Pendahuluan
Mandailing Natal merupakan salah satu Kabupaten di Sumatera Utara yang cukup kaya dengan sumberdaya alamnya. Sumberdaya alam yang sudah dikelola adalah pertambangan emas, baik oleh pemerintah daerah, investor dari dalam dan luar negeri maupun oleh masyarakat. Huta Bargot merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Mandailing Natal. Di kecamatan tersebut, terdapat Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) yang dilakukan oleh masyarakat. Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) adalah usaha penambangan yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok ataupun perusahaan yang dalam operasinya tidak memiliki izin dari instansi pemerintah pusat atau daerah, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengelolaan pertambangan emas tersebut tentunya akan membawa dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat di wilayah pertambangan, mendorong dan menggerakkan sendi-sendi ekonomi masyarakat, mendatangkan devisa dan menyediakan lapangan kerja. Sebaliknya pertambangan emas rawan terhadap pengrusakan lingkungan yang mengundang sorotan masyarakat sekitarnya. Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal telah berupaya menertibkan pertambangan emas di Kecamatan Huta Bargot, baik melalui surat peringatan maupun sosialisasi agar kegiatan pertambangan tersebut dihentikan. Namun masyarakat tidak menghiraukan larangan pemerintah dan jumlah penambang semakin bertambah.
Aktivitas pertambangan emas tanpa izin tersebut sangat berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pertambangan secara langsung, maupun tidak langsung. Pengaruh tersebut bisa positif maupun negatif. Aktivitas pertambangan emas tanpa izin berdampak pada ekonomi masyarakat yang terlibat dalam pertambangan serta masyarakat sekitar yang terkena dampak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dampak ekonomi melalui valuasi ekonomi dengan analisis biaya-manfaat.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap masyarakat di Kecamatan Huta Bargot, Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara. Pengambilan data dilakukan selama 3 bulan, mulai bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2013. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen tertulis baik yang berupa tulisan ilmiah ataupun dokumen resmi dari instansi terkait. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait yaitu kantor Kecamatan Huta Bargot, Dinas Kehutanan, Dinas Pertambangan dan Mineral, Dinas Pendapatan Daerah, dan tokoh masyarakat seperti Lurah dan Kepala Lingkungan, serta dari studi litelatur penelitian sebelumnya. Data primer didapatkan melalui pengamatan langsung pada lokasi penelitian. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan observasi.
11
1. Wawancara mendalam (indepth interview) yaitu mengumpulkan data dan informasi dengan melakukan wawancara secara langsung berdasarkan pedoman pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Hadi (2005) menyatakan bahwa pedoman pertanyaan hanya digunakan sebagai panduan, sehingga jawaban dari responden atau nara sumber bersifat terbuka. Wawancara terstruktur juga dilakukan dengan panduan kuisioner.
2. Observasi dilakukan dengan cara pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala, peristiwa dan aspek-aspek yang diteliti di lokasi penelitian. Observasi dilakukan untuk memahami pola hubungan antara fenomena yang ada.
Penentuan responden dalam penelitian menggunakan metode purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebutuhan penelitian yang disesuaikan dengan tujuan (Sugiyono 2008). Kriteria yang dipertimbangkan adalah pengetahuan terhadap pertambangan yang sesuai dengan tujuan dan keterwakilan dari stakeholder (pemuka agama dan pemuka adat). Responden terdiri dari 30 orang penambang dan 30 orang bukan penambang, dengan 9 orang
key person yang terdiri dari 3 orang pemuka agama, 3 orang pemuka adat dan 3 kepala desa.
Valuasi ekonomi adalah nilai yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungakan dalam menyusun kebijakan pengelolaan sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dalam ditentukan secara benar dan bermanfaat (Cantlon dan Herman 1999). Pendekatan yang dilakukan metode valuasi ekonomi ini adalah pendekatan harga pasar/pendekatan produktivitas yaitu pendekatan yang digunakan dalam analisis biaya manfaat (Suparmoko 2011). Valuasi ekonomi dilakukan dengan analisis Net Present Value(NPV) dan Benefit Cost Rasio(BCR) dengan periode 20 tahun dan suku bunga 8%. Kriteria keputusan sebuah proyek dianggap layak dan efektif untuk dilakukan dari segi ekonomi jika NPV >0 dan BCR>1, namun jika NPV<0 dan BCR<1 maka proyek tersebut tidak layak untuk dilakukan. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
NPV =
∑
(( ) )BCR=
∑ ( )
∑ ( )
Keterangan:
Bt : seluruh manfaat setelah lahan hutan dikonversi menjadi lahan tambang pada waktu t=0,1,2,3,...t
Ct : seluruh biaya (didekati dari manfaat yang hilang) pada waktu ke t r : discount rate(8%)
12
Hasil dan Pembahasan Biaya pertambangan dari penurunan fungsi hutan
Pertambangan emas masyarakat berada di dalam kawasan hutan lindung, yang akan mencemari dan merusak hutan. Sumberdaya lahan hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk perladangan akan mengalami penurunan produksi. Sejak adanya pertambangan di kawasan hutan, nilai manfaat dari hutan mengalami penurunan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Fungsi hutan yang mengalami gangguan adalah sebagai berikut:
1. Penurunan fungsi hutan sebagai penghasil kayu bakar
Hutan dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat untuk menghasilkan kayu, yang digunakan sebagai kayu bakar dan bahan bangunan. Kayu tersebut diperoleh dari dalam hutan rakyat seluas 522 Ha. Sejak adanya pertambangan, fungsi hutan sebagai penghasil kayu bagi masyarakat mengalami gangguan.
Kayu yang di tebang digunakan sebagai alat penyangga lobang tambang yang membutuhkan kayu dalam jumlah besar dan sebagai penyangga atap lobang tambang. Masyarakat harus kehilangan manfaat hutan sebagai penghasil kayu, sehingga masyarakat membeli kayu. Besarnya biaya akibat berkurangnya kayu bakar dapat dilihat dari nilai ekonomi pembelian kayu tersebut.
Kayu yang digunakan untuk kayu bakar adalah adalah tumbuhan berkayu dan berbentuk pohon. Menurut Inama (2008) kayu bakar merupakan sumberdaya hayati yang sangat penting bagi masyarakat yang tidak memiliki sumber energi lain sepeti listrik, minyak tanah dan gas. Kayu yang digunakan sebagai bahan bakar adalah jenis kayu yang memiliki sifat mudah terbakar, mudah dibelah, menghasilkan bara yang cepat, tidak cepat habis terbakar, tidak berasap banyak dan menghasilkan panas yang baik. Terdapat 5 spesies tumbuhan yang digunakan sebagai kayu bakar, yaitu akasia, beringin, jamuju, suren dan tusam. Penurunan manfaat ekonomi kayu bakar dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Penurunan manfaat ekonomi kayu bakar akibat pertambangan
Uraian Jumlah (KK) Rp/bulan
KK pengguna kayu bakar sebelum pertambangan
KK pengguna kayu bakar sesudah pertambangan
186 108
16 275 000 9 450 000
Harga kayu bakar dijual dengan harga Rp. 12 500/ikat, penggunaan rata-rata 7 ikat/KK/bulan, maka pengeluaran untuk penggunaan kayu bakar adalah Rp. 87 500/KK/bulan. Sebelum adanya pertambangan terdapat 186 KK masyarakat Huta Bargot yang menggunakan kayu bakar dari hutan yaitu masyarakat dari Desa Simalage, Huta Julu dan Kumpulan Setia. Sebelum adanya pertambangan, nilai manfaat dari penggunaan kayu bakar adalah Rp. 16 275 000/bulan yang dapat diperoleh dari hutan, tanpa harus membeli. Namun setelah adanya pertambangan jumlahnya mengalami penurunan sebanyak 78 KK. Pertambangan emas mengakibatkan kerugian yang sangat besar, karena masyarakat harus membeli kayu bakar dengan biaya sebesar Rp. 81 900 000/tahun.
13
2. Penurunan fungsi hutan sebagai penghasil satwa
Hutan dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat untuk menghasilkan satwa. Satwa dimanfaatkan masyarakat untuk dikonsumsi dan dijual. Terdapat 5 jenis satwa yang dimanfaatkan oleh masyarakat Huta Bargot (Lampiran 1). Sejak adanya pertambangan di kawasan hutan, fungsi hutan sebagai penghasil satwa mengalami gangguan. Penurunan produksi satwa menyebabkan masyarakat harus mengeluarkan biaya yang diperoleh berdasarkan nilai pasar. Penurunan manfaat ekonomi satwa dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Penurunan manfaat ekonomi satwa akibat pertambangan
Uraian Jumlah (kg/bulan) Harga(Rp/kg) Rp/bulan
Jenis satwa yang mengalami penurunan produksi
Babi Hutan Rusa Kijang
Jenis satwa yang tidak ditemukan lagi Ular sanca Kalong 6 8 6 2 6 25 000 45 000 42 000 14 000 12 000 9 750 000 19 800 000 13 860 000 672 000 134 400
Satwa diperoleh masyarakat dengan cara berburu di dalam kawasan hutan. Fungsi hutan yang mengalami gangguan menyebabkan beberapa jenis satwa yang dimanfaatkan oleh masyarakat mengalami penurunan produksi. Total penurunan mamfaat ekonomi akibat pertambangan adalah sebesar Rp. 530 596 800/tahun. 3. Penurunan fungsi hutan sebagai penghasil tanaman obat
Rifai (1998) menyatakan bahwa kelompok etnik tradisional di Indonesia memiliki konsep terhadap pemanfaatan sumberdaya nabati di lingkungannya, termasuk dalam pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional. Terdapat 12 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Huta Bargot sebagai obat (Lampiran 3). Sejak adanya pertambangan, semua jenis tumbuhan obat mengalami penurunan produksi. Penurunan manfaat ekonomi tumbuhan obat dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Penurunan manfaat ekonomi tumbuhan obat akibat pertambangan
Jenis Tumbuhan Jumlah (kg/bulan) Harga(Rp/kg) Rp/bulan Alang-alang Aren’ Cengkeh Ceplukan Harendong Jarak Kumis kucing Kunyit Lengkuas Putri malu Sirih Takokak 19.02 11.35 35.00 36.09 17,50 207.69 19.38 41.88 24.12 10.00 25.71 14.40 1 200 8 600 45 000 1 300 4 800 12 500 6 400 5 200 8 800 6 800 14 400 12 000 72 293 97 617 1 575 000 46 913 84 000 2 596 154 124 000 217 750 212 235 68 000 370 286 172 857
14
Pertambangan emas mengakibatkan penurunan produksi tumbuhan obat yang dapat dikonsumsi masyarakat. Penurunan disebabkan oleh penurunan dan gangguan pada sumberdaya lahan hutan. Masyarakat mengalami kerugian karena harus membeli tumbuhan untuk obat-obatan. Total penurunan mamfaat ekonomi tumbuhan obat adalah sebesar Rp. 67 645 200/tahun. Nilai ekonomi yang besar tersebut menunjukkan bahwa masyarakat memiliki tingkat ketergantungan yang besar terhadap fungsi hutan sebagai penghasilkan tumbuhan obat.
4. Penurunan fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan erosi
Hutan memberi manfaat sebagai pengendali banjir dan erosi. Sejak adanya pertambangan, kerusakan hutan semakin meningkat, sehingga fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan erosi mengalami gangguan. Penurunan fungsi hutan ini mengakibatkan kerugian secara ekonomi bagi masyarakat, baik dari kerusakan bangunan maupun korban luka. Nilai pengendali banjir dan erosi diperoleh dari hasil penghitungan kerugian masyarakat akibat banjir dan erosi. Kerugian akibat penurunan manfaat ekonomi pengendali banjir dan erosi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Penurunan manfaat ekonomi pengendali banjir dan erosi akibat pertambangan
Uraian Jumlah Rata-rata kerugian (Rp) Rp
Rumah rusak berat
Rumah rusak ringan
Korban luka berat
Korban luka ringan
Kerugian harta benda
12 buah 35 buah 34 orang 102 orang 46 KK 4 550 000 1 890 000 260 000 55 000 1 755 000 54 600 000 66 150 000 8 840 000 5 610 000 80 730 000
Aktivitas pertambangan menyebabkan penurunan fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan erosi. Kerusakan hutan dapat terlihat dari balok-balok kayu yang terbawa oleh arus banjir. Sungai juga mengalami erosi dengan berkurangnya lebar sungai dan sungai semakin dangkal, sehingga potensi banjir akan meningkat. Total kerugian akibat penurunan fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan erosi adalah sebesar Rp. 215 930 000. Dinas kehutanan menyatakan bahwa ada hubungan antara aktivitas pertambangan masyarakat dengan kebanjiran yang masyarakat, karena kerusakan hutan semakin meningkat akibat penggalian dan penebangan liar yang dilakukan oleh penambangan tanpa adanya rehabilitasi.
Biaya pertambangan dari penurunan sumberdaya air
Pertambangan emas mengakibatkan penurunan sumberdaya air. Penurunan sumberdaya air terjadi pada kualitas dan kuantitas air, baik air permukaan maupun air tanah. Penurunan sumberdaya air dapat dilihat dari penurunan ketersedian air dan penurunan produksi ikan.
1. Penurunan ketersediaan air akibat pertambangan
Sungai-sungai yang berada di Huta Bargot digunakan masyarakat sebagai sarana MCK (Mandi, Cuci, dan Kakus) dan penyedia air untuk kebutuhan sehari-hari. Penurunan sumberdaya air mangakibatkan masyarakat harus mengeluarkan biaya untuk memperoleh air, karena adanya perbedaan kuantitas dan kualitas air sebelum dan sesudah adanya pertambangan.
15
Gambar 2 Penurunan produksi air akibat banjir dan erosi.
Penurunan produksi air tersebut disebabkan oleh banjir dan erosi, yang menyebabkan air di sungai semakin berkurang, air mulai keruh, dan masyarakat khawatir dengan kuliatas air sungai yang tercemar merkuri. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk memperoleh air dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Biaya penurunan ketersediaan air akibat pertambangan
Uraian Jumlah Harga (Rp) Rp Mesin sedot rubin
Selang mesin sedot Selang ikat
Biaya pembuatan sumur Pompa air sumur Pipa pompa air
8 buah 800 meter 8 meter 68 buah 68 buah 102 batang 2 250 000/buah 8 000/meter 50 000/meter 220 000/buah 370 000/buah 50 000/batang 18 000 000 6 400 000 400 000 14 960 000 25 160 000 5 100 000
Terdapat 68 buah sumur yang dibuat masyarakat, setiap satu sumur membutuhkan 1.5 batang pipa. Mesin sedot rubin digunakan masyarakat untuk menyedot air yang akan dialiri ke 8 titik pemandian di sekitar pemukiman warga. Satu titik pemandian menggunakan selang sepanjang ±100 meter dan selang ikat sepanjang ±1 meter. Total biaya dari penurunan ketersediaan air akibat pertambangan adalah sebesar Rp. 53 820 000. Sebelum adanya pertambangan, sebagian besar masyarakat melakukan aktivitas MCK di sungai-sungai. Namun sejak adanya pertambangan, masyarakat mulai membuat sumur dan sarana umum untuk memperoleh air, karena kualitas air dan kuantitas air yang menurun.
2. Penurunan produksi ikan akibat pertambangan
Penurunan sumberdaya air akibat pertambangan menyebabkan penurunan produksi ikan. Penurunan produksi ikan terjadi karena kuantitas air yang menurun dan kualitas air yang tercemar merkuri dari aktivitas pertambangan. Terjadi penurunan produksi ikan sebelum dan sesudah adanya aktivitas pertambangan dapat dilihat pada Lampiran 4. Penurunan produksi ikan dihitung berdasarkan nilai pasar, yang dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Penurunan produksi ikan akibat pertambangan
Jenis Jumlah (ekor) Harga (Rp) Rp/bulan Ikan baung Ikan cencen Ikan mera Udang galah Ikan labosang Ikan garing Ikan gabus 60 968 64 76 104 87 50 50 000 1 000 100 000 50 000 20 000 20 000 10 000 3 000 000 968 000 6 400 000 3 800 000 2 080 000 1 740 000 500 000
16
Sejak adanya pertambangan, terjadi penurunan produksi ikan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Total biaya dari penurunan ketersediaan air akibat pertambangan adalah sebesar Rp. 53 820 000/tahun. Nilai ekonomi yang besar tersebut menunjukkan bahwa masyarakat memiliki tingkat ketergantungan yang besar terhadap kualitas dan kuantitas air sungai dalam memproduksi ikan.
Biaya pertambangan akibat penurunan produksi perladangan
Hutan dimanfaatkan masyarakat sebagai untuk lahan perladangan. Ladang masyarakat digunakan untuk menghasilkan tanaman pangan seperti sayuran dan buah-buahan. Luas kebun masyarakat yang berada di dalam hutan adalah ±492 Ha. Hasil produksi tanaman pangan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk konsumsi sehari-hari.
Sejak adanya pertambangan di kawasan hutan, produksi tanaman pangan mengalami penurunan. Terdapat 20 jenis tumbuhan yang diperoleh dari hutan yang digunakan sebagai bahan pangan (sayur-sayuran dan buah-buahan) sebelum adanya pertambangan (Lampiran 2). Sejak adanya pertambangan jumlah jenis tumbuhan pangan yang mengalami penurunan sebanyak 11 jenis dan terdapat 9 jenis yang tidak dapat diperoleh lagi. Penurunan produksi perladangan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Penurunan produksi perladangan akibat pertambangan
Uraian Jumlah (kg) Harga
(Rp/kg)
Rp/bulan
Tumbuhan yang tidak ditemukan lagi Jagung Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Ketimun Kacang Panjang Tomat Cabe Bawang Daun
Tumbuhan yang mengalami penurunan produksi Ubi Kayu Ubi Jalar Langsat Jambu Biji Jambu Air Durian Jeruk Mangga Manggis Rambutan Salak 300.80 117.00 118.00 107.50 1617.25 488.00 815.00 577.60 39.50 1256.00 174.00 392.91 443.00 1580.00 642.00 830.00 109.09 494.29 28.08 11.92 3 200 17 000 11 000 7 500 3 000 8 000 8 000 45 000 23 000 5 000 6 000 7 500 4 000 6 500 12 000 13 000 8 000 11 000 12 000 10 000 962 560 1 989 000 1 298 000 806 250 4 851 750 3 904 000 6 520 000 25 992 000 908 500 6 280 000 1 044 000 2 946 825 1 772 000 10 270 000 7 704 000 10 790 000 872 720 5 437 190 336 960 119 200
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai yang dikonsumsi oleh manusia (UU No.7 Tahun 1996 tentang pangan). Tumbuhan pangan adalah segala sesuatu yang tumbuh, hidup, berbatang, berakar, berdaun dan dapat dimakan atau dikonsumsi. Pangan yang bersumber dari tumbuhan dapat
17
berupa buah-buahan, sayur-sayuran, dan makanan pokok. Sejak adanya pertambangan, terjadi penurunan produksi hasil perladangan yang dikonsumsi oleh masyarakat, bahkan ada jenis tumbuhan yang hilang. Total biaya dari penurunan produksi hasil perladangan adalah sebesar Rp. 1 137 659 460/tahun. Penurunan ini diakibatkan olah aktivitas pertambangan yang merusak ladang masyarakat.
Biaya pertambangan dari penurunan kesehatan masyarakat
Pencemaran akibat merkuri terus meresahkan masyarakat, banyak pengaduan yang disampaikan masyarakat secara lisan maupun tulisan tentang dampak aktivitas pertambangan kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah mengambil sampel air di 3 desa yang terkena dampak, yaitu desa Simalage, Kumpulan Setia dan Huta Julu. Peninjauan lapangan itu dilakukan untuk mengetahui tingkat pencemaran merkuri. Berdasarkan hasil laboratorium, suluruh sampel yang berada dalam 3 desa di kecamatan Huta Bargot tersebut positif mengandung merkuri (Lampiran 7).
Kandungan merkuri dalam air dan udara akan mengakibatkan penurunan kesehatan masyarakat. Merkuri dapat menimbulkan berbagai penyakit baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek (Lampiran 5). Jangka pendek dapat terlihat dari gangguan kesehatan secara langsung, sedangkan jangka panjang disebabkan oleh timbunan merkuri yang masuk ke dalam tubuh, baik melalui konsumsi air tercemar, ikan tercemar, hirupan udara maupun penyerapan melalui kulit. Masyarakat Huta Bargot meresahkan dampak aktivitas pertambangan emas bagi kesehatan karena dengan keberadaan galundung, karena dapat mencemari air sungai (Gambar 3).
Gambar 3 Galundung berada di tepi sungai.
Berdasarkan hasil laboratorium, suluruh sampel yang berada dalam 3 desa di kecamatan Huta Bargot tersebut positif mengandung merkuri. Pendekatan biaya berobat digunakan dalam penentuan nilai ekonomi dari penurunan kesehatan. Terdapat 4 jenis penyakit yang disebabkan oleh merkuri, yang masuk dalam 10 jenis penyakit terbesar di Puskesmas Huta Bargot. Biaya penurunan kesehatan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 8.
18
Tabel 8 Biaya penurunan kesehatan masyarakat akibat pertambangan
Jenis penyakit Jumlah pasien (orang) Biaya (Rp) Rp/tahun
Diare Dermatitis Penyakit mata Karies gigi 556 138 60 36 25 000 28 000 20 000 27 000 13 900 000 3 864 000 1 200 000 972 000
Aktivitas pertambangan yang menggunakan merkuri menyebabkan penurunan kesehatan masyarakat. Total biaya dari penurunan kesehatan masyarakat akibat pertambangan adalah Rp. 19 936 000/tahun. Pihak pemerintah daerah menghimbau masyarakat agar sadar dengan dampak aktivitas pertambangan terhadap kesehatan masyarakat, terutama pada masyarakat yang terkait langsung dengan aktivitas pertambangan. Dinas Kesehatan Kabupaten Mandailing Natal dan Puskesmas Huta Bargot telah mengadakan sosialisasi tentang bahaya merkuri dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat,baik secara langsung maupun melalui selebaran.
Manfaat pertambangan dari peningkatan pendapatan
Pertambangan emas masyarakat akan memberi manfaat terhadap pendapatan masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat diperoleh dari hasil penjualan emas dan aktivitas pertambangan. Data pendapatan tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu penambang dan bukan penambang. Perbedaan pendapatan akibat adanya pertambangan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Perbedaan pendapatan masyarakat sebelum dan sesudah pertambangan
Uraian pendapatan Rata-rata pendapatan sebelum pertambangan (Rp/bulan) Rata-rata pendapatan setelah penambangan (Rp/bulan) Selisih rata-rata pendapatan (Rp/bulan) Penambang Bukan penambang - Penumbuk -Galunder -Tukang gebos -Pemilik warung -Tukang ojek -Tukang becak 780 000 500 000 500 000 2 500 000 2 000 000 1 200 000 800 000 4 903 333 1 800 000 2 500 000 2 700 000 3 500 000 2 300 000 1 500 000 4 123 333 1 300 000 2 000 000 200 000 1 500 000 1 100 000 700 000
Pada Tabel 9 dapat terlihat bahwa seluruh responden mengalami kenaikan pendapatan rata-rata perbulan, baik penambang maupun yang bukan penambang. Total kenaikan pendapatan adalah Rp. 10 723 333/bulan. Kenaikan pendapatan yang paling tinggi adalah pada responden penambang, penumbuk, galunder, dan tukang ojek, serta wiraswasta. Penambang mengalami kenaikan pendapatan yang tinggi, karena penambang memperoleh hasil bayaran jasa dari pertambangan dan bagi hasil dari penjualan emas hasil tambang. Terjadinya perubahan besar tersebut, karena awalnya pekerjaan penambang adalah buruh tani, buruh bangunan, pengangguran, dan lainnya yang memiliki penghasilan kecil, namun setelah adanya pertambangan pendapatan semakin meningkat.
19
Gambar 4 Peningkatan taraf hidup dari galunder.
Responden bukan penambang yang mengalami kenaikan pendapatan perbulan adalah penumbuk, galunder, wiraswasta, dan tukang ojek. Semua profesi tersebut bersinggungan langsung dengan pertambangan. Penumbuk adalah pekerja yang bertugas untuk menumbuk batu yang telah diturunkan dari areal pertambangan. Galunder adalah pekerja yang bertugas untuk mengolah batuan yang telah ditumbuk ke dalam galundung untuk diperoleh kandungan emasnya. Tukang ojek adalah pekerja yang bertugas untuk menurunkan batuan dari gerbang masuk ke tempat penumbukan dan galundung. Wiraswasta mengalami peningkatan karena pola dan tingkat konsumtif masyarakat semakin meningkat. Tukang becak tukang gebos mengalami kenaikan yang cukup besar karena sejak adanya pertambangan jumlah penumpang meningkat. Peningkatan itu terjadi dengan adanya mobilisasi penambang dari persimpangan menuju gerbang areal pertambangan ke pemukiman, sebelum berjalan ke hutan yang merupakan areal pertambangan.
Valuasi ekonomi adalah nilai yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungakan dalam menyusun kebijakan pengelolaan sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dalam ditentukan secara benar dan bermanfaat (Suparmoko 2008). Valuasi ekonomi pada suatu ekosistem merupakan suatu pendekatan yang sangat dianjurkan menilai secara ekonomi suatu pemanfaatan ekosistem. Dampak pertambangan emas masyarakat memiliki biaya-manfaat yang tersaji pada Tabel 10.
Tabel 10 Analisis biaya manfaat pertambangan emas
Biaya dan Manfaat Rp Biaya
-Penurunan hasil kayu bakar -Penurunan hasil satwa -Penurunan tanaman obat
-Penurunan pengendali banjir dan erosi -Penurunan ketersediaan air
-Penurunan produksi ikan -Penurunan hasil perladangan -Penurunan kesehatan masyarakat Manfaat -Peningkatan pendapatan 81 900 000 530 596 800 67 645 200 215 930 000 53 820 000 221 856 000 1 137 659 460 19 936 000 128 679 996
20
Analisis biaya-manfaat yang telah dilakukan dari data diatas diperoleh hasil NPV sebesar Rp.-21 606 438 873. Dari nilai NPV menunjukkan bahwa konversi lahan dari lahan hutan menjadi lahan pertambangan mengakibatkan kerugian sebesar Rp.-21 606 438 873, sehingga pertambangan emas masyarakat tidak layak untuk dilanjutkan.
BCR adalah perbandingan antara pendapatan dengan biaya yang didiskon. Analisis biaya manfaat yang telah dilakukan dari data diatas diperoleh hasil sebesar 0.055. Suatu proyek dengan nilai BCR>1 akan diterima, namun jika BCR<1 maka tidak akan diterima, sehingga hasilnya menunjukkan bahwa proyek tersebut tidak akan diterima. Setiap Rp. 1 000 biaya yang ditanggung oleh masyarakat, hanya memberi manfaat bagi sekelompok orang dari kegiatan penambangan sebesar Rp. 55.
Simpulan
Valuasi ekonomi yang dilakukan dengan analisis biaya-manfaat menunjukkan bahwa pertambangan emas tidak layak untuk dilanjutkan karena NPV<0 dan nilai BCR<1. Perubahan fungsi hutan yang diakibatkan oleh pertambangan, meningkatkan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat lebih besar dari pada nilai manfaat yang diperoleh oleh masyarakat dari peningkatan pendapatan masyarakat.