• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 INDUKSI AKAR JERUK KEPROK GARUT

7 PEMBAHASAN UMUM

Permintaan akan buah jeruk yang dikonsumsi segar saat ini dan masa mendatang selalu mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Untuk memenuhi peningkatan permintaan tersebut maka diperlukan upaya ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanaman jeruk. Jeruk keprok (Citrus reticulata L.) varietas Garut adalah salah satu jenis jeruk batang atas komersial yang memiliki cita rasa tinggi dan permintaan konsumen yang sangat tinggi. Saat ini jumlah pertanaman jeruk keprok Garut menurun drastis akibat serangan penyakit Huanglongbing dan ditambah kondisi iklim global yang berakibat musim kemarau berkepanjangan atau terjadi kekeringan. Hal ini menyebabkan terus menurunnya produksi dan kualitas mutu buah jeruk keprok Garut. Upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas mutu buah jeruk keprok Garut adalah dengan memperbaiki kualitas varietas jeruk Garut melalui program pemuliaan. Salah satu program pemuliaan yang dapat meningkatkan keragaman genetik tanaman jeruk adalah pemuliaan mutasi dengan menggunakan iradiasi sinar gamma dengan dosis tertentu. Mutasi spontan terjadi di alam dengan frekuensi sangat rendah, yaitu 10-6 tiap pembelahan sel (Predieri et al. 1997). Alternatif pemuliaan tanaman jeruk keprok Garut dapat dilakukan dengan teknik induksi mutasi. Induksi mutasi berkontribusi dalam meningkatkan keragaman genetik tanaman dengan seleksi terarah akan diperoleh mutan yang diharapkan. Teknik induksi mutasi sangat baik digunakan untuk tanaman yang mengalami masalah dalam rekombinasi genetik melalui hibridisasi, seperti apomiksis, sterilitas, dan inkompatibilitas. Keberhasilan induksi mutasi telah banyak dilaporkan pada tanaman buah-buahan seperti jeruk, apel, pear, pisang, dan anggur (Maluszinski et al. 1995). Frekuensi mutasi dapat ditingkatkan dengan teknik induksi mutasi. Penggunaan mutagen fisik pada tanaman sangat dianjurkan dibandingkan dengan mutagen kimia, karena frekuensi mutasi yang tinggi. Mutagen fisik yang sering digunakan antara lain sinar gamma (γ) yang bersumber dari isotop Cobalt-60 (60Co) dan Caesium-137 (137Cs) karena mempunyai panjang gelombang yang lebih pendek (10-0.01 nm) dibandingkan sinar UV, mempunyai spektrum yang luas, penetrasi ke jaringan tanaman relatif mudah, frekuensi mutasi yang terjadi cukup tinggi, mudah diaplikasikan (van Harten 1998).

Penggunaan mutasi induksi dalam kultur in vitro pada sel tunggal (kalus) tanaman jeruk dapat meningkatkan keragaman genetik dan mengurangi pembentukan kimera dengan melakukan multiplikasi berulang akan diperoleh mutan putatif yang solid. Kultur in vitro dapat mempercepat program pemuliaan tanaman mulai dari pembentukan keragaman genetik, proses seleksi dan multiplikasi genotipe yang diharapkan (Maluszinski et al. 1995). Kombinasi iradiasi dilanjutkan dengan seleksi in vitro dapat meningkatkan frekuensi mutasi (van Harten 1998). Induksi mutasi menggunakan eksplan kalus hasil embriosomatik atau mutasi pada satu sel akan menghasilkan mutan putatif yang bersifat solid dan diturunkan ke progeninya. Eksplan klon jeruk keprok Garut hasil iradiasi sinar gamma dosis 20 hingga 200 Gray pada kalus embriosomatik nuselus jeruk keprok Garut yang telah memasuki generasi M1V3 adalah materi genetik yang digunakan dalam penelitian ini. Selain itu juga digunakan eksplan

tetua atau wild type nya (jeruk keprok Garut) yang tidak memperoleh perlakuan iradiasi sinar gamma yang dijadikan sebagai pembanding. Induksi mutasi menggunakan iradiasi sinar gamma dosis 20 hingga 200 Gray telah menghasilkan 18 klon jeruk keprok Garut yang diharapkan memiliki perbedaan secara genetik dengan tetuanya. Penanda RAPD telah digunakan untuk mengkarakterisasi secara molekuler keragaman genetik yang terbentuk dan diperoleh informasi koefisien kemiripan klon-klon hasil iradiasi sinar gamma yang terbentuk 61.5 hingga 100% atau terjadi variasi genetik berkisar antara 0-38.5% dan membentuk dua kelompok besar dimana pengelompokan tersebut tidak berdasarkan dosis iradiasi yang digunakan untuk menginduksi mutasi, hal ini juga terjadi pada klon jeruk keprok SoE hasil iradiasi sinar gamma (Yulianti et al. 2010). Teknik mutasi buatan umumnya ditujukan untuk mengubah karakter tertentu dengan tetap mempertahankan sebagian besar karakter aslinya (Wardiyati et al. 2002). Iradiasi sinar gamma dosis 20 Gray, 40 Gray dan 60 Gray menyebabkan terjadinya perbedaan karakter morfologi jeruk keprok Batu dan jeruk keprok SoE (Martasari

et al. 2005). Deteksi keragaman genetik menggunakan penanda RAPD bertujuan untuk memberikan informasi bahwa telah terbentuk keragaman genetik akibat iradiasi sinar gamma dosis 20 hingga 200 Gray, dan klon-klon mutan putatif tersebut diharapkan dapat diarahkan menjadi varietas yang memiliki ketahanan atau toleransi terhadap cekaman biotik (hama dan penyakit tanama) maupun abiotik (kekeringan, salinitas, suhu tinggi, tanah masam) melalui proses seleksi. Pengembangan teknik seleksi in vitro dilakukan dengan menggunakan bahan penyeleksi yang dapat menstimulasi kondisi kekeringan dilapang. Sejumlah penelitian pada berbagai tanaman budidaya diketahui bahwa PEG 6000 sebagai bahan penyeleksi toleransi kekeringan mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan senyawa lain. Menurut Versuel et al. (2006) penggunaan

polyethylene glycol (PEG) dengan bobot molekul ≥ 6000 telah banyak digunakan dalam penelitian pengaruh cekaman air terhadap pertumbuhan tanaman.

Pertumbuhan vegetatif planlet empat klon jeruk keprok Garut mutan putatif dan wild type nya pada PEG konsentrasi 0% dan 10% tidak mengalami penurunan. Namun seiring dengan peningkatan konsentrasi PEG pada media tumbuh menyebabkan penurunan pertambahan jumlah daun dan pertambahan tinggi tunas. Hal ini dikarenakan oleh PEG yang dilarutkan dalam air menyebabkan molekul air (H2O) akan tertarik ke atom oksigen pada subunitetilen

oksida melalui ikatan hydrogen sehingga potensial air menurun sehingga air menjadi tidak tersedia bagi tanaman (La Ode et al. 2012). Media dengan PEG konsentrasi 20% dapat dijadikan agen seleksi cekaman kekeringan klon-klon jeruk keprok Garut mutan putatif, hal ini diindikasi dengan terjadinya penurunan pertumbuhan vegetatif namun tidak menyebabkan penurunan jumlah daun akibat gugur daun pada setiap klon jeruk keprok Garut yang diujikan. Penggunaan PEG lebih dari 20% menyebabkan terbentuknya kondisi cekaman kekeringan yang berat dan pertumbuhan tanaman padi mutan (Kadir 2011) dan kacang tanah (Rahayu et al. 2005) mengalami penurunan pertumbuhan yang tinggi. Pemberian larutan PEG ke dalam media tanam menyebabkan kondisi tanaman mengalami penghambatan pertumbuhan vegetatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa PEG mengikat air sehingga air menjadi tidak tersedia bagi tanaman, menyebabkan tanaman mengalami cekaman kekeringan. Menurut Widoretno (2003), apabila jaringan tanaman mempunyai mekanisme tertentu untuk menarik air dari media

yang terdapat PEG maka diharapkan mekanisme tersebut merupakan mekanisme yang berhubungan dengan sifat toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan.

Klon KG 13 dan KG 23 terlihat memberikan respon toleransi cekaman kekeringan simulasi PEG 20% yang terbaik, hal ini terlihat dari pertumbuhan vegetatif (pertambahan jumlah daun dan tinggi tanaman), kandungan klorofil a dan klorofil total, serta kerapatan stomata yang lebih baik dibandingkan dua klon lainnya maupun tetua nya. Hal ini mengindikasikan bahwa iradiasi gamma dosis 50 Gray (klon KG 13) dan 150 Gray (KG 23) menyebabkan terjadinya perubahan susunan basa genetik yang mengekspresikan karakter toleran terhadap cekaman kekeringan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kadir (2011) dimana sifat toleransi yang dimiliki oleh genotipee padi mutan terhadap tekanan seleksi PEG merupakan ekspresi toleransi yang ditimbulkan dari genotipee dalam upaya melawan cekaman kekeringan. Sifat tersebut ditimbulkan dari proses mutasi melalui penggunaan iradiasi sinar gamma pada beberapa dosis. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa iradiasi sinar gamma dapat meningkatkan keragaman genetik khususnya karakter toleransi cekaman kekeringan. Menurut Hanafiah (2012), dosis iradiasi sinar gamma berbeda untuk setiap spesies dalam menginduksi terjadinya perubahan karakter kuantitatif dan kualitatif pada tanaman. Seleksi klon-klon putatif mutan secara in vitro menggunakan PEG 6000 dapat menjadi metode alternatif untuk menduga karakter toleransi jeruk keprok Garut putatif mutan terhadap cekaman kekeringan.

Jeruk keprok Garut sebagai batang atas komersial pada umunya diperbanyak secara vegetatif melalui okulasi (sambung pucuk) dan mata tempel tunas sehingga klon-klon mutan putatif yang memiliki karakter toleran terhadap cekaman kekeringan dapat diperbanyak secara vegetatif melalui stek tunas secara in vitro. Perbanyakan secara vegetatif menghasilkan regeneran yang sama dengan induk klonalnya, dan induksi mutasi iradiasi sinar gamma dilakukan pada satu sel sehingga diharapkan mutan yang diperoleh bersifat solid atau tidak terjadi khimera dan diturunkan pada progeninya. Berdasarkan hal tersebut maka populasi M1V3 dapat diperbanyak lebih lanjut untuk menghasilkan putatif mutan yang cukup banyak dan diaklimatisasi sehingga dapat dipindahkan ke kondisi in vivo.

Media perbanyakan yang digunakan adalah media MS ditambah vitamin MW (Husni et al. 2010) yang ditambahkan zat pengatur tumbuh sitokinin TDZ kombinasi BAP (multiplikasi tunas) dan auksin NAA kombinasi IBA (induksi perakaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa klon-klon eksplan jeruk keprok Garut mutan putatif hasil iradiasi sinar gamma pada dua dosis 50 dan 150 Gy yang memiliki karakter toleran cekaman kekeringan memberikan respon yang berbeda pada setiap konsentrasi TDZ yang ditambahkan ke media kultur. Perbanyakan tanaman secara klonal dengan teknik kultur jaringan pada umumnya menggunakan dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting adalah auksin dan sitokinin. Bentuk dasar dari sitokinin adalah adenine (6-amino purine) yang menentukan aktivitas sitokinin. Panjang rantai dan hadirnya double bond

dalam rantai tersebut akan meningkatkan aktivitas zat pengatur tumbuh tersebut (Abidin 1995). Kombinasi zat pengatur tumbuh jenis sitokinin BAP dan TDZ pada konsentrasi BAP 0.1 mg L-1 dan TDZ 0.2 mg L-1 merupakan konsentrasi yang paling optimum dalam menginduksi tunas klon jeruk keprok Garut mutan putatif. Multiplikasi tunas dengan pemarapan eksplan dalam media kultur yang mengandung TDZ dalam jangka panjang menyebabkan tunas yang muncul

menjadi abnormal. Menurut Thomas et al. 1986, TDZ merangsang konversi nukleotida sitokinin ke nukleosida, dan pengaruh TDZ pada kalus kedelai dapat mendorong sintesis dan dapat pula menghambat kerja sitokinin jenis purin. Hal ini menurut Nielsen et al. (1995) kemungkinan disebabkan oleh adanya ikatan TDZ dengan gugus phenylurea pada cytokinin binding protein CBP dapat meningkatkan efek sitokinin pada pembentukan tunas dan peningkatan konsentrasi TDZ yang dapat menyebabkan toksin bagi sel tanaman. Menurut Thomas et al. (1986) bahwa perlakuan TDZ pada konsentrasi tinggi menyebabkan terjadinya kerusakan sitokinin dan atau pada biosintesis lanjutan sitokinin purin dalam induksi perakaran dan menurunkan jumlah tunas yang dihasilkan.

Tunas-tunas yang diperoleh diharapkan mampu hidup secara ex vitro dan untuk itu maka harus mempersiapkan proses aklimatisasi sehingga dibutuhkan induksi perakaran. Kemampuan induksi perakaran dipengaruhi oleh klon eksplan jeruk keprok Garut mutan putatif yang digunakan dan komposisi media tanam in vitro termasuk jenis ZPT yang ditambahkan. Klon hasil iradiasi sinar gamma menyebabkan peningkatan waktu inisiasi akar, dan pada dosis 50 Gray menyebabkan peningkatan tinggi tunas dan jumlah tunas. Namun panjang akar mengalami penurunan seiring peningkatan dosis radiasi. Iradiasi sinar gamma dapat berpengaruh terhadap perubahan fisiologis regeneran. Perubahan tersebut berkaitan dengan energi iradiasi yang diserap oleh jaringan tanaman sehingga menyebabkan stimulasi sintesis auksin endogen terganggu. Energi yang diserap oleh jaringan tanaman menyebabkan stimulasi sintesis auksin terganggu, sehingga dalam pertumbuhan tanaman mengalami hambatan (Maluszinski et al. 1995). Selain perubahan fisiologis, perubahan genetik dapat terjadi akibat iradiasi sinar gamma. Perubahan fisiologis dan genetik dapat diekspresikan dengan adanya perubahan penampilan fenotipik regeneran yang sangat bervariasi. Pada umumnya, ukuran tanaman regeneran sangat pendek dan ukuran daun kecil, bahkan ada tunas albino yang muncul. Pada generasi selanjutnya, kerusakan fisiologis berangsur pulih. Sel-sel yang mengalami kerusakan mengalami

recovery, sedangkan gen termutasi dapat diwariskan pada generasi berikutnya (Maluszinski et al. 1995).

Perlakuan NAA 0.5 mg L-1 kombinasi IBA merupakan konsentrasi yang optimum terhadap induksi perakaran. Hal ini terlihat dari penampilan terbaik untuk peubah pengamatan waktu inisiasi akar dan jumlah akar yang merupakan faktor penting dalam induksi perakaran secara in vitro. Wijayanti et al. 2015 juga memperoleh hasil yang sama yaitu panjang akar eksplan jeruk siam Kampar terpanjang diperoleh pada perlakuan NAA 0.5 mg L-1 dan waktu inisiasi akar tercepat pada perlakuan NAA 1 mg L-1. Menurut Salisbury dan Ross (1995) pemberian auksin eksogen pada konsentrasi tinggi akan menghambat pemanjangan akar. Lakitan (1995) menjelaskan bahwa auksin dalam konsentrasi rendah akan memacu pemanjangan akar, namun dalam konsentrasi tinggi akan menghambat pemanjangan akar. Hal ini mengindikasikan bahwa pada konsentrasi tinggi, auksin lebih bersifat menghambat dibandingkan dengan merangsang pertumbuhan.

Kesimpulan yang diperoleh dari rangkaian penelitian ini adalah penanda RAPD dapat digunakan untuk mengetahui variasi genetik klon-klon jeruk keprok Garut hasil iradiasi sinar gamma. Induksi mutasi dengan radiasi sinar gamma menyebabkan terjadinya perbedaan kemiripan secara genetik antar klon jeruk keprok Garut mutan. Hal ini mengindikasikan terjadinya keragaman genetik antar klon-klon tersebut dengan koefisien kemiripan 61.5 hingga 100.0% atau memiliki jarak genetik sebesar 0 hingga 38.5%. Penanda RAPD dapat digunakan untuk mengetahui variasi genetik klon-klon jeruk keprok Garut hasil iradiasi sinar gamma.

Cekaman kekeringan melalui pemberian larutan PEG ke dalam media tanam umumnya menghambat pertumbuhan vegetatif klon-klon jeruk keprok Garut dan jeruk keprok Garut mutan putatif. PEG konsentrasi 20% dapat dijadikan agen seleksi cekaman kekeringan klon-klon jeruk keprok Garut mutan putatif, hal ini diindikasi dengan terjadinya penurunan pertumbuhan vegetatif (jumlah daun, tinggi tanaman), serta terjadi penurunan kandungan klorofil daun dan morfologi stomata (ukuran dan kerapatan stomata). Klon KG 13 dan KG 23 merupakan klon yang memberikan respon cekaman kekeringan yang lebih baik dengan pertumbuhan vegetatif (jumlah daun dan tinggi tanaman), dan morfologi stomata (panjang dan lebar stomata, jumlah serta kerapatan stomata) lebih rendah dibandingkan dengan klon lainnya.

Kombinasi zat pengatur tumbuh jenis sitokinin BAP dan TDZ pada konsentrasi

BAP 0.1 mg L-1 dan TDZ 0.2 mg L-1 merupakan konsentrasi yang paling optimum

dalam menginduksi tunas klon jeruk keprok Garut mutan putatif. Klon-klon eksplan jeruk keprok Garut mutan putatif hasil radiasi sinar gamma pada dua dosis 50 dan 150 Gy memberikan respon yang berbeda pada setiap konsentrasi TDZ yang ditambahkan ke media kultur. Multiplikasi tunas dengan pemarapan eksplan dalam media kultur yang mengandung TDZ dalam jangka panjang menyebabkan tunas yang muncul menjadi abnormal.

Induksi perakaran dipengaruhi oleh interaksi antara klon jeruk keprok Garut mutan putatif dengan empat taraf konsentrasi NAA yang dikombinasikan dengan IBA

konsentrasi 3 mg L-1 yang terlihat dari peubah pengamatan (waktu inisiasi akar,

panjang akar, tinggi tanaman, dan jumlah tunas). Perlakuan NAA 0.5 mg L-1

kombinasi IBA 3 mg L-1 merupakan konsentrasi yang optimum terhadap induksi

perakaran. Hal ini terlihat dari penampilan terbaik untuk peubah pengamatan waktu inisiasi akar dan jumlah akar yang merupakan faktor penting dalam induksi perakaran secara in vitro.

Dokumen terkait