• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Penelitian

Perbedaan pendapat mengenai status ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia telah mengakibatkan beberapa hal, diantaranya: tidak adanya konsistensi penyebutan nama ilmiah, perbedaan pemanfaatan hasil pemuliaan dan branding

internasional yang kurang kuat. Inkosistensi penyebutan nama ilmiah dapat dilihat diantaranya pada Standar Nasional Indonesia (SNI) yang terkait dengan lele dumbo dan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (SK MKP) terkait pelepasan ikan. SNI terkait lele dumbo pada awalnya menyebut nama latin Clarias gariepinus

x C. fuscus (BSN 2000) namun kemudian direvisi menjadi Clarias spp (BSN 2011) dan Clarias sp. (BSN 2014). SK MKP terkait pelepasan ikan menyebut ikan lele Afrika dengan nama ilmiah berbeda, yaitu Clarias sp. untuk ikan lele Sangkuriang tahun 2004, Clarias spp. untuk benih sebar hibrida ikan lele Sangkuriang2 tahun 2013 dan benih sebar hibrida ikan lele Mandalika tahun 2014, dan Clarias gariepinus untuk ikan lele Mutiara tahun 2015. Inkonsistensi ini juga berdampak pada klasifikasi ikan lele yang diproduksi di Indonesia berdasarkan FAO (2016) yang menyebut sebagai Clarias nei. Status ikan hibrida atau galur murni akan berpengaruh terhadap pemanfaatan hasil persilangan sebagai salah satu langkah pemuliaan. Ikan hibrida (dalam arti interspesies), bila dapat dijadikan induk yang fertil, akan menghasilkan keturunan dengan performa budidaya yang lebih rendah (Argue et al. 2003; Senanan et al. 2004). Hal ini akan berbeda bila ikan lele Afrika sebagai spesies murni meskipun bila dilakukan persilangan dalam satu spesies (dalam arti interpopulasi). Keturunan yang dihasilkan masih memungkinkan memiliki performa yang sama atau tidak ditemukan adanya tekanan outbreeding (Lehnert et al. 2014). Dengan kejelasan statusnya juga, pendataan produksi ikan lele dapat diklaim dengan nama C. gariepinus seperti untuk kepentingan pendataan FAO.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa populasi ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia merupakan spesies C. gariepinus (Bab 3). Berdasarkan karakter genotipe dengan menggunakan pendekatan analisis marka DNA mitokondria, keragaman haplotipe dan jarak genetik antar populasi ikan lele relatif tinggi. Bagaimanapun, hasil ini belum bisa menjadi indikasi adanya perbedaan spesies atau telah terjadi persilangan antar spesies sebelumnya, namun hasil ini juga memberikan peluang untuk mendapatkan heterosis bila dilakukan persilangan antar populasi. Berdasarkan karakter fenotipe dengan pendekatan analisis truss- morfometri dan analisis reproduksi, tidak terdapat perbedaan di antara kelima populasi. Dengan menempatkan populasi liar (Kenya dan Mesir) sebagai populasi acuan, populasi budidaya – terutama dua diantaranya, yaitu Indonesia dan Thailand, yang dicurigai sebagai hasil hibrida, tidak menunjukkan adanya perbedaan terhadap populasi liar.

Selain itu, berdasarkan kegagalan persilangan atau hanya menghasilkan hibrida steril antara ikan lele Afrika dengan beberapa populasi ikan lele Asia (C. batrachus, C. nieuhofii, C. teijsmanni dan C. meladerma) (Lenormand et al. 1998), dapat diduga bahwa introduksi ikan lele Afrika ke Indonesia tidak akan mengganggu gene pool ikan lele lokal – terutama C. batrachus yang penyebarannya

44

lebih luas, meskipun perlu penelitian lebih lanjut untuk proses persilangan ikan lele Afrika dengan ikan lele lokal lainnya.

Dengan mempertimbangkan hasil penelitian tahap pertama (Bab 3), persilangan ikan lele Afrika dilakukan dengan menggunakan skema persilangan interpopulasi. Keberhasilan dalam pemuliaan ikan dengan skema persilangan adalah dengan dihasilkannya anakan/progeni yang memiliki performa budidaya yang lebih baik dibandingkan performa rata-rata induk/tetuanya atau performa terbaik salah satu induknya (heterosis). Munculnya heterosis pada hibridisasi, meskipun tidak selalu, dapat bergantung pada skema persilangan dimana satu populasi berlaku hanya sebagai jantan atau sebaliknya (Granier et al. 2011), asal induk yang digunakan dengan introduksi material genetik baru/liar (Bryden et al.

2004) atau variasi genetik di dalam populasi tetuanya atau heterosigositas dan jarak genetik antar tetua yang digunakan (Goyard et al. 2008).

Penelitian ini dilakukan pada kedua tahap pembenihan (Bab 4) dan pembesaran (Bab 5), karena secara fakta, budidaya ikan lele Afrika di pembudidaya Indonesia telah dilakukan tersegmentasi pembenihan dan pembesaran. Bergantung pada kepentingan penelitian, beberapa publikasi hanya mempertimbangkan hasil persilangan pada tahap pembesaran, seperti pada persilangan ikan lele biru

Ictalurus furcatus jantan and channel catfish Ictalurus punctatus betina (Bosworth & Waldbieser 2014), ikan mas (Buchtova et al. 2006; Su et al. 2013), olive flounder

Paralichthys olivaceus (Kim et al. 2012), chinook salmon Oncorhynchus tshawytscha (Bryden et al. 2004), brook trout Salvelinus fontinalis (Crespel et al.

2012), blunt snout bream Megalobrama amblycephala (Luo et al. 2014), ikan nila

Oreochromis niloticus (Moreira et al. 2005) dan European sea bass Dicentrarchus labrax (Vandeputte et al. 2014). Selain itu, karakteristik biologi unik pada perkembangan ikan lele Afrika menjadi pertimbangan melakukan penelitian pada tahap pembenihan dan tahap pembesaran. Ikan lele Afrika memiliki sifat kanibal terutama pada tahap perkembangan awal hidupnya yang dapat berpengaruh terhadap variasi ukuran, kelangsungan hidup dan biomassa (Adamek et al. 2011). Pengaruh paternal terhadap pertumbuhan pada ikan lele Afrika juga berbeda, pada umur 1 bulan berhubungan dengan pengaruh induk betina sedangkan pada umur 9 bulan berhubungan dengan pengaruh induk jantan (Volckaert & Hellemans 1999). Pada tahap pembenihan (Bab 4), secara umum, belum terdapat perbedaan performa antara populasi persilangan dengan populasi galur murni, kecuali antara populasi MB dengan populasi SS. Pada tahap yang relatif sama, tidak ada perbedaan pada bobot tubuh, kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan pada umur 78 hari pada hasil persilangan antar populasi vundu catfish Heterobranchus longifilis

(Nguenga et al. 2000), bobot tubuh, kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan pada umur 72 hari pada hasil persilangan silver perch Bidyanus bidyanus (Guy et al.

2009) dan bobot tubuh pada persilangan ikan nila (Thoa et al. 2016). Hasil berbeda didapatkan pada bobot tubuh umur 90 hari pada hasil persilangan black bream

Acanthopagrus butcheri (Doupe et al. 2003). Bagaimanapun, pada umur yang hampir sama, bobot tubuh populasi silangan pada penelitian ini (5 – 11 g), lebih rendah dibandingkan dengan persilangan lele Afrika yang diintroduksi ke Thailand (31 – 57 g) (Wachirachaikarn et al. 2009). Hal ini diduga berkaitan dengan perbedaan padat tebar yang digunakan pada penelitian ini (berturut-turut 1500, 800 dan 400 ekor per 100 liter) dengan laporan tersebut (200 ekor per 90 liter).

45 Pada tahap pembesaran (Bab 5) telah dihasilkan populasi Belanda betina x Thailand jantan yang secara konsisten menunjukkan performa yang lebih baik dibandingkan populasi lainnya, yaitu bobot tubuh (241.39 g) dan kelangsungan hidup (93.67%), biomassa (22.59 kg), konversi pakan (1.01) dan laju pertumbuhan (3.56%). Di antara 20 populasi silangan, hanya populasi BT yang menghasilkan mid-parent dan best-parent heterosis positif pada semua karakter yang diamat. Dibandingkan dengan menggunakan populasi galur murni yang terbaik, populasi BT dapat meningkatkan produksi biomassa hingga 36% dan menurunkan konversi pakan hingga 10%.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya perbedaan performa pada persilangan sebaliknya. Populasi TB menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih rendah secara nyata namun bobot tubuh tidak berbeda dengan populasi BT. Perbedaan performa pada persilangan resiprok juga ditemukan pada populasi SB dengan populasi BS tapi tidak ditemukan pada populasi ST dengan populasi TS. Pada beberapa persilangan ikan, perbedaan skema pemijahan, yaitu satu populasi berperan sebagai jantan atau sebagai betina, dapat menghasilkan performa yang berbeda, seperti yang ditemukan pada persilangan ikan Chinook salmon (Bryden et al. 2004) ikan nila (Bentsen et al. 1998; Lutz et al. 2010), brook trout (Granier et al. 2011; Crespel et al. 2012) dan persilangan blunt snout bream (Luo et al. 2014). Bagaimanapun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa satu populasi yang berperan sebagai jantan atau sebagai betina, tidak selalu menunjukkan performa yang serupa atau dikenal sebagai efek resiprok. Pada persilangan dengan populasi Belanda sebagai betina, populasi BT menghasilkan bobot tubuh, kelangsungan hidup dan biomassa yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan populasi BS. Hal yang sama diperoleh pada persilangan populasi Thailand yang berperan sebagai jantan, populasi ST menghasilkan performa yang lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan populasi BT. Efek resiprok ini mungkin berkaitan dengan pengaruh maternal atau paternal, penurunan sitoplasmik dan keterkaitan genetik antara gen seks dengan gen performa (Bentsen et al. 1998; Crespel et al. 2012). Bagaimanapun, seperti disarankan Hulata (2001), identifikasi secara eksperimental penting dilakukan untuk menentukan kombinasi persilangan spesifik. Studi yang dilakukan Bougas et al. (2010) menjelaskan bahwa konsekuensi hibridisasi terhadap tingkat transkriptome dan fenotipe adalah sangat berkaitan dengan arsitektur genetik spesifik populasi silangan sehingga keberhasilan persilangan sangat sulit diprediksi.

Implikasi terhadap Akuakultur Indonesia

Mengingat kebanyakan populasi ikan lele yang saat ini dibudidayakan di masyarakat telah terwakili pada penelitian ini, penamaan untuk ikan lele yang diproduksi di Indonesia seharusnya menggunakan nama ilmiah C. gariepinus. Nama ini seharusnya digunakan pada semua kebutuhan pemerintahan ataupun kebutuhan ilmiah. Sejauh memungkinkan, beragam dokumen yang sudah menggunakan nama lain, misalnya Clarias sp., atau sebagai ikan hibrida, sedapat mungkin diubah.

Biomassa dan konversi pakan adalah dua faktor penting yang dapat menentukan efisiensi usaha budidaya ikan lele Afrika di tingkat pembudidaya.

46

Biomassa yang lebih tinggi dan konversi pakan yang lebih rendah akan dapat meningkatkan keuntungan usaha. Hasil penelitian ini menunjukkan populasi BT dapat menghasilkan bobot tubuh, kelangsungan hidup, biomassa dan konversi pakan masing-masing 145%, 21%, 202% dan 5.5%, lebih baik dibandingkan dengan ikan lele populasi Sangkuriang yang saat ini sudah beredar. Dalam jangka pendek, pemanfaatan skema persilangan interpopulasi dengan menggunakan populasi BT untuk menggantikan populasi Sangkuriang sangat direkomendasikan. Dalam jangka panjang, dengan mempertimbangkan koefisien variasi yang moderat (Bab 4 dan Bab 5) dan heterosis (Bab 5) yang didapatkan pada penelitian ini, penerapan program seleksi harus dilakukan. Program seleksi hendaknya disusun dengan menghindari terjadinya akumulasi inbreeding dan hilangnya keragaman genetik dalam jangka panjang (Ponzoni et al. 2010; Imron et al. 2011; Knibb et al. 2014; Yanes et al. 2014). Pada seleksi individu, untuk mempertahankan laju inbreeding <1%, Bentsen & Olesen (2002) menyarankan untuk melakukan pemijahan dengan minimum 50 pasang dan memilih 30-50 progeni per pasang untuk generasi selanjutnya. Dengan mempertimbangkan faktor biologis ikan, penguasaan teknik budidaya dan peluang ketersediaan fasilitas, disarankan untuk menerapkan seleksi individu pada pemuliaan genetik ikan lele. Program seleksi

Keterangan:

HI : Hibridisasi interpopulasi pada penelitian ini

BT : Persilangan populasi Belanda betina x Thailand jantan yang merupakan persilangan terbaik pada penelitian ini

P0 : Lima populasi awal ikan lele, yaitu S=Sangkuriang, M=Mesir, K=Kenya, B=Belanda dan T=Thailand

G0 : Lima kohor garis betina (dam) hasil hibridisasi interpopulasi G1 : Lima kohor garis betina (dam) generasi pertama seleksi individu

Gambar 6 Program seleksi individu pada pemuliaan genetik ikan lele Afrika yang disarankan

47 tersebut dapat menggunakan lima populasi yang tersedia (Tabel 1) dengan pemijahan minimum 20 pasang per populasi (total 100 pasang per generasi) dan memilih minimum 80 progeni per populasi (Gambar 6). Program seleksi dipilih juga dengan pertimbangan sudah terbukti efektif pada beragam ikan dan udang (Gjedrem et al. 2012), tidak ada kontra-produktif terhadap ikan hasil pemuliaan dan keterbatasan informasi marka molekuler yang dapat diterapkan di ikan lele. Sebagai tambahan, informasi heterosis sudah dieksploitasi dengan ekstensif pada seleksi tanaman, sebagai contoh di Amerika 95% dan dunia 65% jagung yang ditanam adalah hasil seleksi/hibridisasi (Hochholdinger & Hoecker 2007).

Dengan mempertimbangkan produksi ikan lele Afrika di Indonesia kebanyakan dilakukan pada skala rumah tangga dan menyebar secara luas, adalah penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang menekankan pada uji performa populasi BT di tingkat pembudidaya dan evaluasi multi-lokasi yang mewakili perbedaan wilayah iklim. Selain itu, juga perlu dilakukan uji performa keturunan populasi BT (F2 hibrida) untuk mengevaluasi potensi terjadinya tekanan outbreeding. Sebagai tambahan, produksi massal populasi BT ataupun program seleksi untuk pemuliaan genetik ikan lele juga perlu digabungkan dengan hasil penelitian lain, contohnya marka MHC untuk ketahanan terhadap Aeromonas hydrophila (Azis et al. 2015).

Dokumen terkait