost Rasio(BCR) dengan periode 20 tahun dan suku bunga 8%. Kriteria keputusan sebuah proyek dianggap layak dan efektif untuk dilakukan dari segi ekonomi jika NPV >0 dan BCR>1, namun jika NPV<0 dan BCR<1 maka proyek tersebut tidak layak untuk dilakukan. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Bt : seluruh manfaat setelah lahan hutan dikonversi menjadi lahan tambang pada waktu t=0,1,2,3,...t

Ct : seluruh biaya (didekati dari manfaat yang hilang) pada waktu ke t r : discount rate(8%)

(29)

12

Hasil dan Pembahasan

Biaya pertambangan dari penurunan fungsi hutan

Pertambangan emas masyarakat berada di dalam kawasan hutan lindung, yang akan mencemari dan merusak hutan. Sumberdaya lahan hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk perladangan akan mengalami penurunan produksi. Sejak adanya pertambangan di kawasan hutan, nilai manfaat dari hutan mengalami penurunan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Fungsi hutan yang mengalami gangguan adalah sebagai berikut:

1. Penurunan fungsi hutan sebagai penghasil kayu bakar

Hutan dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat untuk menghasilkan kayu, yang digunakan sebagai kayu bakar dan bahan bangunan. Kayu tersebut diperoleh dari dalam hutan rakyat seluas 522 Ha. Sejak adanya pertambangan, fungsi hutan sebagai penghasil kayu bagi masyarakat mengalami gangguan.

Kayu yang di tebang digunakan sebagai alat penyangga lobang tambang yang membutuhkan kayu dalam jumlah besar dan sebagai penyangga atap lobang tambang. Masyarakat harus kehilangan manfaat hutan sebagai penghasil kayu, sehingga masyarakat membeli kayu. Besarnya biaya akibat berkurangnya kayu bakar dapat dilihat dari nilai ekonomi pembelian kayu tersebut.

Kayu yang digunakan untuk kayu bakar adalah adalah tumbuhan berkayu dan berbentuk pohon. Menurut Inama (2008) kayu bakar merupakan sumberdaya hayati yang sangat penting bagi masyarakat yang tidak memiliki sumber energi lain sepeti listrik, minyak tanah dan gas. Kayu yang digunakan sebagai bahan bakar adalah jenis kayu yang memiliki sifat mudah terbakar, mudah dibelah, menghasilkan bara yang cepat, tidak cepat habis terbakar, tidak berasap banyak dan menghasilkan panas yang baik. Terdapat 5 spesies tumbuhan yang digunakan sebagai kayu bakar, yaitu akasia, beringin, jamuju, suren dan tusam. Penurunan manfaat ekonomi kayu bakar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Penurunan manfaat ekonomi kayu bakar akibat pertambangan

Uraian Jumlah (KK) Rp/bulan

 KK pengguna kayu bakar sebelum pertambangan

 KK pengguna kayu bakar sesudah pertambangan

186 108

16 275 000 9 450 000

(30)

13

2. Penurunan fungsi hutan sebagai penghasil satwa

Hutan dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat untuk menghasilkan satwa. Satwa dimanfaatkan masyarakat untuk dikonsumsi dan dijual. Terdapat 5 jenis satwa yang dimanfaatkan oleh masyarakat Huta Bargot (Lampiran 1). Sejak adanya pertambangan di kawasan hutan, fungsi hutan sebagai penghasil satwa mengalami gangguan. Penurunan produksi satwa menyebabkan masyarakat harus mengeluarkan biaya yang diperoleh berdasarkan nilai pasar. Penurunan manfaat ekonomi satwa dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Penurunan manfaat ekonomi satwa akibat pertambangan

Uraian Jumlah (kg/bulan) Harga(Rp/kg) Rp/bulan

 Jenis satwa yang tidak ditemukan lagi Ular sanca

Satwa diperoleh masyarakat dengan cara berburu di dalam kawasan hutan. Fungsi hutan yang mengalami gangguan menyebabkan beberapa jenis satwa yang dimanfaatkan oleh masyarakat mengalami penurunan produksi. Total penurunan mamfaat ekonomi akibat pertambangan adalah sebesar Rp. 530 596 800/tahun. 3. Penurunan fungsi hutan sebagai penghasil tanaman obat

Rifai (1998) menyatakan bahwa kelompok etnik tradisional di Indonesia memiliki konsep terhadap pemanfaatan sumberdaya nabati di lingkungannya, termasuk dalam pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional. Terdapat 12 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Huta Bargot sebagai obat (Lampiran 3). Sejak adanya pertambangan, semua jenis tumbuhan obat mengalami penurunan produksi. Penurunan manfaat ekonomi tumbuhan obat dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Penurunan manfaat ekonomi tumbuhan obat akibat pertambangan

(31)

14

Pertambangan emas mengakibatkan penurunan produksi tumbuhan obat yang dapat dikonsumsi masyarakat. Penurunan disebabkan oleh penurunan dan gangguan pada sumberdaya lahan hutan. Masyarakat mengalami kerugian karena harus membeli tumbuhan untuk obat-obatan. Total penurunan mamfaat ekonomi tumbuhan obat adalah sebesar Rp. 67 645 200/tahun. Nilai ekonomi yang besar tersebut menunjukkan bahwa masyarakat memiliki tingkat ketergantungan yang besar terhadap fungsi hutan sebagai penghasilkan tumbuhan obat.

4. Penurunan fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan erosi

Hutan memberi manfaat sebagai pengendali banjir dan erosi. Sejak adanya pertambangan, kerusakan hutan semakin meningkat, sehingga fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan erosi mengalami gangguan. Penurunan fungsi hutan ini mengakibatkan kerugian secara ekonomi bagi masyarakat, baik dari kerusakan bangunan maupun korban luka. Nilai pengendali banjir dan erosi diperoleh dari hasil penghitungan kerugian masyarakat akibat banjir dan erosi. Kerugian akibat penurunan manfaat ekonomi pengendali banjir dan erosi dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Penurunan manfaat ekonomi pengendali banjir dan erosi akibat pertambangan

Uraian Jumlah Rata-rata kerugian (Rp) Rp

 Rumah rusak berat

Aktivitas pertambangan menyebabkan penurunan fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan erosi. Kerusakan hutan dapat terlihat dari balok-balok kayu yang terbawa oleh arus banjir. Sungai juga mengalami erosi dengan berkurangnya lebar sungai dan sungai semakin dangkal, sehingga potensi banjir akan meningkat. Total kerugian akibat penurunan fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan erosi adalah sebesar Rp. 215 930 000. Dinas kehutanan menyatakan bahwa ada hubungan antara aktivitas pertambangan masyarakat dengan kebanjiran yang masyarakat, karena kerusakan hutan semakin meningkat akibat penggalian dan penebangan liar yang dilakukan oleh penambangan tanpa adanya rehabilitasi.

Biaya pertambangan dari penurunan sumberdaya air

Pertambangan emas mengakibatkan penurunan sumberdaya air. Penurunan sumberdaya air terjadi pada kualitas dan kuantitas air, baik air permukaan maupun air tanah. Penurunan sumberdaya air dapat dilihat dari penurunan ketersedian air dan penurunan produksi ikan.

1. Penurunan ketersediaan air akibat pertambangan

(32)

15

Gambar 2 Penurunan produksi air akibat banjir dan erosi.

Penurunan produksi air tersebut disebabkan oleh banjir dan erosi, yang menyebabkan air di sungai semakin berkurang, air mulai keruh, dan masyarakat khawatir dengan kuliatas air sungai yang tercemar merkuri. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk memperoleh air dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Biaya penurunan ketersediaan air akibat pertambangan

Uraian Jumlah Harga (Rp) Rp membutuhkan 1.5 batang pipa. Mesin sedot rubin digunakan masyarakat untuk menyedot air yang akan dialiri ke 8 titik pemandian di sekitar pemukiman warga. Satu titik pemandian menggunakan selang sepanjang ±100 meter dan selang ikat sepanjang ±1 meter. Total biaya dari penurunan ketersediaan air akibat pertambangan adalah sebesar Rp. 53 820 000. Sebelum adanya pertambangan, sebagian besar masyarakat melakukan aktivitas MCK di sungai-sungai. Namun sejak adanya pertambangan, masyarakat mulai membuat sumur dan sarana umum untuk memperoleh air, karena kualitas air dan kuantitas air yang menurun.

2. Penurunan produksi ikan akibat pertambangan

Penurunan sumberdaya air akibat pertambangan menyebabkan penurunan produksi ikan. Penurunan produksi ikan terjadi karena kuantitas air yang menurun dan kualitas air yang tercemar merkuri dari aktivitas pertambangan. Terjadi penurunan produksi ikan sebelum dan sesudah adanya aktivitas pertambangan dapat dilihat pada Lampiran 4. Penurunan produksi ikan dihitung berdasarkan nilai pasar, yang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Penurunan produksi ikan akibat pertambangan

(33)

16

Sejak adanya pertambangan, terjadi penurunan produksi ikan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Total biaya dari penurunan ketersediaan air akibat pertambangan adalah sebesar Rp. 53 820 000/tahun. Nilai ekonomi yang besar tersebut menunjukkan bahwa masyarakat memiliki tingkat ketergantungan yang besar terhadap kualitas dan kuantitas air sungai dalam memproduksi ikan.

Biaya pertambangan akibat penurunan produksi perladangan

Hutan dimanfaatkan masyarakat sebagai untuk lahan perladangan. Ladang masyarakat digunakan untuk menghasilkan tanaman pangan seperti sayuran dan buah-buahan. Luas kebun masyarakat yang berada di dalam hutan adalah ±492 Ha. Hasil produksi tanaman pangan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk konsumsi sehari-hari.

Sejak adanya pertambangan di kawasan hutan, produksi tanaman pangan mengalami penurunan. Terdapat 20 jenis tumbuhan yang diperoleh dari hutan yang digunakan sebagai bahan pangan (sayur-sayuran dan buah-buahan) sebelum adanya pertambangan (Lampiran 2). Sejak adanya pertambangan jumlah jenis tumbuhan pangan yang mengalami penurunan sebanyak 11 jenis dan terdapat 9 jenis yang tidak dapat diperoleh lagi. Penurunan produksi perladangan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Penurunan produksi perladangan akibat pertambangan

Uraian Jumlah (kg) Harga

(Rp/kg)

Rp/bulan

 Tumbuhan yang tidak ditemukan lagi Jagung

 Tumbuhan yang mengalami penurunan produksi

(34)

17

berupa buah-buahan, sayur-sayuran, dan makanan pokok. Sejak adanya pertambangan, terjadi penurunan produksi hasil perladangan yang dikonsumsi oleh masyarakat, bahkan ada jenis tumbuhan yang hilang. Total biaya dari penurunan produksi hasil perladangan adalah sebesar Rp. 1 137 659 460/tahun. Penurunan ini diakibatkan olah aktivitas pertambangan yang merusak ladang masyarakat.

Biaya pertambangan dari penurunan kesehatan masyarakat

Pencemaran akibat merkuri terus meresahkan masyarakat, banyak pengaduan yang disampaikan masyarakat secara lisan maupun tulisan tentang dampak aktivitas pertambangan kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah mengambil sampel air di 3 desa yang terkena dampak, yaitu desa Simalage, Kumpulan Setia dan Huta Julu. Peninjauan lapangan itu dilakukan untuk mengetahui tingkat pencemaran merkuri. Berdasarkan hasil laboratorium, suluruh sampel yang berada dalam 3 desa di kecamatan Huta Bargot tersebut positif mengandung merkuri (Lampiran 7).

Kandungan merkuri dalam air dan udara akan mengakibatkan penurunan kesehatan masyarakat. Merkuri dapat menimbulkan berbagai penyakit baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek (Lampiran 5). Jangka pendek dapat terlihat dari gangguan kesehatan secara langsung, sedangkan jangka panjang disebabkan oleh timbunan merkuri yang masuk ke dalam tubuh, baik melalui konsumsi air tercemar, ikan tercemar, hirupan udara maupun penyerapan melalui kulit. Masyarakat Huta Bargot meresahkan dampak aktivitas pertambangan emas bagi kesehatan karena dengan keberadaan galundung, karena dapat mencemari air sungai (Gambar 3).

Gambar 3 Galundung berada di tepi sungai.

(35)

18

Tabel 8 Biaya penurunan kesehatan masyarakat akibat pertambangan

Jenis penyakit Jumlah pasien (orang) Biaya (Rp) Rp/tahun

 Diare

Aktivitas pertambangan yang menggunakan merkuri menyebabkan penurunan kesehatan masyarakat. Total biaya dari penurunan kesehatan masyarakat akibat pertambangan adalah Rp. 19 936 000/tahun. Pihak pemerintah daerah menghimbau masyarakat agar sadar dengan dampak aktivitas pertambangan terhadap kesehatan masyarakat, terutama pada masyarakat yang terkait langsung dengan aktivitas pertambangan. Dinas Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal dan Puskesmas Huta Bargot telah mengadakan sosialisasi tentang bahaya merkuri dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat,baik secara langsung maupun melalui selebaran.

Manfaat pertambangan dari peningkatan pendapatan

Pertambangan emas masyarakat akan memberi manfaat terhadap pendapatan masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat diperoleh dari hasil penjualan emas dan aktivitas pertambangan. Data pendapatan tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu penambang dan bukan penambang. Perbedaan pendapatan akibat adanya pertambangan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Perbedaan pendapatan masyarakat sebelum dan sesudah pertambangan

Uraian pendapatan Rata-rata pendapatan

(36)

19

Gambar 4 Peningkatan taraf hidup dari galunder.

Responden bukan penambang yang mengalami kenaikan pendapatan perbulan adalah penumbuk, galunder, wiraswasta, dan tukang ojek. Semua profesi tersebut bersinggungan langsung dengan pertambangan. Penumbuk adalah pekerja yang bertugas untuk menumbuk batu yang telah diturunkan dari areal pertambangan. Galunder adalah pekerja yang bertugas untuk mengolah batuan yang telah ditumbuk ke dalam galundung untuk diperoleh kandungan emasnya. Tukang ojek adalah pekerja yang bertugas untuk menurunkan batuan dari gerbang masuk ke tempat penumbukan dan galundung. Wiraswasta mengalami peningkatan karena pola dan tingkat konsumtif masyarakat semakin meningkat. Tukang becak tukang gebos mengalami kenaikan yang cukup besar karena sejak adanya pertambangan jumlah penumpang meningkat. Peningkatan itu terjadi dengan adanya mobilisasi penambang dari persimpangan menuju gerbang areal pertambangan ke pemukiman, sebelum berjalan ke hutan yang merupakan areal pertambangan.

Valuasi ekonomi adalah nilai yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungakan dalam menyusun kebijakan pengelolaan sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dalam ditentukan secara benar dan bermanfaat (Suparmoko 2008). Valuasi ekonomi pada suatu ekosistem merupakan suatu pendekatan yang sangat dianjurkan menilai secara ekonomi suatu pemanfaatan ekosistem. Dampak pertambangan emas masyarakat memiliki biaya-manfaat yang tersaji pada Tabel 10.

Tabel 10 Analisis biaya manfaat pertambangan emas

(37)

20

Analisis biaya-manfaat yang telah dilakukan dari data diatas diperoleh hasil NPV sebesar Rp.-21 606 438 873. Dari nilai NPV menunjukkan bahwa konversi lahan dari lahan hutan menjadi lahan pertambangan mengakibatkan kerugian sebesar Rp.-21 606 438 873, sehingga pertambangan emas masyarakat tidak layak untuk dilanjutkan.

BCR adalah perbandingan antara pendapatan dengan biaya yang didiskon. Analisis biaya manfaat yang telah dilakukan dari data diatas diperoleh hasil sebesar 0.055. Suatu proyek dengan nilai BCR>1 akan diterima, namun jika BCR<1 maka tidak akan diterima, sehingga hasilnya menunjukkan bahwa proyek tersebut tidak akan diterima. Setiap Rp. 1 000 biaya yang ditanggung oleh masyarakat, hanya memberi manfaat bagi sekelompok orang dari kegiatan penambangan sebesar Rp. 55.

Simpulan

(38)

3 PRESEPSI MASYARAKAT TERHADAP DAMPAK SOSIAL

KEGIATAN PERTAMBANGAN EMAS DI HUTA BARGOT,

SUMATERA UTARA

Pendahuluan

Huta Bargot merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Mandailing Natal. Di kecamatan tersebut, terdapat Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) yang dilakukan oleh masyarakat. Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) adalah usaha penambangan yang dilakukan oleh perseorangan, dan kelompok yang dalam operasinya tidak memiliki izin yang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya aktivitas pertambangan emas tanpa izin tersebut sangat berpengaruh terhadap sosial masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pertambangan baik secara langsung maupun tidak langsung, persepsi terhadap perubahan sosial tersebut bisa positif maupun negatif.

Persepsi dimaknakan dengan pendapat, sikap, dan penilaian terhadap suatu objek. Persepsi melibatkan aktivitas manusia terhadap obyek, sehingga persepsi menggambarkan pengalaman manusia terhadap obyek dan peristiwa yang diperoleh dengan cara menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan tentang obyek tersebut. Sarwono (1987) menyatakan bahwa presepsi itu tidak akan lepas dari peristiwa, obyek, dan lingkungan di sekitarnya, sehingga dapat tercapai komunikasi antara manusia dengan lingkungannya

Persepsi masyarakat mengenai lingkungannya sangat tergantung pada dampak langsung atau tidak langsung terhadap aktivitas dan sarana-sarana yang menunjang kehidupan masyarakat dari suatu kegiatan berupa faktor sosial ekonomi, budaya dan tingkat pendidikan (Liana 1994). Persepsi yang positif dari masyarakat terhadap suatu kegiatan yang akan tercermin dari respon yang positif terhadap kegiatan karena manfaat yang dirasakan dan masyarakat akan mendukung kegiatan tersebut. Persepsi negatif dari masyarakat terhadap suatu kegiatan yang akan tercermin dari respon yang negatif terhadap kegiatan tersebut karena dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa persepsi masyarakat terhadap perubahan sosial masyarakat akibat pertambangan emas dan menganalisa bentuk kearifan masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya alam.

Metode Penelitian

(39)

22

1. Wawancara mendalam (indepth interview) yaitu mengumpulkan data dan informasi dengan melakukan wawancara secara langsung berdasarkan pedoman yang telah disusun sebelumnya dengan pihak yang berkompeten dan berwenang terkait masalah yang diteliti. Wawancara juga menggunakan wawancara terstruktur yaitu wawancara dengan panduan kuisioner. Hadi (2005) menyatakan bahwa pedoman pertanyaan hanya digunakan sebagai panduan, sehingga jawaban dari responden atau nara sumber bersifat terbuka. 2. Observasi, yaitu suatu teknik pengumpulan data dan informasi yang dilakukan

dengan cara pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala, peristiwa dan aspek-aspek yang diteliti di lokasi penelitian. Observasi sebagai teknik penghimpunan data, sangat efektif dalam memahami pola hubungan.

Penentuan responden dalam penelitian menggunakan metode purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebutuhan penelitian yang disesuaikan dengan tujuan (Sugiyono 2008). Kriteria yang dipertimbangkan adalah pengetahuan terhadap pertambangan yang sesuai dengan tujuan dan keterwakilan dari stakeholder (pemuka agama dan pemuka adat). Responden terdiri dari 30 orang penambang dan 30 orang bukan penambang, dengan 9 orang

key person yang memenuhi kriteria pertimbangan penentuan responden.

Metode yang digunakan dalam pengumpulan presepsi masyarakat adalah menggunakan metode Skala Likert. Jawaban setiap item yang menggunakan Skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, yang dapat berupa kata-kata antara lain: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Ragu-ragu (R), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Dari kelima item tersebut akan diberi bobot dan nilai indeksnya di interpretasikan. Kategori dari indeks presepsi 30 responden penambang dan 30 responden bukan penambang adalah 4.2-5 (Sangat Setuju), 3.4-4.1 (Setuju), 2.6- 3.3 (Ragu-ragu), 1.8-2.5 (Tidak Setuju), dan 1-1.7 (Sangat Tidak Setuju).

Indeks Persepsi (IP) = ∑ Keterangan:

wij : nilai bobot jawaban responden j ke i

i : jawaban ke i = 1 (STS), 2 (TS), 3 (R), 4 (S), 5 (SS) ji : responden ke j

n : jumlah responden

Metode yang digunakan dalam menganalisis kearifan tradisional masyarakat adalah metode deskriptif. Analisis deskriptif dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai informasi terkait kearifan tradisional masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam di Kabupaten Mandailing Natal.

Hasil dan Pembahasan

Persepsi masyarakat terhadap dampak sosial akibat pertambangan

(40)

23

Skala likert digunakan untuk melihat persentase pendapat dari responden terhadap kegiatan pertambangan yang sedang berlangsung, sehingga dampak positif maupun negatifnya dapat terlihat dari persentase yang ada. Persepsi responden terhadap keberadaan pertambangan dapat terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Indeks persepsi responden terhadap keberadaan pertambangan emas

Uraian Persepsi Penambang Bukan penambang Rata-rata Kategori Keberadaan pertambangan emas

Indeks persepsi responden penambang terhadap keberadaan pertambangan emas adalah 4.000 yang masuk dalam kategori persepsi setuju, namun bukan penambang memiliki indeks yang kecil yaitu 1.933 yang berada dalam kategori tidak setuju. Perbedaan indeks tersebut mempengaruhi indeks akhir, sehingga indeks akhir terhadap keberadaan pertambangan emas masuk dalam kategori ragu-ragu. Presepsi tersebut dipengaruhi oleh responden yang merasakan dampak positif dengan peningkatan pendapatan, juga yang merasakan dampak negatif yang cukup besar, sehingga mulai ragu dengan keberadaan pertambangan.

Indeks persepsi responden penambang terhadap pembinaan oleh pemerintah daerah adalah 3.067 yang masuk dalam kategori indeks persepsi ragu-ragu, namun bukan penambang memiliki indeks yang cukup besar yaitu 3.800 yang berada dalam kategori setuju. Perbedaan indeks tersebut mempengaruhi indeks akhir, sehingga indeks akhir terhadap pembinaan oleh pemerintah daerah masuk dalam kategori setuju. Persepsi tersebut dipengaruhi oleh penambang yang mulai merasa dampak negatif dari pertambangan, sehingga menaruh harapan pada pemerintah daerah dalam pembinaan.

Pertambangan emas dapat berdampak pada perubahan sosial berupa perubahan yang bersifat negatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Bebbington (2008) bahwa setiap aktivitas pembangunan akan berpengaruh terhadap sosial masyarakat, termasuk kegiatan penambangan yang dilakukan oleh masyarakat. Persepsi responden terhadap perubahan sosial dapat terlihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Indeks persepsi responden terhadap perubahan sosial

Uraian Persepsi Penambang Bukan penambang Rata-rata Kategori Meningkatkan kriminalitas

(41)

24

Keberadaan pertambangan yang mengakibatkan kerusakan hutan perlu dilakukan rehabilitasi lahan. Dari hasil wawancara terhadap responden yang bukan penambang, terdapat beberapa pandangan terhadap lahan pasca tambang yang telah rusak dan tercemar. Persentase pandangan masyarakat bukan penambang terhadap lahan pasca tambang dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Pandangan masyarakat terhadap lahan pascatambang.

Responden bukan penambang menyatakan bahwa lahan pascatambang yang telah rusak dan tercemar perlu direhabilitasi oleh penambang dan pemerintah daerah, yaitu sebanyak 47%. Dalam kebijakan pengelolaan semberdaya alam dan lingkungan pemerintah daerah bekerja sama dengan penambang bertanggung jawab untuk memperbaiki lahan yang rusak agar dapat bermanfaat kembali bagi kehidupan masyarakat. Penambang bertanggung jawab akan kerusakan dan pemerintah dapat memberi biaya rehabilitasi, sehingga perpaduan keduanya akan lebih baik dalam merehabilitasi lahan. Sebanyak 37% responden menyatakan bahwa penambang yang harus merehabilitasi lahan, karena penambanglah yang bertanggung jawab akan kerusakan. Sebagian kecil responden berpandangan bahwa lahan pascatambang direhabilitasi oleh pemerintah daerah (10%) dan tidak dilakukan rehabilitasi lahan (7%).

Kearifan masyarakat dalam penngelolaan sumberdaya alam

(42)

25

1. Pola galian lubang tambang emas dulunya hanya mengarah pada satu titik, sedangkan lubang tambang sekarang mengarah pada titik yang tidak beraturan. Lubang tambang sekarang mengakibatkan kerusakan yang lebih besar karena pengeboran lubang mengarah ke semua arah, dan penentuan lubang tambang juga tidak beraturan (Gambar 6).

Gambar 6 Lubang tambang emas dulu dan sekarang.

Sebagian besar kerusakan lahan hutan disebabkan oleh adanya pembukaan lahan pertambangan oleh penambang tanpa izin dengan proses penambangan yang tidak ramah lingkungan. Pembukaan lahan pertambangan tersebut dapat menyebabkan kerusakan vegetasi. Kerusakan tubuh tanah dapat terjadi pada saat penggalian lubang. Kerusakan tubuh tanah akan mengganggu kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah. Kerusakan tersebut akan membuat tanah sebagai media tumbuh tak dapat berfungsi dengan baik bagi tanaman nantinya dan tanpa adanya vegetasi penutup akan membuatnya rentan terhadap erosi baik oleh hujan maupun angin.

(43)

26

Gambar 7 Daun bambu (rintop).

3. Hutan (harangan) menurut masyarakat Huta Bargot adalah suatu areal yang ditumbuhi oleh pepohonan yang besar, lebat dan rindang. Bentuk kearifan lokal oleh masyarakat di Huta Bargot adalah kesadaran untuk tetap menjaga fungsi hutan. Masyarakat adat Huta Bargot mempunyai aturan adat yang melarang masyarakatnya untuk memasuki harangan bolak (hutan adat), yaitu hutan tua yang sangat lebat dan sunyi, serta tidak pernah dimasuki oleh manusia. Hutan tersebut tidak boleh dimasuki oleh jika akan merusak hutan. Hutan tidak boleh dimasuki oleh jika akan merusak hutan. Masyarakat Huta Bargot memiliki kepercayaan jika aturan adat tersebut dilanggar maka alam akan terjadi bencana, seperti kebanjiran dan longsor, serta munculnya harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di sekitar hutan, kebun bahkan dapat memasuki areal sekitar pemukiman penduduk.

Simpulan

1. Ketidaksepakatan persepsi masyarakat penambang dan masyarakat bukan penambang terhadap dampak sosial, yang sejalan dengan keraguan masyarakat terhadap keberadaan pertambangan. Berdasarkan rata-rata indeks persepsi terhadap perubahan sosial diperoleh bahwa masyarakat tidak setuju dengan adanya peningkatan kriminalitas, ragu-ragu dengan adanya kecemburuan sosial dan sutuju dengan masyarakat yang semakin konsumtif.

(44)

4 PEMBAHASAN UMUM

Gambaran umum lokasi pertambangan emas di Kecamatan Huta Bargot

Kabupaten Mandailing Natal secara geografis terletak antara 00.10’ – 10º50’ Lintang Utara dan 98º50’ – 100º10’ Bujur Timur. Kabupaten Mandailing Natal hampir 50% luas wilayahnya merupakan hutan. Hutan di Kabupaten Mandailing Natal diharapkan mampu menghasilkan komoditas kayu yang merupakan sumber pendapatan daerah dari sektor kehutanan. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Mandailing Natal, luas kawasan hutan dirinci menjadi hutan produksi sebesar 174 776.73 Ha, hutan lindung sebesar 120 675.05 Ha, dan hutan konservasi 108 000 Ha.

Pemukiman masyarakat berada di dalam dan sekitar kawasan hutan lindung, sehingga aktivitas masyarakat erat dengan sumberdaya hutan. Status kawasan yang masih kawasan hutan lindung, belum ada koreksi dari pihak pemerintah daerah dan Dinas Kehutanan. Dinas Kehutanan mulai mengusulkan sejak tahun 2007 untuk mengoreksi dan meninjau keadaan kawasan, karena terus terjadi pengurangan luas kawasan hutan lindung, namun masih menunggu izin dari pusat.

Gambar 8 Peta status kawasan di Kabupaten Mandailing Natal (SK Menhut 44 2005).

(45)

28

Kabupaten Mandaling Natal memiliki 403 jumlah perusahaan di bidang pertambangan dan penggalian, dengan total 1 602 orang pekerja tetap. Perusahaan pertambangan di Kecamatan Huta Bargot tidak dapat berproduksi, karena bidang tersebut dikuasai oleh penambang rakyat baik dari masyarakat setempat maupun dari luar daerah. Tambang Emas di Huta Bargot merupakan pertambangan emas tanpa izin, sehingga jumlah pekerja tidak dapat ditentukan. Menurut Dinas Kehutanan lokasi tambang masyarakat merupakan kawasan hutan lindung, namun masyarakat menyatakan lahan tersebut adalah lahan mereka yang sudah ada secara turun-temurun. Berdasarkan SK Menhut 44 tahun 2005 tentang penunjukan kawasan hutan Sumatera Utara, wilayah pertambangan emas masyarakat yang tanpa izin tersebut masuk ke dalam kawasan tambang yang telah di kontrak oleh PT. Sorikmas Mining.

Izin pertambangan PT. Sorikmas Mining berupa kontrak karya dengan persetujuan presiden RI , yaitu KK No.13.53/Pres/I/1998 pada tanggal 14 Januari 1998 dengan luas 201.600 Ha. Izin pertambangan PT. Sorikmas Mining yang berada di kawasan hutan lindung tetap berlaku, karena berdasarkan UU No.19 tahun 2004 pasal 83A izin pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum UU No.41 tahun 1999 tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut. Pada tahun 2000 luasan kawasan pertambangan dari kontrak karya dikurangi menjadi 66 200 Ha, berdasarkan Keputusan Dirjen Pertambangan Umum No.775K/20.011/DJP/2000 pada tanggal 14 Desember 2000. Meskipun luas kawasan pertambangan kontrak PT. Sorikmas Mining telah dikurangi, pertambangan masyarakat tetap saja masuk ke dalam wilayah kontrak PT.Sorikmas Mining. PT. Sorikmas Mining tidak dapat bertindak tegas pada masyarakat Huta Bargot, karena masyarakat bersikeras bahwa lahan tersebut adalah lahan masyarakat yang sudah turun-temurun. Masyarakat menolak pengelolaan pertambangan emas oleh PT. Sorikmas Mining dan ingin tetap mengelola sendiri pertambangan di daerah tersebut.

Proses kegiatan pertambangan emas di Kecamatan Huta Bargot

Tahapan kegiatan pertambangan emas masyarakat di Kecamatan Huta Bargot adalah sebagai berikut:

1. Pemilik tambang (toke) akan mempersiapkan lahan tambang, tanah tersebut dapat berupa tanah milik, dibeli atau disewa. Sebelum adanya pertambangan, harga tanah masih murah Rp. 1 000 000,-/ha, namun sejak adanya pertambangan harga tanah dapat mencapai Rp. 4 000 000 – Rp. 10 000 000/titik tambang yang berukuran kurang lebih 10 mx 10 m. Harga lahan untuk lobang pengeboran tambang tersebut tergantung lokasi dan perkiraan kandungan emasnya. Jika lahan tersebut disewa, setiap pengambilan bebatuan dari hasil pengeboran, pemilik tambang dan pemilik lahan membagi hasil dengan perbandingan 10:2, yaitu 10 karung untuk pemilik tambang dan 2 karung untuk pemilik lahan.

(46)

29

karena penebangan secara liar terus meningkat. Tidak hanya untuk penyangga lobang, kayu dari hutan juga digunakan sebagai tiang penyangga camp.

Gambar 9 Aktivitas pertambangan di Huta Bargot.

3. Hasil tambang berupa batuan yang mengandung biji emas dimasukkan ke dalam karung dengan berat antara 50-55 kg/karung. Karung tersebut dipikul keluar hutan oleh pekerja tambang menuju pangkalan ojek. Selanjutnya

dibawa ke lokasi galundung menggunakan ojek dengan ongkos Rp. 100 000/karung. Galundung adalah alat yang digunakan untuk

memisahkan kandungan emas dari dalam batuan.

Gambar 10 Karungan hasil pertambangan emas.

4. Tahap pengolahan hasil tambang di lokasi galundung dimulai dengan penumbungan batuan hingga sebesar jagung. Penumbukan dapat dilakukan secara manual dengan menggunakan palu atau menggunakan mesin penumbuk Gambar 12 menunjukkan penumbukan batuan secara manual.

(47)

30

5. Batuan yang telah ditumbuk, di proses ke dalam galundung sekitar 2-5 jam. Ada tiga cara untuk memasukkan hasil tambang ke dalam galundung, yaitu; (1) batuan dimasukkan ke dalam galundung bersamaan dengan merkuri, (2) memasukkan merkuri dulu baru batuan, (3) memasukkan batuan dulu baru merkuri. Sebelum pertambangan marak harga merkuri Rp. 400 000 – Rp. 500 000/ kg, setelah pertambangan mulai marak dan terus meningkat harga mercuri Rp. 1 400 000 - Rp.1 600 000/kg.

Gambar 12 Galundung alat pengolahan hasil tambang emas

6. Hasil olahan dari galundung dimasukkan ke dalam kain, kemudian ditekan di dalam kain tersebut agar merkuri cair dan emas terpisah. Proses ini hanya menggunakan tangan telanjang, sehingga lambat laun tangan akan iritasi dan menyebabkan penyakit kulit, dengan gejala awal ada rasa panas pada tangan.

Gambar 13 Sisa merkuri cair yang telah dipisahkan dengan kain.

(48)

31

Gambar 14 Ampas cair dan ampas padat dari pengolahan di galundung.

8. Emas yang sebelumnya sudah dipisahkan dari merkuri akan di gebos, yaitu pemisahan akhir antara emas dengan merkuri yang masih tersisa. Biaya penggebosan berkisar antara Rp. 20 000 – Rp. 120 000/ mangkuk.

Gambar 15 Tahapan penggebosan hasil tambang.

9. Hasil pertambangan emas masyarakat Huta Bargot rata-rata memiliki kadar 50-65%. Umumnya emas yang telah jadi akan di jual ke Medan ataupun Padang.

Dampak dari kegiatan pertambangan emas

(49)

32

Keberadaan lokasi galundung semakin meningkat karena aktivitas pertambangan yang terus meningkat pula. Mesin galundung di Kecamatan Huta Bargot tidak hanya berada di sudut desa sekitar areal pertambangan, namun juga dipinggir sungai, bahkan ditengah pemukiman warga. Warga sekitar lokasi galundung telah menyatakan keberatan akan keberadaan galundung tersebut, sehingga beberapa menyatakan keberatan secara lisan maupun tulisan kepada pihak pemerintah daerah. Pemerintah daerah melakukan pengujian kualitas air di lokasi-lokasi yang telah diajukan oleh warga masyarakat. Keresahan masyarakat tersebut akhirnya terbukti dengan air yang positif mengandung merkuri (Lampiran 7). Dalam pengolahan ampas padat, digunakan sianida sebagai salah satu bahan pemisah kandungan logam. Sianida adalah bahan kimia beracun, jika dilepas tanpa proses penguraian atau detoksifikasi akan sangat berbahaya.

Dampak ekonomi pertambangan emas

Pertambangan emas masyarakat berada di dalam kawasan hutan lindung, yang akan mencemari dan merusak hutan. Sumberdaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat akan mengalami penurunan produksi dan kerusakan yang mengeluarkan biaya. Pengukuran dan penilaian sumberdaya tidak memiliki konsumen tetap. Valuasi ekonomi adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengukur nilai ekonomi total dari hutan. Sejak adanya pertambangan di kawasan hutan, nilai manfaat dari hutan mengalami penurunan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penurunan ini diakibatkan olah aktivitas pertambangan yang merusak hutan. Valuasi ekonomi pada suatu ekosistem hutan merupakan suatu pendekatan yang sangat dianjurkan untuk menilai secara ekonomi pemanfaatan ekosistem hutan.

Analisis biaya diperoleh dari biaya pertambangan akibat penurunan fungsi hutan (kayu bakar, satwa, tanaman obat, dan pengendali banjir erosi) adalah sebesar Rp.1 966 086 740/tahun. Biaya penurunan sumberdaya air (ketersediaan air dan produksi ikan) sebesar Rp. 275 676 000/tahun. Biaya penurunan produksi perladangan sebesar Rp. 530 596 800/tahun. Biaya penurunan kesehatan masyarakat sebesar Rp 19 936 000/tahun. Nilai manfaat diperoleh dari peningkatan pendapatan sebesar Rp. 128 679 996/tahun. Analisis biaya-manfaat yang telah dilakukan dari data diatas diperoleh hasil NPV sebesar Rp. -21 606 438 873. Dari nilai NPV menunjukkan bahwa konversi dari lahan hutan menjadi lahan pertambangan mengakibatkan kerugian sebesar Rp. -21 606 438 873, sehingga pertambangan emas masyarakat tidak layak untuk dilanjutkan.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran dampak penambangan emas terhadap sosial
Tabel 2 Penurunan manfaat ekonomi satwa akibat pertambangan
Tabel 5 Biaya penurunan ketersediaan air akibat pertambangan
Tabel 7 Penurunan produksi perladangan akibat pertambanganUraian Jumlah (kg)Harga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tentang penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Talk-Write (TTW) untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar Matematika

Setelah dinyatakan bahwa return saham BBNI dan TLKM tidak normal dan memiliki dependensi, maka kemudian dapat dilakukan estimasi parameter copula dengan menggunakan

Sungai Cilamaya yang berada di Desa Ponggang memiliki potensi untuk dibuat Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTM) dengan kapasitas 2,8 Megawatt yang ramah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat formulasi sediaan liposom yang mengandung ekstrak etanol kunyit dengan karakter yang paling baik dan mengetahui

Penelitian ini bertolak pada pendidikan yang diketahui dapat memberikan pengetahuan dalam membentuk sikap dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan serta

Berikut ini adalah beberapa gambar dokumentasi materi gramatika pada multimedia interaktif Imagiers version 4 yang termasuk ke dalam unsur gramatika les

pembelajaran learning cycle 5 fase terhadap hasil belajar dan self regulated. learning (SRL)

menyerahka n kepada perawat lain ketika keluarga pasien yang tidak saya sukai meminta bantuan.. 15 Saya bersedia menggantika n tugas teman yang berhalangan