• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 PERSILANGAN INTERPOPULASI BUDIDAYA DAN LIAR IKAN LELE AFRIKA PADA TAHAP PEMBENIHAN

Abstrak

Ikan lele Afrika Clarias gariepinus telah diintroduksi dan dibudidayakan di Indonesia sejak tahun 1985 dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap produksi akuakultur. Namun demikian, perkembangan cepat budidaya ikan lele tidak selaras dengan upaya perbaikan mutu induk sehingga menyebabkan terjadinya penurunan performa ikan. Salah satu metode perbaikan mutu genetik adalah teknik persilangan. Penelitian ini mengevaluasi performa pertumbuhan dan kelangsungan hidup hingga umur 81 hari (tahap pembenihan) ikan hasil persilangan interpopulasi dari lima populasi ikan lele, yaitu populasi Sangkuriang, Mesir, Kenya, Belanda dan Thailand. Pemijahan buatan antar populasi dilakukan untuk membentuk lima populasi galur murni dan 20 populasi persilangan. Terdapat perbedaan yang nyata pada laju pertumbuhan panjang (SGR), kelangsungan hidup (SR) dan jumlah ikan

over-size (OS). Persilangan betina Mesir x jantan Belanda (MB) menunjukkan performa terbaik yaitu SGR, SR dan OS masing-masing 9.69±0.03%, 83.49±6.72% and 0.22±0.04%. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara OS dengan SR, makin tinggi OS, makin rendah SR. Korelasi ini cenderung makin menurun pada pemeliharaan ikan yang semakin besar. Dari hasil penelitian ini kami menyimpulkan bahwa persilangan MB berpotensi tinggi untuk dimanfaatkan pada upaya perbaikan kualitas benih ikan lele Afrika.

Kata Kunci: Lele Afrika, persilangan interpopulasi, variasi pertumbuhan, kelangsungan hidup, over-size

Interpopulation Crossbreeding of Farmed and Wild of Introduced African Catfish Clarias gariepinus in Indonesia at Nursing Stage (Burchell 1822). Abstract – Introduced African catfish has been cultivated since 1985 and made a significant contribution to aquaculture production in Indonesia. Unfortunately, the rapid development of catfish farming was not accompanied with a proper genetic improvement of broodstock and this has lead to poor production performances. One method that can potentially provide a rapid improvement in the genetic quality of a broodstock is the crossbreeding technique. The present study evaluated growth and survival performances up to 81 days post hatching (nursing stage) of reciprocally interpopulation crossbreeds generated from five existing introduced African catfish populations in Indonesia i.e. Sangkuriang, Egypt, Kenya, Dutch and Thailand. Artificially spawning were applied to form five purebred populations and 20 crossbreed populations. There were significant differences in the body length growth (SGR), survival (SR) and number of over-size fish (OS) average. The Egypt female x Dutch male (ED) crossbreed showed the best performance with SGR, SR, and OS of 9.69±0.03%, 83.49±6.72% and 0.22±0.04%, respectively. The result also revealed a correlation evidence between the OS and the SR; the higher OS, the lower SR. This correlation tended to be weak at the sequentially nursing stages. Our study suggested that the ED crossbreed has highly potential to improve seed quality in the near future.

26

Keywords: African catfish, interpopulation crossbreed, growth variation, survival, over-size fish

Pendahuluan

Di Indonesia, budidaya ikan lele sudah dimulai sejak tahun 1970-an dengan menggunakan ikan lele lokal (C. batrachus). Pada awalnya, benih ikan lele dikumpulkan dari alam dan dipelihara pada bak-bak di samping rumah. Seiring dengan masuknya ikan lele Afrika (C. gariepinus) pada tahun 1985, masyarakat beralih membudidayakan ikan lele introduksi ini karena memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan lele lokal. Ikan lele Afrika memiliki pertumbuhan yang lebih cepat, daya tahan terhadap penyakit yang lebih tinggi dan dapat dipijahkan secara buatan sehingga suplai benih lebih terjamin. Peralihan jenis ikan lele yang dibudidayakan ini telah menyebabkan kegiatan budidaya lele di masyarakat berkembang pesat sejak periode tahun 1990-an. Produksi ikan lele telah meningkat dari 91 metrik ton pada tahun 2007 menjadi 337 metrik ton pada tahun 2011 atau sekitar 40 % per tahun (KKP 2013).

Sayangnya, perkembangan budidaya ikan lele yang pesat tidak diimbangi dengan upaya penyediaan induk dan benih yang berkualitas unggul untuk digunakan oleh masyarakat. Nurhidayat et al. (2003) sudah melaporkan adanya tekanan inbreeding pada ikan lele yang diintroduksi ke Indonesia setelah 18 tahun dibudidayakan dengan menggunakan penduga fluktuasi asimetri yang menandakan terjadinya penurunan kualitas genetik. Penurunan pertumbuhan diduga berkaitan dengan kurangnya upaya mempertahankan kualitas genetik dan kerusakan genetik pada ikan yang dibudidayakan (Dunham et al. 2001) seperti yang dilaporkan pada ikan lele Afrika di Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009).

Dengan mempertimbangkan dugaan terjadinya penurunan genetik tersebut, upaya perbaikan mutu telah dilakukan sejak tahun 2000-an oleh lembaga pemerintah perusahaan swasta, baik terhadap ikan lele Afrika yang diintroduksi pada tahun 1985 maupun dengan melakukan kembali introduksi. Introduksi telah dilakukan berturut-turut pada tahun 2002 dan tahun 2008 dari Thailand, tahun 2005 dari Mesir dan tahun 2011 dari Kenya dan Belanda. Kelima populasi ikan lele Afrika tersebut diharapkan memiliki kelebihan secara genetik. Berdasarkan sejarah domestikasi, populasi Sangkuriang, Thailand dan Belanda – khususnya populasi Belanda, yang telah dibudidayakan pada lingkungan yang spesifik untuk rentang waktu yang panjang dan sangat berbeda dengan lingkungan alaminya dibandingkan dengan populasi Mesir dan Kenya – khususnya populasi Kenya, yang dapat digolongkan sebagai populasi liar yang hidup di perairan alaminya. Secara umum, perbedaan sejarah domestikasi ini diharapkan akan mengubah heterosigositas dan ketahanan tubuh (fitness) pada setiap populasi.

Ketersediaan beragam populasi ikan lele Afrika tersebut dapat digunakan untuk program pemuliaan ikan lele Afrika di Indonesia, baik dengan teknik seleksi maupun dengan persilangan. Teknik persilangan telah digunakan pada beragam spesies untuk mendapatkan performa yang lebih baik pada keturunannya, produksi ikan steril, serta sebagai tahap awal pada penerapan teknik seleksi melalui pembentukan populasi dasar (Bartley et al. 2001; Gjedrem 2005) seperti dilaporkan

27 pada ikan Heterobranchus longifiliis (Valenciennes 1840) (Nguenga et al. 2000), ikan guppy Poecilia reticulata (Peters 1859) (Nakadate et al. 2003), ikan Chinook salmon Oncorhynchus tshawytscha (Walbaum 1792) (Bryden et al. 2004), udang biru Pasifik Penaeus stylirostris (Stimpson 1871) (Goyard et al. 2008), ikan silver perch Bidyanus bidyanus (Mitchell 1838) (Guy et al. 2009), ikan mas Cyprinus carpio (Linnaeus 1758) (Zak et al. 2007; Nielsen et al. 2010), dan ikan nila

Oreochromis niloticus (Linnaeus 1758) (Neira et al. 2016; Thoa et al. 2016). Pada penelitian ini, kami melakukan evaluasi performa persilangan interpopulasi lima populasi ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia untuk mendapatkan persilangan yang cocok untuk produksi yang lebih baik.

Bahan dan Metode

Induk ikan lele yang digunakan merupakan koleksi BBPBAT Sukabumi. Induk terdiri atas lima populasi, yaitu: populasi Sangkuriang, populasi Mesir, populasi Kenya, populasi Belanda dan populasi Thailand (Tabel 1). Induk jantan dan induk betina masing-masing sebanyak sepuluh ekor setiap populasi dipersiapkan untuk digunakan pada proses persilangan. Semua ikan yang digunakan diberi penanda dengan menggunakan passive inductive transponder

(PIT) tag. Induk dipelihara dalam bak fiberglass dengan aliran resirkulasi di dalam ruangan. Pakan yang diberikan berupa pakan buatan (kandungan protein 45%) yang dilengkapi dengan serbuk Spirulina platensis (dosis 3% bobot pakan) dan Vitamin E (dosis 100 mg/kg pakan). Pemberian pakan sebanyak 1,0% dari bobot biomassa ikan dengan frekuensi satu kali per hari.

Setelah dipelihara selama tiga bulan, induk jantan dan induk betina masing- masing sebanyak tiga ekor dari setiap populasi digunakan untuk persilangan interpopulasi resiprokal. Fertilisasi dilakukan secara buatan untuk membentuk 20 populasi silangan dan lima populasi murni. Untuk memudahkan terminologi, huruf pertama pada setiap populasi digunakan menandakan persilangan dengan notasi betina-jantan, contohnya SM adalah populasi Sangkuriang betina x Mesir jantan, sedangkan SS adalah populasi murni Sangkuriang dan MM adalah populasi murni Mesir.

Larva umur empat hari dipelihara hingga umur 81 hari pada tiga tahap pembenihan, yaitu 21, 28 dan 28 hari masing-masing pada tahap 1, tahap 2 dan tahap 3. Pada tahap pertama, larva ditebar pada kepadatan 15 ekor per liter. Larva diberi pakan cacing sutera selama 7 hari pertama, kombinasi cacing sutera dengan pakan buatan berbentuk tepung kandungan protein 40% dari hari ke-8 sampai dengan hari ke-12 dan dilanjutkan dengan pakan buatan sampai hari ke-21. Cacing sutera diberikan secara ad-libitum sedangkan pakan buatan secara at-satiation

dengan frekuensi pemberian empat kali per hari. Sejak pemberian pakan buatan, dilakukan penggantian air media pemeliharaan sebanyak 100% setiap dua hari. Pada akhir pemeliharaan, ikan dipanen dan disortasi berdasarkan panjang tubuh. Ikan over-size dibuang dan tidak digunakan pada tahap selanjutnya untuk menghindari tingginya kanibalisme. Ikan over-size diidentifikasi berdasarkan panjang tubuh sekitar dua kali dari rataan panjang tubuh populasi (Baras and Jobling 2002).

28

Pada tahap kedua, ikan dipelihara dengan kepadatan 8 ekor per liter dalam akuarium 100 L dan diberi pakan buatan (protein 40%, size 0 – 0.3 mm) dengan frekuensi empat kali per hari secara at-satiation selama minggu pertama dilanjutkan dengan pakan buatan (protein 39-40%, size 0.5 – 0.7 mm) selama tiga minggu terakhir. Setelah empat minggu, ikan dipanen dan disortasi berdasarkan panjang tubuh. Seperti pada tahap 1, ikan over-size dibuang dan tidak digunakan pada tahap selanjutnya.

Pada tahap ketiga, ikan dipelihara dengan kepadatan 4 ekor per liter dalam akuarium 100 L. Pakan buatan (protein 39-41%, size 0.5 – 0.7 mm) diberikan tiga kali per hari secara at-satiation selama minggu pertama dilanjutkan dengan pakan buatan (protein 39-41%, size 0.7 – 1.0 mm) hingga akhir pemeliharaan. Untuk mempertahankan kualitas air yang layak untuk pertumbuhan ikan lele, penggantian air diakukan setiap dua hari sebanyak 100% pada tahap 2 dan tahap 3.

Panjang total tubuh (TL), kelangsungan hidup (SR) dan jumlah ikan over-size

(OS) diukur dan dihitung setiap akhir tahap pemeliharaan. Untuk TL, sampel sebanyak 30 ekor ikan diukur. Nilai SR dan OS dihitung dari setiap akuarium dan digunakan untuk menghitung korelasinya pada setiap tahap pemeliharaan. Laju pertumbuhan spesifik (SGR) dan koefisien variasi (CV) dihitung berdasarkan Bhujel (2008). Nilai SGR (%) TL pada akhir pemeliharaan dihitung dengan rumus

100× (LnTL1 − LnTL0)/T, di mana TL1= panjang tubuh pada akhir pemeliharaan,

TL0= panjang tubuh pada umur 4 hari (mm), T= lama waktu pemeliharaan (hari). Akumulatif SR dihitung dengan rumus 100 x (SR1% x SR2% x SR3), di mana SR1%, SR2% dan SR3% masing-masing adalah kelangsungan hidup tahap 1, tahap 2 dan tahap 3. Nilai CV (%) dihitung dengan rumus 100 x (sd1 + sd2 + sd3) / (x1 + x2 + x3), di mana sd dan x masing-masing adalah standar deviasi dan rataan panjang total pada tahap 1, tahap 2 dan tahap 3. Rataan OS dihitung dengan rumus 100 x (OS1 + OS2 + OS3) / (N1 + N2 + N3), di mana OS dan N masing-masing adalah jumlah ikan over-size dan jumlah ikan yang hidup pada setiap akhir masa pemeliharaan.

Distribusi normal diuji dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Data SR dan OS yang tidak terdistribusi normal ditransformasi dengan log. Analisis varians satu arah (ANOVA) digunakan untuk menganalisis pengaruh silangan terhadap setiap karakter yang diamati, dan nilai tengah dibandingkan dengan menggunakan uji Dunnet (P<0.05) dengan menggunakan populasi Sangkuriang sebagai kontrol. Hubungan SR dan OS dihitung dengan uji Person.

Hasil

Laju pertumbuhan (9.22 – 9.69%) berbeda nyata antar silangan, namun sebagian besar yaitu 19 silangan tidak berbeda nyata. Uji lebih lanjut menunjukkan terdapat 12 silangan yang berbeda dengan populasi Sangkuriang (SS) sebagai kontrol. Kelangsungan hidup (SR) pada semua populasi menunjukkan nilai yang lebih bervariasi (7.10% – 63.98%) dibandingkan dengan laju pertumbuhan dan kebanyakan mengindikasikan nilai yang sebanding atau lebih rendah dibandingkan populasi SS. Hanya SR pada populasi MB yang berbeda nyata dengan populasi SS sedangkan populasi lainnya tidak berbeda nyata (Tabel 10).

29

Nilai koefisien variasi (CV) tidak berbeda nyata antar populasi. Nilai CV pada kisaran 12.47% – 16.97% termasuk pada kisaran moderat menurut Benhaïm et al.

(2011). Meskipun keseragaman ukuran panjang tubuh termasuk moderat, pada setiap populasi selalu terdapat individu over-size (OS) dibandingkan dengan ukuran yang mendekati rataan populasi. Rataan nilai OS berbeda secara nyata di antara populasi dengan kisaran 0.22% – 2.86%. Populasi MB menghasilkan OS terendah dan berbeda nyata terhadap populasi SS sedangkan populasi lainnya tidak berbeda nyata. Kisaran nilai OS pada tahap 1, tahap 2 dan tahap 3 masing-masing adalah 0.08% – 2.25%, 0.32% – 5.76%, dan 0.02% – 6.61%. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai OS berkorelasi dengan SR pada setiap tahap pemeliharaan dan Tabel 10 Laju pertumbuhan (SGR), kelangsungan hidup akumulatif (SR), koefisien variasi (CV) dan jumlah ikan over-size (OS) pada persilangan interpopulasi ikan lele Afrika pada tahap pembenihan

Crossbreed SGR (%) SR (%) CV (%) OS (%) SS (kontrol) 9.22±0.08 22.81±7.94 13.99±1.45 2.39±0.80 MM 9.53±0.01* 7.10±2.58 16.46±0.92 2.32±0.55 KK 9.36±0.05 9.22±3.45 12.97±0.97 2.86±1.26 BB 9.66±0.01* 11.58±1.97 15.01±1.26 1.75±0.39 TT 9.51±0.04* 12.85±5.09 14.23±0.64 2.03±0.22 SM 9.42±0.02 22.71±13.66 13.14±0.49 1.88±0.44 SK 9.38±0.03 32.03±7.41 14.72±0.43 0.97±0.07 SB 9.45±0.03 37.24±12.43 12.96±0.54 0.73±0.08 ST 9.58±0.08* 14.08±1.59 14.24±0.19 2.00±0.29 MS 9.31±0.04 13.52±1.89 13.41±0.20 2.09±0.44 MK 9.55±0.03* 30.36±5.60 14.86±1.03 0.90±0.07 MB 9.69±0.03* 63.98±6.57* 14.00±0.98 0.22±0.04* MT 9.40±0.06 27.89±8.89 12.47±0.98 0.82±0.18 KS 9.40±0.02 41.36±4.65 15.74±1.12 0.78±0.31 KM 9.39±0.04 34.65±12.11 15.73±2.79 1.27±0.14 KB 9.53±0.12* 20.81±8.62 16.37±0.88 1.37±0.11 KT 9.37±0.02 26.41±8.21 16.27±0.76 0.98±0.07 BS 9.32±0.11 15.19±10.42 14.90±0.73 2.35±0.52 BM 9.62±0.06* 16.81±2.32 15.29±1.72 1.55±0.42 BK 9.47±0.04* 21.67±7.29 14.93±0.42 0.95±0.06 BT 9.64±0.04* 16.09±2.45 16.97±1.31 1.48±0.33 TS 9.44±0.06 21.24±5.64 13.01±0.57 1.54±0.15 TM 9.52±0.01* 13.97±3.03 15.30±0.93 1.60±0.17 TK 9.29±0.09 33.98±7.15 13.57±1.19 0.79±0.16 TB 9.66±0.07* 15.93±5.74 15.75±0.44 2.01±0.24 Keterangan:

Data disajikan dalam rataan ± SE dari tiga ulangan. Kelangsungan hidup dan jumlah ikan over-size dihitung setelah transformasi log tapi disajikan secara numerik. * menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05) terhadap kontrol. S= Sangkuriang, M= Mesir, K= Kenya, B= Belanda, T= Thailand. Notasi persilangan adalah betina-jantan.

30

korelasi ini semakin menurun pada tahap pemeliharaan lebih lanjut, yaitu koefisien korelasi (r) tahap 1= 0.930 (p<0.01), r tahap 2= 0.803 (p<0.01) dan r tahap 3= 0.776 (p<0.01). Secara akumulatif, korelasi OS dengan SR adalah r = 0.819 (p<0.01).

Pembahasan

Pada penelitian ini, persilangan interpopulasi menggunakan populasi ikan lele Afrika yang memiliki sejarah introduksi berbeda ke Indonesia, yaitu asal negara, waktu introduksi dan latar belakang sebagai populasi liar dan budidaya. Sumber genetik yang beragam tersebut diharapkan memberikan kontribusi untuk peningkatan variasi genetik ikan lele sehingga dapat memberikan pengaruh positif terhadap perbaikan pertumbuhan dan fitness lainnya (Bartley et al. 2001), seperti yang telah dilaporkan pada ikan nila (Bentsen et al. 1998) dan udang galah

Macrobrachium rosenbergii (Thanh et al. 2010). Hasil penelitian ini mengindikasikan adanya perbaikan pertumbuhan, kelangsungan hidup dan jumlah ikan over-size pada populasi persilangan dibandingkan dengan populasi Sangkuriang (SS) dan populasi galur murni lainnya.

Populasi Mesir-Belanda (MB) menghasilkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup tertinggi, dan jumlah ikan over-size terendah. Hal ini menunjukkan konsistensi populasi MB dibandingkan dengan populasi SS. Sedangkan diantara populasi silangan lainnya, sebagian besar menunjukkan tidak terdapat perbedaan pada parameter yang diamati. Persilangan ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Thailand tidak menunjukkan perbedaan pada bobot tubuh, panjang tubuh dan kelangsungan hidup pada umur 5 minggu dan 14 minggu (Wachirachaikarn et al.

2009). Peneliti tersebut menggunakan ikan lele Afrika yang sudah dibudidayakan sejak tahun 1987 tanpa ada introduksi baru. Hal ini berbeda dengan populasi ikan lele Afrika di Indonesia yang digunakan pada penelitian ini. Populasi MB menunjukkan hasil terbaik karena merupakan persilangan antara populasi liar yang baru didomestikasi ke dalam sistem budidaya (populasi Mesir) dengan populasi yang sudah diperbaiki secara genetik (populasi Belanda). Populasi Kenya sebagai populasi liar, belum cukup terdomestikasi secara baik, dan ini memberikan kontribusi terhadap performanya yang rendah yang diindikasikan dengan pertumbuhan dan kelangsungan yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi galur murni lainnya. Sementara itu, populasi Thailand dan Sangkuriang, meskipun sudah terdomestikasi dengan baik, namun diduga belum terseleksi dengan baik seperti pada populasi Belanda. Bagaimanapun, beberapa laporan menunjukkan persilangan ikan populasi budidaya dengan populasi alami tidak selalu menghasilkan performa yang lebih baik dibandingkan kedua tetuanya. Persilangan populasi liar dengan budidaya menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan populasi galur murninya pada udang galah (Thanh et al.

2010), biomassa populasi budidaya lebih tinggi dibandingkan dengan populasi liar dan persilangannya pada ikan brook trout Salvelinus fontinalis (Granier et al. 2011), dan populasi liar menghasilkan biomassa yang lebih tinggi dibandingkan populasi budidaya pada ikan Chinook salmon (Bryden et al. 2004).

Populasi MB menunjukkan kelangsungan hidup akumulatif paling tinggi dan berbeda nyata dengan populasi SS. Secara umum, kelangsungan hidup pada penelitian <30% dan terdapat sembilan populasi yang menghasilkan kelangsungan

31 hidup lebih baik daripada populasi SS. Kelangsungan hidup hasil persilangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua populasi induknya ditunjukkan pada udang biru Pasifik (Goyard et al. 2008) dan ikan mas (Nielsen et al. 2010), tidak terdapat perbedaan pada ikan Rohu carp Labeo rohita (Gjerde et al. 2002) dan ikan Chinook salmon (Bryden et al. 2004), dan lebih rendah pada ikan salmon pink Oncorhynchus gorbuscha (Gilk et al. 2004).

Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya perbedaan performa pada persilangan resiprok, yaitu persilangan dua populasi dengan skema jantan atau betina yang berbeda. Populasi BM menghasilkan kelangsungan hidup dan ikan over-size yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi MB. Hal yang sama juga ditemukan pada laju pertumbuhan populasi ST, MK dan TM dibandingkan dengan persilangan resiproknya, tetapi tidak ditemukan pada populasi persilangan lainnya. Pada beberapa persilangan ikan, perbedaan skema pemijahan, yaitu satu populasi berperan sebagai jantan atau betina, dapat menghasilkan perbedaan performa, seperti yang sudah dilaporkan pada persilangan ikan nila (Lutz et al.

2010), ikan brook trout (Granier et al. 2011; Crespel et al. 2012) dan ikan blunt snout bream Megalobrama amblycephala (Luo et al. 2014). Pengaruh resiprok ini diduga berkaitan dengan pengaruh parental dan keterkaitan genetik antara gen seks dengan gen performa (Crespel et al. 2012).

Kelangsungan hidup ikan pada tahap 1 dan tahap 3 lebih tinggi dibandingkan dengan tahap 2. Kelangsungan hidup yang rendah pada tahap 2 sejalan dengan jumlah ikan over-size yang tinggi. Meskipun dinamika kanibalisme pada ikan lele Afrika lebih banyak terjadi pada umur dua minggu pertama (Adamek et al. 2011) namun pemeliharaan larva pada tahap 1 dan tahap 3 pada penelitian ini telah berhasil mempertahankan kelangsungan hidup >50%. Pada penelitian lain menggunakan sistem kolam plastik di luar ruangan, kelangsungan hidup selama pemeliharaan larva 21 hari adalah 18-42% (Sunarma et al. 2013). Pada tahap 2, pemeliharaan selama 4 minggu atau pemeliharaan akumulatif selama 7 minggu, telah menyebabkan terjadinya penurunan kelangsungan hidup akibat kanibalisme tinggi karena tidak teramati adanya kematian ikan. Pada pemeliharaan selama 7 minggu, kontribusi kematian akibat kanibalisme dapat mencapai 50 – 90% (Adamek et al. 2011). Pada tahap 3, pemeliharaan selama 4 minggu atau pemeliharaan akumulatif 11 minggu, kelangsungan hidup dapat meningkat kembali karena kanibalisme sudah semakin menurun. Pada ikan lele Afrika ukuran bobot sekitar 10 g/ekor, rasio panjang predator dengan mangsa dapat mencapai 2.18 (Baras & Jobling 2002).

Hubungan antara tingkat kanibalisme dengan kelangsungan hidup dapat dilihat dari adanya korelasi yang kuat antara jumlah ikan over-size dengan kelangsungan hidup. Makin banyak ikan over-size, makin rendah tingkat kelangsungan hidup. Namun demikian, jumlah ikan over-size tidak terlihat pada koefisien keragaman pada populasi ikan bersangkutan. Hal ini karena ikan over- size lebih mampu menghindar ketika dilakukan pengambilan sampel. Jumlah ikan over-size baru dapat diketahui ketika dilakukan penyortiran pada saat dilakukan pemanenan. Ikan over-size dapat timbul akibat sifat agresif dan kanibalisme yang secara alamiah dimiliki ikan lele Afrika. Sifat agresif atau perilaku menyerang dapat menyebabkan ikan lain terluka dan menjadi lemah yang kemudian mendorong terjadinya kanibalisme (Mukai et al. 2013). Menurut Baras & Jobling (2002), pada tahap larva, ikan lele Afrika dapat memangsa sesamanya yang

32

memiliki ukuran sama. Larva yang menjadi predator akan berkembang lebih cepat dibanding yang lainnya sehingga dengan ukuran yang lebih besar dapat meningkatkan peluang untuk memangsa kembali ikan lainnya dan lebih agresif untuk bersaing mendapatkan makanan.

Nilai CV panjang total pada penelitian ini, yaitu 12.47% – 16.97%, termasuk kisaran moderat berdasarkan Benhaïm et al. (2011). Nilai CV bobot tubuh pada ikan lele Afrika dapat mencapai 13-26% pada umur 15 hari (Baras & d’Almeida 2001) dan 41-51% pada pemeliharaan larva selama tujuh minggu (Adamek et al.

2011). Volckaert & Hellemans (1999) melaporkan nilai CV yang rendah pada bobot tubh ikan lele umur satu dan sembilan bulan, yaitu masing-masing 6.7-11.9 dan 4.5- 8.1 dengan melakukan pengambilan ikan over-size untuk mengurangi kanibalisme. Secara umum, nilai CV fenotipe pada ikan adalah 20–30% (Gjedrem & Baranski 2009). Bagaimanapun, nilai CV tidak cukup untuk dijadikan gambaran adanya keragaman ukuran pada ikan yang memiliki sifat kanibalisme (Appelbaum & Kamler 2000)

Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa laju pertumbuhan populasi galur murni Indonesia lebih rendah dibandingkan populasi galur murni lainnya, baik populasi budidaya, yaitu Belanda dan Thailand, ataupun populasi liar, yaitu Mesir dan Kenya. Hal ini semakin memperjelas adanya penurunan mutu genetik pada ikan lele Afrika yang saat ini digunakan di Indonesia, seperti juga terjadi pada tilapia yang dibudidayakan di Asia ((Bentsen et al. 1998). Populasi Belanda tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan populasi lainnya diduga berkaitan dengan proses seleksi yang sudah dilaksanakan dengan baik pada populasi tersebut, seperti telah dilaporkan pada ikan brook trout (Granier et al. 2011) dan Atlantik salmon Salmo salar (Morris et al. 2011).

Simpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa persilangan interpopulasi antara populasi Mesir betina dengan populasi Belanda jantan telah menghasilkan populasi hibrida yang memiliki laju pertumbuhan, kelangsungan hidup dan jumlah ikan over-size lebih baik dibandingkan dengan populasi Sangkuriang sebagai kontrol. Namun demikian, secara umum, performa fenotipe pada tahap pembenihan bervariasi relatif tinggi dan sebagian besar tidak berbeda nyata antar silangan.

5

PERFORMA DAN HETEROSIS PADA PERSILANGAN

Dokumen terkait